Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123593 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulia Margareta L. Toruan
"Katarak subkapsular posterior (SKP) dan peningkatan tekanan intraokular (TIO) adalah komplikasi okular tersering akibat penggunaan kortikosteroid oral. Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan jangka panjang. Di Indonesia, tidak data mengenai hubungan antara dosis dan lama terapi terhadap kedua komplikasi tersebut pada anak sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis kumulatif, lama terapi dengan kejadian katarak SKP maupun peningkatan TIO pada anak SNI di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Studi ini merupakan studi potong lintang pada anak SNI usia 4-18 tahun yang mendapat terapi kortikosteroid oral minimal enam bulan secara terus menerus. Pemeriksaan mata lengkap dilakukan untuk mengevaluasi katarak SKP, tajam penglihatan dan peningkatan TIO. Dari 92 anak yang dianalisis, terdapat 19,6% anak yang menderita katarak SKP, 12% anak dengan peningkatan TIO dan satu anak dengan best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. Median dosis kumulatif kortikosteroid oral adalah 12.161 mg (rentang 1.795-81.398) dan median lama terapi adalah 23 bulan (rentang 6-84). Terdapat hubungan antara dosis kumulatif (P=0,007) dan lama terapi (P=0,006) terhadap kejadian katarak SKP dengan titik potong optimal 11.475 mg dan 24 bulan. Jenis kelamin perempuan akan meningkatkan kejadian katarak SKP sebesar empat kali dibandingkan lelaki (PR=4; IK 95%=1,57-13,38; P=0.001). Penelitian ini menunjukkan makin tinggi dosis kumulatif dan/atau makin lama terapi kortikosteroid oral, maka makin besar angka kejadian katarak SKP (nilai batasan ≥ 11.475 mg dan ≥ 24 bulan). Dosis kumulatif dan lama terapi tidak berhubungan dengan kejadian peningkatan TIO.

Posterior subcapsular cataract (PSC) and raised intraocular pressure (IOP) are the most common ocular complications due to administration oral corticosteroid. These can occur in high dose and long term use. In Indonesia, no data regarding correlation between dose, therapeutic duration and both complications in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). The aim of this study was to determine the correlation between cumulative dose, therapeutic duration with the occurrence of PSC and raised IOP in children with INS at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). This is a cross-sectional study of children with INS aged 4-18 years who received oral corticosteroid therapy for at least six months continuously. A complete eye examination was performed to evaluate PSC, raised IOP and visual acuity. Of the 92 children analyzed, 19.6% had PSC, 12% had IOP elevation and one child with best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. The median cumulative dose of oral corticosteroids was 12,161 mg (range 1,795-81,398) and the median duration of therapy was 23 months (range 6-84). There were association between cumulative dose (P=0.007) and duration of therapy (P=0.006) to the occurrence of PSC with cut off value 11,475 mg and 24 months. Female sex will increase the occurence of PSC four times compared to male (PR=4; 95% CI=1.57-13.38; P=0.001). This study revealed that the higher cumulative dose and/or the longer of oral corticosteroid therapy, the higher occurence of PSC (cut off value ≥ 11.475 mg and ≥ 24 months). Cumulative dose and therapeutic duration were not associated with the occurence of raised IOP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Toruan, Yulia Margareta L.
"Katarak subkapsular posterior (SKP) dan peningkatan tekanan intraokular (TIO) adalah komplikasi okular tersering akibat penggunaan kortikosteroid oral. Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan jangka panjang. Di Indonesia, tidak data mengenai hubungan antara dosis dan lama terapi terhadap kedua komplikasi tersebut pada anak sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis kumulatif, lama terapi dengan kejadian katarak SKP maupun peningkatan TIO dan faktor yang memengaruhinya pada anak SNI di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Studi ini merupakan studi potong lintang pada anak SNI usia 4-18 tahun yang mendapat terapi kortikosteroid oral minimal enam bulan secara terus menerus. Pemeriksaan mata lengkap dilakukan untuk mengevaluasi katarak SKP, tajam penglihatan dan peningkatan TIO. Dari 92 anak yang dianalisis, terdapat 19,6% anak yang menderita katarak SKP, 12% anak dengan peningkatan TIO dan satu anak dengan best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. Median dosis kumulatif kortikosteroid oral adalah 12.161 mg (rentang 1.795-81.398) dan median lama terapi adalah 23 bulan (rentang 6-84). Terdapat hubungan antara dosis kumulatif (P=0,007) dan lama terapi (P=0,006) terhadap kejadian katarak SKP dengan titik potong optimal 11.475 mg dan 24 bulan. Jenis kelamin perempuan akan meningkatkan kejadian katarak SKP sebesar empat kali dibandingkan lelaki (PR=4; IK 95%=1,57-13,38; P=0.001). Penelitian ini menunjukkan makin tinggi dosis kumulatif dan/atau makin lama terapi kortikosteroid oral, maka makin besar angka kejadian katarak SKP (nilai batasan ≥ 11.475 mg dan  ≥ 24 bulan). Dosis kumulatif dan lama terapi tidak berhubungan dengan kejadian peningkatan TIO.

Posterior subcapsular cataract (PSC) and raised intraocular pressure (IOP) are the most common ocular complications due to administration oral corticosteroid. These can occur in high dose and long term use. In Indonesia, no data regarding correlation between dose, therapeutic duration and both complications in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). The aim of this study was to evaluate the correlation between cumulative dose, therapeutic duration with the occurrence of PSC and raised IOP and factors associated with these complications in children with INS at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH).
This is a cross-sectional study of children with INS aged 4-18 years who received oral corticosteroid therapy for at least six months continuously. A complete eye examination was performed to evaluate PSC, raised IOP and visual acuity. Of the 92 children analyzed, 19.6% had PSC, 12% had raised IOP and one child with best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. The median cumulative dose of oral corticosteroids was 12,161 mg (range 1,795-81,398) and the median duration of therapy was 23 months (range 6-84). There were associaton between cumulative dose (P=0.007) and duration of therapy (P=0.006) to the occurrence of PSC with cut off point 11,475 mg and 24 months. Female sex will increase the occurence of PSC four times compared to male
(PR=4; 95% CI=1.57-13.38; P=0.001). This study revealed that the higher cumulative dose and/or
the longer of oral corticosteroid therapy, the higher occurence of PSC (cut off point ≥ 11.475 mg and ≥ 24 months). Cumulative dose and therapeutic duration were not associated with the occurence of raised IOP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denie Kartono
"Latar Belakang: CT scan orbita merupakan modalitas radiologi yang mudah dan efisien untuk menilai adanya penebalan otot ekstraokular pada penderita oftalmopati Graves. Penebalan otot ekstraokular memiliki korelasi dengan masing-masing derajat oftalmopati Graves. Di Indonesia, belum ada korelasi antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves menurut klasifikasi NOSPECS.
Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 89 orbita yang berasal dari 50 pasien penderita oftalmopati Graves yang telah menjalani pemeriksaan CT scan orbita di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2012 hingga Desember 2016. Penelitian dilakukan sejak Februari hingga Maret 2017. Pengukuran ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dilakukan setelah meninjau ulang derajat oftalmopati Graves melalui hasil pemeriksaan oftalmologi.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna di antara rerata ketebalan otot ekstraokular menurut derajat oftalmopati Graves (p<0,05). Uji korelasi Spearman didapatkan korelasi yang bermakna dan nilai r yang bervariasi di antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves. Nilai r=0,43 untuk rektus medial, r=0,37 untuk rektus lateral, r=0,49 untuk rektus superior, r=0,45 untuk rektus inferior dan r=0,57 untuk ketebalan total ekstraokular.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.

Background: CT scan is an easy and efficient radiological modality to measure extraocular enlargement in the patient with Graves' ophthalmopathy disease. Extraocular muscles enlargements were had correlated with each grade of Graves' ophthalmopathy. In Indonesia, there is not yet a study about correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity based on NOCPECS classification.
Purpose: To obtain the correlation values between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity.
Method: This study used a cross sectional design. Eighty nine samples from fifty patients with Graves' opthalmopathy were chosen using consecutive sampling from patients that underwent orbital CT scan at the Radiology Departement of the Indonesia University's Faculty of Medicine' Cipto Mangunkusumo Hospital from time periode January 2012 until December 2016. This study was done from February until March 2017. The measurement of extraocular muscles diameter in orbital CT scan was performed after had reviewed Graves' ophthalmopathy severity from ophthalmology examination on medical record.
Results: There are significantly differences between extraocular muscles diameter mean with Graves' ophthalmopathy severity (p<0,05). Spearman correlation test between extraocular muscles diameter with Graves' ophthalmopathy grading shows significant correlation with varied r values, r=0,43 for rectus medial, r=0,37 for rectus lateral, r=0,49 for rektus superior, r=0,45 for rectus inferior and r=0,57 for total diameters of extraocular muscles.
Conclusion: There is a moderate positive correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alva Andhika Sa`Id
"Degenerasi makula atau Age-Related Macular Degeneration (AMD) adalah penyakit mata yang menyebabkan kebutaan pada bagian tengah mata yang merusak kinerja retina pada bagian makula yang berfungsi untuk mempertajam penglihatan untuk beberapa aktivitas, seperti membaca, menulis, dan mengenali wajah seseorang. Penderita AMD akan mengalami penglihatan yang buram, distorsi penglihatan, atau bahkan kehilangan penglihatannya. Dalam mendiagnosis AMD dapat digunakan oftalmoskopi, beberapa metodenya yaitu Ocular Coherence Tomography (OCT) dan fotografi fundus sudah banyak dilakukan untuk membantu diagnosis AMD. Namun, diagnosis AMD dengan mengandalkan ahli dapat berlangsung lama dan memungkinkan terjadinya error subjektivitas oleh pendiagnosis. Diagnosis awal diperlukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan terjadinya AMD pada tahap awal yang gejalanya tidak dirasakan oleh penderita. Pendekatan diagnosis AMD salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan machine learning. Machine learning sudah berperan besar dalam sektor medis membantu permasalahan klasifikasi diagnosis penyakit seperti metode Support Vector Machines (SVM) dan Twin Support Vector Machines (TSVM). Salah satu cabang machine learning yang sangat baik dalam klasifikasi penyakit lewat gambar adalah deep learning. Metode yang digunakan deep learning untuk permasalahan klasifikasi data citra salah satunya adalah Convolutional Neural Network (CNN). Pada penelitian ini, akan digunakan metode Convolutional Neural Network – Twin Support Vector Machines (CNN-TSVM) untuk mengklasifikasi penyakit AMD menggunakan data citra fundus yang diperoleh dari Ocular Disease Recognition (ODIR-5K) 2019, dengan 227 data citra fundus normal dan 227 data citra fundus penyakit AMD. Evaluasi kinerja metode CNN-TSVM menggunakan teknik hold-out validation dengan membagi data latih dan data uji dengan proporsi 10% - 90% dan metrik akurasi, presisi, dan recall. Hasil kinerjanya dibandingkan dengan metode CNN dan Convolutional Neural Network – Support Vector Machines (CNN-SVM). Hasil yang diperoleh menunjukkan CNN-TSVM menggunakan kernel RBF memberikan akurasi dan recall terbaik, sementara CNN-TSVM menggunakan kernel polinomial memberikan presisi terbaik.

Age-related Macular Degeneration (AMD) is an eye disease that causes blindness in the middle of the eye that impairs retinal performance in the macula that serves to sharpen vision for some activities, such as reading, writing, and recognizing a person's face. AMD sufferers will experience blurred vision, vision distortion, or even loss of vision. In AMD diagnosed, ophthalmology can be used, several methods of ophthalmology including Ocular Coherence Tomography (OCT) and fundus photography have been widely done to help the diagnosis of AMD. However, AMD diagnosis by relying on experts can be long-lasting and allow subjective errors to occur in the diagnosis. An initial diagnosis is needed to detect the possibility of AMD occurrence at an early stage where symptoms are not felt by the sufferer. One of AMD diagnosis approach can be done with machine learning approach as one of artificial intelligence methods. Machine learning method has played a major role in the medical sector helping classification problems of disease diagnosis such as Support Vector Machines (SVM) and Twin Support Vector Machines (TSVM). One of the excellent branches of machine learning in the classification of diseases through images is deep learning. The suitable method used by deep learning for image data classification problems is convolutional neural network (CNN). In this study, Convolutional Neural Network–Twin Support Vector Machines (CNN-TSVM) method will be used to classify AMD diseases using fundus image data obtained from Ocular Disease Recognition (ODIR-5K) 2019, with 227 normal fundus image data and 227 fundus image data of AMD disease. Performance evaluation of CNN-TSVM method using hold-out validation techniques by dividing training data and testing data by a proportion of 10% - 90% and metrics of accuracy, precision, and recall. The performance results will be compared to CNN and Convolutional Neural Network – Support Vector Machines (CNN-SVM). The results showed CNN-TSVM using RBF kernel provided the best accuracy and recall, while CNN-TSVM using polynomial kernel provided the best precision."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cecilia Anggraini
"Latar belakang: Perubahan okular pasien oftalmopati Graves (OG) tidak pernah mengalami remisi sempurna pasca tatalaksana berdampak negatif pada psikososial pasien. Kuesioner Graves Ophthalmopathy Quality of Life (GO-QoL) versi Bahasa Indonesia belum tervalidasi sehingga belum bisa mengevaluasi kualitas hidup pasien yang menjadi indikator dalam tatalaksana pasien OG.
Tujuan: Menyajikan kuesioner GO-QoL versi Bahasa Indonesia yang sahih dan andal dan mengetahui hubungan kualitas hidup pasien dengan aktivitas klinis dan derajat keparahan OG.
Metode: Proses validasi melalui adaptasi transkultural dengan desain potong lintang. Validitas dinilai dengan content validity index (CVI) dan reliabilitas dinilai dengan Cronbach's alpha.
Hasil: Kuesioner GO-QoL versi Bahasa Indonesia memiliki content validity index (CVI) mencapai 1,00. Nilai Cronbach’s alpha  subskala fungsi penglihatan 0,971; subskala tampilan 0,993; total 0,986. Kualitas hidup pasien OG di subskala tampilan dan keseluruhan  memiliki hubungan bermakna dengan clinical activity score (p<0,05) dan derajat keparahan (p<0,001).
Kesimpulan: GO-QoL versi Bahasa Indonesia validitas dan reliabilitas sangat baik. Aktivitas klinis OG yang aktif dan semakin tinggi derajat keparahan memperburuk kualitas hidup pasien pada subskala tampilan dan keseluruhan.

Background: Graves' ophthalmopathy (GO) ocular abnormalities persisted even after treatment, negatively impacting the patient's psychological and social health. The Indonesian Graves' Ophthalmopathy Quality of Life (GO-QoL) Questionnaire has not been validated, hence it cannot measure patient quality of life, which is crucial to GO treatment.
Objective: Providing a reliable Indonesian GO-QoL questionnaire and identifying an association between patient quality of life and clinical activity and severity of GO.
Method: The process of questionnaire validation involves transcultural adaptation and cross-sectional design. The content validity index (CVI) and Cronbach's alpha assessed validity and reliability, respectively.
Result: Content validity index (CVI) was 1.00 for the Indonesian GO-QoL questionnaire. Cronbach's alpha visual function subscale value was 0.971, while the appearance subscale value was 0.993, and the total score was 0.986. The appearance subscale and total score of OG patients' quality of life had a significant association with the clinical activity score (p<0.05) and disease severity (p<0.001).
Conclusion: The Indonesian version of GO-QoL has good validity and reliability. Both the active clinical activity of OG and the severity of the disease decreased the patient's appearance and general quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elkania Samanta Nagani
"Penyakit mata perlu pendeteksian dan diagnosis yang tepat mengingat peran organ mata yang penting dalam kehidupan. Salah satu cara mendeteksi penyakit mata yang menyebabkan kebutaan adalah melalui ophthalmoscopy, dengan hasil pemeriksaan berupa citra fundus. Penelitian ini menggunakan metode Convolution Neural Network (CNN) dengan arsitektur CO-ResNet. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari online database yang berisi data multi-kelas penyakit mata. Preprocessing crop center dan resize digunakan dalam penelitian ini agar ukuran data citra dapat dijadikan input model. Fungsi optimasi untuk meminimalkan loss function ketika melatih model yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi Adam dengan setting hyperparameter learning rate, epoch, 𝛽1 , dan 𝛽2 . Fungsi loss yang digunakan untuk masalah pengklasifikasian multikelas dalam penelitian ini adalah categorical cross entropy. Hasil penelitian menunjukan nilai yang diperoleh dengan training loss terkecil sebesar 0,4066 dan validation loss terkecil sebesar 0,4950. Sementara itu, nilai training accuracy terbaik sebesar 87% dan validation accuracy terbaik sebesar 79%. Setelah melalui proses training, dilakukan proses testing untuk mengevaluasi kinerja model. Hasil testing terbaik yang didapat dengan nilai testing accuracy sebesar 75,25%, precision sebesar 75,6%, recall sebesar 75,4%, dan F1-score sebesar 75,4%. Secara keseluruhan, metode CO- ResNet bekerja dengan cukup baik dalam mengklasifikasi dan mendeteksi penyakit mata.

Eye diseases need proper detection and diagnosis considering the important role of eye organs in life. One way to detect eye diseases that cause blindness is through ophthalmoscopy, with the results of the examination being an image of the fundus. This research uses the Convolution Neural Network (CNN) method with CO-ResNet architecture. The data used in this study were taken from an online database containing data on multi-class eye diseases. Preprocessing crop center and resize are used in this study so that the size of the image data can be used as model input. The optimization function to minimize the loss function when training the model used in this study is the Adam function with the hyperparameters setting are learning rate, epoch, 𝛽1, and 𝛽2. The loss function used for the multiclass classification problem in this study is categorical cross entropy. The results showed that the value obtained with the smallest training loss was 0.4066 and the smallest validation loss was 0.4950. Meanwhile, the best training accuracy value is 87% and the best validation accuracy is 79%. After going through the training process, a testing process is carried out to evaluate the performance of the model. The best testing results were obtained with testing accuracy values of 75.25%, precision of 75.6%, recall of 75.4%, and F1-score of 75.4%. Overall, the CO-ResNet method works quite well in classifying and detecting eye diseases."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siburian, Apriliani
"Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak dimana merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Jumlah anak penderita Sindrom Nefrotik setiap tahunnya bertambah di beberapa negara. Angka kejadian Sindrom Nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 anak per 100.000 dan diketahui terjadi paling banyak pada anak antara umur 3 - 4 tahun dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2 : 1.
Sindrom Nefrotik menyebabkan anak harus menjalani hospitalisasi di rumah sakit. Lamanya masa hospitalisasi di rumah sakit dapat meningkatkan kecemasan pada anak dan keluarga. Ketidaktahuan tentang penyakit serta riwayat keluarga yang sebelumnya belum pernah menderita penyakit yang sama turut mempengaruhi kecepatan kesembuhan anak khususnya pada anak pra sekolah. Pendekatan FCC (Family Center Care) menjadi salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi efek hospitalisasi dengan mengedepankan komunikasi teraupetik dalam setiap tindakan keperawatan maupun medis kepada anak.

Nephrotic syndrome is a kidney disease that is often found in children, which is a collection of clinical symptoms that consisting of massive proteinuria, hypoalbuminemia, edema, and hiperkolesteronemia. The number of children with Nephrotic Syndrome annually increasing in some countries. The incidence of Nephrotic Syndrome in the United States and Britain ranges from 2-7 per 100,000 children aged under 18 years per year, while in Indonesia reported 6 children per 100,000 and the most widely known to occur in children between the ages of 3-4 years with a ratio of boys men and women is 2: 1.
Nephrotic syndrome causes children must undergo hospitalization at the hospital. The long duration of hospitalization in the hospital can increase anxiety in children and also the families. Ignorance about the disease and a family history that had not been suffering from the same disease also affects the speed of healing children, particularly in pre-school children. FCC approach (Family Care Center) is one of the way that can be used to reduce the effects of hospitalization with the advanced communication teraupetik in every medical and nursing actions to the child.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahaean, Niko Oscario
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian skenario priming motivasi pemilihan pasangan jangka pendek dan jangka pendek terhadap atensi visual pria pada gambar perempuan. Berdasarkan teori strategi seksual yang dikemukakan oleh Buss dan Schmitt (1973) laki-laki dan perempuan akan menerapkan strategi yang berbeda sesuai motivasi pemilihan pasangan yang sedang dimiliki; jangka panjang atau jangka pendek. Atensi visual diukur dengan menggunakan alat eye-tracking.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan desain, randomized three group independent subject design. Penelitian dilakukan pada 48 mahasiswa Universitas Indonesia, berjenis kelamin lak-laki, usia 19 - 25 tahun. Partisipan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelompok; skenario jangka panjang, jangka pendek, dan kelompok kontrol.
Hasil uji ANOVA pada variabel jumlah titik fiksasi diperoleh F(2, 45) = 2,836, p = 0,069. Sedangkan hasil uji ANOVA pada variabel total waktu memandang diperoleh F(2, 45) = 0,373, p = 0,690. Hasil ini menunjukan tidak bahwa pemberian priming skenario motivasi pemilihan pasangan jangka panjang dan jangka pendek tidak memiiki pengaruh terhadap atensi visual lakilaki pada gambar perempuan yang diberikan.

This study examined the influence of short term or long term mating scenario to men visual attention at female picture. Based on Buss and Schmitt (1973) sexual strategies theory men and women apply different strategies based on their current mating motivation; long term or short term. In this study, visual attention was measured by using an eye-tracker machine.
This study was conducted as a laboratory experiment research with randomized three group independent design. Total of participants were 48 people. Participants in this study were students, male within the age range 19 - 25 who studying in Universitas Indonesia. Participants were randomized into three group; long term scenario, short term scenario, and control group.
Result of ANOVA test on number of fixation showed F(2, 45) = 2.836, p = 0.069. While result of ANOVA test on participant?s dwell time showed F(2, 45) = 0,373, p = 0,690. The result of this study shows neither short term or long term mating scenario did not affect on men visual attention.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellya Thaher
"LATAR BELAKANG
Sklera merupakan jaringan ikat padat kuat yang saling berpotongan dalam berbagai arah. Susunan yang kuat ini menyebabkan sklera dipergunakan oleh banyak ahli untuk memperbaiki. keadaan patologis sklera yang lain. Sklera yang dipergunakan, seperti dianjurkan oleh Fred M. Wilson dapat berupa sklera yang segar atau sklera yang dipreservasi. Namun oleh karena sulit untuk memperoleh sklera yang segar, maka perlu dipikirkan bagaimana caranya melakukan preservasi sklera agar sklera itu dapat disimpan dengan baik dan tahan lama sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan. Yang dimaksud dengan preservasi sklera ini adalah suatu sistem penyimpanan sklera yang bertujuan untuk menjamin kualitas jaringan dan memperpanjang waktu penyimpanan maksimum. Sistem penyimpanan ini hendaknya dapat memudahkan transportasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi jaringan yang dipreservasi. Sulitnya mendapatkan sklera yang segar menyebabkan para Ahli berusaha melakukan berbagai cara preservasi seperti :
a) Preservasi dengan menggunakan gliserin dan molekul sieve yang dilakukan menurut metode King,
b) Preservasi dengan alkohol,
c) Preservasi dengan pembekuan,
d) Preservasi dengan silica-gel.
M. Nakazuma (1984) berhasil mengobati stafiloma sklera pasca trauma dengan sklera yang sangat tipis pada seorang pasien Ehlers Danlos Syndrome, tipe V1 dengan sklera yang dipreservasi. Von Payrau dan Remky {1961) melaporkan keberhasilan mereka menggunakan sklera yang dipreservasi dengan silica gel untuk operasi sklerektasi, skleritis, dan skleromalasia serta operasi ablasi retina secara aman. Penggunaan lain sklera yang dipreservasi adalah untuk :
a) penghambat miopia tinggi,
b) operasi retraksi kelopak mata,
c) sebagai implan sekunder pada beberapa kasus yang menunjukkan terjadinya ekstruksi implan pada pasien pasca enukleasi,
d) perforasi sklera pada skleromalasia.
Melihat banyaknya kegunaan sklera yang dipreservasi untuk tujuan klinis, maka perlu diusahakan bagaimana caranya agar sklera yang berasal Bari donor mata Srilangka atau donor lokal dapat dimanfaatkan untuk tujuan klinis tersebut. Hal ini tentu dapat dicapai apabila sklera tersebut dapat dipreservasi dengan baik sehingga pada waktu diperlukan dapat diambil dari Bank Mata.
Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa sklera segar sukar diperoleh sehingga perhatian harus diarahkan kepada usaha-usaha untuk melakukan preservasi sklera sehingga jaringan sklera itu dapat disimpan untuk sewaktu-waktu diperlukan dapat digunakan bagi berbagai keadaan patologis sklera yang memerlukan "graft sclera". Untuk itu penulis merancang suatu eksperimen untuk melakukan preservasi sklera terhadap sklera yang berasal dari mata donor Srilangka dan donor local
Dari berbagai cara preservasi sklera yang dapat dilakukan, penulis membatasi pada cara preservasi dengan menggunakan alkohol dan dengan cara pendinginan. Selanjutnya, dari kedua cara preservasi sklera yang dilakukan itu, penulis merumuskan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu : Apakah ada perbedaan hasil preservasi sklera yang dilakukan dengan penggunaan alkohol dengan hasil preservasi sklera yang dilakukan dengan penggunaan larutan ampisilin pada suhu L0C.
"
1989
T 9094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawaty Fauzia
"Ruang lingkup: Komputer telah diperkenalkan di tempat kerja sebagai alat komunikasi dan informasi sejak tahun 1960, dari tahun ketahun penggunaan komputer meningkat terus. Sejalan dengan itu timbul keluhan akibat pengaruh penggunaan komputer. Pengaruh yang langsung terhadap mata dikenal dengan kelelahan mata atau asthenopia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi kelelahan mata di RS "X" serta faktor-faktor penyebabnya dan prevalensi kelelahan mata setelah dilakukan intervensi.
Metode: Penelitian ini menggunakan uji klinik before and after dengan intervensi selama empat minggu pada sampel yang berjumlah 48 responden di RS "X". Intervensi pada penelitian ini adalah dengan pemberian eye break pada periode tertentu dan pemberian lampu baca dengan kuat penerangan 300 luks. Data penelitian didapat dari keluhan subyektif dan pengukuran amplitude akomodasi sebelum dan sesudah menggunakan komputer selama dua jam terus menerus.
Hasil penelitian: Didapatkan prevalensi kelelahan mata pada pekerja komputer sebesar 95.8%. Setelah dilakukan intervensi, prevalensi menjadi 31.25%. Sedangkan faktor yang mempengaruhi dalam penelitian ini adalah faktor penerangan yang kurang dad 300 luks pada meja baca dokumen, sedangkan faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lama bekerja dan faktor kesilauan tidak terbukti menjadi faktor risiko untuk terjadinya kelelahan mata. Perubahan yang terjadi setelah intervensi adalah bermakna (p = 0.000).
Kesimpulan: Hasil penelitian mendapatkan adanya perubahan yang berrnakna kelelahan mata yang terjadi sebelum dan sesudah intervensi.

Effect to Decrease Eye Fatigue on Workers Using Computers at "X" Hospital Scope: Computers at workplace as means of communication have been introduced since 1960. The use of computers has increased year by year. In accordance with this, complaints due to negative impact of using computers rise. Direct influence on eyes is eye fatigue or asthenopia. The goal of this study, is to find the prevalence of eye fatigue at "X" Hospital with its casual factors before and after intervention.
Methodology: This study used before and after trial test with intervention for four weeks on 48 respondents at "X" Hospital. The intervention in this study is by giving eye break at certain period and reading lamp with 300 lux illumination. The data were obtained from subjective complaints and measurements of accommodation amplitudes before and after using computers for two hours continuously.
Results: The prevalence of eye fatigue on computer workers is 95.38%. After intervention, the prevalence becomes 31.25%. The factor influencing this study is lighting factor on reading-document table, which is less than 300 lux. Age, sex, education background, kinds of occupation, length of work, and illumination factors are not significant risk factors to eye fatigue. The changes after intervention are significant (p=0.000).
Conclusion: This study found significant changes between eye fatigue before and after intervention."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>