Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128792 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yoshua Iskandar
"Latar belakang: Gagal jantung merupakan beban baik dalam hal prognostik maupun sosial ekonomi. Gagal jantung dan diabetes melitus tipe 2 (DMT2) saling mempengaruhi luaran klinis pasien. Empagliflozin, suatu penghambat SGLT2, merupakan agen antihiperglikemia baru yang terbukti dapat menurunkan mortalitas dan hospitalisasi akibat gagal jantung. Beberapa mekanisme efek proteksi empagliflozin terhadap kardiovaskular telah dibuktikan melalui studi pada hewan. Empagliflozin memiliki efek meningkatkan fungsi sistolik ventrikel kiri pada hewan coba. Namun efek Empagliflozin terhadap fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri pada pasien DMT2 dengan gagal jantung belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian Empagliflozin terhadap fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri pada pasien DMT2 dengan gagal jantung
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tidak tersamar yang dilakukan di poliklinik Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) pada pasien DMT2 dengan gagal jantung. Kelompok yang mendapat Empagliflozin 10 mg selama 3 bulan dibandingkan terhadap kelompok kontrol dengan terapi standar. Dilakukan pemeriksaaan global longitudinal strain (GLS) dengan speckle tracking echocardiography (STE) sebelum dan setelah terapi diberikan.
Hasil: Total terdapat 41 pasien menyelesaikan penelitian (21 kelompok empagliflozin, 20 kelompok kontrol). Setelah 3 bulan follow up, nilai GLS kelompok empagliflozin cenderung tetap (rerata perubahan GLS 0,06%), sedangkan pada kelompok kontrol terdapat perburukan nilai GLS dengan rerata 1,5%, perbedaan kedua kelompok bermakna secara statistik (p 0,04).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan perubahan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri setelah pemberian empagliflozin pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan gagal jantung dibandingkan terapi standar.

Background: Heart failure is a burden both in terms of prognostic and socio-economic. Heart failure and type 2 diabetes mellitus (T2DM) have a strong relationship in influencing patient s clinical outcome. Empagliflozin, an SGLT2 inhibitor, is a new antihyperlglycemic agent that has been shown to reduce mortality and hospitalization due to heart failure. Several mechanisms of cardioprotective effect of empagliflozin have been demonstrated in animal studies. Empagliflozin has proven to increase left ventricular systolic function in animal study. However, its effect on left ventricular intrinsic systolic function in T2DM patients with heart failure is unknown.
Objectives: Knowing the effect of empagliflozin on left ventricular intrinsic systolic function in T2DM patients with heart failure.
Methods: This is a randomized, open label, clinical trial, which was conducted at National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) hospital outpatient clinic. The group who received 10 mg empagliflozin for 3 months was compared with control group. Global longitudinal strain (GLS) by speckle tracking echocardiography was examined before and after therapy was given.
Results: A total of 41 patients completed the study (21 in empagliflozin group, and 20 in control group). After 3 months of follow-up, the GLS in empagliflozin group remained constant (mean changes in GLS was 0.06%), whereas in the control group there was a deterioration in GLS with an average of 1.5%, the difference between the two groups was statistically significant (p 0.04).
Conclusion: There is a difference in left ventricular intrinsic systolic function after administration of empagliflozin in T2DM patients with heart failure compared to standard therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maha Fitra Nd
"Latar belakang: Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) dan gagal jantung memiliki keterkaitan yang kuat dan luaran klinis yang satu mempengaruhi lainnya. Studi terakhir berhasil membuktikan manfaat empagliflozin, obat lini kedua pada DMT2, terhadap kardiovaskular. Mekanisme seluler yang diketahui berperan pada hewan adalah efek antifibrosis miokard, namunbelum ada studi pada manusia.Tujuan: Mengetahui efek pemberian empagliflozin terhadap fibrosis miokard pada pasien DMT2 dengan gagal jantung. Metode: Uji klinis acak tidak tersamar yang dilakukan di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dari Februari 2019 sampai Mei 2019. Pasien DMT2 dan gagal jantung diberikan empagliflozin 10 mg selama tiga bulan. Perbedaan kadar suppression of tumorigenicity-2 (ST2) serum pada kelompok kontrol dan intervensi di awal dan akhir penelitian akan dianalisis. Hasil: Terdapat 58 pasien yang menjadi subjek penelitian dan 40 (69%) pasien menyelesaikan penelitian. Terdapat perbedaan kadar ST2 yang bermakna setelah pemberian empagliflozin selama tiga bulan (median ST2 kelompok empagliflozin sebelum dan sesudah empagliflozin masing-masing 23,5(12,5 - 130,7)ng/mL dan 18,9(12,5 - 29,4) ng/mL, p=0,02). Penurunan ST2 dan persentase penurunan ST2 kelompok empagliflozin kedua kelompok tidak berbeda secara statistik (masing-masing p=0,16 dan p=0,21). Kesimpulan: Pemberian empagliflozin selama tiga bulan dapat menurunkan fibrosis miokard yang tidak terlihat pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan besaran penurunan fibrosis pada pemberian empagliflozin dibandingkan terapi standar.

Background: Type 2 diabetes mellitus (T2DM) and heart failure have a strong relationship; one affects each other. Recent studies have proven some cardiovascular benefits of empagliflozin. Myocardial antifibrosis is proposed to be the mechanism in many animal studies, but in humans the data is lack. Objectives: To investigate the effect of empagliflozin on myocardial fibrosis in T2DM patients and heart failure. Methods: This was an open-labeled clinical trial in National Cardiovascular Center Harapan Kita, from February 2019 to May 2019. Patients with T2DM and heart failure received empagliflozin 10 mg for three months. Differences of serum suppression of tumorigenicity-2 (ST2) levels in both control and intervention groups at the beginning and end of the study were analyzed. Results: There were 58 patients enrolled in the study and total of 40 (69%) patients completed it. There were significant differences in ST2 levels after administration of empagliflozin (median for ST2 empagliflozin group before and after empagliflozin was 23.5 (12.5 - 130.7) ng / mL and 18.9 (12, 5 - 29.4) ng / mL respectively, p = 0.02). The ST2 value difference and percent different were not different (p=0,16 and p=0,21, respectively). Conclusion: Three months Empagliflozin might reduce myocard fibrosis which was not seen in control group. The total fibrosis reduction was not significantly different compared to standard therapy"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agita Maryalda Zahidin
"Latar Belakang: Kompleks prematur ventrikel (KVP) dikaitkan dengan risiko penurunan fungsi ventrikel dan gagal jantung, dan meningkatkan mortalitas jangka panjang. Variasi sirkadian yang rendah merupakan salah satu prediktor terjadinya kardiomiopati yang diinduksi oleh KVP. KVP idiopatik tipe independen merupakan salah satu bentuk dari KVP dengan gambaran distribusi variasi sirkadian yang rendah. Namun tidak semua KVP independen memiliki variasi sirkadian yang rendah. Belum ada studi yang menilai perbedaan fungsi sistolik intrinsik VKi menggunakan global longitudinal strain (GLS) pada KVP idiopatik independen dengan KVP idiopatik non-independen.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kompleks ventrikel prematur idiopatik tipe independen dengan GLS ventrikel kiri melalui ekokardiografi speckle tracking pada pasien tanpa penyakit jantung struktural.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan data pasien aritmia ventrikel idiopatik yang dikumpulkan di RSPJD Harapan Kita Jakarta pada bulan Februari 2021- Mei 2021. Evaluasi KVP idiopatik dilakukan dengan EKG 12 sandapan, pemeriksaan Holter monitoring 24 jam. Data dasar ekokardiografi diambil dan penilaian fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri (Vki) dilakukan menggunakan ekokardiografi speckle tracking dengan global longitudinal study (GLS).
Hasil: Dari 67 pasien KVP idiopatik yang disertakan dalam penelitian, didapatkan sebesar 27 pasien (40,2%) dengan KVP tipe independen dan 40 pasien (59,8%) dengan KVP non-independen. Sebanyak 31 (46,3%) pasien memiliki disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pemeriksaan GLS (kurang dari -18). KVP tipe independen (OR 5,3; IK 95% 1,10-33,29; p = 0,038), beban KVP 9% (OR 16; IK 95% 1,58-163,61; p = 0,019), jenis kelamin laki-laki (OR 6,58; IK 95% 0,80-0,99; p = 0,029), dan episode TV non-sustained (OR 13,88; IK 95% 1,77-108,53; p = 0,012) berhubungan secara signifikan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik Vki.
Kesimpulan: Kompleks ventrikel prematur idiopatik tipe independen berhubungan dengan penurunan sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui ekokardiografi speckle tracking. Evaluasi tipe KVP idiopatik perlu dilakukan karena berhubungan dengan prognosis pasien dalam praktik klinis.

Background: Premature ventricular complexes (PVC) was associated with a risk of decreased ventricular function and heart failure, and increased long-term mortality. Low circadian variation is one of the predictors of PVC-induced cardiomyopathy. Independent-type-PVC (I-PVC) is a form of PVC with a low distribution of circadian variation. However, not all I-PVC show low circadian variation. No studies have been performed to examine differences in intrinsic systolic function of left ventricle (LV) using global longitudinal strain (GLS) in independent versus non-independent idiopathic PVC.
Objective: To determine the relationship between I-PVC and intrinsic systolic function of LV using speckle tracking echocardiography in patients without structural heart disease.
Methods: A cross-sectional study was conducted using data from patients with idiopathic ventricular arrhythmias collected at RSPJD Harapan Kita Jakarta in February 2021-May 2021. Evaluation of idiopathic PVC was carried out using a 12-lead ECG, 24-hour Holter monitoring. Basic echocardiography was performed then LV intrinsic systolic function was assessed using speckle tracking echocardiography with global longitudinal study (GLS).
Results: Of the 67 patients with idiopathic PVC included in the study, 27 (40.2%) patients included in independent PVC group and 40 (59.8%) patients in non-independent PVC group. A total of 31 (46.3%) patients had LV systolic dysfunction on GLS examination (less than -18). Independent-type-PVC (OR 5.3; 95% CI 1.10-33.29; p = 0.038), PVC burden of 9% (OR 16; 95% CI 1.58-163.61; p = 0.019), male gender (OR 6.58; 95% CI 0.80-0.99; p = 0.029), and non-sustained VT episodes (OR 13.88; 95% CI 1.77-108.53; p = 0.012) was significantly associated with a decrease in LV intrinsic systolic function.
Conclusion: Independent-type-PVC was associated with decreased in LV intrinsic systolic function assessed by speckle tracking echocardiography. Evaluation of the type of idiopathic PVC needs to be considered since it is related with patient's prognosis in clinical practice.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Louise Kartika Indah
"Latar belakang: Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure CHF dan diabetes melitus DM tipe 2 merupakan dua kondisi yang saling memberatkan, yaitu terjadi gangguan metabolisme yang lebih berat akibat perubahan neurohormonal, dan struktur jantung yang berpotensi memperburuk prognosis. Tatalaksana nutrisi sejak awal diagnosis sangat penting dalam mendukung proses penyembuhan pasien dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Kasus: Dalam serial kasus ini terdapat empat pasien CHF dan DM tipe 2 dengan penyulit. Keempat pasien dengan hipertensi dan hiperurisemia, tiga pasien dengan status gizi obes, tiga pasien dengan infark miokard, satu pasien dengan unstable angina pectoris, dua pasien dengan acute kidney injury, dan satu pasien dengan chronic kidney disease. Pada awal pemeriksaan didapatkan defisiensi asupan makro- dan mikronutrien, kontrol tekanan darah dan glukosa darah yang kurang baik, retensi cairan, dan penurunan kapasitas fungsional. Tatalaksana nutrisi disesuaikan secara individual, berdasarkan kondisi klinis, hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya serta riwayat asupan makanan.
Hasil: Seluruh pasien mengalami peningkatan toleransi asupan, perbaikan kondisi klinis, dan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Tatalaksana nutrisi yang adekuat pada pasien CHF dan DM tipe 2 dengan penyulit dapat mendukung perbaikan kondisi klinis dan kapasitas fungsional, sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.

Background: Congestive heart failure CHF and type 2 diabetes mellitus DM are two mutually aggravating conditions, with more severe metabolic abnormalities due to changes in neurohormonal and cardiac structure which potentially worsen the prognosis. Nutritional management since early diagnosis is very important in supporting the healing process of patients and prevent further complications.
Cases: Four patients were diagnosed with CHF and type 2 DM with complicating conditions. Four patients with hypertension and hyperuricemia, three patients were obese, three patients experienced myocard infarct one patient had unstable angina pectoris, two patients had acute kidney injury, and one patient had chronic kidney disease. Nutritional problems in four patients at assessment were macro and micronutrient deficiencies, uncontrolled blood pressure and blood glucose, fluid retention and declined functional capacity. Nutrition therapy were planned individually including macronutrients, micronutrients and fluid intakes, based on clinical conditions, laboratory findings, other examinations, and previous food intakes.
Result: There were improvements of clinical conditions, intake tolerance, and functional capacity.
Conclusion: Adequate nutrition therapy for CHF and type 2 DM patients with complicating conditions supports the improvements of clinical condition and functional capacity, decreasing morbidity and mortality rates.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Halimi
"Latar belakang: Pasien gagal jantung sering mengalami readmisi dengan tingkat mortalitas yang tinggi sehingga diperlukan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat untuk memperbaiki prognosis. Resiko rawat inap akibat gagal jantung bahkan lebih meningkat pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2, yaitu 1.5x lebih tinggi. Menggunakan kecerdasan buatan, dapat dilakukan integrasi antara data klinis dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG dan rontgen thorax. Selain itu, kecerdasan buatan juga dapat membantu diagnosis di bidang kardiovaskular tanpa adanya variabilitas antar pengamat, serta meningkatkan efisiensi waktu dan biaya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan kecerdasan buatan dengan statistik konvensional dalam memprediksi luaran klinis lama rawat, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan pada pasien gagal jantung dekompensasi akut (GJDA) dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2.
Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien GJDA dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2 pada periode Januari 2018 – Maret 2023. Dilakukan analisis data menggunakan statistik konvensional dengan analisis bivariat dan multivariat, dimana hasilnya kemudian dibandingkan dengan analisis menggunakan algoritme kecerdasan buatan, yaitu Balanced Random Forest.
Hasil: Melalui rekam medis, didapatkan 292 subjek penelitian dengan persentase lama rawat >5 hari, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan yang diobservasi adalah 39.7%, 14.0%, 10.6%, dan 21.2% berturut-turut. Kemampuan diskriminasi kecerdasan buatan lebih baik dibandingkan statistik konvensional untuk keempat luaran, dengan AUC lama rawat >5 hari adalah 0.800 vs 0.775, readmisi 0.790 vs 0.732, mortalitas 0.794 vs 0.785, dan luaran gabungan 0.628 vs 0.596.
Kesimpulan: Kecerdasan buatan lebih baik dibandingkan statistik konvensional untuk memprediksi luaran klinis berupa lama rawat, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan pada pasien GJDA dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2.

Background: Heart failure patients often experience readmissions with a high mortality rate, therefore early detection and appropriate management are required to improve the prognosis. The risk of hospitalization due to heart failure is increased 1.5x in type 2 diabetes mellitus (DM) patients. Using artificial intelligence, clinical data can be integrated with supporting examinations such as ECG and chest X-ray. Artificial intelligence can also help diagnoses in the cardiovascular field without inter-observer variability, as well as increasing time and cost efficiency.
Objective: This study aims to compare the ability of conventional statistics with artificial intelligence in predicting clinical outcomes, namely length of stay, 30-day readmission, 180- day mortality, and composite outcome in acute decompensated heart failure (ADHF) patients with reduced ejection fraction and type 2 DM.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 292 ADHF patients with reduced ejection fraction and type 2 DM in the period January 2018 – March 2023. Data analysis was carried out using conventional statistics with bivariate and multivariate analysis, where the results were then compared with analysis using artificial intelligence algorithm, namely Balanced Random Forest.
Results: The percentages of outcomes observed for length of stay >5 days, 30 day readmission, 180 day mortality, and composite outcome were 39.7%, 14.0%, 10.6%, and 21.2% respectively. The discrimination ability of artificial intelligence was better than conventional statistics for all four outcomes, with the AUC of length of stay >5 days were 0.800 vs 0.775, readmission 0.790 vs 0.732, mortality 0.794 vs 0.785, and combined outcome 0.628 vs 0.596.
Conclusion: Artificial intelligence is better than conventional statistics in predicting clinical outcomes in the form of length of stay, 30-day readmission, 180-day mortality, and composite outcome in ADHF patients with reduced ejection fraction and type 2 DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abu Rachman
"Obat antidiabetes yang paling banyak diresepkan di Puskesmas Indonesia adalah metformin atau kombinasi metformin dan sulfonilurea. Studi tentang metformin telah menunjukkan berbagai dampak penurunan kognitif pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, sedangkan sulfonilurea telah terbukti mengurangi dampak ini. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dampak metformin dan metformin-sulfonilurea pada fungsi kognitif dan menentukan faktor apa yang mempengaruhinya. Studi potong lintang ini dilakukan di Puskesmas Pasar Minggu dengan melibatkan 142 pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengonsumsi metformin atau metformin-sulfonilurea selama >6 bulan dan usia >36 tahun. Fungsi kognitif dinilai menggunakan kuesioner Montreal Cognitive Assessment versi bahasa Indonesia. Efek dari metformin dan metformin-sulfonylurea pada penurunan kognitif tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, bahkan setelah mengontrol kovariat (aOR = 1,096; 95% CI =  13.008px;">0,523–2,297; nilai-p = 0,808). Analisis multivariat menunjukkan usia (OR = 4,131; 95% CI = 1,271–13,428; nilai-p = 0,018) dan pendidikan (OR = 2,746; 95% CI = 1.196–6.305; nilai-p = 0,017) mempengaruhi fungsi kognitif. Pendidikan yang lebih rendah dan usia yang lebih tua cenderung menyebabkan penurunan kognitif, tenaga kesehatan didorong untuk bekerja sama dengan ahli kesehatan masyarakat untuk mengatasi faktor risiko fungsi kognitif ini.

The most prescribed antidiabetic drugs in Indonesian primary health care are metformin or a combination of metformin and sulfonylurea. Studies on metformin have shown various impacts on cognitive decline in patients with type 2 diabetes mellitus, whereas sulfonylurea has been shown to reduce this impact. This study aimed to compare the impacts of metformin and metformin-sulfonylurea on cognitive function and determine what factors affected it. This crosssectional study was conducted at Pasar Minggu Primary Health Care involving 142 type 2 diabetes mellitus patients taking metformin or metformin-sulfonylurea for >6 months and aged >36 years. Cognitive function was assessed using the validated Montreal Cognitive Assessment Indonesian version. The effects of metformin and metformin-sulfonylurea on cognitive decline showed no significant difference, even after controlling for covariates (aOR = 1.096; 95% CI = 0.523–2.297; p-value = 0.808). Multivariate analysis showed age (OR = 4.131; 95% CI = 1.271–13.428; p-value = 0.018) and education (OR = 2.746; 95% CI = 1.196–6.305; p-value = 0.017) affected cognitive function. Since a lower education and older age are likely to cause cognitive decline, health professionals are encouraged to work with public health experts to address these risk factors for cognitive function."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhayu Hanggadhi Nugroho
"Latar belakang: Aritmia ventrikular idiopatik, baik kompleks ventrikel prematur (KVP) maupun takikardia ventrikel (TV), dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri (VKi) yang akan menimbulkan kardiomiopati dan meningkatkan mortalitas. Banyak faktor yang berkontribusi menyebabkan terjadinya kardiomiopati akibat KVP (KA-KVP) meskipun mekanisme terjadinya belum sepenuhnya dipahami. Variasi sirkadian KVP dilaporkan berhubungan dengan terjadinya penurunan fraksi ejeksi VKi. Deteksi dini adanya disfungsi sistolik intrinsik Vki dapat dilakukan melalui pemeriksaan speckle tracking ekokardiografi dengan mengukur nilai global longitudinal strain (GLS). Sampai saat ini belum diketahui apakah variasi sirkadian KVP berhubungan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variasi sirkadian aritmia ventrikular idiopatik dengan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui speckle tracking ekokardiografi.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan total subjek 67 pasien (17 laki-laki [25,4%]; usia rata-rata 46.5 + 9.8 tahun; fraksi ejeksi ventrikel kiri 63,2% + 7,5%) dengan KVP yang berasal dari jalur keluar ventrikel dari pemeriksaan elektrokardiogram 12 sadapan. Semua pasien menjalani pemeriksaan Holter monitoring 24 jam dan speckle tracking ekokardiografi. Dilakukan perhitungan variasi sirkadian beban KVP dan nilai global longitudinal global (GLS) kemudian dilakukan analisis statistik untuk menilai hubungan kedua variabel tersebut.
Hasil: Sebanyak 31 pasien (46.3%) mengalami gangguan fungsi sistolik Vki (GLS lebih buruk dari -18%). Pasien dengan gangguan fungsi sistolik VKi memiliki GLS yang kurang negatif (-15.1% + 1.8% vs -21.3% + 2.0%; p=<0,001), beban KVP yang lebih tinggi (22.2% + 11.1% vs 13.9% + 8.3; p=0,001), variasi sirkadian beban KVP yang rendah (koefisien variasi beban KVP per 6 jam 26.8% + 15.6 vs 52.0 % + 28.2%; p=<0,001), dan episode TV non-sustained yang lebih sering (10 pasien [76.9%] vs 3 pasien [23.1%]; p=0,019). Sebanyak 70.6% pasien dengan jenis kelamin laki-laki mengalami gangguan disfungsi sistolik VKi (p=0,002). Pada analisis multivariat didapatkan beberapa prediktor terhadap gangguan fungsi sistolik Vki antara lain variasi sirkadian beban KVP yang rendah dengan [(koefisien variasi beban KVP per 6 jam < 35%), odds ratio (OR)=3.89 interal kepercayaan (IK)95%=1.09-13.80 p=0.036], episode TV non-sustained (OR=14.4, IK 95%=2.36-88.55, p=0.008), beban KVP > 9% (OR=6.81, IK 95%=1.35-34. Kesimpulan: Variasi sirkadian aritmia ventrikular idiopatik yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui speckle tracking ekokardiografi. Variasi sirkadian beban KVP per 6 jam < 35% memiliki risiko 3.89 kali lebih tinggi untuk terjadinya disfungsi sistolik ventrikel kiri

Background: Idiopathic ventricular arrhythmias (AVI) including premature ventricular complex (PVC) or ventricular tachycardia (VT) can cause left ventricular (LV) dysfunction which may lead to cardiomiopathy. The mechanisms of this cardiomyopathy remain elusive, many factors are believed to contribute. PVC burden is influenced by circadian rhythmicity and lack of PVC circadian variability was proposed as one mechanism of LV dysfunction. Since early detection of LV systolic dysfunction can be done by speckle tracking echocardiography examination, further studies are needed to assess intrinsic left ventricular systolic function and its correlation with PVC circadian variation in patients with idiopathic ventricular arrhythmias.
Objective: This study aimed to investigate the correlation between circadian variation of IVA and left ventricular intrinsic systolic function assessed by speckle tracking echocardiography.
Methods: The subjects of this cross sectional study were 67 consecutive patients (17 men [25.4%]; mean age 46.5 + 9.8 years; left ventricular ejection fraction 63.2% + 7.5%) with PVC originated from ventricular outflow tract based on 12 lead electrocardiogram. All patients underwent 24-hour Holter monitoring and speckle tracking echocardiography examinations. The circadian variation of PVC burden and global longitudinal strain (GLS) were determined and statistical analysis was conducted to evaluate their correlation. Results: A total 31 patients (46.3%) had impaired LV systolic function by GLS ( worse than -18%). Patients with impaired LV systolic function had a less negative GLS (-15.1% + 1.8% vs -21.3% + 2.0%; p=<0.001), a higher PVC burden ((22.2% + 11.1% vs 13.9% + 8.3; p=0,001), less variation in circadian PVC distribution (coefficient of variation 6 hourly 26.8% + 15.6 vs 52.0 % + 28.2%; p=<0.001), and more frequent episode of non-sustained VT (10 patients [76.9%] vs 3 patients [23.1%]; p=0.019). Total 70.6% patient with male gender experienced impaired LV systolic function (p=0.002). Independent predictors for impaired systolic LV function were less variation in circadian PVC distribution [(coeficient of variation < 35%), odds ratio (OR)=3.89, 95% confidence interval (CI)= 1.09-13.80, p=0.036)], episode of non-sustained VT (OR=14.4, 95%CI=2.36-88.55, p=0.008), PVC burden > 9% (OR=6.81, CI 95%=1.35-34.41, p=0.020), and male gender (OR=14.4, CI 95%=2.02-101.1, p=0.004).
Conclusion: Lack of circadian variation of IVA is associated with impaired LV systolic function by GLS. Coefficient of variation PVC burden < 35% has 3.89 times higher risk for development of left ventricular systolic dysfunction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Dwi Suryani
"Pemantauan terapi obat adalah kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien dengan mengkaji pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki, dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Kondisi pasien yang perlu dilakukan pemantauan terapi obat antara lain pasien hamil dan menyusui, pasien yang menerima regimen yang kompleks (polifarmasi) serta pasien geriatri dan pediatri. Tujuan laporan PKPA ini adalah untuk menganalisa dan mengevaluasi drug related problem (DRP) pada pasien dan diklasifikasikan sesuai kategori Hepler dan Strand. Kegiatan dilakukan melalui pengambilan data pasien dengan diagnosis syok kardiogenik dengan gagal jantung, gangguan ginjal akut, DM tipe 2, dan hipokalemia. Data yang diambil merupakan kombinasi data primer dan sekunder. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa pengobatan yang diterima oleh pasien hampir seluruhnya tepat indikasi dan dosis kecuali dosis pada sukralfat dan allopurinol yang melebihi rentang dosis seharusnya. Selain itu, ditemukan DRP berupa interaksi obat yang bersifat potensial, pemilihan obat tidak tepat, serta indikasi tanpa obat. DRP tersebut telah diatasi dengan pemberian terapi yang sesuai.

Drug therapy monitoring is an activity to ensure safe, effective, and rational drug therapy for patients by reviewing the selection of drugs, dosages, methods of drug administration, therapeutic response, unwanted drug reactions, and recommendations for changes or alternative therapies. Patients who need to be monitored for drug therapy include pregnant and lactating patients, patients receiving complex regimens (polypharmacy), as well as geriatric and pediatric patients. The purpose of this PKPA report is to analyze and evaluate drug-related problems (DRP) in patients and classify them according to the Hepler and Strand categories. Activities are carried out through the data collection of patients with a diagnosis of cardiogenic shock with heart failure, acute kidney disorder, type 2 DM, and hypokalemia. The data was took is a combination of primary and secondary data. Based on the results of the analysis, it was known that the treatment received by the patients was almost entirely in accordance with the right indication and dosage, except for the doses of sucralfate and allopurinol, which exceeded the proper dosage range. In addition, DRP was found in the form of potential drug interactions, inappropriate drug selection, and indications without drugs. The DRP has been overcome by administering appropriate therapy."
Depok: 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Martua
"ABSTRAK
Latar Belakang: Perkembangan ilmu pengetahuan berhasil meningkatkan harapan hiduppasien yang mengalami infark miokardium. Namun pengobatan yang ada saat ini hanyamemperbaiki kondisi klinis pasien, tanpa adanya perbaikan otot jantung yang telah rusak.Hal inilah yang mendasari berkembangnya penelitian yang mempelajari tentang upayaregenerasi sel otot jantung dengan pemanfaatan sel punca yang salah satunya adalahMesenchymal Stem Cell MSC . Namun hasil yang didapatkan dari beberapa penelitianmenunjukkan hasil yang belum optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktordiantaranya adalah kadar dan fungsi dari sel punca yang tidak adekuat. Hingga saat inibelum ada penelitian yang mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi kadar MSCdalam Bone Marrow Mononuclear Cell BMMC pada pasien penyakit jantung iskemikkhususnya pengaruh fungsi sistolik ventrikel kiri.Tujuan: Menilai hubungan fungsi sistolik ventrikel kiri dengan kadar MSC dalam BMMCpada pasien penyakit jantung iskemik yang menjalani terapi sel punca Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan datasekunder. Subjek penelitian adalah pasien penyakit jantung koroner dengan fungsi sistolikventrikel kiri

ABSTRACT
Background The development of science succeeded in increasing the life expectancy of patients with myocardial infarction. However, existing treatments only improve the clinical condition of the patient, without any improvement of the damaged heart muscle. Thus supposrt the development of research that studies to regenerate heart muscle cells with stem cells, for example Mesenchymal Stem Cell MSC . However, the results from several studies have shown modest results. It is caused by several factors including the levels and function of stem cells is inadequate. Until now, no study has evaluated the factors affecting the levels of MSC in Bone Marrow mononuclear cell BMMC in patients with ischemic heart disease in particular the influence of left ventricular systolic function.Objective To assess the association of left ventricular systolic function with MSC levels in BMMC in patients with ischemic heart disease who underwent stem cell therapyMethods This was a cross sectional study using secondary data. Subjects were patients with coronary heart disease with left ventricular systolic function "
2016
T55656
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Wilson MCH Puar
"Latar belakang. Pengaruh Diabetes Melitus Tipe-1 (DMT1) terhadap massa dan fungsi ventrikel kiri pada anak masih menjadi perdebatan.
Tujuan. Untuk mengetahui gambaran massa dan fungsi ventrikel kiri pada anak DMT1.
Metode. Dilakukan penelitian potong lintang dengan membandingkan massa, fungsi diastolik dan sistolik ventrikel kiri 30 anak DMT1 berusia 4 sampai dengan 18 tahun dengan 30 anak sehat sebagai kontrol yang bersesuaian jenis kelamin dan umur. Massa dan fungsi ventrikel kiri diperiksa dengan ekokardiografi.
Hasil. Massa ventrikel kiri anak DMT1 lebih besar dari pada anak sehat, perbedaan ini bermakna. Faktor yang berhubungan dengan peningkatan massa tersebut adalah lama sakit dan tekanan darah. Fungsi diastolik pada anak dengan DMT1 berbeda bermakna dibanding anak sehat. Pola perubahan parameter fungsi diastolik anak DMT1 sesuai dengan gambaran disfungsi diastolik gangguan pola relaksasi. Faktor yang berhubungan dengan perubahan fungsi diastolik pada anak DMT1 adalah lama sakit. Untuk fungsi sistolik tidak ditemukan perbedaan yang bermakna.
Kesimpulan. Pada anak dengan DMT1 terdapat peningkatan massa ventrikel kiri dan gangguan diastolik pola relaksasi. Perubahan massa jantung dan gangguan fungsi diastolik tersebut berhubungan dengan lama sakit dan tekanan darah.

Background. The impact of Diabetes Mellitus type 1 (DMT1) on the left ventricular mass and functions in children remains controversial.
Objective: The aim of the study is to measure the left ventricular mass and function in children with DMT1.
Methods. A cross-sectional study was conducted to compare the mass and diastolicsystolic function of the left ventricle of 30 children with DMT1 and normal children aged 4 to 18 years that matched in sex and age. The left ventricular mass and diastolic-systolic function was assessed by echocardiography.
Results. Ventricular mass of children with DMT1 were significantly heavier than healthy ones. Factors associated with increased mass were the duration of illness and blood pressure. Diastolic functions in children with DMT1 were significantly different compared to healthy children. The patterns of changes were appropriate with the relaxation pattern of diastolic dysfunction. The factor associated with the change of diastolic parameters is the duration of illness. Significant differences were not found in the systolic function.
Conclusion. In children with DMT1 there was an increase of left ventricular mass and also diastolic dysfunction with the relaxation pattern. Changes in cardiac mass and diastolic dysfunction are associated with duration of illness and blood pressure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>