Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129119 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmawati Ayu Azhariya
"

ABSTRAK

 

Nama : Rachmawati Ayu Azhariya

Program Studi : Magister Kedokteran Kerja, FKUI

Judul: Pengaruh Stres Kerja Berat Terhadap Kecenderungan Gangguan

  Mental Emosional Pada Staf Manajerial Perusahaan Penanaman 

  Modal Asing

 

Latar belakang

Staf manajerial merupakan aset krusial sebuah Perusahaan karena peranannya dalam memimpin, mengatur, merencanakan dan mengelola sumber daya guna mencapai tujuan Perusahaan. Oleh karena itu, staf manajerial diharapkan sehat baik secara fisik, mental dan sosial.

 

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stres kerja berat dengan kecenderungan gangguan mental emosional pada staf manajerial.

 

Metode

Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga Mei 2016 di Perusahaan Penanaman Modal Asing di Jawa Barat menggunakan metode comparative cross sectional. Stres kerja diukur dengan kuesioner Suvei Diagnosis Stres (SDS) sedangkan kecenderungan gangguan mental emosional dinilai dengan kuesioner Symptom Check List 90 (SCL 90). Jumlah responden pada penelitian ini adalah 105 orang yang terlebih dahulu diminta mengisi kuesioner stres kerja. Kemudian untuk menilai kecenderungan gangguan mental emosional, sebanyak 30 responden dipilih secara acak dari masing-masing kelompok stres kerja ringan-sedang dan stres kerja berat dan diminta mengisi kuesioner SCL-90.

 

Hasil

Prevalensi stres kerja berat pada karyawan manajerial adalah sebesar 35,2%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara stres kerja berat dengan kecenderungan gangguan mental emosional (OR 47; 95% CI 7,37-300,17; p<0,001). Komponen stresor kerja yang memiliki hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional adalah beban kerja kualitatif (OR 10,67; 95%CI 1,03–109,94; p 0,047) dan perkembangan karir (OR 10,83; 95%CI 1,03–114,15; p 0,047). Pendidikan merupakan faktor individu yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap kecenderungan gangguan mental emosional (OR 0,17; 95% CI 0,03-0,83; p 0,029). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor pekerjaan terhadap terjadinya kecenderungan gangguan mental emosional.

 

Kata kunci: stres kerja, gangguan mental emosional, manajer

 


ABSTRACT

 

Name               : Rachmawati Ayu Azhariya

Study Program: Postgraduate program on Occupational Medicine,

              Universitas Indonesia

Title                 : Association of Severe Occupational Stress with Mental Emotional  

              Disorder Tendency among Managerial Staff at a Foreign Cooperation

 

Background

Managerial staff are a crucial asset for their role in lead, organize, plan and manage resources to achieve the Company's objectives. Therefore, managerial staff are expected to be healthy physically, mentally and socially.

 

Objective

This study aims to determine the relationship of severe occupational stress with mental emotional disorder tendency among managerial staff.

 

Method

This study used a comparative cross-sectional design. The aim of this study is to assess the risk of mental emotional disorder tendency in both group with mild-moderate and severe occupational stress. Based on the sample calculation, required respondents from each group are 30 people. Previously, a descriptive study was conducted to sort the respondents into mild-moderate and severe occupational stress. A total of 105 respondents were randomly selected from the total population of 220 people. Respondents were asked to do self-rating survey with SDS (Stress Diagnostic Survey) questionnaire which assess the occupational stress. Furthermore, 30 respondents were randomly selected from each group of mild-moderate and severe occupational stress to assess the tendency of mental emotional disorder. Symptoms Check List 90 (SCL-90) questionnaire was used to measure the tendency of mental emotional disorders.

 

Result

The prevalence of severe occupational stress on managerial staff is 35.2%. There was a significant association between severe occupational stress with the tendency of mental emotional disorder (OR 47; 95% CI 7.37-300.17; p <0.001). Components of occupational stressors which statistically significant with mental emotional disorder is the qualitative workload (OR 10.67; 95% CI 1.03-109.94; p 0.047) and career development (OR 10.83; 95% CI 1.03 -114.15; p 0.047). Education is the individual factor statistically significant against the tendency of mental emotional disorder (OR 0.17; 95% CI 0.03 to 0.83; p 0.029). There was no significant relationship between work factors with the tendency of mental emotional disorder.

 

 

Keyword: occupational stress, mental emotional disorder, manager.

 

 

"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winna Angela
"Latar belakang dan tujuan Sebagai pekelja yang sangat berperan dalam operasional pelayanan transportasi kereta api, masinis dan asisten masinis harus selalu dalam keadaan sehat baik fisik maupun mental agar dapat menjamin keselamatan penumpang dan masyaralcat Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan stres kelja yang dialami masinis dan asisten masinis dengan suspek gangguan mental emosional. Met ode Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan 105 orang responden yang dipilih secara konsekutif. Pengukuran stres kelja menggunakan kuesioner Survey Diagnostic Stress (SDS) dan kuesioner penilaian terhadap lingkungan kelja. Pengukuran suspek gangguan mental emosional dengan menggunakan kuesioner Symptom Check Lut 90(SCL90). Hasil dan kesimpulan Masinis dan asisten masinis yang mengalami suspek gangguan mental emosional adalah 16,2 %. Faktor-faktor yang berhubungan bermakna dengan suspek gangguan mental emosional adalah stres kerja (OR.adj.=3,73; 95% CI=l,36 - 10,22), lama kerja (OR.adj=4,93; 95% CI=l,56- 15,59), dan kebiasaan rekreasi (OR.adj=4,92; 95% CI=l,68 - 14,35). Tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna suspek gangguan mental emosional pada masinis dan asisten masinis. Perlu dilakukan upaya untuk mengurangi stres kerja dengan memperbaiki lingkungan kerja di lokomotif.

Background and purpose As workers who are instrumental in the operation of railway transport services, locomotive driver and assistant driver should always be in good health both physically and mentally in order to ensure the safety of passengers and the surrounding communities. The purpose of this study was to determine the association of work stress with suspected mental emotional disorders among locomotive driver and assistant driver. Metbod This study used a cross-sectional design with I 05 respondents selected at consecutive. Job stress was measured using Stress Diagnostic Survey (SDS) questionnaire and a questionnaire assessment of the work environment Suspected mental emotional disorders was measured using the Symptom Check List 90 (SCL90). Results and conclusions Prevalence of suspected mental emotional disorder among locomotive driver and assistant driver was 16.2%. Factors associated with suspected mental emotional disorder are work stress (OR.adj=3,7; 95% CI = 1,36 to 10,22), working hour (OR.adj= 4.93; 95% CI= 1,56- 15,59), and recreational habits (OR.adj=4,92; 95% CI=1,68 to 14,35). There were no significant differences in the suspected emotional mental disorders among locomotif driver and assistant driver.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2011
T58264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zackya Yahya Setiawan
"Latar belakang dan Tujuan
Pekerja redaksi merupakan aset utama bagi suatu perusahaan media cetak. Mereka bekerja dengan deadline yang sangat ketat, etch karena itu mereka harus senantiasa sehat secara fisik, mental dan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan stres kerja dan hubungannya dengan kecenderungan gejala gangguan, mental emosional.
Metode
Penelitian ini menggunakan disain potong melintang dengan analisis perbandingan internal. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosiodemografi responden, karakteristik lingkungan kerja, data pengukuran stres kerja dengan menggunakan kuesioner Survey Diagnostic Stress, data pengukuran kecenderungan gejala gangguan mental emosional dengan Symptom]) Check List 90 (SCL-90), serta data pengukuran tingkat kebisingan, pencahayaan, dan suhu kelembaban di lingkungan kerja.
Hasil
Dari 100 responden didapatkan prevalensi kecenderungan gejala gangguan mental sebesar 58% dengan kecenderungan gejala terbanyak adalah psikolism 36%, somatisasi dari paranoid masing-masing 33%, serta obsesif-konvulsif 29%. Stres kerja bemakna berhubungan dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional melalui stresor pengembangan karma (p 0.00, OR 13.75, CI 3.69-51.11). Jenis stresor kerja yang dominan terhadap stres kerja adalah beban kerja berlebih kuantitatif 83%. Faktor karakteristik yang bermakna berhubungan dengan stres kerja adalah pendidikan pada stresor beban kerja berlebih kuantitatif (p 0.00, OR 0.17, CI 0.05-0.52), masa kerja pada stresor konflik peran (p 0.04, OR 2 72, CI 1.04-7.09), dan olah raga pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain (p 0.00, OR 4.66, Cl 1.66-13.08). Faktor kebiasaan yang bermakna berhubungan dengan sires kerja adalah merokok pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain
(p 0.00, OR 4.77, CI 1.37-1L64 ).
Kesimpulan
Stres kerja mcmpunyai hubungan bermakna dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional melalui stresor pengembangan karir. Pendidikan werupakan faktor protektif lerhadap stres kerja pada stresor beban kerja berlebih kuantitatif. Masa kerja pada stresor konflik peran dan olah raga pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain berisiko terhadap stres kerja. Responden yang mengalami sires kerja karena stresor tanggung jawab terhadap orang lain berisiko mengkonsumsi rokok empat kali lebih banyak dibanding dengan responden yang tidak stres.

Background and Objectives
The journalist is a valuable asset for publishing company. They work with a very strict deadline and that requires them to have a good state of physical, mental. and social health. This research aims to find out the existance of work-related stress and its relationship with the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder.
Method
This research uses a cross sectional design with internal comparison analysis. The data collected were respondent's characteristic of sociodemography, work environment's characteristic, measurement of work-related stress by using Survey iDisgnostic Stress questionnaire, data of the tendencies of acquiring symptom of mental emotional disorder by using Symptomp Check List 90 (SCL-90), and data measurement of noise, lighting, and moisture level within work environment.
Result
From 100 respondents, it was found that the prevalence of the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder is 58% with tendency of phsycotism 36%, somatisation and paranoid symptoms each of 33%, and obsesive-convulsive 29%. There is significant relationship between work-related stress and the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder on stressor of carrier development (p 0.00, OR 13.75, CI 3.69-51.111 The dominant stressor is role of overload quantitative 83%. The significant characteristic relationship to work-related stress is education on stressor of role of overload quantitative (p 0.00, OR 0.17, CI 0.05-0.52), work period on stressor of role of conflict (p 0.04, OR 2.72, CI 1.04-7.09), and time spent on exercise on stressor of responsibility for people (p 0.00, OR 4.66, CI 1.66-13.0a). Smoking has significant relationship to work-rclated stress on stressor of responsibility for people (p 0.00, OR 4. 77, CI 1.37-11.64).
Conclusion
Work-related stress has a significant relationship with the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder on stressor of carrier development. Education is a work-related stress protective factor on stressor of role of overload quantitative. Work period on stressor of role of conflict and time spent on exercise on stressor of responsibility for people have a siginificant relationship to stress at work. Respondent who experiences work-related stress because of stressor of responsibility for people has a greater tendency to smoke four times more than one who does not experience it.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Sagita Novianty P.
"Penelitian tentang stres dan akibat yang ditimbulkannya lebih sering berfokus pada perawat pada umumnya, dan sedikit perhatian diberikan kepada perawat yang bekerja di Unit psikiatri/Rumah Sakit Jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat stresor kerja dan faktor risiko lainnya dengan timbulnya kecenderungan gangguan mental emosional pada perawat di rumah sakit jiwa. Penelitian ini mengunakan kuesioner Survey Diagnostik Stres, Symptom Check List (SCL-90), dan Skala Holmes Rahe pada 79 perawat yang terlibat langsung dengan penderita gangguan jiwa. Hasil penelitian mendapatkan prevalensi kecenderungan gangguan mental emosional sebesar 26,6%. Status belum menikah meningkatkan risiko untuk mendapatkan kecenderungan gangguan mental emosional yaitu sebesar 12,92 kali.( p=0,003, OR suaian = 12,92 , 95% IK =2,40-69,50 ). Bagian tempat kerja bangsal akut, kerja gilir dan stresor ketaksaan peran dengan tingkat stres sedang-berat juga memiliki hubungan yang bermakna dengan timbulnya kecenderungan gangguan mental emosional. Dapat disimpulkan bahwa status belum menikah adalah stresor yang paling dominan terhadap timbulnya kecenderungan gangguan mental emosional sementara faktor di luar pekerjaan tidak berhubungan dengan timbulnya kecenderungan gangguan mental emosional. Rumah sakit disarankan untuk mengadakan pusat konseling khusus bagi perawat yang belum menikah, kegiatan kegiatan bulanan khusus bagi karyawan yang belum menikah, kegiatan penyuluhan, team building, rotasi kerja gilir perawat, dan penetapan job description yang jelas agar didapatkan perawat yang sehat secara fisik dan mental.

Research on stress and its consequences  often focused on nurses in general, little attention is given to nurses who work in a psychiatric ward/mental hospital. This research aimed to find  association between job stressors and other risk factors to the onset of mental emotional disorders tendency to nurse in a mental hospital. The research was conducted by using, Survey Diagnostic Stres, Symptom Check List (SCL-90), and Holmes Rahe Scale questionaire to 79 nurses directly involved with mental disorders patients. Results showed the prevalence of mental emotional disorders tendency of 26.6%. Unmarried marital status have a significant association with the onset of mental emotional disorders tendency in the amount of 12.92 times. ( p=0,003, OR adjusted = 12,92, 95% IK =2,40-69,50). Acute ward, shift work and role ambiguity with moderate-severe stress levels also had a significant association with the onset of mental emotional disorders  tendency. It can be concluded that  unmarried marital status is the most dominant stressors on the incidence of mental emotional disorders tendency while factors outside the job does not have a significant association with the onset of mental emotional disorders tendency. Hospital are advised to conduct a counseling center specifically for nurses who are unmarried, held a special monthly events, team building, job rotation, and setting a clear job description in order to  avoid any mental emotional disorders among unmarried nurses."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prathama Wibisono
"ABSTRAK
Background Mental emotional disorder becomes one of among top five sources of premature death and disability in many countries around the globe. Several studies reveal that mental health problems are very common among the college student, resulting almost half of college students population having mental health problems. The aim of this study is to find out the prevalence of mental emotional disorder among the first year medical and also to identify whether or not the trend of mental emotional disorder is increase in medical student after 1 year of medical education.Methods The total population of this study is 44 people that consist of men and women aged range from 18 to 24 years from international class medical students in the third semester. This study used the pre post study design. In addition, this study rsquo s population is the international class medical students of Universitas Indonesia Batch 2015. They underwent SRQ 20 both in the beginning of medical education and after 1 year of medical education which is in 2015 and 2016 respectively. In addition, they also conducted Holme Rahes questionnaire and open questions in 2016 after 1 year of medical education.Results The prevalence of mental emotional disorder is 34.1 of total population after 1 year of medical education. Meanwhile, the frequency of mental emotional disorder in 2015 of this population is none. There are some changes comparing mental emotional disorders in 2015 and 2016 that the changes of differences in mean score of 5.909.

ABSTRAK
Gangguan mental-emosional menjadi salah satu dari 5 sumber penyebabnya kematian dini dan kecacatan di beberapa negara seluruh dunia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental sangat banyak ditemukan pada mahasiswa, yaitu hampir setengah dari setengah populasi mahasiswa mempunya masalah kesehatan mental. Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan prevalensi gangguan mental-emotional pada mahasiswa kedokteran tahun pertama dan mengidentifikasi apakah kecenderungan gangguan mental-emosional akan bertambah pada mahasiswa kedokteran setelah menjalani satu tahun pembelajaran ilmu kedokteran.Metode: Total populasi dari penelitian ini adalah 44 mahasiswa yang terdiri atas pria dan wanita rentang umur mulai dari 18 sampai 24 tahun dari mahasiswa kedokteran kelas internasional semester tiga. Penelitian ini memakai pre dan post desain. Selanjutnya, populasi pada penelitian ini adalah mahasiwa kedokteran kelas internasional Universitas Indonesia angkatan 2015. Mereka telah melakukan pengisian kuisioner SRQ-20 saat mereka memulai pembelajaran kedokteran pada tahun 2015 dan setelah mereka melewati 1 tahun pertama pembelajaran kedokteran pada tahun 2016. Setelah itu, mereka juga telah mengisi kuisioner Holme-Rahes dan pertanyaan-pertanyaan terbuka pada tahun 2016 setelah 1 tahun pertama pembelajaran kedokteran.Hasil: Prevalensi dari gangguan mental-emotional adalah 34.1 dari total populasi penelitian ini setelah menjalani 1 tahun pertama pembelajaran kedokteran. Selain itu, frekuensi gangguan mental-emosional pada populasi penelitian ini tahun 2015 tidak ada. Terdapat beberapa perubahan saat membandingkan gangguan mental-emosional pada tahun 2015 dan 2016, yaitu perubahan dari rata-rata nilai sebesar 5.909"
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Nafi Syifa Putri Khumaini
"Situasi kerja memungkinkan pekerja mengalami gangguan kesehatan mental. 11,6-17,4% populasi dewasa di Indonesia mengalami gangguan mental emosional berupa stres kerja. Petugas Sampah Provinsi DKI Jakarta bekerja 6 hari/minggu dengan durasi 8 jam/hari. Survei pendahuluan mendapatkan 30% petugas sampah di 2 Kecamatan Jakarta Timur mengeluhkan tegang tengkuk dan sakit kepala. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui adakah hubungan antara lama kerja objektif dengan gangguan mental emosional. Penelitian cross sectional dilakukan pada 61 petugas sampah di Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Timur melalui consecutive sampling berupa pengisian kuesioner SRQ-20 untuk mengetahui kecenderungan gangguan mental emosional. Uji Fisher dilakukan pada SPSS. Prevalensi gangguan mental emosional 11,5%. Lama kerja objektif >48 jam/minggu secara statistik bermakna memiliki hubungan dengan gangguan mental emosional pada crew sampah Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Timur (OR=13,067; CI 95% 2,254 – 75,732, p=0,007).

Working conditions may affect worker’s mental health. 11,6-17,4% of the adult population in Indonesia suffers from common mental disorder caused by stress at work. Trash crew in Jakarta works 6 day/week with the duration of 8 hours/day. Preliminary survey reported 30% of trash crew in 2 districts in East Jakarta complained having neck tension and headache. Therefore, this research was aimed to find out the relationship between working hours and common mental disorder in trash crew of East Jakarta Environment Agency. Cross sectional study was conducted to 61 members of the trash crew at East Jakarta Environment Agency selected by consecutive sampling in which the crew fill the SRQ-20 questionnaire to find out the tendency of having common mental disorder. Fisher’s test then conducted in SPSS. The prevalence of common mental disorder among trash crew of East Jakarta Environment Agency is 11,5%. Working hours >48 hours/week is statistically significant in having relationship with common mental disorder of trash crew in East Jakarta Environment Agency (OR=13,067; CI 95% 2,254 – 75,732, p=0,007)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Fariha
"Pendahuluan: Pramugari/a  merupakan salah satu profesi dengan beban kerja cukup besar karena jam kerja yang tidak beraturan, waktu kerja yang panjang serta lingkungan kerja yang tidak biasa. Kondisi pandemi COVID-19 meningkatkan risiko terjadinya gangguan mental emosional pada banyak sektor terutama sektor penerbangan. Meskipun telah memasuki masa transisi pandemi COVID-19, kondisi pekerjaan pramugari/a belum kembali seperti sebelum pandemi terjadi.

Objektif: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi serta hubungan antara faktor individu serta pekerjaan di masa transisi pandemi COVID-19 dengan risiko terjadinya gangguan mental emosional pada pramugari/a penerbangan komersial di Indonesia.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta dari tanggal 9 September – 3 Oktober 2022. Pengumpulan data menggunakan kuesioner mandiri, Fear of COVID-19 Scale, dan Self Reporting Questionnaire-20 kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 25.

Hasil: Penelitian diikuti oleh 163 responden, terdiri dari 89,6% pramugari dan 10,4% pramugara. Diantara faktor individu dan pekerjaan, ada beberapa yang memiliki hubungan signifikan dengan risiko gangguan mental emosional seperti usia muda p <0,001, tidak memiliki anak p 0,047, kebiasaan olahraga yang kurang (95% CI 0,97-9,18); p 0,048, masa kerja < 5 tahun (95% CI 1,35-8,78); p 0,007 serta persepsi ketidakamanan pekerjaan (95% CI 1,47-8,55); p 0,003. Berdasarkan hasil analisis multivariat, masa kerja dan persepsi ketidakamanan pekerjaan merupakan faktor paling dominan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan mental emosional sebesar 3,66 (95% CI 1,39 – 9,66); p 0,009 dan 3,31 (95% CI 1,30 – 8,43); p 0,012 kali.

Kesimpulan: Prevalensi risiko gangguan mental emosional pada pramugari penerbangan sipil Indonesia di masa transisi pandemi COVID-19 cukup tinggi. Dari semua faktor yang dianalisis pada penelitian ini, terlihat masa kerja dan persepsi ketidakamanan pekerjaan dominan meningkatkan risiko terjadinya gangguan mental emosional. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menilai faktor-faktor risiko lainnya yang dapat berkontribusi dengan terjadinya gangguan mental emosional.


Background: Flight attendant is a profession with a heavy workload due to irregular working hours, long working hours and an working mostly at high altitude. The condition of the COVID-19 pandemic increases the risk of mental emotional disorders in many sectors especially the aviation sector, one of which is due to job insecurity. Even though we have entered the transition period of the COVID-19 pandemic, the stability of flight attendants has not returned to what it was before the pandemic outbreak.

Objective: To determine the prevalence of mental emotional disorders among Indonesian commercial flight attendants during the transition period of the COVID-19 pandemic and its relationship with job insecurity.

Methods: This cross-sectional study was conducted at the Directorate General of Civil Aviation Medical Jakarta from September 9th to October 3rd 2022. The data was collected using independent questionnaire such as Fear of COVID-19 Scale and Self Reporting Questionnaire-20, which was then analyzed using SPSS version 25.

Results: The subjects were 163 people in total, consisting of 89,6% female flight attendants and 10,4% male flight attendants The prevalence of mental emotional disorders in Indonesian commercial flight attendants during the transition period of COVID-19 pandemic was found to be 15.3%. The trends showed that there is a significant relationship between perceptions of job insecurity and mental-emotional disorders p=0.036, and there are other characteristics that are significantly related to mental-emotional disorders such as young age p=<0.001, not having children p=0.047, and working period <5 years (95% CI 1.35-8.78); p=0.007.

Conclusion: The prevalence risk of mental emotional disorders in Indonesian commercial flight attendants during the transition period of COVID-19 pandemic is quite high. The existence of job insecurity is one of the dominant factors associated with the occurrence of mental emotional disorders during the transition period of COVID-19 pandemic and also young age seems to be a contributing factor. However, further research is still needed to assess other risk factors that can contribute to the occurrence of mental emotional disorders."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azkia Ikrima
"Gangguan mental emosional merupakan gangguan kesehatan yang terjadi di seluruh negara yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang dan dapat terjadi pada seluruh kalangan usia. Lansia merupakan salah satu kelompok usia berisiko terkena gangguan mental emosional sebagai akibat dari berkurangnya kemampuan fisik dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat ketidakmampuan fisik terhadap gangguan mental emosional yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Studi ini menggunakan desain cross-sectional. Subjek penelitian ini adalah seluruh lansia yang tercatat dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat ketidakmampuan fisik terhadap gangguan mental emosional secara statistik (p = 0,000<0,05), dengan tingkat ketergantungan ringan (PR = 2,021, 95% CI (1,936-2,109)), ketergantungan sedang (PR = 3,189, 95% CI (2,818-3,610)), ketergantungan berat (PR = 3,350, 95% CI (2,920-3,843), dan ketergantungan total (PR = 2,770, 95% CI (2,419-3,173)) setelah dikontrol oleh variabel pendidikan dan jumlah riwayat penyakit kronis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan tingkat ketidakmampuan fisik terhadap gangguan mental emosional baik setelah di kontrol oleh variabel pendidikan dan jumlah riwayat penyakit kronis.

Emotional mental disorders are health problems that occur in all countries that can affect a person's quality of life and can occur in all age groups. Elderly is one of the age groups at risk for mental-emotional disorders as a result of reduced physical ability to carry out daily activities. Therefore, this study aims to determine the relationship between the level of physical disability and emotional mental disorders that are influenced by other variables. This study used a cross-sectional design. The subjects of this study were all elderly people who were recorded in the 2018 Riset Kesehatan Dasar who met the inclusion criteria. The results showed that there was a statistically significant relationship between the level of physical disability and emotional mental disorders (p = 0.000 <0.05), with a mild degree of dependence (PR = 2.021, 95% CI (1.936-2.109)), moderate dependence (PR = 3.189, 95% CI (2.818-3.610)), severe dependence (PR = 3.350, 95% CI (2.920-3.843), and total dependence (PR = 2.770, 95% CI (2.419-3.173)) after being controlled by variable education and the number of history of chronic disease.So it can be concluded that there is a relationship between the level of physical disability with mental emotional disorders after being controlled by the education variable and the number of history of chronic disease."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Melissa Novitasari
"Pemakaian smartphone yang berlebih pada anak usia sekolah dapat menyebabkan adiksi smartphone dan gangguan mental emosional, serta mempengaruhi kemampuan menggunakan smartphone secara bijak, kemampuan berpikir rasional dan berperilaku adaptif, serta kemampuan keluarga dalam merawat anak pengguna smartphone. Untuk mengatasi pemasalahan tersebut, dibutuhkan tindakan/terapi tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan, cognitive behavioral therapy dan psikoedukasi keluarga terhadap adiksi smartphone dan gangguan mental emosional pada anak usia sekolah. Penelitian ini menggunakan desain Quasi Experiment dengan rancangan pre posttest with control group dengan menggunakan 2 kelompok. Metode sampel dengan teknik purpisive sampling sebanyak 64 orang yang terbagi menjadi 32 kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2. Hasil penelitian diketahui pendidikan kesehatan dan CBT dapat menurunkan adiksi smartphone, menurunkan gangguan mental emosional pada anak usia sekolah, meningkatkan kemampuan menggunakan smartphone secara bijak, meningkatkan kemampuan berpikir rasional dan berperilaku adaptif serta meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat anak pengguna smartphone. Gangguan mental emosional berhubungan secara bermakna dengan kemampuan menggunakan smartphone secara bijak dan kemampuan keluarga dalam merawat anak pengguna smartphone. Pendidikan kesehatan perlu diberikan dalam frekuensi yang lebih sering dengan durasi pemberian yang lebih lama serta dibutuhkan kombinasi pemberian terapi keperawatan ners spesialis berupa CBT dan FPE.

Excessive use of smartphones in school-age children can cause smartphone addiction and mental-emotional disorders, as well as affecting the ability to use smartphones wisely, the ability to think rationally and behave adaptively, as well as the family's ability to care for children who use smartphones. To overcome this problem, certain actions/therapy are needed. This research aims to determine the effect of health education, cognitive behavioral therapy and family psychoeducation on smartphone addiction and emotional mental disorders in school-aged children. This research used a Quasi Experiment design with a pre-posttest with control group design using 2 groups. The sample method used purpisive sampling technique was 64 people divided into 32 intervention groups 1 and intervention groups 2. The results of the research showed that health education and CBT can reduce smartphone addiction, reduce emotional mental disorders in school age children, increase the ability to use smartphones wisely. , increasing the ability to think rationally and behave adaptively as well as increasing the family's ability to care for children who use smartphones.  Emotional mental disorders are significantly related to the ability to use smartphones wisely and the family's ability to care for children who use smartphones. Health education needs to be given more frequently with a longer duration of administration and a combination of specialist nursing therapy in the form of CBT and FPE is needed."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Nindya Ayu NB
"Karyawan merupakan aset bagi suatu perusahaan, maka mereka harus sehat. Tidak hanya fisik namun juga mental dan sosial, sehingga dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Penelitian ini bertujuan untuk mengctahui hubungan antara stres kerja dengan gangguan mental emosional.
Metode :
Penelitian ini menggunakan disain kros-seksional terhadap 189 subjek penelitian yang terdiri dari karyawan administrasi dan karyawan lapangan. Data yang dikumpulkan meliputi data umum sosiodemografi, pengukuran stres kerja dengan menggunakan kuesioner Survai Diagnostik Stres, penilaian gangguan mental emosional dipergunakan kuesioner Symptom Check List 90 (SCL-90), dan penilaian stres yang ada pada kehidupan seseorang menggunakan kuesioner Skala Holmes Rahe.
Hasil :
Karyawan yang diduga mengalami gangguan mental emosional, ditemukan sebesar 49,2%. Prevalensi karyawan administrasi lebih rendah dari karyawan lapangan (47,4% : 51,1%). Gejala gangguan mental emosional yang paling banyak adalah psikotisme (48,38%) dan somatisasi (46,24%).
Karyawan administrasi mengalami stres kerja Iebih besar dibandingkan dengan karyawan lapangan. Karyawan dengan stres sedang mempunyai risiko 3,51 - 7,52 kali lebih besar, dan stres tinggi mempunyai risiko 5,69 - 97,50 kali lebih besar untuk mengalami gangguan mental emosional dibanding dengan stres rendah.
Semua stresor kerja mempunyai hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional namun yang paling dominan adalah stresor pengembangan karier. Untuk faktor karakteristik tidak mempunyai hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional namun faktor umur, pendidikan dan jenis pekerjaan, mempunyai hubungan bermakna dengan stres kerja, dan yang mempunyai hubungan bermakna paling dominan dengan stres, kerja adalah pendidikan.
Kesimpulan :
Stresor kerja berpengaruh terhadap timbulnya gangguan mental emosional. Beberapa faktor karakteristik (umur, pendidikan, jenis pekerjaan) berpengaruh terhadap timbulnya stres kerja namun tidak sampai menimbulkan gangguan mental emosional.

Analysis of the influence of work stressor to mental emotional disorders among the agency and terminal company PT "S" Jakarta, 2001.Background and objective :
As an asset to a company, employees must stay healthy. Not only physically but also mentally and socially, to be productive in term of social and economical aspects. The aim of this research is to study the relationship of work stress and mental emotional disorders.
This study was using cross sectional design with a sample of 189 subjects. The data collected were data of socio-demography, measurement of work stress using "Survai Diagnoslik Srres" questionnaire, measurement of mental emotional disorders using Symptom Check List 90 (SCL-90) questionnaire, measurement of stress to the life of a person using Holmes Rohe Scale questionnaire.
The employees who assumption had mental emotional disorders in this population was 49,2%. Administrative employees were less than field employees (47,4%: 51,1%). The dominant symptoms of mental emotional disorders were psycotism (48,38%) and soniatisation (46,24%).
The administration employees had more work stressed than fields employees. Employees with moderate stress have a risk 3,51 -- 7,52 times more and high stress have a risk 5,69 - 97,50 times more for mental emotional disorder than those having low stress.
All the work stressor had significant relationship to mental emotional disorders but the most was career development. Characteristic factor has no significant relationship with mental emotional disorders. On the other side age, education and type of work were significant with work stress and the most was education.
Conclusion :
Work stressor influenced the occurrence of mental emotional disorders. Some characteristic factors (age, education, type of work) would be able to influence the occurrence of work stress, but they did not create mental emotional disorders."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T242
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>