Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178289 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nugrahayu Widyawardani
"Latar Belakang:
Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi yang bersifat kronis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Perubahan metabolisme akibat infeksi Mycobacterium Tuberkulosa(M.TB) dan aktivasi sistem neurohormal turut berperan terhadap terjadinya malnutrisi, yang dapat memberikan efek negatif terhadap prognosis pasien dengan TB Paru. Penderita TB Paru mengalami penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Terapi Medik Gizi sejak awal diagnosis ditegakkan, akan mendukung proses pemulihan pasien TB.
Kasus :
Dalam serial kasus ini, dipaparkan empat kasus pasien TB Paru dengan berbagai faktor risiko, diantaranya adalah penyakit TB Paru, TB Miliar, PPOK et causa TB Paru, Meningitis TB. Pada awal pemeriksaan didapatkan adanya defisiensi asupan makronutrien dan mikronutrien, hipoalbuminemia, CRP yang meningkat, hemoglobin (Hb) yang turun, penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Terapi medik gizi diberikan secara individual, sesuai dengan kondisi klinis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan analisis asupan makan terakhir.
Hasil:
Tiga dari empat pasien mengalami peningkatan asupan, perbaikan kondisi klinis, dan kapasitas fungsional serta kualitas hidup pasien. Status nutrisi pasien tidak mengalami perburukan selama perawatan,
Kesimpulan:
Terapi Medik gizi yang adekuat pada pasien TB dapat mempertahankan status nutrisi pasien dan mendukung perbaikan kondisi klinis, kapasitas fungsional, serta kualitas hidup pasien.

Background:
Pulmonary tuberculosis (pulmonary TB) is a chronic infectious disease with high morbidity and mortality. Changes in metabolism due to infection with Mycobacterium Tuberculosis and activation of the neurohormal system contribute to the occurrence of malnutrition, which can have a negative effect on the prognosis of patients with pulmonary TB. Patients with pulmonary TB have decreased functional capacity and quality of life.Early medical nutrition therapywill support the recovery process of pulmonary TB patients.
Case :
In this case series, four cases of pulmonary TB patients were presented with various risk factors, including pulmonary TB disease, miliar TB, COPD et causa lung TB, and TB meningitis. Deficiency of macro and micronutrient intake, hypoalbuminemia, increased CRP, decreased hemoglobin (Hb), decreased functional capacity and quality of life were found at the beginning of examination. Nutrition medical therapy is given individually, according to clinical conditions, results of laboratory examinations, and analysis of recent food intake.
Result :
Three out of four patients experience increased intake, improvement of clinical conditions, functional capacity and quality of life. The nutritional status of patients did not experience worsening during treatment.
Conclusion:
Adequate nutritional medical therapy in TB patients can maintain patient nutritional status and support improvement of clinical conditions, functional capacity, and quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59146
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Erlangga Luftimas
"Meningitis tuberkulosis (MeTB) merupakan manifestasi klinis berat dari infeksi TB yang menyerang sistem saraf pusat (SSP) dan menyebabkan pasien mengalami penurunan asupan nutrisi karena menurunnya kemampuan makan dan selera makan. Asam amino rantai cabang (AARC) diketahui memiliki efek meningkatkan selera makan dan protektif terhadap massa otot. Pemenuhan kebutuhan AARC berpotensi memperbaiki kapasitas fungsional pasien sehingga menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien MeTB. Empat pasien MeTB dipantau selama perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pencatatan asupan makanan pasien dilakukan dengan metode FFQ semi kuatitatif dan 24h dietary recall. Selama masa perawatan diberikan terapi medik gizi sesuai kondisi klinis pasien, dilakukan pemantauan harian termasuk penilaian kapasitas fungsional pasien hingga pasien selesai perawatan. Semua pasien menunjukkan tanda malnutrisi berdasarkan kriteria klinis menurut American Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Belum ada rekomendasi terapi medik gizi khusus MeTB yang dapat digunakan, namun pada pasien dengan masalah infeksi disertai masalah neurologis rekomendasi tatalaksana TB paru dan stroke dapat menjadi acuan untuk tatalaksana pasien. Pemberian asupan kalori 35-40 kkal pada pasien dengan protein minimal 1,5 g/kgBB berpotensi meningkatkan kapasitas fungsional pasien dan mencegah perburukan penyakit. Tiga pasien mendapatkan asupan AARC diatas rekomendasi dan didapatkan peningkatan kapasitas fungsional dengan menggunakan indeks Barthel. Terapi medik gizi dengan pemberian protein dan AARC yang lebih tinggi dari rekomendasi IOM pada pasien MeTB dapat meningkatkan kapasitas fungsional pasien.

Tuberculous Meningitis (TBM) has been the most severe manifestation of Tuberculosis infection attacking central nervous system (CNS) and causes the risk of malnutrition in patients due to decrease the ability of eating and loss appetite. Branched chain amino acid (BCAA) has been known having effects in appetite and protection of muscle mass. Fulfilling BCAA requirement is potential to improve patient functional capacity, furthermore lowering the morbidity and mortality of TBM patient. Four TBM patients has been observed during hospitality in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM). Patient’s dietary intake was collected using semiquantitative FFQ and 24h dietary recall. During hospitality, medical nutrition therapy was administered based on patient clinical condition, daily observation including patient functional capacity was done until patient was discharged. All patients showed malnutrition signs based on clinical criteria according to American Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Recommendation of nutrition therapy on TBM patient still not exist, however in patient with infection and neurological problem, guideline of nutrition therapy in TB infection and stroke can be used. Intake of 35-40 kcal/kgBW calories and 1,5 g/kgBW of protein can be potential to increase patient functional capacity and prevent further morbidity. Three patient can fulfill their BCAA beyond the requirement and there were increase in patient functional capacity using Barthel Index. Medical nutrition therapy using protein and BCAA administration above the IOM recomendation in TBM patient can improve functional capacity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrice Anggono
"ABSTRAK

Gagal jantung kongestif merupakan penyakit kronis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Perubahan metabolisme dan aktivasi sistem neurohormonal turut berperan terhadap terjadinya malnutrisi, yang dapat memperburuk prognosis pasien dengan gagal jantung kongestif. Dalam serial kasus ini, dipaparkan empat kasus pasien gagal jantung kongestif dengan berbagai faktor risiko, diantaranya adalah penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan obesitas. Pada awal pemeriksaan didapatkan adanya defisiensi asupan makro- dan mikronutrien, hiperglikemia, tekanan darah di atas normal, retensi cairan, penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Terapi medik gizi diberikan secara individual, sesuai dengan kondisi klinis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan analisis asupan terakhir. Seluruh pasien mengalami peningkatan asupan, perbaikan kondisi klinis, dan kapasitas fungsional. Status nutrisi pasien tidak mengalami perburukan selama perawatan, sedangkan perbaikan kualitas hidup didapatkan pada satu dari empat pasien. Terapi medik gizi yang adekuat pada pasien gagal jantung kongestif dapat mempertahankan status nutrisi pasien dan mendukung perbaikan kondisi klinis, kapasitas fungsional, serta kualitas hidup pasien.


ABSTRACT
Congestive heart failure is a chronic disease with high morbidity and mortality. Metabolic changes and activation of neurohormonal system cause malnutrition that worsened prognosis in patient with congestive heart failure. Decreased functional capacity and quality of life commonly experienced by patient with congestive heart failure. Early medical nutrition therapy supports the recovery phase of patient with congestive heart failure. Four patients in this case series presented with various risk factors for congestive heart failure, including coronary heart disease, diabetes mellitus type-2, hypertension, and obesity. At the first examination, patient presented with inadequate macro- and micronutrient intake, hyperglycemia, high blood pressure, fluid retention, decreased functional capacity and quality of life. Nutritional therapy tailored based on clinical presentation, laboratory results, and previous nutritional intake. All patients showed increase of intake with improvement of clinical condition and functional capacity. Nutritional status during hospitalization remained the same, on the other hand only one patient experienced improvement of quality of life. Adequate medical nutrition therapy in patients with congestive heart failure aids the recovery process of patient with congestive heart failure."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Diah Erlinawati
"Stroke iskemik pada pasien geriatri meningkatkan risiko malnutrisi yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu disfagia, tipe stroke, masalah gastrointestinal, disabilitas fisik,
penyakit komorbid dan psikologis. Tujuan utama intervensi nutrisi adalah membantu
pemulihan fungsi neurokognitif dan mencegah defisit energi dan protein. Pasien pada
serial kasus ini adalah pasien geriatri berusia di atas 65 tahun dengan diagnosis stroke
iskemik yang dirawat di RSCM pada bulan Agustus-September 2019. Terapi medik gizi
diberikan pada keempat pasien sesuai dengan kondisi klinis masing-masing pasien
melalui jalur enteral. Satu pasien dapat makan melalui jalur oral di akhir perawatan.
Suplementasi mikronutrien yang diberikan adalah vitamin B6, vitamin B12, vitamin C,
asam folat dan seng. Hasil yang didapatkan selama perawatan sebanyak tiga pasien
mencapai kebutuhan energi total (KET)dan satu pasien mencapai kebutuhan 83% KET.
Asupan protein mencapai target 1,2 g/kg BB atau lebih pada tiga orang pasien.
Suplementasi mikronutrien mencapai nilai AKG bagi usia di atas 65 tahun. Mikronutrien
belum mencapai AKG yaitu vitamin E, vitamin D, kalium, magnesium. Nutrien spesifik
omega-3 dan kolin yang diperoleh dari asupan makan pada sebagian pasien belum
memenuhi AKG. Lama perawatan pasien di rumah sakit 10 hingga 33 hari. Nilai severitas
stroke dengan NIHSS dan kapasitas fungsional dengan FIM di akhir perawatan
menunjukkan perbaikan. Keempat pasien pulang ke rumah dengan keadaan klinis
perbaikan. Kesimpulan yang didapatkan yaitu terapi medik gizi yang adekuat berperan
memperbaiki derajat keparahan dan kapasitas fungsional pasien geriatri dengan stroke
iskemik.

The geriatric patient with ischemic stroke increased risk of malnutrition, which because
various causes including dysphagia, type of stroke, gastrointestinal problems, physical
disability, comorbid disease and psychological problem. The main purpose of nutrition
intervention is to help restore neurocognitive function and prevent energy/protein deficits.
Patients in this case series were geriatric patients aged over 65 years with a diagnosis of
ischemic stroke who were treated at the Cipto Mangunkusumo General Hospital in
August-September 2019. Medical nutrition therapy was given to all four patients,
according to the clinical condition of each patient through the enteral route. One patient
could eat by oral route at the end of treatment. Patients have given oral micronutrient
supplementation consisting of vitamin B6, Vitamin B12, vitamin C, folic acid and zinc.
The results obtained as many as three patients achieved total energy requirements and one
patient reached 83% energy requirements. Protein intake reached the target of 1,2 g/kg
body weight just in three patients. Supplementation micronutrients oral reached RDA
values for people over 65 years. Micronutrients that have not yet reached the RDA were
vitamin E, vitamin D, potassium, magnesium. Omega-3 and choline obtained from food
intake in some patients do not meet the RDA. The length of stay in the hospital was around
10-33 days. The value of stroke severity with NIHSS and functional capacity with FIM
at the end of treatment showed improvement. All four patients returned home with
improvement. The conclusion obtained is that adequate nutritional medical therapy plays
a role in improving the severity and functional capacity of geriatric patients with ischemic
stroke."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Deasy Irwanto
"Latar Belakang: Kolestasis adalah hambatan atau supresi sekresi empedu. Kolelitiasis dan obstruksi bilier akibat keganasan merupakan kasus kolestasis yang sering ditemui. Kolestasis dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan berbagai komplikasi. Selain pembedahan, terapi nutrisi adalah pendekatan tata laksana pada pasien kolestasis untuk mempertahankan status nutrisi dan kapasitas fungsional.
Kasus: Pasien dalam serial kasus ini terdiri atas tiga pasien laki-laki dan satu perempuan, berusia 36-55 tahun dengan diagnosis kolestasis akibat keganasan dan postcholecystectomy syndrome (PCS) dengan riwayat kolelitiasis. Satu pasien dengan keganasan dan dua pasien dengan PCS menjalani operasi bypass biliodigestif dan rekonstruksi, sedangkan satu pasien menjalani perbaikan kondisi klinis sebelum pembedahan. Terapi nutrisi yang diberikan meliputi diet tinggi protein dan rendah lemak dengan nutrien spesifik berupa MCT dan BCAA. Pada kasus pertama terapi nutrisi diberikan pascabedah. Selama perawatan ada kecurigaan leakage anastomosis, tetapi keluaran klinis membaik. Pasien kedua mendapat terapi nutrisi prabedah dan mengalami perbaikan kondisi klinis. Kedua pasien tidak mencapai target nutrisi walaupun toleransi makanan cair baik. Kasus ketiga dan keempat mendapat terapi nutrisi pra dan pascabedah dan pada akhir masa pemantauan, dapat mempertahankan status nutrisi. Pada keempat pasien, kapasitas fungsional dapat dipertahankan, bahkan mengalami perbaikan.
Kesimpulan: Terapi nutrisi yang optimal dapat memberikan keluaran klinis yang baik pada pasien kolestasis. Pemberian nutrien spesifik berupa MCT dan BCAA diperlukan untuk meningkatkan toleransi asupan, mempertahankan status nutrisi, dan memperbaiki kapasitas fungsional pasien kolestasis.

Background: Cholestatis is obstruction or suppression of bile secretion. Cholestasis may cause nutritional disturbance and other complication. Besides surgery, nutritional therapy is needed in cholestasis patient for maintaining nutritional status and functional capacity.
Cases: Four cases (three male and one female) of cholestasis with range of age between 36-55 years old are included in this case series. They were diagnosed with cholestasis because of cancer and post-cholecystectomy syndrome (PCS) with cholelithiasis history. One patient with cancer and two patients with PCS had the biliodigestive bypass surgery and reconstruction, while one patient was restoring her clinical condition before surgery. All patients were given high protein and low fat diet, with specific nutrient such as MCT and BCAA. The first patient received nutrition therapy during postoperative phase. During monitoring, he was suspected with leakage anastomosis, but in the end the outcome was good. Second patient got nutritional therapy in preoperative phase and got better clinical condition. Both patients couldnt reach the nutritional target although their tolerance of ONS was good. The third and the fourth patient got nutritional therapy in pre and postoperative phase and had maintained their nutritional status. In all patients, the functional capacity could be maintained and improved.
Conclusion: Optimal nutritional therapy is needed in cholestasis patients to get better clinical outcomes. Specific nutrients such as MCT and BCAA improve the nutritional tolerance, maintain the nutritional status, and improve the functional capacity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Diandra Sari
"Defisiensi vitamin D sering terjadi pada penyakit autoimun, termasuk pemfigus vulgaris (PV) dan systemic lupus erythematosus (SLE). Sementara itu, terapi nutrisi dan suplementasi vitamin D masih belum rutin dilakukan dalam tata laksana PV dan SLE. Serial kasus ini melaporkan terapi nutrisi dan suplementasi vitamin D pada empat kasus penyakit autoimun yang mengalami kekambuhan. Serial kasus terdiri atas dua pasien laki-laki PV dan dua pasien perempuan SLE dengan defisiensi vitamin D yang putus obat akibat pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19). Keempat pasien mengalami malnutrisi berat secara klinis, karena penurunan asupan makanan dan berat badan dengan berbagai komplikasi obat imunosupresan jangka panjang, yaitu meningkatnya risiko infeksi, sepsis, sarkopenia, deposisi lemak, diabetes mellitus diinduksi steroid, dislipidemia, hipertensi, dan depresi. Asupan energi secara bertahap ditingkatkan secara enteral melalui nasogatric tube (NGT) dan/atau rute oral untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein total. Kebutuhan energi total menggunakan Formula Harris-Benedict dengan faktor stres yang disesuaikan dengan profil klinis dan metabolik masing-masing pasien. Kebutuhan protein ditetapkan 1,5–2,0 g/kg BB/hari untuk pasien PV dan 0,8–1,2 g/kg BB/hari untuk pasien SLE dengan keterlibatan ginjal. Lemak dan karbohidrat (KH) disesuaikan dengan komposisi seimbang, yaitu 45–60% KH, 25 g serat, dan <5% added sugar serta 25–30% lemak dengan <7% asam lemak jenuh, ~20% asam lemak tak jenuh tunggal, dan ~ 10% asam lemak tak jenuh jamak. Dua pasien PV mengalami insufisiensi (16,4 ng/mL dan 22,1 ng/mL) dan dua pasien SLE mengalami defisiensi (6,6 ng/mL dan 9,1 ng/mL). Keempat pasien mendapatkan kolekalsiferol 6000 IU/hari selama 8 minggu berturut-turut. Setelah 1 bulan suplementasi vitamin D dan terapi nutrisi adekuat, serum vitamin D serta status nutrisi dan skor Karnofsky meningkat. Kualitas hidup yang dinilai dengan Dermatology Life Quality Index (DLQI) untuk pasien PV dan Lupus quality of life (LupusQoL) untuk pasien SLE juga meningkat. Serial kasus ini menyimpulkan bahwa tata laksana komprehensif yang menyertakan terapi nutrisi adekuat dan evaluasi serum vitamin D dapat meningkatkan kondisi klinis dan metabolik, status gizi, kapasitas fungsional, dan kualitas hidup pasien autoimun kambuh.

Vitamin D deficiency is common in autoimmune disease, including pemphigus vulgaris (PV) and systemic lupus erythematosus (SLE). Meanwhile, nutrition therapy and vitamin D supplementation are still not routines in comprehensive management of PV and SLE. In this case series, we report nutrition therapy and vitamin D supplementation of four cases of relapse autoimmune disease. This series consist of two males of PV and two females of SLE with vitamin D deficiency that dropped out of treatment due to corona virus disease 2019 (COVID-19) pandemic. Patients became clinically severe malnutrition because of reduced food intake and body weight with various long-term immunosuppressant drug complications, ie increased risk of infections, sepsis, sarcopenia, fat deposition, steroid induced diabetes mellitus, dyslipidemia, hypertension, and depression. Energy intake was gradually increased enterally via nasogatric tube (NGT) and/or oral route to meet total energy and protein requirement. Total energy requirement was calculated by Harris-Benedict Formula with stress factor adjusted by clinical and metabolic profile of each patient. Protein requirement set by 1.5–2.0 g/kg BW/day for PV and 0,8–1,2 g/kg BW/day for SLE with renal involvement. Fat and carbohydrate (CHO) were tailored by balance composition, ie 45–60% CHO, 25 g fiber, and <5% added sugar and 25–30% fat with <7% saturated fatty acid, ~20% monounsaturated fatty acid, and ~10% polyunsaturated fatty acid. Two PV patients were insufficiency (16,4 ng/mL and 22,1 ng/mL) and two SLE patients were deficiency (6,6 ng/mL and 9,1 ng/mL). Cholecalciferol 6000 IU/day was prescribed for 8 weeks. After 1 month vitamin D supplementation and an adequate nutrition therapy, serum vitamin D was increased as well as nutritional state and Karnofsky’s score. Dermatology Life Quality Index (DLQI) for PV and LupusQoL for SLE were also enhanced. Finally, comprehensive management along with an adequate nutrition therapy and vitamin D evaluation improved clinical and metabolic condition, nutritional status, functional capacity, and quality of life of relapse autoimmune patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sanny Ngatidjan
"Kaki diabetik merupakan komplikasi pada diabetes melitus (DM) tipe 2 tersering yang menyebabkan pasien menjalankan perawatan di rumah sakit. Penyulit lain pada DM tipe 2 berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan penting dalam kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, serta perbaikan penyembuhan luka. Serial kasus ini melibatkan empat pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit yang diberikan terapi medik gizi berupa asupan energi, makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, dan edukasi gaya hidup. Pasien dilakukan pemantauan selama 19 hari sesuai fase proliferasi penyembuhan luka. Satu pasien dengan ketoasidosis diabetikum, satu pasien dengan hipertensi, dan dua pasien dengan diabetic kidney disease. Kontrol glikemik keempat pasien tercapai pada akhir perawatan di rumah sakit dan tidak didapatkan penurunan berat badan yang bermakna selama masa pemantauan. Penyembuhan luka berupa luka mengering, edema berkurang, dan timbulnya jaringan granulasi didapatkan pada tiga diantara empat pasien. Satu pasien tidak didapatkan penyembuhan luka yang signifikan karena adanya stenosis multipel pembuluh darah arteri di tungkai kiri. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan pada perbaikan kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, dan penyembuhan luka.

The most common cause of complication and hospitalization in type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients are those associated with diabetic foot (DF). Complication of T2DM contribute to increasing morbidity and mortality. Medical nutrition therapy in patients with T2DM and DF with various complication plays an important role in management of glycemic control, worsening nutritional status, and repair wound healing. This case series include four patients T2DM and DF with various complication that given nutritional medical therapy consisting of energy intake, macronutrients, micronutrients, spesific nutrient, and healthy lifestyle education. Patients was monitored for 19 days according to the proliferation phase of wound healing. One patient with diabetic ketoacidosis, one patient with hypertension, and two patients with diabetic kidney disease. All patients got glycemic control during hospitalization. No significant weight loss was observed during monitoring period. Wounds in three of the four patients appeared to heal with dry wound, reduced edema, and formation of granulation tissue. One patient found insignificant wound healing due to multiple arterial stenosis in the left leg. Medical nutrition therapy with type 2 diabetes and diabetic foot with various complications plays an important role in management of glycemic control, preventing worsening nutritional status, and repair wound healing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Salim
"Pasien kanker dan infeksi rentan mengalami malnutrisi. Malnutrisi berat merupakan faktor risiko dari sindrom refeeding, suatu pergeseran cairan dan elektrolit yang berat akibat nutrisi yang diberikan pada pasien malnutrisi dan menimbulkan gangguan metabolik. Deplesi mineral intrasel (hipofosfatemia, hipomagnesemia, hipokalemia), gangguan cairan tubuh (refeeding edema), defisiensi tiamin, aritmia, gagal nafas, dan gagal jantung kongestif merupakan tanda dan gejala sindrom refeeding yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Dilaporkan empat pasien malnutrisi berat dengan tuberkulosis (TBC) paru dan karsinoma nasofaring (KNF) yang mengalami sindrom refeeding saat dirawat di rumah sakit. Terapi medik gizi dengan pemberian energi awal kurang dari 20 kkal/kgBB/hari lalu ditingkatkan bertahap, kadar elektrolit darah yang rendah dilakukan koreksi melalui oral atau intra vena, juga diberikan suplementasi tiamin dan mikronutrien lain. Pemantauan ketat klinis, tanda vital, keseimbangan cairan, dan kadar elektrolit darah dilakukan minimal 24 jam selama nutrisi diberikan. Pada akhir perawatan, terdapat perbaikan gejala dan tanda sindrom refeeding, serta kadar elektrolit darah. Lama perawatan pasien di rumah sakit 11-27 hari. Terapi medik gizi yang benar dan sesuai dapat mengurangi keparahan sindrom refeeding, memperbaiki klinis dan kadar elektrolit darah pasien.

Patients with cancer or infection disease are vulnerable to malnutrition. Severe malnutrition is a risk factor for refeeding syndrome, profound shifts of fluid and electrolytes that is developed from refeeding and causes metabolic disturbances. Intracellullar mineral depletion (hypophosphatemia, hypomagnesemia, hypokalemia), body water imbalance (refeeding edema), thiamine deficiency, arrhythmia, respiratory failure and congestive heart failure are the signs and symptoms of refeeding syndrome which can increase morbidity and mortality. We report four severe malnutrition patients with pulmonary tuberculosis and nasopharyngeal carcinoma who developed refeeding syndrome while being treated for their underlying illness in hospital. Medical nutrition therapy started with energy less than 20 kcal/kg/day and increased slowly, low blood electrolytes levels were supplemented with oral or intravenous electrolytes. Patients were also given thiamine and another micronutrient supplementation. Patients were monitored closely for clinical conditions, vital signs, water balances and blood electrolytes levels minimum every 24 hours. Before discharge, improvement was seen in signs and symptoms of refeeding syndrome, and blood electrolytes levels. Hospital length of stay was 11 to 27 days. Appropriate medical nutrition therapy can reduce refeeding syndrome severity, give clinical and blood electrolytes levels improvement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny Amaliya
"Diabetes melitus tipe 2 merupakan masalah kesehatan yang masih dihadapi di Indonesia. Hiperglikemia menyebabkan risiko komorbiditas meningkat salah satunya tuberkulosis paru. Pasien DM dengan TB paru meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Dukungan nutrisi dilakukan untuk membantu memperbaiki kadar glukosa darah. Energi yang mencukupi dan pemberian serat merupakan tatalaksana gizi yang dapat membantu memperbaiki kadar glukosa darah. Serial kasus ini melaporkan empat pasien diabetes melitus tipe 2 dengan tuberkulosis paru yang memiliki rentang usia 49-57 tahun dan status gizi yang bervariasi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan rekomendasi nutrisi untuk pasien diabetes melitus. Pemenuhan kebutuhan mikronutrien diberikan dengan suplementasi. Hasilnya yaitu kadar glukosa darah dua orang pasien dalam rentang normal 140-180 mg/dl, dengan asupan sesuai target kebutuhan dan komposisi protein 16-20%, lemak 20-18%, karbohidrat 52-64% dan serat 10-20 g/hari. Namun dua pasien dengan status gizi obes kadar glukosa darah masih belum terkontrol dan asupan energi belum mencapai target kebutuhan karena anoreksia dan infeksi yang belum teratasi. Kesimpulannya dukungan nutrisi dengan energi dan serat sesuai rekomendasi dapat membantu memperbaiki kadar glukosa darah.

Type 2 diabetes still a major health problem in Indonesia. Hyperglycemia increase the risk of comorbidity include lung tuberculosis. Since morbidity and mortality of patients with type 2 diabetes and lung tuberculosis increase, nutrition therapy may improve blood glucose level. Provide adequate energy and fiber as a part of medical nutrition therapy for maintain the blood glucose level. This is a case series of four patients with type 2 diabetes and lung tuberculosis, age 49-57 years old, having various nutritional status. The medical nutritional therapy was given to patients according to the diabetes mellitus guidelines. Supplementation were administered to fulfill their requirement. Result: the blood glucose level of two patients within normal range 140-180 mg/dl, with adequate energy intake, protein 16-20%, fat 20-28%, and carbohydrate 52-64% and fiber 10-20 g/day. However the others with obesity remains uncontrolled glucose level, despite of their low intake of energy. It occured due to anorexia and untreated infection. Conclusion: Medical nutritional therapy with adequate energy and fiber may improve the blood glucose level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evania Astella Setiawan
"Latar belakang. Meningkatnya prevalensi obesitas diikuti pula dengan kejadian sakit kritis pada pasien obesitas. Obesitas merupakan suatu kondisi inflamasi kronis yang memengaruhi disregulasi respon imun dan meningkatkan risiko sepsis. Sepsis merupakan penyebab tersering perawatan di intensive care unit (ICU) dan berkaitan dengan tingginya mortalitas dan morbiditas. Terapi medik gizi yang adekuat diperlukan untuk menopang diregulasi metabolisme pada sakit kritis dan mencegah penurunan status gizi. Pasien obesitas dengan sepsis menunjukkan prognosis yang buruk pada kondisi hiperlaktatemia. Salah satu mikronutrien yang berperan dalam bersihan laktat adalah tiamin. Beberapa studi menunjukkan efek positif suplementasi tiamin pada penurunan kadar laktat dan mortalitas pada pasien sepsis.
Kasus. Serial kasus ini memaparkan tiga pasien laki-laki dan satu pasien perempuan, berusia 33-68 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan sepsis. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak fase akut sakit kritis. Pemberian energi dan protein sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Seluruh pasien mendapatkan suplementasi tiamin 2x100 mg per enteral yang dimulai pada 24 jam pertama pasca penegakkan diagnosis sepsis selama 7 hari.
Hasil. Selama perawatan, asupan energi pasien kasus dapat mencapai 30 kkal/kgBB dan asupan protein mencapai 1,3–1,7 g/kgBB sesuai dengan fungsi ginjal pasien. Tiga pasien mengalami penurunan kadar laktat dan skor SOFA setelah 7 hari suplementasi tiamin. Ketiga pasien tersebut dapat melewati fase kritis di ICU dan pindah ke ruang perawatan biasa, sedangkan satu pasien mengalami peningkatan enzim transaminase dan peningkatan kadar laktat. Pasien tersebut mengalami 3 kali periode sepsis dan meninggal dunia saat perawatan sakit kritis.
Kesimpulan. Suplementasi tiamin memberikan efek positif pada penurunan kadar laktat darah dan skor SOFA pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang luaran klinis dan kesintasan pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas.

Background. The prevalence of obesity is rising worldwide followed by the incidence of critical illness in obese patients. Obesity is a chronic inflammatory condition that affects dysregulation of immune response and increases the risk of sepsis. Sepsis is the most common cause of hospitalization in the intensive care unit (ICU) and is associated with high mortality and morbidity. Adequate medical nutrition therapy is required to support metabolism in the critically ill and prevent deterioration in nutritional status. Obese patients with sepsis and hyperlactatemia exhibit poor prognosis. One of the micronutrients that play a role in lactate clearance is thiamine. Several studies have shown a positive effect of thiamine supplementation on reducing lactate levels and mortality in septic patients.
Case. This case series described three male patients and one female patient, aged 33-68 years with obesity, critical illness, and sepsis. All patients obtained medical nutrition therapy ever since the acute phase of critical illness. Administration of energy and protein was adjusted to clinical conditions and patients` tolerance. All patients received thiamine supplementation 2x100 mg enteral starting in the first 24 hours after diagnosis of sepsis for 7-day period.
Result. During treatment, the energy dan protein intake of case patients attained 30 kcal/kgBW and 1.3–1.7 g/kgBW respectively, according to the patients' tolerance. Three patients had decrement of lactate levels and SOFA scores after 7 days of thiamine supplementation. The three patients were able to surpass the critical phase in the ICU and step down to ward. Meanwhile, one patient experienced an increment in transaminases enzymes and lactate levels. The patient had 3 periods of sepsis and died during critical care.
Conclusion. Thiamine supplementation exhibited positive impact on lactate levels and SOFA scores decrement in critically ill patients with sepsis and obesity. Adequate medical nutritional therapy could promote clinical outcomes and survival in critically ill patients with sepsis and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>