Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20914 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Imam Saputro
"Tesis ini membahas dinamika politik di dalam Nahdlatul Ulama Selama Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959-1967. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis dengan menggunakan sumber tertulis. Pada saat itu sikap utama NU adalah untuk menerapkan akomodatif terhadap kebijakan politik Soekarno yang terkait dengan penerapan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Sikap akomodatif ini memungkinkan NU untuk memasuki pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan mengamankan keberadaannya selama periode itu. Di sisi lain, deamenor akomodatif ini telah menerima perlawanan dari beberapa pihak dalam NU. Mereka yang tidak setuju dengan politik akomodatif umumnya berasumsi bahwa Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan yang tidak demokratis dan berbahaya bagi NU. Kelompok ini mulai muncul sikap baru di dalam NU yang menentang keterlibatannya dalam Demokrasi Terpimpin. Pendapat kelompok ini mulai tampak dominan pada fase terakhir Demokrasi Terpimpin dan membuat NU lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan rezim pemerintahan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa perbedaan pandangan di dalam NU sebenarnya diuntungkan karena membuat sikap NU lebih dinamis untuk menyesuaikan dengan kondisi politik pada waktu itu.

This thesis discusses political dynamics in the Nahdlatul Ulama During Guided Democracy in 1959-1967. The method used in this study is a historical method using written sources. At that time, NUs main attitude was to apply accommodative to Soekarno's political policies related to the implementation of the Guided Democracy system in Indonesia. This accommodating attitude allowed NU to enter the Guided Democracy government and secure its existence during that period. On the other hand, this accommodating deamenor has received resistance from several parties within NU. Those who disagree with accommodative politics generally assume that Guided Democracy is an undemocratic and dangerous government system for NU. This group began to emerge a new attitude within NU who opposed its involvement in Guided Democracy. The opinion of this group began to appear dominant in the last phase of Guided Democracy and made it easier for NU to adjust to changes in government regimes. The results of this study explain that differences in views within NU actually benefit because it makes NUs attitude more dynamic to adjust to the political conditions at that time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulil Abshar
"Pada dasarnya istighosah adalah sebuah praktik ritual keagamaan yang bersifat individual. Akan tetapi bersama beijalarmya waktu istighosah tidak hanya sebatas pada ritual keagamaan saja tetapi lebih dari itu. Perubahan praktik ini dipengaruhi oleh pemaknaan yang berubah, sesuai kondisi sosial politik dimana istighosah itu dilaksanakan. Karenanya tidak bisa dipungkiri bahwa istighosah merupakan fenomena budaya yang harmonis, ia berubah bersama perubahan konteksnya. Memahami makna istighosah sebagai sebuah budaya harus disertai dengan pemahaman konteksnya. Pemahaman atas konteks inipun harus dilihat secara jeli agar makna yang terkandung dalam istighosah terbaca secara menyeluruh. Pembacaan makna istighosah dalam kontinuitas perubahan konteks inilah yang menjadi tujuan penelitian ini.
Istighosah merupakan ciri khas Nahdlatul Ulama -NU-, sebuah oraganisasi sosial keagamaan yang beranggotakan para intelektual tradisional islam -santri dan kyai- di awal abad XX. NU lahir dengan misi menyelamatkan tradisi sebagai wariasan leluhur. NU mempunyai prinsip dasar al-muhafadhoh alal qadimish sholeh wal ahdu bil jadidil ashlah artinya NU senantiasa menjaga segala hal yang baik yang berasal dari leluhur dan pendahulu, serta tidak menutup pada hal-hal baru yang lebih baik Kesetiaan NU terhadap praktik tradisi ini tidak akan memudar selama tradisi itu membawa pada kebaikan. Diantara tradisi tersebut adalah istighosah. Istighosah bagi NU adalah cagar budaya yang wajib dilestarikan disamping sebagai warisan leluhur, istighosah juga dipercaya sebagai wahana permohonan kemenangan oleh kaum muslim kepada Allah Yang Kuasa.
Dari kelahirannya NU adalah sebuah organisasi Islam yang membawa gerbong tradisionalis, sehingga tarkenal dengan organisasinya kaum sarungan dan orang pesantren. Di tengah maraknya modernitas NU mencoba bertahan dan tetap tegar menghadapi benturan-benturan modernitas. Hingga suatu saat di kala orde baru berkuasa NU terkena dampak kegigihannya membela tradisional, hingga semua aset yang ada di NU dibekukan oleh pemerintah. Di satu sisi NU tidak bisa bergerak leluasa dan di sisi lain NU memang tidak mempunyai kekuasaan. Karenanya NU hanya bisa bergerak melalui jalur kultural. Karenanya NU memilih istighosah sebagai jalan kultural tersebut hingga pada suatu saat istighosah menjadi ikon perlawanan dan resistensi NU terhadap pemerintah. Istighosah tidak lagi sebatas praktik ritual individual tapi sudah berubah manjadi sebuah praktik politik pemaknaan yang beroperasi merebut makna dalam gelanggang kontestasi, yang oleh peneliti dikatakan sebagai praktik politik kultural.
Dalam kenyataannya politik kultural tidak hanya terlihat dari perebutan makna yang terungkap dalam dunia wacana, akan tetapi politik kultural tersebut turut pula didukung dan dikontruksi oieh identitas-identitas islighosah. Mulai dari tema yang diangkat, ekpresi busana para peserta istighosah hingga doa dan tokoh ulama yang hadir. Kesemuanya semakin mengukuhkan keberadaan istighosah sebagai praktik politik kultural bukan politisasi agama."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilmy Abdul Aziz
"Artikel ini membahas dinamika Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) pada masa Demokrasi Terpimpin di mana terjadi tekanan politik dan ekonomi terhadap GKBI dari pihak-pihak yang berideologi komunis dan pihak pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang mengakibatkan adanya pergeseran prinsip, peran, dan struktur kepengurusan GKBI. Artikel ini akan membahas dinamika GKBI dimulai sejak masa transisi hingga akhir Demokrasi Terpimpin saat tekanan ideologi komunis mendominasi. GKBI merupakan gabungan koperasi batik terbesar  di Indonesia dengan hak tunggal impor dan distribusi kain mori/cambrics (pool cambrics) sebagai bagian dari penyederhanaan arus bahan baku industri batik sejak tahun 1953. Namun, menjelang munculnya Dekrit Presiden 1959, GKBI terseret ke dalam tekanan ideologi komunisme yang menghadapkan mereka pada dinamika koperasi yang sangat berbeda dibandingkan masa Demokrasi Liberal. Hal tersebut tidak terlepas dari karakter GKBI sebagai koperasi yang otonom serta dipengaruhi pemikiran koperasi Mohammad Hatta yang tidak sejalan dengan pihak komunis dan pemerintah. Akibat konflik ideologi tersebut terjadi intimidasi terhadap GKBI secara sistematis dan mempengaruhi prinsip, peran, dan struktur kepengurusan GKBI. Artikel ini menggunakan metode sejarah terhadap sumber berupa wawancara, arsip, dokumen terjilid, surat kabar sezaman, buku, dan jurnal, yang diperoleh dari ANRI, Perpusnas RI, DPAD DI Yogyakarta, Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta, Balai Besar Tekstil Bandung, Kantor Pusat GKBI Jakarta, Kantor Koperasi Mitra Batik Tasikmalaya, dan lewat daring.

This article discusses the dynamics of the Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI)   during the Guided Democracy period when there was political and economic pressures on GKBI from parties with communist ideology and the Guided Democracy government which resulted in the shifting of principles, role, and management structure of the GKBI. The discussion on the dynamics of GKBI began with the transition towards Guided Democracy until the end of Guided Democracy, when the communist ideological pressures dominated. GKBI is the largest batik cooperative association in Indonesia with the sole right to import and distribute mori/cambrics (pool cambrics) as part of a simplification of the flow of raw materials for the batik industry since 1953. However, before the issuance of the 1959 Presidential Decree, GKBI was dragged into the pressure of communism ideology which exposed them to very different dynamics and cooperative principles, compared to Liberal Democracy period. This is inseparable from GKBI’s character as a autonomous cooperative and the influence of Mohamad Hatta's cooperative thought. Resulting from this ideological conflict was the systematic intimidation of GKBI which gave influence to the principles, role of GKBI and even GKBI's management structure itself. This article utilizes historical methods for sources in the form of interviews, archives, bounded documents, contemporary newspapers, books and journals obtained from ANRI, National Library of Indonesia, DPAD DI of Yogyakarta, Center for Crafts and Batik in Yogyakarta, Bandung Center for Textiles, Central Office GKBI Jakarta, Mitra Batik   Cooperative   Office in Tasikmalaya, and online sources."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : PBNU, 2007,
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Einar M.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
297.272 SIT n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Caswiyono Rusydie Cakrawangsa
"ABSTRAK
NU merupakan organisasi yang dalam perjalannnya selalu dirundung konflik. Muktamar, sebagai forum permusyawaratan tertinggi, menjadi arena konflik dan pertarungan kepentingan para elite NU. Dalam konteks ini Muktamar ke-32 NU di Makassar juga menjadi ajang pergulatan berbagai kepentingan, baik kepentingan elite NU, maupun kepentingan partai politik, politisi dan penguasa. Penelitian ini memfokuskan pada 3 (tiga) pertanyaan penelitian: (1) Dinamika dan konfigurasi politik di arena Muktamar; (2) faktor-faktor konflik dan kontestasi politik pada Muktamar; dan (3) implikasi konflik politik yang terjadi pada Muktamar Makassar.
Penelitian ini dilakukan dengan model kualitatif. Dalam penelitian ini data-data primer berupa data lapangan digali menggunakan metode observasi. Sedangkan data penuturan pelaku dan kesaksian pengamat dikumpulkan melalui wawancara. Adapun sumber data berupa dokumen dilakukan riset dokumentasi. Untuk data-data sekunder dilakukan library research terhadap buku literatur yang relevan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kritis melalui tahapan: penyederhanaan, penyajian, dan verifikasi data. Sebagai pisau analisis, digunakan beberapa teori, yaitu teori patron-klien, teori elite, teori konflik politik, teori fragmentasi, dan teori rational choice.
Melalui analisis tersebut penelitian ini sampai pada beberapa temuan penting. Pertama, Muktamar Makassar diwarnai dengan dinamika perilaku elite NU dan pergeseran nilai yang serius dalam bentuk: (1) terjadi perebutan jabatan Rais Aam PBNU; (2) kontestasi memperebutkan jabatan Ketua Umum PBNU terjadi sangat terbuka; dan (3) adanya praktik money politis. Muktamar Makassar juga mencatat kontestasi kepentingan politik yang cukup keras. Hal ini dapat dilihat dari adanya polarisasi kepentingan elite NU yang kompleks ke dalam berbagai faksi di mana semua faksi mengusung khittah namun sekaligus menjadi tunggangan politik. Di samping itu intervensi penguasa juga membuat eskalasi konflik semakin keras.
Kedua, fenomena pergulatan politik yang terjadi dalam Muktamar Makassar terjadi karena beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal terdiri dari perbedaan nilai, persaingan kepentingan, dan pemaknaan kepentingan umum, yaitu tafsir terhadap Khittah NU. Sementara itu faktor eksternal adalah adanya kepentingan partai politik, kepentingan para elite politik persolan, dan kepentingan penguasa. Ketiga, konflik elite dan pergulatan kepentingan politik pada Muktamar berdampak pada terjadinya: (1) konflik kepengurusan PBNU masa khidmat 2010-2015; (2) fragmentasi elite NU pasca-Muktamar; dan (3) disorientasi gerakan NU.[]

ABSTRACT
NU is an organization that has always dogged by conflict. Congress, as the highest deliberative forums, become an conflict arena and interests fight of the elite in NU. In this context, the 32nd NU?s Congress in Makassar also be a melee range of interests, both NU elite interests, or the interests of political parties, politicians and regim of goverment. This study focuses on three (3) research questions: (1) dynamics and the political configuration in the arena of Congress, (2) the factors of conflict and political contestation in Congress, and (3) the implications of the political conflict that occurred in Makassar Congress.
This research was conducted by qualitative model. In this research, the primary data in the form of field data extracted using by the observation method. While, the data of doer perpetrator and observer witness collected through interviews. Related on the data sources in form of documents obtained by documentation research. For secondary data conducted library research of the relevant book literature. The data obtained than analyzed critically through phases: simplification, presentation, and data verification. As the ?tool?of analysis, used to some theories such as patron-client theory, elite theory, political conflict theory, fragmentation theory, and of rational choice theory.
Through the analysis of this study up on some important result. First, Makassar Congress stained by dynamics of NU elite behavior and serious shift in the value of the form: (1) the struggle for Rais Aam PBNU position, (2) the contestation of the candidate of General Chairman of the PBNU happen very open, and (3) the practice of money politic. Makassar Congress also noted that political contestation hard enough. It can be seen from the complex polarization of NU elite interests into various factions In addition, the intervention of the regim of goverment also makes the conflict escalation harder.
Second, the phenomenon of the political struggles that occur in Makassar Congress occurs due to several factors, both internal and external. Internal factors consist of differences in values, competing interests, and the meaning of public interest, namely the interpretation of Khittah NU. Meanwhile, the external factor is the presence of political party interests, the interests of the political personal elite, and the interests of the goverment. Third, elite conflicts and political struggles in Congress have an impact on the occurrence of: (1) conflict on formation of personel board of PBNU period 2010-2015, (2) NU elite fragmentation of post-Congress, and (3) disorientation of NU movement.[]"
2012
T32128
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S8120
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Ida
"Sejak tahun 1984, melalui Muktamar ke-27 di Situbondo, Nahdiatul Ulama (NU) menyatakan sikap kembali ke khittah 1926. Gagasan kembali ke khittah 1926 ini sudah melalui proses perjalanan panjang, berdasarkan introspeksi dari kalangan tokoh-tokohnya sendiri, karena kiprahnya sebelum itu bukan saja telah mengabaikan tugas-tugas pengabdiannya kepada masyarakat sesuai misinya mengembangkan ajaran ahlus sunnah wal.jamaah, melainkan juga telah menimbulkan ketegangan dan konflik berkepanjangan pada tingkat intern NU.
Penelitian kualitatif ini berupaya mengkaji faktor-faktor penyebab munculnya konflik pada era kembali ke khittah 1926, dengan menggunakan konsep dan pendekatan paradigma defensisi sosial (social defenition) dalam sosiologi, suatu pedekatan yang dipengaruhi kuat oleh pemikiran-pemikiran Max Weber.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa era kembali ke khittah 1926 semakin mengkristalkan faksi-faksi dalam NU. Ada tiga faksi utama yang saling berhadapan, yakni faksi politik, faksi Syuriah, dan faksi cendekia. Faksi politik menunjukkan orientasinya yang bersifat 'materi', dan belum bisa melepaskan antara aktivitas sebagai politisi dengan sebagai warga NU. Kesulitan utamanya karena watak politik telah mengendap dalam diri mereka. Sementara faksi Syuriah tetap berupaya mempertahankan tatanan normatif dari NU, sehingga pola-pikir dan tindakan kalangan Syuriah ini terasa begitu kaku. Padahal faksi cendekia, secara relatif niemiliki pola pikir dan tindakan yang berbeda dengan kedua faksi lainnya, yakni cenderung secara bebas membeni penafsiran terhadap gagasan kembali ke khittah 1926, berikut berbagai.pemikiran dan tindakan lain sebagai ekspresi pemikiran yang bersifat 'ideas'.
Posisi faksi cendekia di bawah pengaruh kuat Abdurrahman Wahid cukup kuat dalam perjalanan NU selama 10 tahun terakhir. Faksi ini mampu membendung arus keinginan faksi politik untuk membawa NU kembali berpolitik. Ini bisa dilakukan atas kerjasama dengan-faksi Syuriah, yang juga tak menghendaki keinginan faksi politik. Ini menunjukkan pula bahwa sasaran tembak utama NU kembali ke khittah adalah sayap politik NU. Tetapi pada saat yang bersamaan pula, posisi Syuriah mengalami pelemahan yang sama dengan pada saat NU dipimpin oleh K.H. Idham Chalid. Ini terbukti dengan beberapa tindakan yang dilakukan oleh kepemimpinan Abdurrahman Wahid, yang sebenarnya secara normatif dianggap menyimpang, namun tetap saja diamaafkan.
Ketegangan dan konflik internal yang muncul, dengan demikian, sebagai akibat dari tarik menariknya kepentingan ketiga faksi itu. Masing-masing faksi berupaya menafsirkan dan memanfaatkan NU sebagai basis dari manuver-manuver mereka, sehingga pada saat ruang manuver mengecil sebagai akibat dari adanya tembok pembatas berupa tatanan normatif NU, maka kekecewaan tak bisa dihindari. Sementara yang memiliki akses terbesar adalah faksi cendekia,'Abdurrahman Wahid dan kubu pendukungnya.
Faksi cendekia ini umumnya terdiri dari keluarga NU generasi ketiga, kalangan intelektual NU dari berbagai latar belakang pendidikan. Penafsiran terhadap konsep kembali ke khittah 1926 yang berbeda, serta upaya membangun NU masa depan yang sesuai dengan irama tuntutan zaman menurut versi generasi ketiga ini, memberi kesan bahwa gerakan NU merupakan gerakan "civil society", atau paling tidak merupakan gerakan budaya. Di sini pula muncul konsep demokrasi dalam NU, di mana faksi cendekia mengembangkan gagasan-gagasan demokrasi yang cenderung liberal, cenderung berseberangan dengan arus pemikiran negara, sedangkan faksi Syuriah dan faksi politik cenderung larut pada arus pemikiran negara kuat (strong state). Berikut gambaran abstraktif dari tarik menariknya faksifaksi dalam NU yang berkaitan pula dengan pengaruh kekuasaan (lihat gambar di file PDF).
Kecuali itu, keberadaan kalangan cendekiawan dengan kecenderungan pemikiran mereka, telah mampu merelatifkan klaim tokoh-tokoh sepuh yang disebut 'berkharisma',atau tokoh yang berpengaruh. Ini menunjukkan bahwa proses pelemahan pengaruh tokoh dalam NU juga,dilakukan oleh tokoh-tokoh NU sendiri. Proses pelemahan pengaruh ini lebih tepat dikatakan sebagai "peremahan", yang sekaligus menimbulkan reaksi dari kalangan tokoh atau warga NU lainnya: munculnya ketegangan dan konflik. Sementara itu, tampilnya Abdurrahman Wahid, merupakan gambaran tokoh yang memiliki kewibawaan tradisional.
Upaya menafsirkan khittah dan membangun sebuah ideologi gerakan seperti itu, bukanlah berarti NU melepaskan misi awal gerakannya yakni pengembangan ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Hanya saja, dominasi pemikiran faksi cendekia, banyak mempengaruhi gerak perjalanan NU selama 10 tahun terakhir. Akibatnya NU seakan-akan melupakan inisi awal gerakannya itu, apalagi berbagai pemikiran yang dilontarkan --utamanya oleh Abdurrahman Wahid-- dianggap menyimpang dari tradisi NU selama ini. Di sini pulalah yang memunculkan ketagangan dan konflik antara faksi cendekia dengan Syuriah, di mana faksi politik-cenderung memanf aatkan situasi seperti ini.
Penyebab konflik yang lain adalah di satu sisi banyaknya status (berikut peran yang dimainkan oleh) Abdurrahman Wahid, sementara di pihak lain tak sedikit tokoh NU, apakah dari faksi Syuriah, politik, maupun lainnya, yang kurang memahami adanya kemajemukan status itu, atau mengingkan Abdurrahman Wahid untuk tetap tampil dalam status utamanya sebagai ketua PBNU, mengabaikan status-status lainnya. Tensi atau ketegangan semakin naik pada saat Abdurrahman Wahid, dalam realitanya seperti itu, kurang memperhatikan keinginan anggota komunitas yang dipimpinnya, atau cenderung hanya memperhatikan diri sendiri --layaknya seperti pemikir bebas saja.
Dapat disimpulkan bahwa perebutan pengaruh dan ruang manuver di NU (apakah untuk kepentingan perebutan status, politik, atau ekonomi) oleh para tokoh-tokohnya meLabirkan dinamika tersendiri dalam NU selama 10 tahu terakhir."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T3047
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Maskur
"ABSTRAK
Paham kebangsaan (nasionalisme), dikenal tidak saja di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Paham ini yang mengilhami negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, untuk keluar dari penjajahan. Paham kebangsaan merupakan pandangan, perasaan, wawasan, sikap, dan perilaku suatu bangsa yang terjalin karena persamaan sejarah, nasib dan sepenanggungan untuk hidup bersama-sama secara merdeka dan mandiri.Dengan demikian para pejuang kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Wahid Hasjim dan lain sebagainya mengambil paham ini sebagai motivasi perjuangan. Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari organisasi yang ikut berjuang telah menunjukkan partisipasi aktif tidak saja untuk memperjuangkan kemerdekaaan, tetapi juga untuk mempertahankannya. Pasukan Hisbullah, Sabilillah, serta Resolusi Jihad dari Hasjim Asj'ari merupakan wujud dari implementasi wawasan kebangsaan NU dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Bagi NU, Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) adalah paham keagamaan yang menjadi rujukan utama dalam melakukan kiprahnya, baik dalam membimbing pelaksanaan ritual keagamaan (Ibadah) secara individual, maupun dalam mendorong aktualisasi kemasyarakatan (Mu'amalah). Dalam dimensi pemikiran politik politik, NU sangat dipengaruhi oleh paham ASWAJA, diantaranya sikap tasamuh (toleransi), tawasuth (akomodatif), i'tidal (berprinsip), dan selalu melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Pemikiran politik juga dipengaruhi oleh pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang menekankan pada dimensi liberalisme, humanisme, dan memperkuat posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan (civil Society).
Paham kebangsaan mendapat perhatian besar dari NU dikarenakan secara kodrati, negara Indonesia adalah negara plural yang memerlukan kedewasaan berbeda pendapat dan pemimpin yang baik. Apalagi, sampai sekarang ini masih terdapat kecenderungan tumbuhnya semangat sektarianisme dan sekat-sekat politik yang berbasis agama, etnis, daerah, dan budaya. Pluralitas Indonesia akan melahirkan pluralitas budaya, adat istiadat, dan orientasi hidupnya. oleh karena itu pendekatan budaya politik menjadi pilihan pendekatan dalam merumuskan pemikiran politik NU.
Tesis ini ingin memaparkan bagaimana pemikiran politik NU tentang wawasan kebangsaan. Pembahasan tesis ini mencakup paham Aswaja dan pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang ternyata mempengaruhi pemikiran politik NU. Abdurrahman Wahid adalah cerminan politik Sunni yang memantulkan politik NU dalam kehidupan kebangsaan. Pemikiran dan perilaku politik NU dalam struktur kenegaraan senantiasa sejalan dengan budaya politik bangsa Indonesia. Karena itu, sesuai dengan pendapat Almond dan Verba, semakin serasi antara struktur politik dan budaya nasional, semakin matang pula budaya politiknya. Dalam hubungannya terhadap ideologi Pancasila dan keberadaan bangsa dan negara Indonesia, tesis ini membuktikan kematangan budaya politik NU yang dicerminkan melalui pemikiran-pemikiran politiknya.
Bagi NU, paham kebangsaan harus diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wujud pengembangan tanggungjawab kekhalifahan untuk melaksanakan amanat Allah, mengupayakan keadilan dan kejahteraan manusia seluruhnya, secara lahir dan batin, di dunia dan akherat. Sikap dasar kebangsaan NU dirumuskan melalui keseimbangan antara Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Islam), Ukhuwah Basyariah (persaudaraan sesama manusia), dan Ukhuwah Wathoniyah (persaudaraan se-bangsa) yang dilaksanakan secara selektif, akomodatif, kooperatif, dan integratif.
Terhadap Pancasila, NU memandang antara Islam dan Pancasila tidak perlu dipertentangkan. Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi tidak bertentangan dilihat baik dari aspek budaya, sejarah, dan hukum Islam (Syar'i). Karena itu, meskipun antara keduanya mempunyai karakteristik, wilayah, sumber legitimasi yang berbeda, namun di dalam gerak pelaksanannya mempunyai fungsi saling memperkuat dan mendukung. Keabadian Islam mendapatkan dukungan melalui konskritisasi Pancasila, sedangkan Pancasila itu sendiri bersumber juga dari ajaran agama Islam. Pelaksanaan ajaran Islam Aswaja akan melahirkan 'kesalehan sosial' seorang muslim dalam kehidupan kenegaraan yang akan menjadi kekuatan integrasi bangsa dan negara Indonesia.
Keterpaduan antara wawasan keislaman dan kebangsaan menjadi karakter politik NU dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Bagi NU, negara dan bangsa Indonesia adalah absyah secara Syar'i (hukum Islam) yang dirumuskan "Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah nusantara" merupakan cermin dari sikap objektif dan akomodatif NU dalam memadukan antara paham keislaman dengan paham kebangsaan. Keabsyahan negara Indonesia tersebut membawa konsekuensi bagi seluruh masyarakat Indonesia, tidak terkecuali umat Islam, khususnya warga NU wajib secara Syar'i untuk membela, mempertahankan, mengisi dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang berfungsi untuk memperkokoh negara Indonesia. Karena itu, menuurut NU, cinta tanah air adalah sebagian daripada iman, dan bela negara merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam Indonesia.
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahmud Budianto
"Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, pemerintah (Presiden Soeharto) menginginkan agar sistem kepartaian di Indonesia disederhanakan. Hal itu ditujukan untuk melakukan kontrol peran umat Islam di pemerintahan. Berbagai strategi pun dilancarkan, yaitu mulai penolakan rehabilitasi Masyumi, pembentukan PDII sampai strategi pengembosan masa parpol di pemerintahan melalui strategi monoloyalitas. Tidak hanya sampai pada tahap itu, pemerintah selanjutnya menganjurkan agar partai politik yang ada untuk mengelompok. Pada dasarnya pengelompokan yang diinginkan pemerintah adalah agar di Indonesia hanya ada dua parpol saja. Kedua parpol yang terbentuk itu akan memudahkan pemerintah melakukan kontrol politik. Sebagai Partai Islam terbesar, Nahdlatul UIama (NU) menyadari kondisi politik yang terjadi pada masa itu. Dalam Muktamarnya (1971) NU menyatakan sikap untuk berusaha mempertahankan keberadaan (eksistensi) kepartaian terhadap strategi yang dilancarkan pemerintah. Selain itu NU pun mempertimbangkan wadah nonpolitis apabila hams meninggalkan kepartaian karena kondisi politik yang akan terjadi. Proses pengelompokan pun berjalan dan seiring dengan itu NU terus berusaha mempertahankan eksistensi partainya. Sikap maupun usaha NU itu pun kenyataannya harus tunduk kepada fusi parpol yang diinginkan pemerintah. Akhirnya pada tanggal 5 Januari 1973, NU berfusi dengan Parmusi, PSII dan Perti membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12448
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>