Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184750 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zakiah Rahmayanti
"Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah hepatitis B. Penelitian mengenai efektivitas-biaya antihepatitis di beberapa negara seperti Kanada dan China masih beragam. Penelitian di Kanada menunjukkan bahwa tenofovir lebih cost-effective dibandingkan dengan telbivudin sedangkan yang dilakukan di China justru menunjukkan bahwa telbivudin lebih cost-effectivive dibandingkan dengan tenofovir, sehingga dibutuhkan suatu studi untuk menghubungkan efektivitas dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan hepatitis B. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas-biaya dari tenofovirǀ dibandingkanǀ denganǀ telbivudinǀ padaǀ pasienǀ Hepatitisǀ Bǀǀdi RSUP Persahabatan. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan pengumpulan data rekam medis dan biaya yang digunakan dilihat dari perspektif rumah sakit dengan komponen biaya langsung medis. Subjek penelitian adalah pasien hepatitis B yang berumur 15 tahun ke atas di RSUP Persahabatan yang menggunakan antihepatitis tenofovir atau telbivudin. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh rasio inkremental efektivitas-biaya sebesar Rp 11.307.640,45. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa di RSUP Persahabatan antihepatitis tenofovir akan membutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 11.307.640,45 untuk peningkatan 1 unit efektivitas.

The type of hepatitis that infects more people in Indonesia is hepatitis B. Research on the cost-effectiveness of antihepatitis in several countries such as Canada and China still diverse. Research in Canada showed that tenofovir was more cost-effective compared to telbivudin whereas in China showed that telbivudin was more cost-effective compared to tenofovir, so a study is needed to link the the costs during treatment. This study aimed to analyze cost-effectiveness of tenofovir compared with telbivudine on Hepatitis B Patients at RSUP Persahabatan. This study used a cross-sectional design with medical record and the costs used were viewed from a hospital perspective with the components of direct medical costs. The research subjects were hepatitis B patients who aged 15 years and above at RSUP Persahabatan that used tenofovir or telbivudine. The effectiveness obtained by Hepatitis B Virus DNA (HBV DNA) conversion in the medical record. Based on the result of analysis, the incremental cost-effectiveness ration was Rp11.307,640.45. Based on the results of this study, it can be concluded that at RSUP Persahabatan for tenofovir required an additional fee of Rp11.307,640.45 for increase 1 unit of effectiveness."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rino Alvani Gani
"ABSTRAK
Tenofovir disoproksil fumarat (tenofovir) dan telbivudin merupakan dua analog nukleos(t)ida yang tersedia untuk terapi pasien hepatitis B. Tenofovir telah diketahui sebagai agen nefrotoksik pada pasien HIV, namun masih menjadi kontroversi pada pasien hepatitis B kronik. Di lain sisi, telbivudin memiliki efek proteksi terhadap fungsi ginjal dan bahkan meningkatkan estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil keamanan terhadap fungsi ginjal dari tenofovir dan telbivudin pada pasien hepatitis B kronik di Indonesia.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif pada pasien hepatitis B kronik yang mendapat terapi tenofovir atau telbivudin dalam rentang waktu Januari 2013 - Desember 2016. Pasien yang mempunyai eLFG awal <60 mL/ menit/1,73 m2 sebelum mulai terapi, mengalami perubahan regimen, lost to follow up, atau meninggal dalam 1 tahun tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Data kreatinin serum yang dinilai adalah data pada minggu ke 24 dan 48 setelah pemberian tenofovir atau telbivudin.
Hasil. Sebanyak 68 pasien dalam terapi tenofovir dan 62 pasien dalam terapi telbivudin dimasukkan penelitian ini. Kadar kreatinin serum meningkat pada kelompok tenofovir dari 0,88 (simpang baku [SB] 0,17) mg/dL pada awal studi menjadi 0,93 (SB 0,22) mg/dL setelah 24 minggu (p = 0,02) dan cenderung plateau setelah penggunaan selama 48 minggu. Namun, pada kelompok telbivudin, kadar kreatinin serum menurun dari 0,85 (SB 0,21) mg/dL pada awal menjadi 0,80 (SB 0,18) mg/ dL pada minggu ke 48 (p = 0,003).
Simpulan. Tenofovir berhubungan dengan peningkatan kadar kreatinin serum dan penurunan eLFG pada pasien hepatitis B kronik dengan eLFG >60 mL/menit/1,73 m2."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Firza Savira Fauzi
"Eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan bagian terbesar dari total beban PPOK dalam sistem perawatan kesehatan. Meskipun algoritma terapi merekomendasikan monoterapi sebagai pilihan pertama, terapi kombinasi lebih sering diresepkan pada pasien dengan eksaserbasi PPOK akut di Rumah Sakit Persahabatan pada tahun 2018. Oleh karena itu, analisis efektivitas biaya perlu dilakukan sebagai pertimbangan untuk pemilihan masa depan. terapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas biaya menggunakan terapi kombinasi ipratropium-salbutamol dibandingkan dengan salbutamol pada pasien dengan eksaserbasi akut pasien rawat inap PPOK di Rumah Sakit Persahabatan. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional deskriptif retrospektif dengan data sekunder dalam bentuk rekam medis pasien. Subjek penelitian adalah eksaserbasi akut pada pasien PPOK yang menerima terapi kombinasi dengan ipratropium-salbutamol atau salbutamol di Rumah Sakit Persahabatan pada tahun 2018. Karakteristik pasien dianalisis dengan metode statistik deskriptif menggunakan IBM SPSS v25.0. Efektivitas ditentukan berdasarkan peningkatan aliran ekspirasi puncak pasien ≥10% dan biaya yang digunakan dilihat dari perspektif rumah sakit dengan komponen biaya medis langsung. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemilihan terapi kombinasi ipratropium-salbutamol akan membutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 1.090.362,87 untuk meningkatkan 1 unit efektivitas.

Acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) constitutes the largest part of the total burden of COPD in the health care system. Although the therapeutic algorithm recommends monotherapy as the first choice, combination therapy is more often prescribed in patients with acute exacerbation of COPD at Friendship Hospital in 2018. Therefore, a cost-effectiveness analysis needs to be carried out as a consideration for the selection of future therapies. The purpose of this study was to analyze the cost-effectiveness of using ipratropium-salbutamol combination therapy compared with salbutamol in patients with acute exacerbation of COPD inpatients at the Friendship Hospital. This study used a retrospective descriptive cross-sectional design with secondary data in the form of a patient's medical record. Subjects were acute exacerbation of COPD inpatients who received combination therapy with ipratropium-salbutamol or salbutamol at Friendship Hospital in 2018. Patient characteristics were analyzed by descriptive statistical methods using IBM SPSS v25.0. Effectiveness is determined based on an increase in the patient's peak expiratory flow ≥10% and the cost used is seen from a hospital perspective with a direct medical cost component. Based on the research, it can be concluded that the selection of ipratropium-salbutamol combination therapy will require an additional cost of Rp 1,090,362.87 to increase 1 unit of effectiveness.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Kematian akibat PPOK ini menyumbang 6% dari semua kematian secara global. Data prevalensi spesifik untuk PPOK di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 yaitu 3,7 per seribu orang. Penelitian terdahulu di Indonesia menyatakan bahwa terapi salmeterol-flutikason lebih efektif-biaya apabila dibandingkan dengan terapi formoterol-budesonid. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas-biaya yang lebih baik antara terapi terapi salmeterol-flutikason dan terapi formoterol-budesonid pada pasien PPOK rawat jalan di RSUP Persahabatan tahun 2021-2022. Penelitian retrospektif ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan menggunakan data rekam medis pasien, yaitu nilai COPD Assesmen Test (CAT), jenis kelamin, usia, dan komorbiditas. Selain itu, digunakan data billing pasien dilihat dari perspektif rumah sakit yang terdiri atas biaya obat, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya jasa tenaga kesehatan, dan total biaya pengobatan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 64 sampel, yang terdiri atas 32 sampel terapi salmeterol-flutikason dan 32 sampel terapi formoterol-budesonid. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan nilai inkremental efektivitas antara kedua terapi sebesar 46,9%. Kemudian didapatkan nilai inkremental biaya antara kedua terapi sebesar Rp11.561. Sementara itu, berdasarkan perhitungan didapatkan rasio efektivitas-biaya (REB) untuk terapi salmeterol-flutikason adalah sebesar Rp982.164 /unit efektivitas dan untuk terapi formoterol-budesonid adalah sebesar Rp2.287.610/unit efektivitas. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa terapi salmeterol-flutikason lebih memiliki efektivitas-biaya dengan nilai rasio inkremental efektivitas-biaya terapi sebesar Rp247/unit efektivitas.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease characterized by airflow limitation that is not completely reversible. The total number of deaths from COPD reaches 6% of all deaths globally. Specific prevalence data for COPD in Indonesia are based on Basic Health Research (RISKESDAS) data in 2013 is 3.7 per thousand people. Previous research in Indonesia stated that salmeterol-fluticasone therapy is more cost-effective than formoterol-budesonide therapy. The purpose of this study is to analyze the better cost-effectiveness between salmeterol-fluticasone therapy and formoterol-budesonide therapy in COPD outpatient at Persahabatan General Hospital in 2021-2022. This retrospective study is an observational study with cross-sectional study design using patient medical record data, which consisted of COPD Assessment Test (CAT) scores, gender, age, and comorbidities. In addition, patient billing data is used from a hospital perspective which consisted of drug costs, other drug costs, laboratory fees, health worker service fees, and total medical costs. There were 64 samples used in this study, consisting of 32 samples from salmeterol-fluticasone group and 32 samples from formoterol-budesonide group. Based on results of the study, the increased effectiveness value between the two therapies was 46,9%. Then, the incremental cost value between the two therapies was obtained at IDR11.561. Meanwhile, based on calculations, the average cost-effectiveness ratio (ACER) for salmeterol-fluticasone therapy was IDR 982.164/effectiveness unit and for formoterol-budesonide therapy was IDR 2.287.610/effectiveness unit. Based on the research, it can be concluded that salmeterol-fluticasone therapy is more cost-effective with an incremental cost-effectiveness ratio is Rp247 per unit of effectiveness.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Suratini
"ABSTRAK
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksi yang umum terjadi danmerupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan terbanyak. Penyakit ini memilikidampak terhadap sosioekonomi dimana tingginya biaya kesehatan terutama disebabkanoleh biaya rawat inap. Evaluasi farmakoekonomi dilaksanakan untuk menilai efektivitasbiaya antibiotik untuk mengetahui apakah pengobatan antibiotik memberikan outcometerapi yang baik dengan biaya yang minimal. Penelitian dilakukan terhadap kombinasiseftriakson-azitromisin dan levofloksasin tunggal sebagai antibiotik empiris untuk pasienpneumonia rawat inap. Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan membandingkan totalbiaya medis langsung dan efektivitas yang dilihat dari lama rawat masing-masingkelompok pengobatan. Penelitian dilakukan di RSUP Persahabatan, Jakarta, dengandesain penelitian studi kohort retrospektif, dimana pengambilan data dilakukan secararetrospektif terhadap data sekunder, berupa rekam medis pasien dari tahun 2014-2016.Jumlah pasien yang dilibatkan dalam analisis 100 pasien, yaitu 64 pasien menggunakanantibiotik seftriakson iv dan azitromisin oral, dan 36 pasien menggunakan levofloksasiniv tunggal. Median biaya antibiotik berbeda signifikan antara kelompok seftriaksonazitromisindan kelompok levofloksasin, yaitu Rp.130.756,- dan Rp.286.952,-. Medianbiaya medis langsung kelompok seftriakson-azitromisin lebih tinggi dibandingkankelompok levofloksasin tunggal, yaitu Rp. 6.494.998,- dan Rp. 5.444.242,-. Keberhasilanterapi kelompok seftriakson-azitromisin yaitu 95,3 , sementara keberhasilan terapikelompok levofloksasin sebesar 97,2 namun tidak terdapat perbedaaan signifikan.Median lama rawat LOS dan lama rawat terkait antibiotik LOSAR kelompoklevofloksasin berturut-turut sebesar 6 hari dan 5 hari, lebih singkat dibandingkan LOSdan LOSAR kelompok seftriakson-azitromisin, yaitu 7 hari dan 6 hari. Nilai ACERkelompok levofloksasin sebesar Rp.56.011,-/persen efektivitas lebih rendahdibandingkan kelompok seftriakson-azitromisin sebesar Rp. 68.153,-/persen efektivitas.Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa levofloksasin lebih cost-effectivedibanding kombinasi seftriakson-azitromisin.

ABSTRACT
Community Acquired Pneumonia CAP is one of the most common infectious diseasesand is one of the leading causes of death and morbidity. This disease has an impact onsocioeconomic where the high cost of health is mainly caused by the cost ofhospitalization. A pharmacoeconomic evaluation was conducted to assess the costeffectivenessof antibiotics to find out whether antibiotic treatment results in a goodtherapeutic outcome with a minimal cost. The study was conducted on a combination ofceftriaxone azithromycin and single levofloxacin as an empirical antibiotic for inpatientCAP patients. Cost effectiveness analysis is conducted by comparing the total directmedical costs and the effectiveness measured from length of stay of each treatmentgroup. The study was conducted in RSUP Persahabatan, Jakarta, with a cohortretrospective design study, where retrospective data retrieval was conducted onsecondary data, in the form of patient medical records from 2014 2016. The number ofpatients involved in the analysis of 100 patients, ie 64 patients using combination of ivceftriaxone and oral azithromycin, and 36 patients using single iv levofloxacin. Medianantibiotic costs differed significantly between the ceftriaxone azithromycin group andthe levofloxacin group, which were Rp.130,756, and Rp.286,952, . Median directmedical costs of the ceftriaxone azithromycin group were higher than the singlelevofloxacin group, which was Rp. 6,494,998, and Rp. 5,444,242, . Success rate ofgroup of ceftriaxone azithromycin group was 95.3 , while the success rate oflevofloxacin group was 97.2 but there was no significant difference. Median length ofstay LOS and length of stay antibiotic related LOSAR of levofloxacin group wererespectively 6 days and 5 days, shorter than LOS and LOSAR of ceftriaxoneazithromycingroup, which were 7 days and 6 days. The value of the ACER levofloxacingroup was Rp.56.011, percent effectiveness, lower than the ceftriaxone azithromycingroup of Rp. 68.153, percent effectiveness. Based on the results of the study, it isconcluded that levofloxacin is more cost effective than a combination of ceftriaxoneazithromycin."
2017
T48638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yetty Fariaty
"ABSTRAK
Latar belakang: Tuberkulosis TB menempati peringkat kedua penyebab kematian akibat infeksi setelah human immunodeficiency virus HIV di dunia. Tanpa pengobatan, angka kematian TB tinggi. Selama pengobatan TB, dapat terjadi hepatitis imbas obat HIO . Kejadian ini dapat menyebabkan pasien mendapat perubahan paduan obat antituberkulosis OAT . Perubahan paduan obat mungkin akan berakibat pada angka konversi.Metode: Lima puluh dari 72 sampel dengan TB paru bakteriologis kasus baru dengan HIO yang tercatat di dalam rekam medik diambil datanya secara retrospektif. Data usia, jenis kelamin, status gizi, hasil pemeriksaan batang tahan asam BTA , waktu timbulnya HIO, faktor komorbid HIV dan DM , riwayat merokok, alkohol, OAT yang dihentikan, jenis OAT yang digunakan saat HIO dan parameter hematologi dicatat untuk kemudian dianalisis.Hasil penelitian: Angka konversi TB paru kasus baru yang mendapat perubahan paduan OAT akibat HIO adalah 70 . Kami dapatkan 26 pasien dengan usia > 50 tahun, 60 status gizi kurang dan 26 dengan DM. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, status gizi, komorbid DM dan HIV serta jenis OAT yang digunakan saat HIO terhadap terjadinya konversi namun didapatkan responden HIO dengan status gizi kurang sebesar 60 mengalami konversi yang rendah 67 . Obat anti tuberkulosis yang digunakan saat HIO terbanyak adalah kombinasi RHES 76 dengan angka konversi 65,7 .Kesimpulan: Angka konversi TB paru kasus baru yang mendapat perubahan paduan OAT akibat HIO adalah 70 . Pasien TB paru dengan usia tua, status gizi kurang dan DM perlu mendapat pemantauan selama pengobatan. Perlu penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar serta diikuti secara prospektif untuk mendapatkan data yang lebih detail sehingga faktor lain yang berpengaruh terhadap angka konversi dapat diketahui.

ABSTRACT
Background Tuberculosis TB ranks as the second leading cause of death from an infectious disease worldwide after the human immunodeficiency virus HIV . Without treatment, the mortality rates of TB are high. Drug induced hepatotoxicity can occure during TB treatment which is leading to non standard antituberculosis drugs use. Modification of therapy might influence the conversion rate.Method Data collected from medical records retrospectively, 50 0f 72 samples with newly diagnosed pulmonary tuberculosis and drug induced hepatitis who received modified regimen included in this study. Age, gender, nutritional status, sputum smear, time to occurance of hepatotoxicity, comorbid, smoking history, antituberculosis drug used after hepatotoxicity and hematology parameter are written for analysed.Results Conversion rate in newly diagnosed pulmonary TB patients with drug induced hepatitis who received modified regimen was 70 . We found 32 patients with age 50 years old, 60 poor nutritional status and 26 with DM. No significant assosiation found between age, gender, nutritional status, comorbid DM, HIV and antituberculosis drug used after hepatotoxicity to conversion. Subjects with poor nutritional status are 60 with less sputum conversion 67 . Combination of RHES were more frequence used of antituberculosis drugs 76 with conversion rate 65,7 .Conclution Conversion rate in newly diagnosed pulmonary TB patients with drug induced hepatitis who received modified regimen was 70 . Pulmonary tuberculosis patients with older age, poor nutritional status and DM need evaluation during treatment. Further research with large samples and prospective design are needed for getting more information and find other factors that influence sputum conversion."
2016
T55586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Mahmudi Wicaksono
"Perdarahan gastrointestinal atas (upper gastrointestinal bleeding, UGIB) adalah kondisi terjadinya perdarahan di saluran gastrointestinal atas, termasuk esofagus, lambung, dan usus halus. Perdarahan gastrointestinal atas adalah penyakit yang umum terjadi, dengan perkiraan 80-150 dari 100.000 orang menderita perdarahan gastrointestinal atas setiap tahunnya. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus di hati. Sekitar 30% dari populasi dunia memiliki tanda-tanda serologis dari infeksi hepatitis B yang sudah selesai atau masih berlangsung. Kerusakan hati kronis yang disebabkan oleh hepatitis dapat berujung ke berbagai penyakit, di antaranya sirosis dan ascites. Dalam pasien yang menderita sirosis hati, penyebab paling umum dari perdarahan gastrointestinal atas adalah adanya penyakit varises esofagus (PVO). Perdarahan varises adalah komplikasi sirosis yang berbahaya, dengan mortalitas total di antara 10% sampai 20%, oleh karena itu, manajemen pasien yang tepat diperlukan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien.

Upper gastrointestinal bleeding (UGIB) is a condition where bleeding occurs in the upper gastrointestinal tract, including the esophagus, stomach, and small intestine. Upper gastrointestinal bleeding is a common disease, with an estimated 80-150 in 100,000 people suffering from upper gastrointestinal bleeding each year. Hepatitis B is a disease caused by a viral infection in the liver. About 30% of the world's population has serological signs of completed or ongoing hepatitis B infection. Chronic liver damage caused by hepatitis can lead to various diseases, including cirrhosis and ascites. In patients suffering from cirrhosis of the liver, the most common cause of upper gastrointestinal bleeding is the presence of esophageal variceal disease. Variceal bleeding is a dangerous complication of cirrhosis, with a total mortality of between 10% and 20%, therefore, appropriate patient management is necessary to reduce patient morbidity and mortality."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Talitha Winnie Eranza
"Hipertiroidisme adalah suatu kondisi di mana kelenjar tiroid menghasilkan terlalu banyak hormon tiroid sehingga metabolisme menjadi lebih cepat dan menimbulkan berbagai gejala seperti penurunan berat badan, palpitasi, dan kecemasan. Metimazol (MMI) dan propiltiourasil (PTU) adalah dua obat yang umum digunakan dalam pengobatan hipertiroidisme. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas-biaya MMI dibandingkan dengan PTU pada pasien hipertiroid rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati pada tahun 2017–2022. Penelitian observasional ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan teknik pengambilan data secara retrospektif. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 140 pasien dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 70 pasien menggunakan terapi metimazol dan 70 pasien menggunakan terapi propiltiourasil. Terapi dinyatakan efektif jika pasien memperoleh kadar T4 bebas (fT4) normal, yaitu < 1,76 ng/dL setelah menggunakan terapi selama 3 bulan. Terdapat perbedaan yang bermakna antara efektivitas MMI dan PTU, yakni 77,1% dan 60% (p = 0,045). Komponen biaya yang digunakan adalah total biaya langsung medis. Nilai Rasio Inkremental Efektivitas-Biaya (RIEB) yang diperoleh adalah Rp15.516/% efektivitas, yang artinya dibutuhkan tambahan biaya sebesar Rp15.516 untuk setiap peningkatan 1% pasien hipertiroid yang mencapai kadar fT4 normal jika ingin berpindah dari terapi propiltiourasil ke metimazol.

Hyperthyroidism is a condition in which the thyroid gland produces an excessive amount of thyroid hormones, leading to an accelerated metabolism and various symptoms such as weight loss, palpitations, and anxiety. Methimazole (MMI) and propylthiouracil (PTU) are two commonly used drugs in the treatment of hyperthyroidism. The aim of this study was to analyze the cost-effectiveness of MMI compared to PTU in outpatient hyperthyroid patients at Fatmawati General Hospital from 2017 to 2022. This observational study employed a cross-sectional design with data collected retrospectively. A total of 140 patients who met the inclusion criteria were divided into two groups: 70 patients receiving methimazole therapy and 70 patients receiving propylthiouracil therapy. Therapy was considered effective if patients achieved a normal free T4 (fT4) level, i.e., < 1.76 ng/dL, after three months of treatment. There was a significant difference in effectiveness between MMI and PTU, namely 77.1% and 60% (p = 0.045), respectively. The cost components considered were the total direct medical costs. The calculated Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) was Rp15,516/% effectiveness, indicating that an additional cost of Rp15,516 was required to achieve a 1% increase in hyperthyroid patients who achieved normal fT4 levels when switching from propylthiouracil to methimazole therapy."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratono
"Pendahuluan: Penyakit hepatitis B merupakan masalah kesehatan utama, baik di dunia maupun di Indonesia. Secara global, pada tahun 2015, diperkirakan 257 juta orang hidup dengan infeksi HBV kronis (WHO, 2015). Dan selanjutnya menyebabkan (720.000 kematian karena sirosis) dan kanker hati primer (470.000 kematian karena karsinoma hepatoseluler) ( WHO, 2015). Prevalensi Hepatitis B wilayah Asia Tenggara adalah 2,0%. Untuk prevalensi Hepatitis B pada ibu hamil di Indonesia tahun 2017 adalah sebesar 2,7% (Berita Subdit HISP 2017). Hal ini didapatkan dari kegiatan program deteksi dini Hepatitis B yang dilakukan sejak tahun 2016 yang baru dilaksanakan di beberapa propinsi (Berita Subdit HISP, 2017). Metode: Penelitian ini adalah analitik observasional yang menggunakan rancangan penelitian cross-sectional. Sampel untuk penelitian ini sebanyak 12.475 ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan di puskesmas-puskesmas di wilayah Jakarta Utara. Data diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dan dianalisis menggunakan Uji Regresi Logistik. Hasil: Prevalensi Hepatitis B pada ibu hamil pada penelitian ini sebesar 2,3%, Risiko ibu hamil yang serumah dengan penderita Hepatitis B 6,46 kali (95% CI 3,68-11,35) untuk terinfeksi Hepatitis B dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak pernah serumah dengan penderita Hepatitis B setelah dikontrol dengan status pekerjaan, umur kehamilan, riwayat transfusi, riwayat penasun. Kesimpulan: Serumah dengan penderita Hepatitis B merupakan faktor risiko terhadap penularan Hepatitis pada Ibu Hamil. Sehingga kegiatan Deteksi Dini Hepatitis Ibu Hamil tetap dilanjutkan dengan diintegrasikan dengan program vaksinasi Hepatitis B pada ibu hamil hepatitis B negatif dan program pengobatan Hepatitis B bagi yang sudah terinfeksi.

Introduction: Hepatitis B is a major health problem, both in the world and in Indonesia. Globally, in 2015, an estimated 257 million people live with chronic HBV infection (WHO, 2015). And subsequently caused (720,000 deaths due to cirrhosis) and primary liver cancer (470,000 deaths due to hepatocellular carcinoma) (WHO, 2015). The prevalence of Hepatitis B in the Southeast Asia region is 2.0%. The prevalence of Hepatitis B in pregnant women in Indonesia in 2017 is 2.7% (News Sub-Directorate of HISP 2017). This was obtained from the activities of the Hepatitis B early detection program carried out since 2016 which was only implemented in several provinces (News Subdit HISP, 2017). Method: This study was an observational analytic study using a cross-sectional study design. The sample for this study was 12,475 pregnant women who carried out antenatal care at health centers in the North Jakarta area. Data was obtained from the DKI Jakarta Provincial Health Office, and analyzed using the Logistic Regression Test. Results: Prevalence of Hepatitis B in pregnant women in this study was 2.3%, the risk of pregnant women at home with Hepatitis B sufferers was 6.46 times (95% CI 3.68- 11.35) to be infected with Hepatitis B compared to pregnant women who have never been at home with Hepatitis B patients after being controlled by work status, gestational age, transfusion history, IDU history. Conclusion: Houses with Hepatitis B patients are risk factors for transmission of Hepatitis in Pregnant Women. So that the activities of Early Detection of Hepatitis B Pregnant women continue to be integrated with the Hepatitis B vaccination program in negative hepatitis B pregnant women and Hepatitis B treatment programs for those who have been infected."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fetri Kristiani
"Peresepan antibiotika yang tidak tepat akan meningkatkan kejadian resistensi. Resistensi antimikroba telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dengan dampak meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotik pada pasien pediatri dan pengaruh rekomedasi apoteker dalam meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik, menurunkan lama rawat, serta biaya pengobatan. Penelitian ini menggunakan studi pra eksperimen dengan pendekatan prospektif. Data penelitian dikumpulkan dari rekam medik pasien dan dianalis dengan uji chi square serta uji korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rekomendasi apoteker dapat menurunkan masalah ketidaktepatan dosis (29,73%) menjadi 0%), ketidaktepatan lama pemberian (51,35% menjadi 5,41%), dan ketidaktepatan pemilihan obat (18,92% menjadi 5,41%). Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) terhadap lama rawat kelompok rekomendasi (R) adalah Rp 2.481.456 lebih rendah dibandingkan kelompok non rekomendasi (NR) adalah Rp 2.640.703, sedangkan ACER terhadap hasil terapi (sembuh) kelompok rekomendasi (R) Rp 9.369.404 lebih rendah dibandingkan kelompok non rekomendasi (NR) Rp 17.985.054. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik di RSUP Fatmawati tepat dan bijak, rekomendasi apoteker dapat meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik, menurunkan lama rawat dan biaya pengobatan.

Inaccurate prescribing of antibiotic will increase the incidence of resitance. Antimicrobial resistance has became a worldwide health problem with the impact of increasing morbidity, mortality and health cost. This study aims to know the the quality of antibiotic use on pediatric and the influence of pharmacist recommendation in improving the quality of antibiotic use, reducing the length of stay and cost. This study used pra eksperiment with prospective approach. Data was collected from medical records, it was analyzed by chi square and correlation test. The results showed that pharmacist recommendation could reduce dosing inaccuracy problems (29,73% to 0%), inaccuracy of duration (51,35% to 5,41%), and drug selection (18,92% to 5,41%). Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) to length of stay in recommendation group (R) was IDR 2.481.456 lower than the non recommendation group (NR) was IDR 2.640.703, while ACER to therapeutic results in recommendation group (R) was IDR 9.369.404 lower than non recommendation group (NR) was IDR 17.985.054. Based on the results it can be conculded that antibiotic use at RSUP Fatmawati is accurate and wise, pharmacist recommendation can improve the quality of antibiotic use, to reduce length of stay, and cost of treatment."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T52351
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>