Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173432 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Winarti
"ABSTRAK
Pemeriksaan IMLTD merupakan pengolahan darah untuk memastikan darah yang diberikan telah aman. Darah reaktif harus diperiksa ulang dengan menggunakan reagen yang sama dan in duplicate. Jika hasil RR maka darah harus dimusnahkan. Donor diberitahukan untuk tidak menyumbangkan darah dan melakukan uji diagnostik di RS. Sering terjadi perbedaan hasil antara uji saring UTD dengan uji diagnostik. Konfirmasi diperlukan pada kasus dimana terjadi perbedaan hasil. Western Blot (WB) adalah uji konfirmasi untuk mendeteksi antibodi terhadap virus. Saat ini juga terdapat metode immunokromatografi yang memiliki spesifisitas sama dengan WB. Tujuan penelitian mengetahui uji konfirmasi metoda imunokromatografi menjamin keamanan darah terhadap HIV. Desain penelitian deskriptif analitik dan uji diagnostik dengan 77 sampel yang memenuhi nilai inklusi. sampel berupa darah lengkap dengan volume tiga ml sebanyak 6 tabung. Hasil menunjukkan perbandingan WB dengan immunokromatografi didapatkan 5 sampel reaktif WB maupun immunokromatografi, 5 sampel non reaktif WB dan reaktif immunokromatografi. 67 sampel non reaktif WB maupun immunokromatografi. Kesimpulan terdapat perbedaan hasil reaktif dari metode ChLIA dengan hasil pemeriksaan diagnostik menggunakan RDT, WB dan imunokromatografi dan diferensiasi Ab HIV 1 dan 2 dan ketepatan konfirmasi Imunokromatografi memiliki kesesuaian hasil HIV 1 dengan WB.

ABSTRACT
IMLTD examination is a blood treatment to ensure that the blood given is safe. Reactive blood must be re-examined using the same reagent and in duplicate. If the RR results, the blood must be destroyed. Donors were told not to donate blood and carry out diagnostic tests at the hospital. There are often differences in the results between blood centers test and the diagnostic test. Confirmation is needed in cases where there are differences in results. Western Blot (WB) is a confirmation test for detecting antibodies to the virus. At present there are also immunochromatographic methods that have the same specificity as WB. The aim of the study was to determine the confirmation test of the immunochromatographic method to ensure blood safety against HIV Descriptive analytic research design and diagnostic test with 77 samples that meet the inclusion value. samples in the form of complete blood with a volume of three ml as many as 6 tubes. The results showed a comparison of immunocromatographic WB with 5 reactive WB samples as well as immunochromatography, 5 non-reactive WB samples and immunochromatographic reactive. 67 WB non-reactive samples and immunochromatography. Conclusion there are differences in the reactive results of the ChLIA method with the results of diagnostic examinations using RDT, WB and immunochromatography and differentiation of Ab HIV 1 and 2 and the accuracy of confirmatory immunochromatography that matches HIV 1 results with WB."
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanti Kisworini
"Latar Belakang : Infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan penyakit imunodefisiensi sekunder terbanyak dan masih merupakan masalah kesehatan penting di dunia. Terapi antiretroviral (ART) diharapkan dapat mengurangi angka kejadian baru dan angka kematian karena HIV/AIDS. Data untuk mengevaluasi keberhasilan ART, gambaran pola viral load (VL) sebagai respos ART serta faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan terapi belum ada di Indonesia.
Metode : Penelitian kohort retrospektif, memakai data rekam medis di Poliklinik Alergi-Imunologi Anak RSCM Jakarta sejak Juli 2003 sampai September 2022 pada anak sampai usia 18 tahun yang terdiagnosis HIV dan minimal mempunyai 3 hasil pemeriksaan VL.
Hasil : Terdapat 137 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Keberhasilan ART setelah 12 bulan terapi sebesar 50,36% dan setelah 24 bulan terapi sebesar 64,23%. Pola VL terbanyak sebagai respons ART adalah Pola VL tersupresi 48,2%, kemudian early viral failure sebesar 34,3%, persistent low level viremia sebesar 15,3%, 1,5% sebagai viral failure dan 0,7% sebagai viral blips. Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan terapi setelah 12 bulan terapi secara bermakna adalah status nutrisi baseline gizi baik dengan RR : 2,15 (IK 95% : 1,07-2,59) nilai p : 0,026. Setelah 24 bulan terapi adalah status nutrisi baseline gizi baik dengan RR 1,66 (IK 95% 1,09-1,86) dengan nilai p : 0,024.
Kesimpulan : Keberhasilan terapi ARV setelah 12 bulan 50,36% dan 64,23% dicapai setelah 24 bulan. Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan terapi secara bermakna pada 12 bulan dan pada 24 bulan adalah status nutrisi baseline gizi baik. Pelaksanaan pemeriksaan VL untuk diagnostik dan pemantauan terapi ARV memerlukan dukungan ketersediaan fasilitas diagnostik yang konsisten. Didapatkan 3 pola VL terbanyak adalah virus tersupresi, early viral failure dan persistent low level viremia.

Background : Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS is still main health problem in the world. The use of antiretroviral therapy (ART) is expected to reduce new cases, and mortality of HIV/AIDS. Data to evaluate the success of ART, description of Viral Load (VL) patterns in response to ART and factors that affected VL suppression doesn’t yet exist in Indonesia.
Methods: A retrospective cohort study, using medical record at the Pediatric Allergy-Immunology outpatient clinic RSCM Jakarta from July 2003 to September 2022 in children up to 18 years of age who were diagnosed with HIV and had at least 3 VL test results
Results: There were 137 children who met the criteria. The success of ART after 12 months was 50.36% and after 24 months was 64.23%. The highest VL pattern in response to ART was a suppressed VL pattern of 48.2%, then early viral failure of 34.3% and persistent low-level viremia of 15.3%, viral failure of 1.5% and 0.7% as viral blips. Factors that significantly affected the success of therapy after 12 months of therapy was good nutritional status RR 2.15 (95% CI : 1.1-4.2) p : 0.026. After 24 months of therapy was good nutritional status with RR 1.66 (95% CI : 1.07-2.59) p : 0.024.
Conclusion: The success of therapy after 12 months was 50.36% and 64.23% after 24 months. Factors that affected the success of therapy at 12 months and 24 months of therapy was good nutritional status. The VL examination as confirmation of the diagnostic and success of therapy required consistent diagnostic tools availability. It was found 3 most patterns of VL was virus suppression, early viral failure and persistent low level viremia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jeanne Elvia Christian
"ABSTRAK
Uji Western blot masih menjadi gold standard untuk konfirmasi diagnosis infeksi HIV yang memerlukan ketiga protein utama HIV, yaitu env, pol, dan gag. Kekurangan pada uji ini yaitu kemungkinan adanya kontaminasi dengan protein selular manusia serta pembuatannya yang relatif mahal. Selain itu, diversitas HIV-1 yang tinggi menyebabkan uji western blot menjadi kurang sensiftif. Penggunaan antigen rekombinan yang imunodominan dan lestari menjadi alternatif lain. Uji RIBA Recombinant Immunoblot Assay pada penelitian ini menggunakan antigen rekombinan dari keempat subtipe HIV-1 yang dominan di Indonesia, yaitu subtipe CRF01_AE, B, CRF02_AG, dan C. Antigen rekombinan Gag p24 , Pol IDR , Env gp41 IDR diekspresikan pada sistem ekspresi E.coli dan dipurifikasi menggunakan kromatografi Ni-NTA. Antigen rekombinan yang telah dimurnikan dilihat reaktivitasnya terhadap sampel serum pasien dengan HIV-AIDS sebanyak 50 sampel dan non HIV-AIDS 45 sampel. Sebanyak 21 sampel HIV-AIDS dan 3 sampel non HIV-AIDS dilakukan uji menggunakan kit Western blot MP Diagnostics HIV blot 2.2 sebagai perbandingan terhadap uji RIBA yang menggunakan metode Western blot. Hasil perbandingan memperlihatkan hasil uji RIBA memiliki reaktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan hasil uji kit MP Diagnostics HIV Blot 2.2 dengan persentase reaktivitas terhadap protein p24 95,2 20/21 , protein Pol 85,7 18/21 , dan protein gp41 100 21/21 . Pada uji RIBA, 5 sampel tidak menunjukkan reaktivitas terhadap antigen rekombinan Pol IDR dan 4 sampel tidak menunjukkan reaktivitas terhadap antigen rekombinan Gag p24 . Seluruh sampel menunjukkan reaktivitasnya terhadap antigen rekombinan Env gp41 IDR . Penelitian mengenai uji RIBA ini dapat dikembangkan untuk uji diagnostik HIV-1 dengan subtipe-subtipe HIV-1 yang banyak ditemukan di Indonesia.

ABSTRACT
ern blot test is still the gold standard to confirm the diagnosis of HIV 1 infection. This test requires three core of HIV proteins, i.e., env, pol, and gag. Nevertheless, this test has several disadvantages, mainly in possibility of contamination with human cellular proteins as well as production cost is relatively expensive. In addition, the high diversity of HIV 1 may causes Western blot test to be less sensitive. Another method that can be used to overcome these obstacles is the use of immunodominant region and conserved region of recombinant antigen in the assay, also known as RIBA Recombinant Immunoblot Assay . In this research, recombinant antigens were derived from the four subtypes of HIV 1 that are dominant in Indonesia, which are CRF01 AE subtype, B subtype, CRF02 AG subtype, and C subtype. The recombinant antigens comprises Gag p24 , Pol IDR , Env gp41 IDR . Each of antigens was expressed in E. coli expression system and purified using Ni NTA chromatography. Reactivity test of purified antigen was done against a group consist 50 serum samples with HIV AIDS and 45 serum samples without HIV AIDS. Twenty one samples with HIV AIDS and 3 samples without non HIV AIDS test were done using Western blot kit MP Diagnostics HIV blot 2.2 too as a comparison toward the RIBA test that using Western blot method. The results showed that RIBA test had better reactivity than kit test with reactivity percentage toward p24 95,2 20 21 , Pol 85,7 18 21 , and gp41 100 21 21 . RIBA test results performed 5 samples with negative reactivity toward recombinant antigens Pol IDR and 4 samples with negative reactivity toward recombinant Gag antigen p24 . All the samples had positive reactivity toward recombinan recombinant antigen Env gp41 IDR . As diagnostic kit, this RIBA test shows broad possibility for development in diagnosis HIV 1 infection especially with HIV 1 subtypes that circulate in Indonesia."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahajeng Dewantari
"Ketaatan minum obat dalam penanganan HIV/AIDS dengan pengobatan ARV merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Di Indonesia belum ada data yang menyebutkan angka pasti ketaatan minum obat ARV pada ODHA. Ketaatan minum obat ARV dipengaruhi oleh adanya faktorfaktor psikologis (stigma diri dan fungsi kognitif) dan non psikologis yang terdiri dari faktor demografi (umur, waktu tempuh tempat tinggal ke rumah sakit, akses berobat, tingkat pendidikan, pekerjaan, tinggal sendiri atau bersama orang lain, pembiayaan berobat, penggunaan NAPZA) dan faktor obat dan penyakit (kompleksitas regimen obat, adanya infeksi oportunistik, sumber transmisi HIV).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi ketaatan minum obat ARV pada ODHA yang berobat di UPT HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah 67,7%, stigma diri memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV, sedangkan faktor non psikologis yang diteliti dan fungsi kognitif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV.

Adherence to ARV is an important factor in determining the success of HIV/AIDS treatment. There has been no data about adherence to ARV in plwh in indonesia. Adherence to ARV is influenced by psychological factors (self-stigma and cognitive function) and non-psychological factors consisting of demographic (age, travel time between living place and hospital, access to treatment, level of education, occupation, living alone or with others, treatment payment, illicit drugs use), disease and treatment factor (treatment regimen complexity, opportunistic infections, source of HIV transmission).
The result of this study showed that prevalence of adherence to ARV in plwh coming to HIV integrated service unit Cipto Mangunkusumo hospital is 67,7%, that self-stigma had significant relation with adherence to ARV, while psychological factors and cognitive function had no significant relation with adherence to ARV.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Yuriandro
"ABSTRAK
Latar Belakang. Pengobatan dengan tenofovir pada pasien HIV/AIDS mempunyai risiko timbulnya efek samping pada ginjal berupa penurunan cepat laju filtrasi glomerulus LFG > 5 ml/menit/1,72 m2 setelah pengobatan selama setahun. Besarnya angka kejadian penurunan cepat LFG dan faktor yang mempengaruhinya selama ini masih kontradiktif dan belum dikaji secara lengkap.Tujuan. Mengetahui angka insidens nefrotoksiksitas terkait tenofovir dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Metode. Penelitian dengan desain kohort retrospektif dilakukan di unit pelayanan terpadu HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo pada pasien yang memulai pengobatan tenofovir sejak Januari 2010 sampai dengan Januari 2015 dengan metode sampling konsekutif. Kriteria inklusi yaitu berobat minimal setahun dan mempunyai LFG awal > 60 ml/menit/1,72m2. Kriteria eksklusi apabila tidak ada data LFG ulang setelah satu tahun pengobatan. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data sekunder melalui penelusuran rekam medis. Variabel-variabel yang berpotensi berhubungan dengan penurunan cepat LFG dianalisis dengan regresi logistik.Hasil. Sebanyak 164 subyek diikutkan dalam penelitian. Insidens penurunan cepat LFG didapatkan pada 87 subyek 53 IK 95 45 - 60,4 . Faktor-faktor yang berpengaruh adalah jenis kelamin laki-laki OR 4,0 IK 95 1,1 - 4,8 , jumlah CD4 dibawah 100 sel/mm3 OR 3,7 IK 95 1,7 ndash; 8,1 , Penambahan berat badan > 20 OR 4,0 IK 95 1,0 ndash; 4,8 dan nilai LFG sebelum pengobatan >90 ml/menit/1,72 m2 OR 9,8 IK 95 2,3 ndash; 42,1 .Simpulan. Insidens penurunan cepat LFG pada setelah pemakaian tenofovir selama setahun adalah 53 . Faktor risiko yang berpengaruh adalah jenis kelamin laki-laki, jumlah CD4 kurang dari 100 sel/mm3, penambahan berat badan > 20 dan LFG awal sebelum pengobatan > 90 ml/menit/1,72 m2.

ABSTRACT
Background. Tenofovir treatment in HIV AIDS patient has a possible side effect for kidney, which is rapid decline in glomerular filtration rate GFR 5 cc min 1,72 m2 after patient undergo tenofovir treatment for one year. The incidence rate for rapid decline in GFR and factors affecting it are still contradictive and not assessed completely.Aim. To identify cumulative incidence and factors affecting tenofovir related nephrotoxicity.Methods. A retrospective cohort study was conducted in HIV AIDS outpatient clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital. We include patients who start to take tenofovir as their medication from January 2010 until January 2015 with consecutive sampling method. Inclusion criterias are minimum one year of tenofovir treatment and baseline GFR 60 cc minute 1,72m2. Exclution criteria is no data for GFR evaluation after one year. Our study use secondary data, taken from patient rsquo s medical record. Logistic regression test was used for variabels that could potentially affect rapid decline in glomerular filtration rate.Results. 164 subjects were included for analysis and we found incidence rate for rapid decline in GFR after one year of tenofovir medication in 87 subjects 53 CI 95 45 60,4 . Factors those affecting rapid decline in GFR are male gender OR 4,0 CI 95 1,1 4,8 , CD4 cell count below 100 cell mm3 OR 3,7 CI 95 1,7 ndash 8,1 , weight increase 20 OR 4,0 IK 95 1,0 ndash 4,8 , and baseline GFR 90 cc min 1,72 m2 OR 9,8 CI 95 2,3 ndash 42,1 .Conclusion. The incidence rate for rapid decline in GFR aftre one year of tenofovir medication in HIV AIDS patients in Cipto Mangunkusumo hospital is 53 . Risk Factors that affecting nephrotoxicity are male gender, CD4 cell count below 100 cell mm3, weight increase 20 , and baseline GFR 90 cc min 1,72 m2. "
2016
T55601
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sunirah
"ABSTRAK
Seksio sesarea SC adalah pilihan persalinan yang dianjurkan kepada ibu hamildengan HIV, namun Sectio caesaria dapat menyebabkan banyak komplikasi yaituadanya pendarahan, infeksi, ruptur otot rahim, masalah dalam sistim urologi. Ibupasca bedah sesar dengan HIV mengalami permasalahan fisik dan psikologis. Halini perlu dilakukan asuhan keperawatan secara komprehensif denganmenggunakan pendekatan teori konsep dan model keperawatan. Teorikeperawatan Adaptasi Roy, menekankan pada optimalisasi kemampuan klienuntuk beradaptasi dengan perubahan status kesehatannya melalui pemberianasuhan keperawatan yang terstruktur yang digabungkan dengan Health BeliefModel untuk saling melengkapi, dimana model ini mengedepankan promosikesehatan yang sangat penting bagi klien pasca bedah sesar dengan HIV.Penerapan Adaptasi Roy dan Health belief Model dilakukan terhadap lima kasusini ditemukan diagnosa keperawatan diantaranya gangguan rasa nyaman, nyeriberhubungan dengan inkontinuitas jaringan, kecemasan berhubungan dengankhawatir adanya penularan HIV terhadap bayinya serta kesiapan peningkatanperan dan merawat bayinya. Hasil intervensi keperawatan yang dilakukanberdasarkan Adaptasi Roy dan Health Belief Model pada kelima kasusmenunjukkan bahwa gangguan rasa nyaman nyeri dapat teratasi, kecemasan klienberkurang dan adanya peningkatan peran.

ABSTRACT
Caesarean section SC is the preferred choice of labor for pregnant women withHIV, but Sectio Caesaria can cause many complications of bleeding, infection,uterine muscle rupture, problems in the urological system. Post caesarean motherswith HIV have physical and psychological problems. This requires comprehensivenursing care using theoretical approach and nursing model. Roy 39 s adaptationnursing theory emphasizes optimizing the client 39 s ability to adapt of changinghealth status through a structured nursing care awards combined with the HealthBelief Model to complement each other, where this model prioritizes healthpromotion which is important for post caesarean section clients with HIV. TheRoy 39 s adaptation and health beliefs The model was conducted on five cases inwhich result in nursing diagnoses of feeling discomfort, pain associated with incontinuitytissue, anxiety related to the presence of HIV transmission to the babyas well as the readiness to improve the role and care of the baby. The results of thenursing intervention based on the Roy rsquo s Adaptation and Health Belief Model onthese five cases result in that painful discomfort can be overcome, client anxietydiminishes and there is model increasing."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Endriyati
"Latar Belakang : Pelaut merupakan kelompok dengan mobilisasi tinggi yang sering berpindah-pindah dan jarang bertemu keluarga/pasangan. Hal ini dapat menyebabkan hasrat seksual yang merupakan sebuah kebutuhan tidak tersalurkan. Angka kejadian HIV pada pelaut sebenarnya masih rendah yaitu sebesar 0,7 dibandingkan dengan profesi lainnya, akan tetapi perilaku seksual berisiko HIV nya belum diketahui secara jelas, sehingga perlu dilakukan penelitian terkait hal tersebut, karena perilaku seksual berisiko HIV juga dapat memicu terjadinya meningkatnya kasus HIV di masa yang akan datang.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku seksual berisiko HIV pada pelaut pria yang berkunjung ke KKP Kelas I Tanjung Priok tahun 2018 dan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko HIV tersebut.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode penelitian kombinasi Mixed Methods yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif yang digunakan secara bersamaan dalam satu penelitian, dengan desain penelitian Cross Sectional. Penelitian kuantitatif menggunakan alat bantu kuesioner sedangkan penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara mendalam. Analisis data kuantitatif menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat dengan analisis regresi logistic multivariable untuk menganalisis hubungan antara variabel perilaku seksual berisiko HIV dengan variabel independent serta mengetahui variabel yang paling dominan terhadap variabel dependentnya.
Hasil : Perilaku seksual berisiko HIV mempunyai hubungan dengan tiga Variabel yaitu Variabel umur, kebiasaan menonton film porno dan pasangan seksual terakhir. Variabel yang paling dominan adalah Kebiasaan menonton film porno dengan OR = 3,095 yang berarti pelaut pria yang mempunyai kebiasaan menonton film porno memiliki peluang sebanyak 3 kali untuk melakukan perilaku seksual berisiko HIV dibandingkan dengan yang tidak mempunyai kebiasaan menonton film porno.
Kesimpulan : Dengan meningkatkan edukasi terkait kebiasaan menonton film porno dan dampaknya, kesehatan reproduksi serta pengetahuan komprehensif terkait HIV diharapkan dapat mengubah perilaku seksual berisiko HIV Pelaut Pria.

Objective: This study aimed to analyze Seaman's risky HIV sexual behavior who visited Port Health Center of Tanjung Priok in 2018 and factors related to risky HIV sexual behavior.
Method: This research uses Mixed Methods which is quantitative and qualitative method used simultaneously in one research, with Cross Sectional research design. Quantitative research using questionnaires tool while qualitative research using in depth interview method. Quantitative data analysis using univariate, bivariate and multivariate analysis with multivariable logistic regression analysis to analyze the correlation between HIV risk sexual behavior variable with independent variable and know the most dominant variable to the dependent variable.
Results: Risky HIV sexual behavior Variables had relation with 3 Variables such as ere age, watching porn movie habit and the last sex partner. The most dominant variable was watching porn movie habit with OR 3,095 which means married Seaman watching porn movie had a chance of 3 times to engage in risky HIV sexual behavior compared to Seaman did not Watch.
Conclusions: By improving education on watching porn movie habit and its impact, reproductive health and comprehensive knowledge of HIV are expected to change Seaman rsquo s sexual risk behavior.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50882
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anyeliria Sutanto
"Latar Belakang: Neuropati perifer merupakan salah satu komplikasi neurologis yang banyak ditemui pada pasien HIV. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi HIV tersebut ataupun sebagai akibat efek samping terapi antiretroviral, khususnya stavudin. Manifestasi klinis neuropati sangat beragam, salah satunya ialah adanya keluhan nyeri, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh neuropati perifer terhadap kualitas hidup pasien HIV dalam terapi antiretroviral non-stavudin.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi komparatif potong lintang yang melibatkan pasien HIV di RS Cipto Mangunkusumo pada bulan September 2016 hingga September 2017. Kriteria inklusi subjek ialah pasien HIV dewasa dalam terapi antiretroviral non-stavudin selama minimal 12 bulan yang akan dibagi menjadi dua kelompok, berdasarkan brief peripheral neuropathy screening tool BPNST , yaitu kelompok dengan neuropati perifer dan tanpa neuropati perifer. Penilaian depresi dengan Hamilton depression rating scale HDRS dan evaluasi kualitas hidup dengan short form-36 health survey SF-36 . Kuesioner SF-36 mencakup domain kesehatan fisik dan kesehatan mental dengan rentang skor 0-100. Skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik. Data dianalisis dengan SPSS 20.0.
Hasil: Didapatkan subjek sebanyak 29 orang pada kelompok neuropati perifer dan 58 orang pada kelompok tanpa neuropati perifer. Rentang usia subjek ialah 23-59 tahun dengan median kadar sel limfosit T CD4 yang lebih rendah 406 sel/mm3 vs. 540 sel/mm3 dan persentase riwayat terapi isoniazid yang lebih tinggi 62,1 vs. 37,9 pada kelompok neuropati perifer. Karakteristik demografis usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, status pernikahan dan karakteristik klinis jumlah sel limfosit CD4 terakhir tidak mempengaruhi kualitas hidup pada kedua kelompok, baik dengan maupun tanpa neuropati perifer. Tidak didapatkan perbedaan skor SF-36 yang bermakna pada kedua kelompok. Tampak median skor SF-36 yang lebih rendah pada subjek dengan nyeri neuropatik pada ekstremitas bawah skor kesehatan fisik 77,5 vs. 85,31 dan depresi skor kesehatan fisik 80 vs. 94,37 dan skor kesehatan mental 75 vs 89,68 untuk kelompok neuropati, skor kesehatan fisik 78,75 vs. 90,31 dan skor kesehatan mental 70,72 vs 88,75 untuk kelompok tanpa neuropati . Viral load RNA HIV berkorelasi negatif terhadap skor SF-36 pada kelompok dengan neuropati perifer skor kesehatan fisik, rs = -0,376 dan skor kesehatan mental, rs = -0,308.
Kesimpulan: Neuropati perifer tidak mempengaruhi kualitas hidup pasien HIV dalam terapi antiretroviral non-stavudin.Kata Kunci: antiretroviral non-stavudin, HIV, kualitas hidup, neuropati perifer.

Background Peripheral neuropathy is one of the most common neurologic complications in patients with HIV, which is caused by the HIV infection itself or as the side effect of antiretroviral therapy ART , particularly the usage of stavudine. Patients with neuropathy might complain various clinical manifestations, including pain, which could significantly affect patients quality of life. Aim of this study was to evaluate the role of peripheral neuropathy to quality of life of patients with HIV receiving non stavudine antiretroviral therapy.
Materials and Method This was a cross sectional internal comparison study which were done to HIV patients in Cipto Mangunkusumo Hospital during September 2016 to September 2017. Inclusion criteria were HIV adult patients with non stavudine antiretroviral therapy for minimum of 12 months which will be divided into two groups, based on brief peripheral neuropathy screening tool BPNST , as neuropathy group and non neuropathy group. Diagnosis of depression by Hamilton depression rating scale HDRS , and evaluation of quality of life was based on 36 item short form survey SF 36 . The SF 36 assessed physical health PH and mental health MH domain with score ranged from 0 to 100, in which higher score represents better quality of life. Data was analyzed using SPSS 20.0.
Results There were 29 subjects with peripheral neuropathy and 58 subjects without peripheral neuropathy. Age of the subjects was ranging from 23 to 59 years old, with lower median of CD4 lymphocyte count 406 cells mm3 vs. 540 cells mm3 and higher percentages of isoniazid therapy 62.1 vs. 37.9 in neuropathy group. Demographic characteristics age, sex, education level, employment, marital status and clinical characteristic CD4 lymphocyte count was not affecting the quality of life, both in neuropathy group and non neuropathy group. No significant difference was found from SF 36 score in both groups. There were lower SF 36 score median in subjects with neuropathic pain in lower extremities PH score 77.5 vs. 85.31 and depression PH score 80 vs. 94.37 and MH score 75 vs 89.68 in neuropathy group, PH score 78.75 vs. 90.31 and MH score 70.72 vs 88.75 in non neuropathy group. Viral load was negatively correlated with SF 36 score in subjects with peripheral neuropathy PH score, rs 0,376 and MH score, rs 0,308.
Conclusion Peripheral neuropathy did not affect the quality of life of HIV patients receiving non stavudin antiretroviral therapy."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jilia Roza
"HIV merupakan penyebab penyakit infeksi yang akan diderita seumur hidup. Tidak semua orang yang terinfeksi HIV memiliki jangka waktu yang sama dalam menunjukkan gejala klinisnya, sehingga transmisi masih dapat terjadi selama penderita dalam periode asimptomatik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan status HIV klien VCT (Voluntary Counselling and Testing) di RSUD Mandau Kabupaten Bengkalis Tahun 2012. Penelitian ini merupakan analisis lanjut dari data rekam medis klinik VCT HIV pada 897 orang klien VCT HIV di RSUD Mandau. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi form VCT menggunakan lembar daftar tilik. Hasil penelitian ini mendapatkan 4,2% klien VCT yang terinfeksi HIV dan pekerjaan berhubungan dengan status HIV, dimana klien yang pekerjaannya terkait dengan faktor risiko hampir 16 kali untuk terinfeksi HIV dibandingkan klien yang pekerjaannya tidak terkait dengan faktor risiko. Perlunya perhatian, pencegahan serta penanggulangan dari seluruh pihak baik pemerintahan, tenaga kesehatan maupun masyarakat.

HIV is a cause of disease infection that will be suffered a lifetime. Not all people with HIV have the the same timeframe in the showing symptoms clinicayl, so that the transmission may still occur during the patients in the period of asymptomatic. This research was aimed to determine the factors associated with HIV status VCT clients (Voluntary Counseling and Testing) at RSUD Mandau Bengkalis In 2012. This study is a further analysis of the medical records of HIV VCT clinic at 897 people with HIV VCT clients in RSUD Mandau. The data was collected through observation VCT form using the checklist sheet. Results of this study get 4.2% of VCT clients infected with HIV and work related with HIV status, where clients who work associated with risk factors nearly 16 times for HIV infection than clients who work not associated with risk factors. Need more concern, prevention and suppression of all parties, including government, health workers, and society."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S46421
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarine Aru Ariadno
"Latar Belakang: Epidemi HIV/AIDS masih menjadi salah satu sorotan di
masalah kesehatan di dunia, khususnya Indonesia menduduki peringkat
5 sebagai negara paling berisiko HIV/AIDS di benua Asia. Level tinggi
Replikasi virus HIV secara terus menerus akan menurunkan jumlah limfosit T CD4 dalam tubuh, hingga suatu saat sistem kekebalan tubuh akan menurun drastis yang memudahkan terjadinya gejala infeksi oportunistik hingga berakhir dengan kematian. Memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan gigi primer yang diperoleh melalui pengenalan Manifestasi oral tertentu menjadi tolak ukur dalam menegakkan diagnosis dini infeksi HIV yang nantinya akan menunjang kualitas hidup ODHA. Penguasaan pengetahuan serta sikap komprehensif yang dibutuhkan oleh dokter gigi dalam memberikan perawatan pada ODHA. Tujuan: Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan siswa klinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKGUI) tentang HIV/AIDS. Metode: Penelitian statistik deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dengan mengambil data primer secara langsung pada keseluruhan responden siswa klinik FKGUI. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang menilai tiga komponen HIV/AIDS, meliputi tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan perawatan gigi. Hasil Penelitian: Dari total 275 responden, mayoritas dalam populasi penelitian (84,4%)
adalah perempuan. Tingkat pengetahuan mahasiswa klinik FKGUI cukup baik (70,2% responden) dengan kecenderungan meningkat seiring bertambahnya usia serta meningkatkan tingkat studi di klinik dilihat dari angkatan masuk. Dari total tujuh indikator pada komponen pengetahuan, hanya indikator penularan dan cara penularan HIV/AIDS menunjukkan tingkat pengetahuan yang rendah, dengan jumlah lebih dari setengah dari responden. Berbeda dengan tingkat pengetahuan, sikap mahasiswa klinis FKGUI tentang HIV/AIDS cukup memadai dengan persentase 84% responden total ke dalam kategori sikap netral. Kemudian, sikap negatif hanya dimiliki oleh responden wanita dengan rentang usia 21-23 tahun yang memasuki tahun 2017- 2018. Tindakan responden terhadap HIV/AIDS tergolong positif (91,6%) dan tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan, baik berdasarkan jenis kelamin, usia dan generasi dalam variabel tindakan. Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun tingkat pengetahuan dan tindakan responden tentang HIV/AIDS baik, sikap responden masih tergolong netral terhadap ODHA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>