Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159255 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farih Bidada
"Pada zaman modern seni dianggap otonom karena munculnya sebuah gerakan seni untuk seni sehingga melahirkan ideologi seni tinggi dan seni kelas tinggi. Hal ini menimbulkan adanya hierarki dalam seni. Memasuki zaman kontemporer seni yang hierarkis bukan lagi persoalan seni untuk seni melainkan seni elit yang dikuasai oleh masyarakat kapitalis dan kelompok masyarakat tertentu. Seniman jalanan asal Inggris yang dikenal dengan nama Banksy, mengkritik fenomena ini dengan menciptakan karya seni dan aksi yang dinilai sebagai perlawanan terhadap kapitalisasi seni. Di dalam artikel ilmiah ini, penulis akan menganalisis fenomena Banksy dan aksinya dalam melawan kapitalisasi seni berdasarkan teori estetika politik Jacques Ranciere yang membahas seni sebagai persoalan politik. Seni yang pada masa pencerahan hingga modern dianggap otonom hingga menimbulkan hierarki pada seni, oleh pemikir-pemikir postmodern direposisi ke dalam heteronomi seni yang terdapat ideologi dan latar belakang sosial di dalamnya. Otonomi hanya ada pada pengalaman seniman, namun ketika pengalaman tersebut dituangkan ke dalam sebuah karya maka seni menjadi heteronom. Pembahasan mengenai karya seni Banksy dan kaitannya terhadap teori otonomi dan heteronomi seni Ranciere akan dibahas dengan refleksi kritis di dalam karya ilmiah ini.

In modern era, art was considered as autonomous label because there was an art for art movement which gave a rise of ideology that make high of art. It makes hierarchy in art itself. Goes in contemporary era, hierarchical art is no longer a matter of art for art, but rised an elite art which dominated by capitalist society and certain groups of society. Inggriss street artist who known as Banksy, have criticized this phenomenon by create an artwork and actions that are considered as a resistance to the capitalization of art. In this scientific article, the author will analyze Banksys phenomenon and its action against the capitalization of art based on Jacques Rancieres aesthetic of politic theory which discusess an art as a political issue. Art which in enlightenment to modern era was considered as autonomous that rise hierarchy in art, by postmodern philosophers was repositioned into heteronomy art which contained ideology and social background in it. Autonomy only exists in the experience of artist, but when the experience is poured into work of art, it becomes heteronomous. The discussion of Banksys artwork and its relation to Rancieres autonomy and heteronomy of art theory, will be discussed with critical reflection in this scientific article."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nyoman Yudiarta Swadanta Eman
"Jurnal ini membahas tentang introspeksi diri sebagai upaya perlawanan terhadap Jepang yang tersirat dalam tiga puisi karya Yun Dong Ju yaitu 자화상 (jahwasang , Potret Diri), 참회록 (chamhoerok, Pengakuan), dan 소시 (sosi, Prolog). Seperti kita ketahui, Korea merupakan negara yang pernah mengalami penjajahan Jepang dan sastra di zaman tersebut merupakan salah satu sarana untuk memahami lebih dalam mengenai situasi dan kondisi Korea dalam penjajahan Jepang.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui imaji dan simbol apa yang digunakan dalam tiga puisi karya Yun Dong Ju dan bentuk perlawanan Jepang seperti apa yang tersirat dalam karya tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik puisi.
Hasil dari penelitian ini adalah ketiga puisi karya Yun Dong Ju menekankan pada penggunaan imaji pengelihatan dan perasaan dengan fokus dari imaji pengelihatan adalah kepada diri sendiri. Selain itu, dengan analisis simbol dapat diketahui bahwa Yun Dong Ju menekankan pada introspeksi dan menjaga kesucian diri dengan tidak melupakan identitas dan harga diri sebagai rakyat Korea sebagai bentuk perlawanan terhadap Jepang.

This journal is about self introspection as a form of resistance against Japan that knotted in three Yun Dong Ju`s poems entitled 자화상 (jahwasang, Self Potrait), 참회록 (chamhoerok, Confession), and 소시 (sosi, Prologue). As we know, Korea is one of the nation that had ruled under Japan Colonialization and literature in that era is a good tools to understand more deeply about situation in Korea at that period.
This research aimed to know image and symbol that used ini three Yun Dong Ju?s poems and what kind of resistance that knotted in these poems. This research applied a qualitative method.
The result of this study are three Yun Dong Ju?s poems emphasize the usage of view and feeling image with the main focus in the view image is the main character itself. Beside that, with symbol analysis knowed that Yun Dong Ju emphasized about self introspection and purity as a people of a nation as a form of resistance against Japan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Thania Melati Putri
"Gagasan seni zaman modern erat kaitannya dengan kondisi sosial kala itu yang memperuntukkan seni untuk golongan tertentu, sehingga membawa status seni pada dikotomi seni tinggi dan rendah. Adanya hierarki dalam seni ini kemudian membagi antara mana seni dan bukan seni, antara seni dan kehidupan, serta memisahkan antara seni dan terapi secara implisit. Gagasan modern mengenai seni acapkali selalu dikaitkan dengan nilai-nilai artistik serta kualitas keindahan dalam karya seni-nya. Di lain hal, muncul fenomena terapi seni yang lahir dan berakar pada ranah psikologi. Prosesnya menggunakan medium seni sebagai alat terapeutik tanpa mempertimbangkan nilai keindahan dalam proses berkarya-nya. Hal ini bertentangan dengan definisi seni yang lahir sejak zaman modern dan tidak benar-benar runtuh sampai saat ini. Dalam artikel ilmiah ini, melalui metode analisis kritis, penulis akan menganalisis fenomena terapi seni berdasarkan proses berkarya pasien dengan teori ekspresi emosi oleh Collingwood dan komunikasi emosi oleh Tolstoy, sehingga suatu karya dalam proses terapi seni dapat diakui sebagai karya seni, yang kemudian pun diakui pula menjadi karya seni yang layak. Dengan bertumpu pada ekspresi dan komunikasi emosi ini maka kemudian nilai keindahan dalam karya seni terapi bukanlah terdapat pada kualitas artistik karya seni tersebut, melainkan pada proses ekspresi dan komunikasi emosi serta makna internal yang terkandung pada karya seni-nya.

The idea of modern-day art is closely related to the social conditions of the time which destined art for certain groups, thus bringing the status of art to the dichotomy of high and low art. The existence of a hierarchy in art then divides between art and not art, between art and life, and separates art and therapy implicitly. Modern ideas about art are often associated with artistic values and the quality of beauty in their art. On the other hand, there is a phenomenon of art therapy that was born and has its roots in the realm of psychology. The process uses the medium of art as a therapeutic tool without considering the value of beauty in the process of his work. This is contrary to the definition of art that was born since modern times and did not really collapse until now. In this scientific article, through the method of critical analysis, the author will analyze the phenomenon of art therapy based on the patient's work process with the theory of emotional expression by Collingwood and emotional communication by Tolstoy, so that a work in the art therapy process can be recognized as a work of art, which is then also recognized into a proper art. By relying on emotional expression and communication, then the value of beauty in therapeutic artwork is not found in the artistic quality of the artwork, but in the process of expression and communication of emotions and internal meanings contained in the artwork."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thania Melati Putri
"Gagasan seni zaman modern erat kaitannya dengan kondisi sosial kala itu yang memperuntukkan seni untuk golongan tertentu, sehingga membawa status seni pada dikotomi seni tinggi dan rendah. Adanya hierarki dalam seni ini kemudian membagi antara mana seni dan bukan seni, antara seni dan kehidupan, serta memisahkan antara seni dan terapi secara implisit. Gagasan modern mengenai seni acapkali selalu dikaitkan dengan nilai-nilai artistik serta kualitas keindahan dalam karya seni-nya. Di lain hal, muncul fenomena terapi seni yang lahir dan berakar pada ranah psikologi. Prosesnya menggunakan medium seni sebagai alat terapeutik tanpa mempertimbangkan nilai keindahan dalam proses berkarya-nya. Hal ini bertentangan dengan definisi seni yang lahir sejak zaman modern dan tidak benar-benar runtuh sampai saat ini. Dalam artikel ilmiah ini, melalui metode analisis kritis, penulis akan menganalisis fenomena terapi seni berdasarkan proses berkarya pasien dengan teori ekspresi emosi oleh Collingwood dan komunikasi emosi oleh Tolstoy, sehingga suatu karya dalam proses terapi seni dapat diakui sebagai karya seni, yang kemudianpun diakui pula menjadi karya seni yang layak. Dengan bertumpu pada ekspresi dan komunikasi emosi ini maka kemudian nilai keindahan dalam karya seni terapi bukanlah terdapat pada kualitas artistik karya seni tersebut, melainkan pada proses ekspresi dan komunikasi emosi serta makna internal yang terkandung pada karya seni-nya.

The idea of modern-day art is closely related to the social conditions of the time which destined art for certain groups, thus bringing the status of art to the dichotomy of high and low art. The existence of a hierarchy in art then divides between art and not art, between art and life, and separates art and therapy implicitly. Modern ideas about art are often associated with artistic values and the quality of beauty in their art. On the other hand, there is a phenomenon of art therapy that was born and has its roots in the realm of psychology. The process uses the medium of art as a therapeutic tool without considering the value of beauty in the process of his work. This is contrary to the definition of art that was born since modern times and did not really collapse until now. In this scientific article, through the method of critical analysis, the author will analyze the phenomenon of art therapy based on the patient's work process with the theory of emotional expression by Collingwood and emotional communication by Tolstoy, so that a work in the art therapy process can be recognized as a work of art, which is then also recognized into a proper art. By relying on emotional expression and communication, then the value of beauty in therapeutic artwork is not found in the artistic quality of the artwork, but in the process of expression and communication of emotions and internal meanings contained in the artwork."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
RR. Mega Trianasari
"

 

Peristiwa Desember Hitam adalah  penandatanganan pernyataan protes oleh 14 seniman dan pemberian karangan bunga dukacita pada Dewan Kesenian Jakarta sebagai penyeenggara Pameran Besar Seni Lukis 1974, di Taman Ismail Marzuki pada 31 Desember 1974. Keempetbelas seniman tersebut adalah Muryotohartoyo, Juzwar, Bonyong Muni Ardi, M. Sulebar, Ris Purwana, Daryono, D.A Peransi, Baharudin Marasutan, Adri Darmadji, Harsono, Hardi, Ikranegara, Siti Adiati, dan Abdul Hadi WM. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sebab dan dampak peristiwa Desember Hitam. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat langkah yaitu (1) Heuristik; (2) verifikasi; (3) interpretasi; dan (4) historiografi  dengan menggunakan pendekatan relasi kuasa. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa peristiwa ini disebabkan oleh hasil penjurian Lukisan yang Baik  dalam Pameran Besar Seni LukisIndonesia 1974  yang memilih hasil karya yang beraliran abstrak-dekoratif. Saat itu seni rupa yang beraliran abstrak dekoratif dianggap sebagai seni rupa yang cocok dengan kepribadian nasional. Menurut 14 seniman yang menandatangani Pernyataan Desember Hitam, pemilihan karya-karya yang becorak abstrak dekoratif merupakan suatu tindakan yang melawan kodrat seniman yang memiliki keragaman dalam aliran dan bentuk-bentuk karya. Peristiwa ini berdampak pada lima mahasiswa STSRI “ASRI” yang ikut menandatangani pernyataan Desember Hitam, mereka adalah Hardi, Bonyong Muni Ardhi, Harsono, Siti Adiyati dan Ris Purwana. Kelima mahasiswa tersebut menerima skorsing dan pemecatan dari pimpinan STR “ASRI”I. Lima mahasiswa STSRI “ASRI” tersebut dinilai mencemarkan nama baik institusi STSRI “ASRI” dengan ikut menandatangani pernyataan Desember Hitam yang dinilai memiliki muatan politis dan tidak sejalan dengan kebudayaan nasional. Kemudian, lima mahasiswa STSRI “ASRI” tersebut menggabungkan diri dengan seniman-seniman muda dari Bandung dan Jakarta untuk membentuk Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang bertujuan untuk mendobrak batasan-batasan dalam seni rupa di Indonesia yang terdiri dari seni lukis, patung dan grafis.

 

 

 

 

 


 

Black December is protest statement signed by 14 artists and giving condolences flower bouquet to Jakarta Art Council as the organizer of Indonesia Great Painting Exhibition 1974, at Taman Ismail Marzuki in 31st December 1974. Those 14 artists are Muryotohartoyo, Juzwar, Bonyong Muni Ardi, M. Sulebar, Ris Purwana, Daryono, D.A Peransi, Baharudin Marasutan, Adri Darmadji, Harsono, Hardi, Ikranegara, Siti Adiati, dan Abdul Hadi WM. This research purpose is to analyze the cause and effect of Black December 1974 event. The methods which used in this research is history methods. Consist of four steps. They are: (1) Heuristic; (2) verification; (3) interpretation; dan (4) historiography with power relation approach.  The research result show that this event caused by the Good Painting judging result in Indonesia Great Painting Exhibition 1974, which choose abstract decorative art works. In that time, abstract decorative artwork is considered fit with national character. According to 14 artists who sign December Hitam statement, choosing only abstract decorative artworks was an act which contradict to artist nature who has variety in style and art form, this event is also have an effect to   STSRI “ASRI” student who sign the Black December Statement, they are Hardi, Bonyong Muni Ardhi, Harsono, Siti Adiyati dan Ris Purwana. Those five students accept suspension decision from STSRI ASRI’s Chief. They perceived to give bad name for STSRI “ASR” by signing the Black December Petition, because it has political value and it doesn’t conform to national culture. Afterward, those five expelled students joined themselves with young artist from Bandung and Jakarta, making Indonesian New Art Movement which has purpose to breaking the barrier of Indonesian fine arts, which consist of painting, sculpture and graphic.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T51820
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Norris, Christopher
Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006
100 NOR m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ariana Ratnasari
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang fenomena soushoku danshi sebagai representasi perlawanan terhadap konsep maskulinitas hegemonik di Jepang. Dalam penelitian ini penulis mengkaji fenomena soushoku danshi dari sudut pandang posfeminisme, khususnya melalui teori gender performativity Judith Butler. Masalah yang dibahas yaitu bentuk perlawanan soushoku danshi terhadap konsep maskulinitas hegemonik di Jepang. Tujuan penelitian ini untuk mewujudkan wacana yang berimbang mengenai fenomena soushoku danshi dan mengidentifikasi perlawanan soushoku danshi terhadap konsep maskulinitas hegemonik di Jepang. Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode deskriptif-analitis dengan teknik pengambilan data studi kepustakaan. Melalui teori gender performativity Judith Butler dapat disimpulkan bahwa fenomena soushoku danshi merupakan representasi perlawanan terhadap konsep maskulinitas di Jepang.

ABSTRACT
This thesis discusses soushoku danshi phenomenon in Japan as resistance against hegemonic masculinity concept in Japan. This thesis examines soushoku danshi phenomenon from post feminism point of view, specifically through Judith Butler 39 s regarding gender performativity. Issue that explained is the soushoku danshi 39 s resistance forms against hegemonic masculinity concept in Japan. The purpose of this research is to make a balanced discourse regarding soushoku danshi and identifies soushoku danshi 39 s resistance forms. The method used in this research is analytic descriptive along with literature review. Through gender performativity theory, it can be concluded that soushoku danshi phenomenon is representation of resistance against hegemonic masculinity concept in Japan. "
2017
S68728
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thiroux, Jacques P.
New York: MacMillan Publishing Company, 1985
100 THI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Thiroux, Jacques P.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1995
170 THI e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London : Westview Press, 1985
330.994 FRE
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>