Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168326 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fetri Charya Munarsih
"ABSTRAK
Pendahuluan. Saat ini pneumonia komunitas menjadi salah satu infeksi dengan angka tertinggi yang dapat dijumpai di rumah sakit. Terapi antibiotik empirik pada pneumonia komunitas dilakukan dengan mengamati berbagai parameter. Parameter yang dapat diukur sebagai outcome terapi pasien dengan pneumonia komunitas selain angka mortalitas adalah lama tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dari pemberian antibiotik empiris terhadap lama tinggal pada pasien pneumonia komunitas yang diterapi berdasarkan panduan penggunaan antibiotik American Thoracic Society Infectious Disease Society of America (ATS/IDSA) 2007 dengan yang tidak diterapi berdasarkan panduan di ruang rawat inap salah satu rumah sakit di Jakarta dari Januari 2014 sampai dengan Agustus 2015.
Metode. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dan dianalisis berdasarkan uji analisis bivariat serta uji analisis multivariat untuk mereduksi pengaruh variabel perancu. Sampel uji pada penelitian dihitung menggunakan rumus perbedaan dua proporsi. Sampel diambil di ruang rawat inap di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Hasil. Setelah mengontrol variabel perancu, pemberian antibiotik empiris berdasarkan panduan penggunaan antibiotik ATS 2007 pada pasien pneumonia komunitas dengan keterbatasan aktivitas gerak (imobilisasi) sebagai variabel perancu yang bermakna dalam memengaruhi LOS, memiliki kecenderungan 10,25 kali untuk mengalami normal stay di rumah sakit dibandingkan dengan pasien CAP yang menerima antibiotika empiris tidak berdasarkan panduan penggunaan antibiotik ATS 2007 dengan nilai p <0,001.
Simpulan. Secara statistik terdapat pengaruh dari pemberian antibiotika empiris terhadap lama tinggal pada pasien pneumonia komunitas yang diterapi berdasarkan panduan penggunaan antibiotika ATS 2007 dengan yang tidak diterapi berdasarkan panduan penggunaan antibiotika ATS 2007."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jaswin Dhillon
"Latar belakang dan tujuan: Dari berbagai literatur, salah satu penyebab kegagalan respons klinis pasien pneumonia komunitas adalah akibat pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat. Pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko kematian dan resistensi antibiotik di kemudian hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik dengan menggunakan metode Gyssens yang merupakan alat penilaian kualitatif yang dipakai oleh PPRA di Indonesia serta membandingkannya dengan luaran pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari rekam medis pasien berusia di atas 18 tahun yang didiagnosis pneumonia komunitas dan dirawat inap selama periode Januari- Desember 2019. Penelitian ini menganalisis pemberian antibiotik empiris pada saat pasien pertama kali didiagnosis pneumonia komunitas.
Hasil: Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 108 subjek. Proporsi pasien yang diberikan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens adalah 58,3% dan yang diberikan antibiotik empiris telah tepat adalah 41,7%. Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik empiris tidak sesuai dengan pedoman PDPI memiliki risiko meninggal sebesar 2,875 kali lipat (IK 95% 1,440 – 5,739, p=0,004). Pasien yang diberikan antibiotik empiris dalam waktu setelah 8 jam didiagnosis pnemunia komunitas memiliki risiko meninggal sebesar 3,018 kali lipat (IK 95% 1,612 – 5,650, p=0,002). Dari analisis multivariat, faktor prediktor independen yang berhubungan dengan kejadian mortalitas pasien pneumonia komunitas dalam 30 hari adalah kejadian pneumonia berat dengan risiko sebesar 7,3 kali lipat (IK 95% 2,24-23,88, p=0,001), penyakit CVD dengan risiko sebesar 5,8 kali lipat (IK 95% 1,28-26,46, p=0,023), dan ketidaktepatan pemberian antibiotik empiris dengan risiko sebesar 4,2 kali lipat (IK 95% 1,02-17,74, p=0,048).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens dengan luaran pasien yaitu kejadian mortalitas 30 hari (p=0,001).

Background and Purpose: From many literatures, one of the causes of clinical response failure in community-acquired pneumonia patients is due to the inappropriate empirical antibiotics use. Improper administration of empirical antibiotics can increase the risk of death and antibiotic resistance later in life. The purpose of this study is to evaluate the appropriateness of the empirical antibiotics use using the Gyssens method which is a qualitative assessment tool used by the antibiotic stewardship program in Indonesia and to compare it with the outcome of community-acquired pneumonia patients.
Method: This study is a retrospective cohort study at the Persahabatan General Hospital. Data is taken from the medical records of patients over the age of 18 who are diagnosed with community-acquired pneumonia and hospitalized during the January- December 2019 period. This study analyzes the administration of empirical antibiotics when the patient is first diagnosed with community-acquired pneumonia.
Results: The number of samples in this study were 108 subjects. The proportion of patients who were given empirical antibiotics incorrectly based on the Gyssens method was 58.3% and those given empirical antibiotics were appropriate was 41.7%. Patients who received empirical antibiotic therapy not in accordance with PDPI guidelines had a 2.875-fold risk of death (95% CI 1.440 - 5.739, p = 0.004). Patients who were given empirical antibiotics after 8 hours of being diagnosed by the community-acquired pneumonia had a risk of death of 3,018-fold (95% CI 1.612 – 5.650, p = 0,002). From a multivariate analysis, independent predictors related to the mortality of community- acquired pneumonia patients within 30 days were the incidence of severe pneumonia with a risk of 7.3-fold (95% CI 2.24-23.88, p = 0.001), CVD with a risk of 5.8-fold (95% CI 1.28-26.46, p = 0.023), and inappropriate empirical antibiotics use with a risk of 4.2 fold (95% CI 1.02-17.74, p = 0.048).
Conclusion: In this study there was a significant relationship between the use of inappropriate empirical antibiotics use based on the Gyssens method and the outcome of community-acquired patients, which was the 30-days mortality (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Fachrucha
"ABSTRAK
Latar belakang: Pneumonia komunitas merupakan penyakit yang sering terjadi dan berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengeluarkan pedoman pemberian antibiotik penanganan pasien pneumonia komunitas di Indonesia untuk mengurangi angka kematian pasien pneumonia komunitas.
Tujuan: untuk mengetahui angka kepatuhan penggunaan panduan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas yang di rawat inap berdasarkan panduan PDPI di RSUP Persahabatan serta pengaruhnya terhadap lama perawatan dan angka mortalitas pasien.
Metode: Penelitian observasional kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari data rekam medis pasien yang didiagnosis pneumonia komunitas, yang dirawat di ruang rawat inap Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi RSUP Persahabatan, periode Juli 2014 sampai dengan Juli 2016.
Hasil: Sampel penelitian 107 subjek, dengan karateristik pasien laki-laki 70,1% dan perempuan 29,9%. Median usia 56 tahun dengan usia minimum 18 tahun dan usia maksimum 96 tahun. Angka kepatuhan dokter terhadap penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman penatalaksanaan pneumonia PDPI pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebesar 70,1%. Angka mortalitas pasien pneumonia komunitas berhubungan secara bermakna dengan kesesuaian pemberian antibiotik dengan pedoman PDPI dan derajat risiko PSI dengan nilai OR berturut-turut 2,93 (95%IK1,23-6,94) dan OR 3.02 (95%IK 1.25-7.29). Kesimpulan: Angka kepatuhan penggunaan antibiotik angka kepatuhan penggunaan panduan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas berdasarkan panduan PDPI berhubungan dengan angka mortalitas pasien.

ABSTRACT<>br>
Background: Community acquired pneumonia (CAP) is a common disease and is associated with high morbidity and mortality. Indonesian Society of Respirology has been recommended empiric antibiotic guidelines for patients with community-acquired pneumonia in 2014. These guidelines are designed to reduce the mortality rate of CAP patients. Objective: to determine the compliance rate of antibiotic guidance for inpatient community pneumonia patients based on PDPI antibiotic guidelines in Persahabatan Hospital and its effect on the length of stay and mortality rate CAP patients. Method: This is a retrospective cohort observational study inPersahabatan Hospital. Data were collected from medical records of patients diagnosed with CAP, who were admitted to the Department of Pulmonology and Respiratory Medicine during July 2014 to July 2016. Results: The sample was 107 subjects. Proportion male and female were 70.1% and 29.9%. The median age was 56 years old with a minimum age was 18 years and a maximum age was 96 years. Doctors' compliance rates on PDPI's guidelines for the management CAP patients was 70.1%. The mortality rate of CAP patients was significantly associated with the national guidelines-concordant empiric antibiotic therapy and the class risk of PSI with OR 2.93 (95% IK1,23-6,94) and OR 3.02 (95% IK 1.25-7.29) reversely. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gina Amanda
"ABSTRAK
Latar belakang: Streptococcus pneumoniae adalah etiologi yang paling sering ditemukan pada pneumonia komunitas. Studi di Semarang mendapatkan bahwa angka kejadian pneumonia pneumokokus adalah sebesar 13,5% dari seluruh kasus pneumonia komunitas. Beberapa faktor termasuk vaksinasi mempengaruhi kejadian pneumonia pneumokokus dan komplikasi penyakit pneumokokus invasif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi dan karakteristik pneumonia pneumokokus pada pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang yang dilakukan pada pasien pneumonia komunitas di rumah sakit umum pusat Persahabatan Jakarta pada bulan April-Oktober 2018. Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan apabila terdapat infiltrat baru pada foto toraks disertai dua dari lima gejala demam, sesak napas, batuk, batuk darah, atau nyeri dada yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua minggu. Pada tiap subjek penelitian akan dilakukan wawancara medis, pemeriksaan fisis, foto toraks, pemeriksaan laboratorium, dan biakan spesimen seperti sputum, darah, dan cairan pleura. Hasil biakan positif S. pneumoniae akan diperiksakan serotipe, uji kepekaan dan resistensi antibiotik.
Hasil: Dari 92 subjek penelitian didapatkan proporsi pneumonia pneumokokus sebesar 12%. Sebagian besar subjek pasien pneumonia pneumokokus berusia 19-64 tahun (72,7%), laki-laki (72,7%), memiliki komorbid paru (54,5%) dan ekstra paru (45,5%), malnutrisi (72,7%), tidak merokok saat ini (81,8%), dan tidak pernah divaksinasi pneumokokus (100%). Sesak napas, batuk, dan demam adalah gejala klinis yang sering ditemukan. Gambaran radiologis yang terbanyak ditemukan adalah infiltrat. Derajat penyakit pada kelompok ini adalah nilai CURB-65 ≤ 2 (100%). Pada penelitian ini didapatkan angka penyakit pneumokokus invasif sebesar 18,2%. Serotipe pada pasien pneumonia pneumokokus dengan penyakit pneumokokus invasif adalah 6A/6B dan 7F/7A, sedangkan pada pasien tanpa penyakit pneumokokus invasif adalah serotipe 3, 6A/6B, 4, 9V/9A, 15A/15F, dan 16F. Telah ditemukan beberapa serotipe pneumokokus yang resisten terhadap antibiotik seperti golongan penisilin, makrolid, tetrasiklin, kloramfenikol, dan klindamisin. Kesimpulan: Proporsi pneumonia pneumokokus pada pasien pneumonia komunitas dewasa di penelitian ini adalah sebesar 12% dan angka kekerapan penyakit pneumokokus invasif sebesar 18,2%. Beberapa karakteristik tampak dominan pada subjek pasien pneumonia pneumokokus, namun hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang tidak bermakna.
"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina
"Latar belakang: Pneumonia adalah salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Proses penuaan sistem organ dan faktor komorbid banyak berperan pada peningkatan morbiditas dan mortalitas pneumonia pada pasien geriatri sehingga menyebabkan tingginya biaya pengobatan penyakit tersebut. Salah satu biaya yang menyerap besar anggaran rumah sakit adalah biaya antibiotik. Tingginya biaya penggunaan antibotik untuk pneumonia komunitas menyebabkan perlunya dilakukan analisis farmakoekonomi. Cost effectiveness adalah salah satu metode analisis farmakoekonomi.
Tujuan: Menilai cost effectiveness tata laksana pneumonia komunitas pada geriatri.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara retrospektif pada pasien geriatri rawat inap dengan pneumonia komunitas di RSCM periode 1 Januari 2012-31 Maret 2016. Analisis cost effectiveness digunakan untuk analisis farmakoekonomi yang membandingkan biaya (cost) dengan hasil luaran klinis sembuh (effectiveness).
Hasil: Sebanyak 104 pasien geriatri dengan pneumonia komunitas dirawat di RSCM dianalisis cost effectiveness dan dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu: kombinasi seftriakson azitromisin (n=38), kombinasi sefotaksim azitromisin (n=23), monoterapi meropenem (n=22), kombinasi meropenem levofloksasin (n=13), dan monoterapi sefepim (n=8). Kesembuhan tertinggi pada monoterapi sefepim (100%), kombinasi sefotaksim azitromisin (95,7%), dan kombinasi seftriakson azitromisin (92,1%). Kematian tertinggi pada kombinasi meropenem levofloksasin (46,2%) dan monoterapi meropenem (36,4%). Penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok besar. Kelompok 1 terdiri dari kombinasi seftriakson azitromisin dan kombinasi sefotaksim azitromisin. Kelompok 2 terdiri dari kombinasi meropenem levofloksasin, monoterapi meropenem dan monoterapi sefepim. Nilai ACER (Average Cost Effectiveness Ratio) pada kombinasi seftriakson azitromisin Rp285.097,- dan monoterapi sefepim memiliki nilai ACER Rp 1.747.356,-. Pada nilai ICER (Intremental Cost Effectivenees Ratio), penggunaan kombinasi seftriakson azitromisin memberikan selisih penambahan harga sebesar Rp 31.756,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi sefotaksim azitromisin. Penggunaan monoterapi sefepim memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 58.124,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan monoterapi meropenem. Penggunaan monoterapi sefepim memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 83.918,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi meropenem levofloksasin. Penggunaan meropenem memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 179.724,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi meropenem levofloksasin untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri.
Kesimpulan: Kedua rejimen antibiotik kombinasi seftriakson azitromisin dan kombinasi sefotaksim azitromisin memiliki cost effectiveness yang sama untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri. Monoterapi sefepim memiliki cost effectiveness lebih tinggi dibandingkan monoterapi meropenem dan kombinasi meropenem levofloksasin untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri.

Background: Pneumonia is one of the major health problems in elderly. The aging process of organ systems and many comorbid factors contribute to increase the morbidity and mortality of pneumonia in geriatric patients, causing high costs of the treatment, mainly the cost of antibiotic. The high cost of antibiotic used for community pneumonia creates need for pharmacoeconomics analysis. Cost effectiveness analysis is one of the method for doing pharmacoeconomics analysis.
Objective: To analyze the cost effectiveness of antibiotic uses on community pneumonia in elderly.
Method: This study was conducted retrospectively in hospitalized geriatric patients with community pneumonia in RSCM for period of 1 January 2012-31 March 2016. The cost effectiveness analysis method was used to analyze pharmacoeconomics by comparing the expense (cost) with clinically cured patients (effectiveness).
Result: A total of 104 geriatric patients with community pneumonia treated in RSCM were analyzed by using cost effectiveness method. They were classified into 5 groups: combination of azithromycin ceftriaxone+azithromycin (n=23), combination of cefotaxime+azithromycin (n=38), meropenem monotherapy (n=22), combination of meropenem+levofloxacin (n=13), and cefepime monotherapy (n=8). The highest percentage of recovery was found in cefepime monotherapy (100%), followed by combination of cefotaxime+azithromycin (95.7%) and combination of ceftriaxone+azithromycin (92.1%). The highest percentage of mortality was observed in the combination of meropenem+ levofloxacin (46.2%), followed by meropenem monotherapy (36.4%). This research is divided into two large groups. Group 1 consisted of combination of ceftriaxone+azithromycin and combination of cefotaxime+azithromycin. Group 2 consisted of combination of meropenem+levofloxacin, meropenem monotherapy and cefepime monotherapy .The Average Cost Effectiveness Ratio of combination ceftriaxone+azithromycin is Rp 285.097,-while the ACER of cefepime monotherapy is Rp 1.747.356,-. The Intremental Cost Effectivenees Ratio of combination of ceftriaxone+azithromycin is Rp 31.756,- for each 1% increment of recovery when compared to combination of cefotaxime+azithromycin. The use of cefepime monotherapy provides reduction of Rp 58.124, - for each 1% additional of recovery compared to meropenem monotherapy. The use of cefepime monotherapy provides reduction of Rp 83.918,- for each 1% additional of recovery compared to combination of meropenem+levofloxacin. The use of meropenem provides reduction of Rp 179.724,- for each 1% additional of recovery compared to combination of meropenem+levofloxacin for treatment of community pneumonia in elderly.
Conclusions: Both of two regimen azithromycin+ceftriaxone and cefotaxime+azithromycin got the same cost of effectiveness for the treatment of community pneumonia in elderly. Cefepime monotherapy has higher cost effectiveness than meropenem monotherapy and combination of meropenem+levofloxacin for treatment of community pneumonia in elderly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Nofria Rizki Amalia
"Pandemi Coronavirus disease-19 (COVID-19) telah secara drastis mempengaruhi kesehatan global. Salah satu komplikasi COVID-19 yang berbahaya adalah pneumonia. Berbagai jenis antibiotik telah digunakan untuk pencegahan dan pengobatan pneumonia pada pasien COVID-19. Pemberian antibiotik yang tidak sesuai dapat memicu resistensi antibiotik sehingga berdampak pada peningkatan mortalitas pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kesesuaian pemberian antibiotik berdasarkan diagram alir Gyssen terhadap luaran klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pneumonia. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Sampel penelitian adalah 72 pasien rawat inap yang mendapat diagnosis COVID-19 terkonfimasi dan pneumonia di RSUP Fatmawati Jakarta pada periode Maret hingga Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pneumonia memiliki rerata usia 53,13 ± 12,61 tahun. Pasien dengan derajat penyakit COVID-19 berat atau kritis (66,7%) lebih banyak dibandingkan non-berat (33,3%). Jumlah pasien meninggal yang dilaporkan dalam penelitian ini adalah 36 (50%). Berdasarkan evaluasi antibiotik menggunakan diagram alir Gyssen diperoleh hasil sejumlah 11 dari 72 (15,3%) pasien menggunakan regimen antibiotik yang tidak sesuai. Karakteristik ketidaksesuaian antibiotik, meliputi: ketidaktepatan pemilihan antibiotik (2,8%) dan durasi antibiotik (12,5%). Kesesuaian pemberian antibiotik berdasarkan diagram alir Gyssen tidak berpengaruh secara bermakna terhadap luaran klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 dan pneumonia.

The COVID-19 pandemic affected global health drastically. COVID-19 becomes more dangerous if pneumonia attacks COVID-19 patients as a complication. Numerous types of antibiotics were used for the prevention and treatment of pneumonia in COVID-19 patients. Inappropriate administration of antibiotics caused antibiotic resistance and influenced patient mortality. This research aims to analyze the effect of appropriate antibiotics administration according to Gyssen flowchart on clinical outcomes of confirmed COVID-19 patients with pneumonia. This research was conducted using a cross-sectional design. A total of 72 COVID-19 confirmed inpatients with pneumonia diagnosis from March to December 2020 at Fatmawati Hospital Jakarta whose met inclusion criteria were included in our study. The mean age of all patients was 53.13 ± 12.61 years. The percentage of critical or severe ill patients (66.7%) was higher than those who were having noncritical diseases (33.3%). 36 (50%) death were reported in our patient population. 11/72 (15.3%) antibiotic regimens were found to be inappropriate. Characteristics of inappropriate antibiotics included: incorrect choice (2.8%) and duration of antibiotics (12.5%). We conclude that appropriate administration of antibiotics based on the gyssen flowchart was not significantly associated with the clinical outcomes of confirmed COVID-19 with pneumonia patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriel Sebastian Loekito
"Pneumonia merupakan salah satu penyakit menular yang sering terlihat pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK). Antibiotik yang digunakan dalam terapi farmakologis pneumonia sering kali memerlukan pengaturan dosis akibat penurunan fungsi ginjal. Studi cross-sectional ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan dosis antibiotik dan pengaruhnya pada luaran terapi dan durasi rawat pada pasien pneumonia dengan PGK di RSUP Persahabatan Jakarta. Data pasien diambil secara retrospektif pada periode 2021-2023 menggunakan metode total sampling. Analisis statistik dilakukan dengan metode Chi-squared untuk kesesuaian dosis dan hubungan kesesuaian dosis dengan luaran terapi dan Mann-Whitney untuk kesesuaian dosis dengan durasi rawat. Diperoleh 111 sampel penelitian yang mayoritias merupakan laki-laki dengan median usia 59 tahun dengan penyakit ginjal stadium akhir. Sefoperazon merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan, diikuti oleh levofloksasin dan sefotaksim. Mayoritas pasien (51,4%) menerima peresepan antibiotik dengan pengaturan dosis yang tidak tepat. Ditemukan bahwa nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) (p < 0,001; RR = 1,048) dan hemodialisis (p = 0,003; RR = 0,571) memengaruhi kesesuaian dosis. Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kesesuaian dosis dengan luaran terapi; faktor lain yang memengaruhi luaran terapi meliputi nilai Charlson comorbidity index (CCI) (p = 0,007; RR = 1,829), jenis terapi (p = 0,023; RR = 1,183) dan sepsis (p < 0,001; RR = 0,368). Kesesuaian dosis memengaruhi durasi rawat secara signifikan (p < 0,001) dan faktor lain yang memengaruhi durasi rawat adalah hemodialisis (p = 0,019). Temuan ini menunjukkan masih adanya ketidaksesuaian pengaturan dosis yang perlu diperbaiki dengan melibatkan apoteker dan tenaga kesehatan lain dalam pengaturan dosis antibiotik.

Pneumonia is one of the most prevalent infectious diseases in patients with chronic kidney disease (CKD). Antibiotics used in pneumonia often require dose adjustments. A cross-sectional study was conducted to determine antibiotic dose appropriateness and its impact on patients’ outcomes and length of stay (LOS) at the Persahabatan National Respiratory Hospital Jakarta. Patients’ data were retrospectively reviewed between 2021 and 2023 using the total sampling method. Statistical analyses were performed with the Chi-squared analyses for dose appropriateness and outcomes and the Mann-Whitney test for LOS. A total of 111 samples were included in the study, with the majority being males with a median age of 59 and end-stage renal disease. Cefoperazone was prescribed more than any other antibiotics, followed by levofloxacin and cefotaxime. Most patients (51,4%) received antibiotics with inappropriate dose adjustment. Low estimated glomerular filtration rate (eGFR) (p < 0,001; RR = 1,048) and haemodialysis (p = 0,003; RR = 0,571) were independently associated with inappropriate dose adjustment. No statistically significant association was found between dose appropriateness and clinical outcome; other associated factors include a high Charlson comorbidity index (CCI) score (p = 0,007; RR = 1,829), type of therapy (p = 0,023; RR = 1,183), and sepsis (p < 0,001; RR = 0,368). Inappropriate dose adjustments were associated with a longer LOS (p < 0,001). Other associated factors include haemodialysis (p = 0,019). These findings indicate substantial dose adjustment inappropriateness that requires immediate attention and collaboration by pharmacists and other healthcare professionals to ensure appropriate adjustment."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Abdul Khairul Rizki
"[ABSTRAK
Latar belakang:
Penggunaan antibiotik empirik pada tata laksana penyakit infeksi, misalnya pneumonia
komunitas, sebaiknya mempertimbangkan bukti kemanfaatan klinis dan hasil
sensitivitas antibiotik pada suatu institusi pelayanan kesehatan. Penggunaan antibiotik
yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi, resistensi kuman, komplikasi
dan kematian. Biaya yang tinggi juga merupakan keluaran langsung dari penggunaan
antibiotik namun biasanya tidak dilaporkan. Oleh sebab itu, analisis terhadap biaya,
keluaran klinis, dan pola sensitivitas kuman menjadi sangat penting untuk menentukan
antibiotik empirik pada terapi pneumonia komunitas.
Tujuan:
Tujuan penelitian ini adalah menentukan antibiotik yang paling efektif dari aspek biaya
dan keluaran klinis pada tata laksana pneumonia komunitas.
Metode:
Penelitian ini dilakukan secara retrospektif pada pasien pneumonia komunitas di RSU
Dr. Soetomo Surabaya sejak 1 Januari sampai 31 Desember 2013. Analisis cost
effectiveness digunakan untuk evaluasi farmakoekonomi berdasarkan perbaikan klinis
hari ke-5, mortalitas, dan biaya total.
Hasil:
Sebanyak 434 pasien dirawat di RSU Dr. Soetomo dan menerima antibiotik empirik.
Sebanyak 200 pasien dikelompokkan menjadi 4 grup: seftriakson(35%), seftazidim
(26%), levofloksasin (14,5%), dan kombinasi seftazidim dan levofloksasin (24,5%).
Perbaikan klinis hari ke-5 tertinggi adalah kelompok yang diberi seftazidim sekitar
67,3%. Seftriakson merupakan antibiotik empirik yang paling efektif dengan ACER
505.585,3 untuk perbaikan klinis hari ke-5 namun hasil sensitivitas kuman
menunjukkan bahwa seftazidim masih lebih sensitif dari pada seftriakson (61,1% vs
38,5%) dengan nilai ACER seftazidim sebesar 763.322. Kombinasi seftazidim dan
levofloksasin digunakan untuk pasien dengan klinis yang buruk (PSI: 84,1+28,6) dan
berdampak pada tingginya biaya pengobatan (ACER 23685450.5).
Kesimpulan:
Seftazidim dapat dipertimbangkan sebagai antibiotik empirik yang efektif dan efisien
dalam tata laksana pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit. Kombinasi seftazidim dan levofloksasin juga dapat dipertimbangkan untuk pasien pneumonia komunitas yang berat.ABSTRACT Introduction:
Empirical antibiotic use in the management of infectious disease such as community
pneumonia should be considered based on evidence of clinical effectiveness and
institutional antibiotic sensitivity results. Inappropriate antibiotic leads to failure in
treatment, microbial resistance, complications and mortality. In addition, high cost is
one of the direct impact of this condition that is usually under-reported. Thus, analysis
of cost and clinical outcome, besides antibiotic sensitivity pattern, should be performed
to find effective empirical antibiotic in the treatment in community acquired
pneumonia (CAP).
Aim:
The objective of the study was to determine the most effective antibiotic in cost and
clinical outcome in CAP.
Methodology:
This study has been conducted retrospectively in patient with CAP in Dr. Soetomo
Hospital Surabaya from 1 January to 31 December 2013. Cost effectiveness analysis
was used to evaluate pharmacoeconomic outcomes based on clinical improvement in
day 5, mortality, and total cost.
Results:
There were 434 hospitalized patients with pneumonia that received empirical
antibiotic. Two hundred patients were selected based on inclusion and exclusion
criteria of this study. Subjects were categorized into 4 groups: ceftriaxone (35%),
ceftazidim (26%), levofloxacin (14.5%), and combination ceftazidim and levofloxacin
(24.5%). Clinical improvement in day 5 and clinical remission was assessed with
highest number in ceftazidim group, roughly 67.3% and 76,9% respectively.
Furthermore, ceftriaxone was the most effective one with ACER 505585.3 for day 5
outcome. However, the ceftazidim sensitivity was higher than ceftriaxone (61,1% vs
38,5%), while ceftazidime was in the one second position with ACER 763322. The
combination ceftazidim and levofloxacin particularly used in worse clinical symptom
(PSI: 84,1+28,6) and lead to the highest cost with ACER 23685450.5.
Conclusion:
Ceftazidim should be considered as effective and efficient empirical antibiotic in the
management of hospitalized CAP. However, combination ceftazidim and levofloxacin is also could be effective to improve clinical sign for particular patient even with severe CAP. , Introduction:
Empirical antibiotic use in the management of infectious disease such as community
pneumonia should be considered based on evidence of clinical effectiveness and
institutional antibiotic sensitivity results. Inappropriate antibiotic leads to failure in
treatment, microbial resistance, complications and mortality. In addition, high cost is
one of the direct impact of this condition that is usually under-reported. Thus, analysis
of cost and clinical outcome, besides antibiotic sensitivity pattern, should be performed
to find effective empirical antibiotic in the treatment in community acquired
pneumonia (CAP).
Aim:
The objective of the study was to determine the most effective antibiotic in cost and
clinical outcome in CAP.
Methodology:
This study has been conducted retrospectively in patient with CAP in Dr. Soetomo
Hospital Surabaya from 1 January to 31 December 2013. Cost effectiveness analysis
was used to evaluate pharmacoeconomic outcomes based on clinical improvement in
day 5, mortality, and total cost.
Results:
There were 434 hospitalized patients with pneumonia that received empirical
antibiotic. Two hundred patients were selected based on inclusion and exclusion
criteria of this study. Subjects were categorized into 4 groups: ceftriaxone (35%),
ceftazidim (26%), levofloxacin (14.5%), and combination ceftazidim and levofloxacin
(24.5%). Clinical improvement in day 5 and clinical remission was assessed with
highest number in ceftazidim group, roughly 67.3% and 76,9% respectively.
Furthermore, ceftriaxone was the most effective one with ACER 505585.3 for day 5
outcome. However, the ceftazidim sensitivity was higher than ceftriaxone (61,1% vs
38,5%), while ceftazidime was in the one second position with ACER 763322. The
combination ceftazidim and levofloxacin particularly used in worse clinical symptom
(PSI: 84,1+28,6) and lead to the highest cost with ACER 23685450.5.
Conclusion:
Ceftazidim should be considered as effective and efficient empirical antibiotic in the
management of hospitalized CAP. However, combination ceftazidim and levofloxacin is also could be effective to improve clinical sign for particular patient even with severe CAP. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Koe Stella Asadinia
"Latar belakang: Ventilator-associated pneumonia VAP merupakan jenis infeksi nosokomial terbanyak pada pasien pediatric intensive care unit PICU. VAP menyebabkan pemanjangan durasi ventilasi mekanik, durasi hospitalisasi, dan kematian. Omeprazole direkomendasikan sebagai profilaksis dan pengobatan stress ulcer pada pasien PICU dengan ventilator. Omeprazole diduga dapat meningkatkan kejadian VAP melalui peningkatan kolonisasi bakteri lambung. Namun, belum banyak studi yang meneliti pengaruh ini pada populasi pasien PICU.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian omeprazole terhadap kejadian VAP pada Pasien PICU di RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo.
Metode: Studi ini dilaksanakan dengan metode cross-sectional dengan 58 subjek. Sampel diambil dari rekam medis pasien PICU tahun 2014 hingga 2016. Subjek terdiri dari dua kelompok, yaitu pasien PICU dengan ventilator yang diberi omeprazole dan tidak diberi omeprazole.
Hasil: Karakteristik subjek meliputi jenis kelamin, usia, status gizi, faktor risiko potensial, dan keluaran berupa durasi hospitalisasi, durasi intubasi, dan kematian. Sejumlah 9 dari 29-31 subjek yang diberi omeprazole mengalami VAP dan 3 dari 29-10 subjek yang tidak diberi omeprazole mengalami VAP. Uji Chi-square menunjukkan hubungan tidak bermakna antara omeprazole dan kejadian VAP dengan nilai p=0.105 dan prevalence ratio PR 3.00-95 CI 0.903-9.970.
Diskusi: Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pemberian omeprazole tidak berpengaruh terhadap kejadian VAP pada pasien PICU.

Background: Ventilator associated pneumonia VAP is the most common nosocomial infection among pediatric intensive care unit PICU patients. VAP prolongs duration of intubation and hospitalization and increases mortality. Omeprazole is often used as prophylaxis and therapy for stress ulcer, a common disease in PICU patients. Omeprazole is suspected to increase VAP incidence through gastric colonization.
Aim: To determine the effect of omeprazole on incidence of ventilator associated pneumonia among RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo PICU Patients.
Methods: This is a cross sectional study with 58 subjects obtained from PICU medical records from 2014 to 2016. Subjects were put into two categories 1 PICU patients who received omeprazole, and 2 PICU patients who did not receive omeprazole.
Results: Subject characteristics include sex, age, nutritional status, potential risk factors, and outcome duration of hospitalization, duration of intubation and mortality. A number of 9 of 29 31 patients who received omeprazole developed VAP and 3 of 29 10 patients who did not receive omeprazole developed VAP. Chi square test showed no significant difference in the incidence of VAP in the two categories p 0.105 and prevalence ratio PR 3.00 95 CI 0.903 9.970.
Discussion: Omeprazole does not affect the incidence of VAP on PICU patients in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntjoro Harimurti
"Latar Belakang. Hipoalbuminemia sudah diketahui merupakan faktor prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia dan CRP merupakan petanda klinis yang penting pada pneumonia. Namun hubungan antara kadar CRP dengan penurunan kadar albumin, sebagai protein fase akut negatif, saat infeksi akut belum pernah diteliti sebelumnya.
Tujuan. Mendapatkan: (1) perbedaan kadar CRP awal perawatan antara pasien dengan daa tanpa penurunan albumin, (2) perbedaan risiko teradinya penurunan albumin antara pasien dengan kadar CRP awal tinggi dan rendah, dan (3) korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.
Metodalogi. Stuart potong-lintang dan kohort-prospektif dilakukan pada pasien-pasien usia lanjut (>60 tahun) dengan diagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM, untuk diamati penurunan kadar albuminnya selama 5 hari perawatan. Pasien-pasien dengan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi kadar albumin dan CRP, serta infeksi selain pn nimcnia komunitas dieksklusi dari penelitian. Penilaian kadar CRP dilakukan pada hari pertama perawatan (cut-off 20 mg/L), sementara penurunan albumin ditentukan dari perubahan kadar albumin selama 5 hari perawatan (cut-off 10%). Analisis statistik dilakukan dengan uji-t independen, uji chi-square, dan uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil Utama. Selama periode April-Juni 2005 terkumpul 26 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang masuk perawatan di RSCM. Hanya 23 pasien yang menyelesaikan penelitian sampai 5 hari dengan 17 pasien memiliki kadar CRP awal tinggi, dan didapatkan penurunan albumin >10% pada 7 pasien setelah 5 hari perawatan. Terdapat perbedaan rerata kadar CRP hari-1 diantara kedua kelompok (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 1K95% 13,25-186,13 mgfL). Namun tidak didapatkan perbedaan risiko bermakna antara pasien dengan kadar CRP tinggi dengan pasien dengan kadar CRP rendah scat awal dengan terjadinya penurunan albumin saat awal perawatan (RR = 2,12; P = 0,621; 11(95% 0,256-29,07). Tidak didapatkan pula korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan (r = 0,205, P = 0,314)
Kesimpulan. Tingginya kadar CRP awal perawatan berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar albumin selama perawatan, namun tidak ada perbedaan risiko terjadinya penurunan albumin selama perawatan antara pasien dengan CRP awal tinggi dan CRP awal rendah, serta tidak ada korelasi antara kadar CRP dan albumin scat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.

Backgrounds. Hypoalbuminemia widely known as a predictive factor for increasing morbidity and mortality in elderly patients, including with pneumonia; while CRP has known as a clinical marker for pneumonia. But relationship between CRP level with decrease of serum albumin level, as a negative acute-phase protein, during acute infection has never been studied before.
Objectives. To found: (1) CRP level difference between patient with and without decreased of serum albumin level, (2) risk for developing decreased of serum albumin level in patients with high CRP compared to patients with low CRP level, and (3) correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
Methods. Cross-sectional and prospective-cohort studies was conducted in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia that admitted to RSCM, to observed the decreased of serum albumin level in five days of hospitalization. Conditions that known could influence CRP and albumin consentration have been excluded, and other infections as well. CRP level was determined on admission (cut-off 20 mgfL), while decreased of serum albumin was observed for 5 days of hospitalization (cu[-off 10%). Statistical analysis was done by using independent t-test, chi-square test, and correlation test appropriately accord-ing to the objectives of the study.
Main Results. During study period (April to June, 2005) 26 hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia had been included into study, but only 23 of them that finished the study for 5 days. There were 17 patients that have high level of CRP on admission, and 7 patiens that developing decreased of serum albumin level more than 10% in fifth day compared to their serum albumin level on admission. There was significant mean CRP difference among 2 groups (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 95%CI 13,25-186,13 mgfL), but there was no risk difference between patients with high and low CRP level on admission for developing decreased albumin level on fifth day of hospitalization (RR = 2,12; P = 0,621; 95%CI 0,256-29,07). And there was no correlation between CRP and albumin level on admission (r = 0,205, P = 0,314)
Conclusions. Patients with high CRP level on admission tend to have decreased of serum albumin level during hospitalization, but there was no risk difference for developing decreased of serum albumin level between patients with high and low CRP level, and there was no correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>