Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60755 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosalyn Theodora
"Perjanjian Status of Visiting Forces Agreement (SoVFA) adalah model perjanjian yang baru bagi Indonesia sedangkan pada negara-negara maju model perjanjian ini sudah banyak diadopsi baik yang bersifat bilateral maupun multilat- eral. Perjanjian ini diinisiasi oleh Filipina tahun 2006 kepada Indonesia, namun karena tidak ada respon akhirnya Filipina kembali mengirimkan tahun 2013. Hal ini dikarenakan dalam proses penyusunan dalam negeri selalu mengalami dead- lock. Sementara itu, semakin memanasnya dinamika ancaman keamanan non tradisional seperti terorisme tahun 2016 di laut Sulu, Sulawesi dan makin kuat ser- ta meluasnya ancaman terorisme hingga ke wilayah perbatasan tiga negara (Indo- nesia-Malaysia-Filipina) menyebabkan Menteri Pertahanan Indonesia pada per- temuan Trilateral berinisiatif untuk mengadakan latihan bersama baik di laut maupun di darat dengan membentuk posko militer bersama. Inisiatif tersebut di- sepakati oleh Menhan Malaysia dan Menhan Filipina namun hal tersebut tidak dapat terealisasi karena terkendala oleh Parlemen Filipina yang mensyaratkan bahwa ketika Filipina hendak menjalin kerjasama dengan negara lain harus sudah memiliki SoVFA yang harus disepakati secara bilateral. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus SoVFA. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan memilih nara- sumber yang terlibat langsung dalam proses penyusunan SoVFA, observasi lang- sung pada saat penyusunan perjanjian dan mendapatkan data dari instansi pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan diplomasi In- donesia-Filipina yang selama ini telah berjalan dengan baik dikaitkan dengan penyusunan perjanjian SoVFA kurun waktu tahun 2013-2019 ditinjau dari per- spektif Ketahanan Nasional. Penelitian ini mempergunakan konsep diplomasi per- tahanan, teori perjanjian internasional dan ketahanan nasional sebagai pisau ana- lisis dalam penelitiannya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa adanya perbe- daan sistem hukum kedua negara yang mengakibatkan perjanjian ini lama untuk dicapai kata kesepakatan terutama di internal Indonesia.

The Status of Visiting Forces Agreement (SoVFA) agreement is a new model agreement for Indonesia while in developed countries this model of agree- ment has been adopted both bilaterally and multilaterally. This agreement was ini- tiated by the Philippines in 2006 to Indonesia, but because there was no response, the Phil-ippines finally sent it back in 2013. It happened because in the domestic drafting process there is always a deadlock. Meanwhile, the increasing dynamics of non traditional security threats such as terrorism in 2016 in the Sulu sea, Sula- wesi and the increasing and widespread threat of terrorism to the three-state bor- der region (Indonesia-Malaysia-Philippines) caused the Indonesian Defense Min- ister at the Trilateral meeting to take the initiative together both at sea and on land by forming joint military posts. The initiative was agreed upon by the Malaysian Defense Min-ister and the Defense Minister of the Philippines, but this could not be realized because it was constrained by the Philippine Parliament which requires that when the Philippines wants to establish cooperation with other countries it must have SoVFA that must be agreed bilaterally. This study used a qualitative research method with the SoVFA case study approach. The technique of collect- ing data is through in-depth interviews by selecting speakers who are directly in- volved in the process of drafting the SoVFA, direct observation during the prepa- ration of agreements and obtaining data from government agencies. This study aims to ana-lyze the diplomatic relations between Indonesia and the Philippines which have been running well so far related with the preparation of the SoVFA agreement in the period 2013-2019 from the perspective of National Resilience. This study uses the concept of defense diplomacy, the theory of international agreements and na-tional resilience as a knife of analysis in his research. The re- sults of the study show that there are differences in the legal systems of the two countries which resulted in this agreement being long to reach an agreement word especially in Indonesia
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53738
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindejayanimitta Dwi Anggaramurti
"Indonesia dan Filipina merupakan dua negara kepulauan yang bertetangga. Kedua negara menjalin hubungan diplomatik secara resmi sejak tahun 1949. Kedua negara telah berhasil melakukan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) melalui persetujuan batas ZEE yang ditandatangani oleh menteri luar negeri kedua negara pada tanggal 23 Mei 2014. Apabila dilihat dari jangka waktu penyelesaian batas laut yang diawali dengan penjajakan sejak tahun 1973 menunjukkan bahwa kedua pemerintah membutuhkan waktu lebih dari 40 tahun, hal ini mengindikasikan bahwa terdapat berbagai masalah selama proses perundingan baik itu dalam aspek teknis maupun aspek hubungan politis kedua negara. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui proses penetapan batas ZEE antara Indonesia dengan Filipina dan menganalisis dinamika hubungan politik dalam penetapan batas ZEE Indoesia-Filipina perspektif ketahanan nasional. Teori yang digunakan antara lain : teori kedaulatan negara, kerjasama, diplomasi dan negosiasi serta ketahanan nasional Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, data yang digunakan dalam penelitian bersumber dari hasil studi literatur dan hasil wawancara. Narasumber wawancara terdiri 7 orang yaitu Prof. Hasjim Djalal, pakar hukum laut internasional yang terlibat langsung dalam diplomasi penetapan batas maritim Indonesia 1973-1994 dan sebagai tim penasehat delegasi Indonesia dalam perundingan batas maritim; Dubes Arif Havas Oegroseno, Diplomat Indonesia sekaligus sebagai Ketua Tim Perunding Batas ZEE Indonesia Filipina 2003-2007, Oktavino Alimudin Dirpolkamwil Kementerian Luar Negeri sebagai Ketua Tim Perunding Batas ZEE Indonesia Filipina 2012-2014, Prof. Dr. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc, ahli teknis penetapan batas laut sekaligus sebagai Ketua Tim Teknis Perundingn Penetapan Batas ZEE Indonesia-Filipina 2003-2014 serta beberapa narasumber yang berasal dari beberapa instansi yang terlibat langsung dalam perundingan penetapan batas ZEE Indonesia-Filipina. Proses penetapan batas yang dilakukan antara lain : penjajakan awal pada tahun 1973-1994, perundingan intensif pada tahun 2003-2007 dan 2011-2013, serta proses perumusan perjanjian pada Januari 2014-Mei 2014. Pola hubungan kedua negara dalam penetapan garis batas ZEE dilakukan melalui proses politik dalam bentuk kerjasama. Dinamika hubungan politik kedua negara dalam penetapan batas ZEE dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : faktor sejarah, kondisi politik internal pemerintah Filipina dan penyesuaian terhadap hukum internasional. Proses penetapan batas ZEE menyebabkan perubahan paradigma teori kedaulatan yang dianggap sebagai kekuasaan tertinggi dimiliki oleh negara, namun dalam penetapan batas dan pemanfaatan ZEE, kedaulatan negara dipengaruhi oleh hukum laut internasional. Diplomasi batas ZEE yang telah dilaksankan dapat memperkuat ketahanan nasional karena mempererat hubungan baik antara dua negara yang bertetangga dan dapat menjadi contoh bagi negera-negara di dunia bahwa Indonesia dan Filipina dapat menyelesaikan sengketa penetapan batas secara damai sehingga mendukung terciptanya stabilitas keamanan kawasan. Apabila dilihat dari aspek geopolitik yaitu sebagai upaya suatu negara dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya bahwa Indonesia berusaha mempertahankan keberlangsungan hidupnya dengan mempertahankan prinsip-prinsip negara kepulauan pada proses penetapan batas ZEE dan kejelasan batas ZEE yang telah disepakati dapat memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan wilayah maritim khususnya dalam melaksanakan hak berdaulat sehingga dapat dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa Indonesia.

Indonesia and the Philippines are two neighboring archipelagic states. The two countries formally established diplomatic relations since 1949. The two countries have managed to conduct the delimitation of the Exclusive Economic Zone (EEZ) boundary through the EEZ boundary agreement signed by the foreign ministers of both countries on May 23, 2014. When viewed from the period of time the sounding out of maritime boundaries since 1973 shows that the two governments took more than 40 years, this indicates that there are a variety of issues during the negotiation process both in technical aspects as well as political relations aspects between the two countries. This study intends to determine the process of the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia and the Philippines and analyze the dynamics of political relations in the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia and the Philippines, national resilience perspective. The theory used, among others: the theory of sovereignty, cooperation, diplomacy and negotiations as well as national resilience. The research was conducted using qualitative method, the data used in the study came from the study of literature and interviews. Formal Interviewee comprising seven members, namely Prof. Hasjim Djalal, international maritime law expert who directly, involved in Indonesia maritime boundary delimitation diplomacy 1973-1994; Arif Havas Oegroseno, Diplomat Indonesian Ambassador, as a Chairman of the Joint Permanent Working Group on Maritime and Ocean Concern between Indonesia- the Philippines 2003-2007, Oktavino Alimudin, the Director for Political, Security and Territory Treaties Ministry of Foreign Affairs as Chairman of the Maritime Boundary Delimitation Discussions between Indonesia-the Philippines 2012- 2014, Prof. Dr. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc, a technical expert of maritime delimitation, as Chairman of the Joint Technical Team Meeting of the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia-the Philippines 2003-2014, as well as some of the interviewee who come from several agencies who involved in negotiating the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia and the Philippines. The process of setting the boundaries is carried out, among others: the early probes in 1973-1994, the intensive negotiations in 2003-2007 and 2011- 2013, as well as the process of formulating an agreement in January 2014 to May 2014. The pattern of relationship of the two countries in setting the EEZ boundary lines is done through the political process in the form of cooperation. The dynamics of political relations between the two countries in the delimitation of the EEZ boundary is influenced by several factors such as : historical factors, internal political conditions of the Philippines government and the adjustment to the international law. The process of delimitation of the EEZ boundary led to a paradigm shift theory of sovereignty which is regarded as the highest authority owned by the state, but in the delimitation of the EEZ and utilization, state sovereignty is influenced by international law. The diplomacy of the delimitation of EEZ boundary that have are conducted to strengthen national resilience because it could strengthen the good relations between the two neighboring countries and may become a model for other countries in the world. Indonesia and the Philippines can resolve disputes peacefully thus supporting the creation of regional security and stability. When viewed from the geopolitical aspects of a country's attempt to maintain their life, that Indonesia is trying to sustain his life by maintaining the principles of the archipelagic state in the process of the delimitation of the EEZ boundary. The EEZ boundary between two countries has been agreed, it can provide legal certainty for management of maritime areas, especially in existing sovereign rights so that it can be utilized for the Indonesian interest."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad
"[ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan mengenai upaya pencapaian kemandirian pertahanan Indonesia untuk menjamin ketahanan nasional dalam bidang pasokan alpanhakam yang didukung oleh industri pertahanan dalam negeri yang dalam hal ini adalah PT Pindad. Sebagai salah satu BUMN industri pertahanan, PT Pindad merupakan salah satu pilar kedaulatan utama yang harus dilindungi dan diberikan dorongan oleh negara untuk dapat berkembang sehingga dapat meningkatkan ketahanan nasional dengan terjaminnya pasokan alat peralatan pertahanan dan keamanan. Penelitian ini bertujuan menganalisa mengenai dukungan yang diberikan oleh PT Pindad pada pemenuhan kebutuhan dan modernisasi alpanhakam Indonesia dan upaya pengembangan Divisi Kendaraan Khusus PT Pindad dalam mengembangkan kapasitas dan produktivitas untuk memberikan kontribusi atas kebutuhan pasokan alpanhakam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mediskripsikan dan memperoleh pemahaman mengenai upaya PT Pindad dalam meningkatkan kapasitas dan produktivitas dalam upaya pencapaian kemandirian pertahanan. Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan studi pustaka, informan wawancara ini terdiri dari 6 (enam) orang dari unsur PT Pindad, Kementerian Pertahanan, dan KKIP. Konsep dan teori yang digunakan yaitu konsep ketahanan nasional, konsep kemandirian industri pertahanan, konsep kompleks industrial militer (military-industrial complex), dan konsep pertahanan negara. Hasil penelitian adalah Indonesia saat ini perlu untuk melakukan peningkatan kuantitas dan modernisasi alpanhakam yang ada dalam rangka mencapai kekuatan pokok komponen utama dalam menyelenggarakan pertahanan negara, PT Pindad telah cukup memberikan kontribusi dalam pemenuhan alpanhakam melalui produk pertahanan dan keamanan yang dihasilkannya, produk pertahanan dan keamanan tersebut terdiri dari senjata, munisi, dan kendaraan khusus. Dalam upaya memberikan kontribusi pemenuhan alpanhakam, PT Pindad sebagaimana industri pertahanan di Indonesia pada umumnya mengalami permasalahan dalam bidang terbatasnya penguasaan teknologi, permodalan, dan kompetensi sumber daya manusia. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, PT Pindad melakukan berbagai pembenahan diantaranya reorganisasi untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas, melakukan kerja sama dengan luar negeri untuk meningkatkan penguasaan teknologi dan meningkatkan pemasaran, dan dukungan pemerintah melalui penanaman modal negara.

ABSTRACT
This research describes the efforts of Indonesia to achieve the independence on national defense in the field of defense equipment supply supported by the domestic defense industry which in this case is PT Pindad. As one of the state's owned defense industry, PT Pindad is one of the main pillars of sovereignty that should be protected and given a boost by the state to be able to evolve so as to increase national resilience by ensuring the supply of defense equipment and security. This research aims to analyze the support of PT Pindad on meeting the needs and modernization of Indonesian defense equipment, and the development efforts of Special Vehicle Division of PT Pindad in developing the capacity to contribute to the supply needs of defense equipment. This study uses descriptive qualitative method to describe and gain an understanding of the efforts of PT Pindad in improving capacity and productivity in achieving the independence of defense. This study uses interviews and literature, informant interviews consist of 6 (six) persons from the PT Pindad, the Ministry of Defense, and KKIP. Concepts and theories used the concept of national resilience, the concept of the independence of the defense industry, the concept of military industrial complex, and the concept of the state defense. Results of the research is PT Pindad has enough to contribute in fulfilling defense equipment through the defense and security products it produces, which consists of weapons, munitions, and special vehicles. In an effort to contribute to the fulfillment of defense equipment, PT Pindad as a defense industry in Indonesia in general has experienced limited mastery in the field of technology, capital, and human resource competencies. To overcome these problems, PT Pindad undertakes various improvements including reorganization to improve performance and productivity, cooperation with foreign countries to improve the mastery of technology and improve marketing, and support the government through the state capital investment., This research describes the efforts of Indonesia to achieve the independence on national defense in the field of defense equipment supply supported by the domestic defense industry which in this case is PT Pindad. As one of the state's owned defense industry, PT Pindad is one of the main pillars of sovereignty that should be protected and given a boost by the state to be able to evolve so as to increase national resilience by ensuring the supply of defense equipment and security. This research aims to analyze the support of PT Pindad on meeting the needs and modernization of Indonesian defense equipment, and the development efforts of Special Vehicle Division of PT Pindad in developing the capacity to contribute to the supply needs of defense equipment. This study uses descriptive qualitative method to describe and gain an understanding of the efforts of PT Pindad in improving capacity and productivity in achieving the independence of defense. This study uses interviews and literature, informant interviews consist of 6 (six) persons from the PT Pindad, the Ministry of Defense, and KKIP. Concepts and theories used the concept of national resilience, the concept of the independence of the defense industry, the concept of military industrial complex, and the concept of the state defense. Results of the research is PT Pindad has enough to contribute in fulfilling defense equipment through the defense and security products it produces, which consists of weapons, munitions, and special vehicles. In an effort to contribute to the fulfillment of defense equipment, PT Pindad as a defense industry in Indonesia in general has experienced limited mastery in the field of technology, capital, and human resource competencies. To overcome these problems, PT Pindad undertakes various improvements including reorganization to improve performance and productivity, cooperation with foreign countries to improve the mastery of technology and improve marketing, and support the government through the state capital investment.]"
[, Program Pascasarjana Universitas Indonesia], 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maaike Ira Puspita
"Kebijakan naturalisasi pesepakbola asing dengan alasan kepentingan negara senantiasa digaungkan demi peningkatan prestasi jangka pendek. Namun nyatanya, peningkatan prestasi sepakbola Indonesia masih belum bisa memenuhi harapan. Karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mengeksplorasi dalam rangka menggali lebih jauh implementasi kebijakan naturalisasi dalam perspektif ketahanan nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus, dengan pengambilan data melalui observasi secara terstruktur, in-depth interview kepada 9 informan kunci dan penguatan dari data dokumen terkait informasi naturalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun peningkatan prestasi melalui jalur naturalisasi belum signifikan, namun berdampak besar pada ketahanan nasional karena berkontribusi terhadap pemain lokal melalui transfer of knowledge dan membangun rasa nasionalisme. Pembinaan usia dini menjadi masalah klasik yang terus terjadi sehingga Indonesia tetap stagnan berada di bawah negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, Malaysia dan Filipina. Penelitian ini juga menemukan bahwa untuk peningkatan prestasi jangka panjang, dibutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni, terlebih Indonesia akan menghadapi bonus demografi menuju generasi unggul dan Indonesia emas tahun 2045.

The naturalization policy for foreign footballers is often utilized to increase a short-term football achievement. However, in reality, Indonesia’s football achievement is still far from expectation. Therefore, this research is aimed at exploring in order to find out more on the implementation of naturalization policy in the perspective of national resilience. This research is using qualitative approach with study case methods, by using samples through a structured observation, in-depth interview on 9 key informants as well as gathering documented data on naturalization information. This research shows that although there is no significant increase in football achievement, it has proven to strengthen the national resilience due to the contribution of transfer of knowledge and the development of nationalism among players. Early childhood development is still a classic problem that restrain Indonesia to surpass the achievement of other ASEAN countiries such as Vietnam, Thailand, Malaysia and the Philippines. This research also finds that in order to increase sports achievement in the long term, Indonesia needs qualified human resources. Moreover, Indonesia will face a demographic bonus in building a high-competence generation towards the development of “Indonesia Emas” in 2045."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadel Muhammad
" ABSTRAK
Pada masa modern, pembangunan pangkalan militer di luar wilayah negaranya masih dilakukan oleh beberapa negara. Hal itu dilakukan sebagai bentuk perwujudan kerjasama pertahanan yang dilakukan antar negara ataupun organisasi internasional. Permasalahan yang kerap timbul ialah tentang penegakkan yurisdiksi kepada personel militer yang bertugas di pangkalan militer tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibentuklah perjanjian bilateral antara negara pihak yang salah satunya berfungsi untuk menentukan yurisdiksi yang berlaku terhadap suatu pelanggaran hukum. Namun demikian, tidak setaranya posisi negara saat pembentukan perjanjian tersebut mempengaruhi proses pemberlakuan yurisdiksi. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesepakatan internasional mengenai perjanjian bilateral yang harus mengatur yurisdiksi tersebut. Oleh karenanya, perlu dibentuk model perjanjian bilateral tentang status personel yang disepakati secara internasional untuk memastikan keadilan dan kesamarataan posisi antara negara-negara yang terlibat dalam pembangunan pangkalan militer asing di suatu negara.
ABSTRACT In the modern era, the establishment of foreign military bases outside the of its teritory is still practiced by some states. The establishment itself is seen as a form of the embodiment of mutual defense that is being done between states or international organizations. The intermittent issue related to it is about the enforcement of jurisdiction toward the on duty military personnels in military bases. In order to cope with the issue, bilateral agreement between states is formed to determine the applicable jurisdiction when violation of the law happens. However, the unequal position between the states when the agreement is formed affects the practices of the enforcement of jurisdiction. The issue arises since there is no international apperception about which party that is able to assign the jurisdiction. Thereupon, the condition shows that it is required to form an internationally accepted model of bilateral agreement about the status of forces to ensure the equity and equality position between states involving in establishment of foreign military bases in one state. "
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S63575
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyoman Asta Brata
"Penelitian ini berfokus pada implementasi kebijakan penolakan masuk orang asing yang terjadi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi Soekarno Hatta. Dalam penelitian ini akan menggambarkan implementasi kebijakan yang telah berjalan dan menemukan kendala-kendala yang menyebabkan implementasi belum berhasil dengan baik. Implementasi kebijakan ini kemudian dipandang dari aspek ketahanan nasional. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Metode yang digunakan adalah dengan pengamatan langsung di lapangan, wawancara dan studi kepustakaan. Teori yang digunakan untuk menganalisis adalah teori George C. Edward III yang menganalisis implementasi kebijakan berdasarkan aspek komunikasi, aspek sumber daya, aspek disposisi dan aspek struktur birokrasi. Teori yang dijadikan analisis perspektif ketahanan nasional yaitu aspek kesejahteraan dan aspek keamanan. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa : komunikasi dalam implementasi sudah berjalan cukup baik; sumber daya dalam implementasi masih belum berjalan baik masih ditemukan kendala atau kekurangan; disposisi dalam implementasi sudah berjalan cukup baik; dan struktur birokrasi dalam implementasi juga belum berhasil dengan baik. Hasil kesimpulan berikutnya bahwa aspek ketahanan nasional mempengaruhi setiap penolakan yang dilaksanakan.

This study focuses on the implementation of entry denied policy for foreigner that occurred at Immigration Checkpoint Soekarno Hatta Airport. In this study will describe the implementation of policies that have been run and find the constraints that lead to implementation have not been successful. Implementation of this policy is then seen from the aspect of national resilience. This study is a descriptive qualitative research design. The method used is by direct observation, interviews and literature study. The theory is used to analyze the theory of George C. Edward III who analyze policy implementation based on the communication aspects, resource aspects, aspects of the disposition, and aspects of the bureaucratic structure. The theory is used as analytical national resilience perspective are prosperity aspects and security aspects. From the results, it can be concluded that: communication in the implementation has been running enough well; resources in the implementation is still not running good still found problems or deficiencies; disposition of the implementation has been going enough well; and bureaucratic structures in the implementation has not worked well. The results of subsequent conclusion that aspect of national resilience affects every implemented refusal.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
"Kerjasama antara negara baik dalam lingkup bilateral, regional dan multilateral sangat dibutuhkan oleh suatu negara, dimana suatu negara tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya interaksi dengan negara lainnya baik dalam sektor ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri ASEAN (Asosiation South East Asia Nation) yang mayoritas ruang lingkupnya dibidang ekonomi, politik dan sosial budaya. Organisasi ASEAN tidak bergerak di bidang pertahanan keamanan apalagi di bidang pakta pertahanan, pertahanan keamanan merupakan isu yang sensitif karena menyangkut integritas dan kedaulatan suatu negara. Politik Indonesia yang bebas aktif bertujuan untuk menciptakan keamanan di dunia, maka kerjasama pertahanan Indonesia dengan negara lain dalam bentuk kerjasama bilateral yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Krisis moneter yang melanda Indonesia semenjak tahun 1997 sampai dengan tahun 2001 membuat Indonesia harus berjuang menggerakkan roda perekonomian bangsa yang berakibat langsung pada penghidupan masyarakat di segala strata atau tingkatan, implikasi dari krisis ekonomi ini merupakan pengaruh dari globalisasi dunia, dimana manajemen ekonomi makro Indonesia kurang begitu kokoh ditambah dan kurangnya pengawasan dari instansi yang berwenang sehingga banyak timbul KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ) yang melanda ditingkat lembaga instansi pemerintah dan non pemerintah. Beberapa kasus pelanggaran Bank yang dilakukan oleh para koruptor BLBI yang membawa uang Indonesia ke negara Singapura. Bertolak dari banyaknya para koruptor dan dana yang berasal dari Indonesia yang melarikan diri ke Singapura membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai inisiatif untuk mengembalikan dana dan menghukum para koruptor yang ada di negara Singapura. Indonesia selama ini belum mempunyai perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura maka kepentingan Indonesia di perjanjian ekstradisi sedangkan kepentingan negara Singapura di DCA (Defence Cooperation Agreement) dimana Singapura tidak mempunyai lahan latihan karena terbatasnya kondisi geografi Singapura, sehingga kerjasama pertahanan ini sangat diperlukan oleh SAF (Singapore Armed Forces) sekaligus untuk menguji alutsistanya yang jauh lebih mutakhir dan modern dari Indonesia. Perjanjian Pertahanan antara Indonesia dan Singapura telah ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Tampak Siring Bali namun setelah itu banyak menuai pro dan kontra terhadap perjanjian pertahanan antara Indonesia dan Singapura karena dalam perjanjian tersebut jangka waktunya 25 tahun, wilayah latihan yang meliputi Alpha1, Alpha 2 dan Bravo cukup luas serta keterlibatan pihak ketiga yang dilibatkan oleh Singapura. Penolakan perjanjian DCA ini dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, pengamat militer serta dari Komisi I DPRRI dengan alasan perjanjian ini merugikan Indonesia dengan beberapa alasan diantaranya terkoreksinya kedaulatan Indonesia, berpengaruh pada mata pencarian masyarakat Provinsi Kepulauan Riau serta kerusakan alam disekitar Kepulauan Anambas dan Natuna. Penolakan DCA sangat tepat karena tidak ada keuntungan yang begitu besar yang diperoleh Indonesia sedangkan kerugiannya cukup banyak seperti dijelaskan diatas, walaupun melalui perjanjian pertahanan ini bisa meningkatkan profesionalisme TNI dan alih tekhnologi. Diharapkan kerjasama pertahanan antara Indonesia dan Singapura tidak dalam kontek DCA tetapi kerjasama pertahanan antara masing-masing Angkatan Bersenjata yang selama ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1970-an yang daerah latihannya tidak luas serta peningkatan anggaran pertahanan secara bertahap dengan tujuan untuk menjaga seluruh kedaulatan Indonesia serta dengan ditolaknya perjanjian pertahanan RI-Singapura akan memperkuat Ketahanan Nasional Indonesia karena kedaulatan tetap terjaga tanpa di masuki oleh negara lain.

A country needs cooperation in bilateral, regional or multilateral because it is very difficult for one country to exist without interaction with other countries in economy, politics, socio-culter, security and defence matters. Indonesia as one of the founding members of ASEAN (Association of South Asia Nations) whose scope of cooperation involves economic, political, and socio-culter affairs realize this. ASEAN itself is not a defence pact as it is a sensitive issue for the integrity and sovereignty of member countries. Indonesia?s politics which is free and active aims at creating security in the world. This drives Indonesia to have defence cooperation with other countries in a mutually beneficial bilateral agreement. The 1997-2001 Monetary Crises forced Indonesia to drive its economy and brought direct impact to the livelihood of Indonesians in all walks of life. The crises it self was the effect of globalization. At that time Indonesian?s macro economy was not so strong and made worse due to lack of institusional control. As a result, corruption, collusion, nepotism (popularly abbreviated as KKN) widely happened in government and non-government institutions. One of the big cases was BLBI (Liquidity Assistance of Bank of Indonesia). In this case many corruptors brought the funds to Singapore. Recognizing the fact that many corruptors and theirs funds went to Singapore, President Susilo Bambang Yudhoyono decided to regain the funds and bring the corruptors in Singapore to Indonesian court. Indonesia did not have extradition agreement with Singapore before. The initiative will be possible if Indonesia and Singapore have signed an agreement. For Singapore, the agreement should be in the contex of DCA (Defence Cooperation Agreement) in which Singapore with its limited lands needs areas in Indonesia to test their more modern and sophisticated weaponries. The Defence Agreement was signed on 27 April 2007 in Tampak Siring, Bali with pro and contra about it. Those who disagree argue that the length of cooperation which is 25 years is too long. Besides that the practice zones, Alpha 1, Apha 2 , Bravo are large and enable Singapore to invite third parties in their exercises. Rejection comes not only from commission 1 of Indonesian Parliament but also from many elements of society, academicians and military observers. They argue that this agreement has affected Indonesian sovereignty and income of people in Riau islands, let alone the natural damage around Anambas and Natuna islands. This thesis supports the rejections and argues that Indonesia does not get much out of it compared to the loss as mentioned above although the agreement can improve Indonesian Armed Forces (TNI) professionalism and technology transfer. The agreement should be in the context of defence cooperation and not in the context of DCA. This has been done since 1970s with limited areas of combat practice. The dismissal of this agreement can be seen as a way to strength Indonesian national resilience as the sovereignty can be kept intact without the interference of another country while gradually increasing the defence budget to protect all Indonesian territory and sovereignty."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T29145
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Agus Apriana
"ABSTRAK
Pertahanan merupakan salah satu gatra dinamis dari konsep Ketahanan Nasional yang sangat strategis karena menyangkut keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa. Sistem pertahanan negara terdiri dari komponen utama, cadangan, dan pendukung. Komponen pendukung terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam/buatan, dan sarana prasarana nasional. SDM Aparatur Kemhan sebagai sumber daya manusia pertahanan memiliki peran yang penting karena menjadi pengawak institusi pemerintah yang mengurusi masalah pertahanan negara sehingga diperlukan pembinaan SDM yang baik. Pengawak Kemhan terdiri dari PNS dan prajurit TNI. Namun Kemhan yang notabene merupakan institusi sipil, pengembangan karier militernya lebih cemerlang dibandingkan personel sipil. Hal ini berdampak pada pola hubungan sipil militer di Kemhan. Penelitian ini berupaya menganalisis pembinaan karier sipil dan militer Kemhan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif seperti studi literatur dan wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber di Kemhan maupun narasumber ahli. Hasil penelitian menemukan bahwa dominasi militer terhadap sipil pada karier jabatan di Kemhan tidak mengganggu supremasi sipil karena kompetensi dan keahlian pertahanan lebih banyak dikuasai oleh militer. Selain itu, pembinaan kariernya masih bersifat status quo karena Kemhan pernah didominasi militer pada era Orde Baru dan pengaruhnya masih cukup kuat walaupun tidak sesignifikan dulu. Kemudian masih terdapatnya faktor kepentingan sehingga perlu peningkatan pembinaan karier aparatur Kemhan yang dilaksanakan berdasarkan sistem merit dengan barometer kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang adil dan wajar. Dengan demikian maka akan tercapai pola hubungan sipil militer yang wajar dan prinsip good governance yang akan menguatkan kualitas pemerintahan sebagai salah satu faktor kekuatan negara untuk memperkuat ketahanan nasional bangsa.

ABSTRACT
Defence is one of dinamic components of National Resilience concept and very strategic as related with existence and continuity of the nation. State defence consists of main, backup, and supporting components. Supporting one consist of human resource, natural resource, and national infrastructures. Defence Ministry Kemhan rsquo s human resource as defence human resource have crucial role as apparatus of government that handles state defence matters and therefore a good human resource management is needed. Kemhan rsquo s apparatus consist of civil servant PNS and military TNI . However, Kemhan as civil institution have brighter career development for personnel of TNI rather than PNS. This makes impact for the pattern of civil military relations at Kemhan. This research attempt to analysis carreer management of civil and military by descriptive qualitative method such as literature review and deep interview with numbers of Kemhan rsquo s managers and other related informen. The research rsquo s results show that military domination to civil on carreer position at Kemhan do not interrupt civil supremacy because competency and defence skill are still on military occupation. Besides that, carreer management is still on quo status because Kemhan was ever been dominated by military at New Era and the influence was still quite strong although not quitely significant. In addition, it is still factor of interest, hence the improvement of aparatus carreer development is needed to be increased which implemented based on merit system with barometers of qualification, competency, and performance that fair and normal. Therefore, the good civil military relations and the princip of good governance will be achieved and strengthen the government quality as one factor of state power that strengthening national resilience. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doni Wino Fajar Utomo
"Masyarakat kontemporer menghadapi dua trend baru yang berpotensi mengganggu ketahanan (resilience), yaitu munculnya agen ancaman baru (new threat agent) serta masyarakat mengalami lebih banyak krisis dan bencana dengan karakteristik lintas batas (Boin, 2016). Indonesia secara geopolitik sangat rentan terpapar dua trend yang mempunyai potensi tereskalasi menjadi kondisi krisis tersebut sehingga dapat mengganggu ketahanan nasional. Thesis ini bertujuan untuk mendapatkan model penanggulangan krisis berbasis crisis leadership (kepemimpinan krisis) guna memastikan ketahanan nasional. Metode yang dipergunakan dalam thesis ini adalah metode kualitatif secara naratif untuk mendefinisikan karakteristik krisis, fokus manajemen krisis, aspek kerentanan/kekuatan (vulnerability/strength) ketahanan nasional pada masa krisis khususnya dengan konteks negara Indonesia, maupun dimensi krisis. Penelitian kemudian dilanjutkan untuk mendefinisikan aktifitas stratejik kepemimpinan krisis dalam upaya penanggulangan kondisi krisis guna memastikan ketahanan nasional. Hasil akhir kajian adalah model manajemen krisis untuk memastikan ketahanan nasional dengan pemimpin sebagai faktor krusial dan stratejik dalam model tersebut. Pemimpin di masa krisis berdasarkan model tersebut mempunyai peran stratejik dalam upaya penanggulangan krisis dengan dituntut untuk melakukan serangkaian aktifitas stratejik agar manajemen krisis dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam memastikan ketahanan nasional.

Contemporary society faces two new trends that have the potential to disrupt resilience, namely the emergence of new threat agents, and people experiencing more crises and disasters with transboundary characteristics (Boin, 2016). Indonesia is geopolitically very vulnerable to being exposed to these two trends which have the potential to escalate into a crisis condition that can disrupts national resilience. This thesis aims to dvelop a crisis leadership-based crisis management model to ensure national resilience. The method used in this thesis is a narrative qualitative method to define the characteristics of the crisis, crisis management focus, vulnerability/strength aspects of national resilience during a crisis especially in the context of the Indonesian state, as well as the crisis dimension. The research was then continued to define crisis leadership strategic activities to overcome crisis conditions in order to ensure national resilience. The result of the study is a crisis management model to ensure national resilience with the leader as a crucial and strategic factor in the model. Leaders in times of crisis based on this model have a strategic role in crisis management efforts by being required to carry out a series of strategic activities so that crisis management can take place effectively and efficiently in ensuring national resilience."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kako, Angelius Wake
"Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan gerakan pemuda Papua, sebagai bagian dari proses sosial yang terjadi di masyarakat papua. gerakan pemuda Papua tersebut difokusikan pada gerakan dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan politik. dengan menggunakan perspektif konflik, peneliti menemukan bahwa gerakan pemuda Papua lahir sebagai reaksi dari relasi struktur dan kultur yang belum mampu membawa perubahan bagi masyarakat Papua. dalam melakukan gerakan, para pemuda membangun interaksi dan wacana serta negosiasi sebagai bagian dari proses sosial sehingga perubahan-perubahan pada tingkat individu, keluarga, komunitas, masyarakat dan kebijakan dapat terjadi di Papua. Berbagai perubahan tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya memperkuat ketahanan nasional Indonesia, namun tidak juga terlepas dari melemahnya ketahanan nasional Indonesia, karena adanya berbagai ragam perjuangan yang dilakukan oleh pemuda Papua dalam bidangnya masing-masing seperti pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan politik.

This research aims to describe the Papuan youth movement as a part of the social process happening to the Papuans. The Papuan youth movement focuses on education, economy, socio cultural and politics. From the perspective of conflict, the author of this research found that the Papuan youth movement was born as a reaction of structural and cultural structures which have not given any change to Papuan. In their movement, the youth have been trying to interact, discourse, and negotiate as the parts of social process so that the changes on individuals, families, communities, societies and policies may occur in Papua. Such changes are the integral part of the efforts to strengthen Indonesian national resilience, but they cannot be separated from the weakening of Indonesian national defense, for various kinds of struggles of Papuans in their respective fields such as education, economy, socio cultural, and politics.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>