Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173157 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta : KITLV, 2009
992.2 K 421
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Ininnawa, 2019
300 KUA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hilmi Muhammadiyah
"Penelitian ini difokuskan pada pembahasan seputar reposisi perempuan Bugis di tengah masyarakatnya sebagai upaya meningkatkan status sosialnya yang didasarkan atas hasil penelitian lapangan yang dilakukan selama sekitar 3 bulan dari bulan Nopember 2005 hingga Januari 2006. Penulis secara khusus meneliti status haji yang melekat pada perempuan Bugis serta relasinya dengan aktivitas mereka di ranah publik, misalnya di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Posisi perempuan Bugis dalam struktur makro masyarakat Bugis dalam perspektif budaya berada pada tingkat yang cukup terhormat. Namun realitas struktur sosial perempuan Bugis jika disejajarkan dengan struktur sosial lainnya dinilai cukup rendah dan secara otomatis tidak sesuai dengan bangunan adat istiadatnya. Maka untuk mengembalikan nilai struktur sosial perempuan Bugis diperlukan perubahan sosial. Haji kemudian dipandang sebagai status yang dapat mengembalikan posisi perempuan Bugis pada tempat yang semestinya. Reposisi perempuan Bugis dalam konteks ini dilihat sebagai suatu proses pengembalian perempuan Bugis pada posisi yang sesuai dengan budaya Bugis.
Kelurahan Kalabbirang merupakan daerah yang masih didominasi oleh suku Bugis dengan perempuannya yang berpandangan bahwa haji merupakan simbol sosial yang dapat menyangga nilai-nilai sosial kelompoknya. Mereka menjadikan haji sebagai identitas untuk mengembalikan status sosialnya. Nilai-nilai haji ini kemudian mengatur interaksi-interaksi mereka dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks interaksi dengan sesama perempuannya maupun dengan kelompok laki-laki; atau pada saat beraktivitas di ruang publik. Berarti simbol haji mempunyai makna tersendiri bagi perempuan Bugis yang dirasakan ketika ia berada dalam ruang pentas dalam ritus-ritus yang beraspek sosial.
Konstruk haji sebagai simbol bagi perempuan Bugis membutuhkan tindakan sosial. Di sini kemudian perempuan Bugis mengambil peranan. Ia memandang simbol haji sebagaimana orang lain memandangnya. Sebelum bertindak perempuan Bugis memformulasikan suatu gagasan mengenai proyeksi tindakan orang lain dalam hubungannya dengan simbol haji. Perempuan Bugis berhaji juga memformulasikan proyeksi yang akan ia lakukan, termasuk peranan yang ia wujudkan melalui simbol haji.
Maka ketika perempuan Bugis telah melaksanakan haji, mereka telah mempunyai formulasi tindakan sosial. Jadi tindakan sosial dikonsepsikan dalam imajinasi sebelum melaksanakan haji. Dalam tataran ide mereka telah mengkonstruk haji sebagai proses penyempurnaan keislamannya sehingga dirinya merasa berhak untuk dikategorikan ke dalam ranah sosial haji. Mereka melakukan konstruksi atas kehidupannya untuk memberikan penyegaran baru terhadap identitas, life style dan lingkungannya dalam suatu komunitas baru yang penulis istilahkan dengan "tradisi lokal haji".
Tradisi lokal haji pada masyarakat Bugis merupakan ruang sosial unik yang terdiri dari nilai-nilai yang telah disepakati. Perempuan Bugis yang sudah berhaji berinteraksi dengan budaya Bugis secara makro dengan menggunakan norma-norma yang terkonstruk dalam tradisi lokal haji. Sub kultur ini tentunya mempunyai spesifikasi simbolik yang mengindikasikan suatu keterwakilan dari sebuah komunitas baru di tengah kelompok besar masyarakat Bugis. Pada proses interaksi sosial dengan kelompok lain inilah kemudian muncul simbol-simbol baru yang menggambarkan spesifikasi sub kultur, seperti sebagai orang yang "beriman", "taat", "jujur" dan lainnya. Sehingga bagi perempuan Bugis yang sudah berhaji secara otomatis mendapatkan modal simbolik yang dapat digunakan untuk memperluas jaringan sosialnya di tengah masyarakat. Simbol haji laksana mahkota ratu yang tiba-tiba dapat mendatangkan kekayaan sosial dan ekonomi.
Pada saat inilah terjadi proses reposisi perempuan Bugis, yaitu dari posisinya yang dirugikan oleh realitas kehidupan masyarakat padahal sebenarnya secara adat dimuliakan dan dihargai, kembali menjadi terhormat dalam kehidupan keseharian. Proses reposisi ini berlangsung cukup cepat, instan dan sangat ditentukan oleh faktor finansial individu perempuan Bugis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21507
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"People in rural community live a life peacefully because they have human and social capital. The existence of human is indicated by mutual love and living in peace and ih harmony while the existence of social capital is in the forms of mutual trust, cooperation and mutual help. Peace and order in rural community life are supported by the potential in the form of value and unwritten low systtem which grow in the people's life. This study is concerned with the Kombong institution at Enrekang community which has the systems of value, and unwritten low which become the reference for forming the social behaviour"
340 JIHAG 13:3 (2005)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Engkos Abubakar Kosasih
"Pembicaraan mengenai lukisan gua tidak lepas dari proses terbentuknya gua itu sendiri. Gua (cave; caverne) adalah lubang atau rongga yang terbentuk di bawah dan di atas permukaan tanah, pada lereng-lereng bukit dan gunung, atau pada tebing-tebing yang terjal di tepi sungai, danau dan laut (Renault, 1970). Gua merupakan hasil proses ekosistem yang bermanfaat guna mempelajari hubungan ekologis yang timbal-balik, tidak saja penting bagi dunia ilmu pengetahuan tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya (Whitten et al., 1988). Ukuran gua bermacam-macam dan terbentuk pada lapisan batu kapur atau batu gawping (limestone) serta batu karang (coral reef). Kecuali gua, ada juga yang disebut ceruk atau gua payung (rock shelter), yaitu gua yang dangkal. Gua dan ceruk sering digunakan sebagai tempat berlindung, baik oleh manusia maupun hewan, dari pengaruh angin, hujan, panas, dingin, serta dari gangguan kelompok manusia lain atau hewan buas. Menurut sejarahnya lapisan batu gawping terbentuk pada masa Cretaceous (Latin: creta - kapur), yaitu antara 135-60 juta tahun yang lalu (Howell et al., 1982)."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Fokus utama tulisan dititikberatkan pada upaya mengungkap bagaimana awal penemuan nikel di Soroaka, perusahaan yang terlibat dalam proses produksi mengapa nikel menjadi bagian dari sejarah masyarakat Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara. Selain itu diungkap juga bagaimana industri membawa perubahan pada ekologi wilayah. Sisi historis juga disertakan karena ada relevansi mengingat dalam catatan sejarah , nikel telah menjadi komoditi yang diperebutkan sejak masa kerajaan...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endro Gunawan
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak perdagangan bebas kedelai (tarif nol persen) terhadap daya saing dan profitabilitas usaha tani kedelai di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan periode 2002-2003. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keuntungan usaha tani kedelai di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada tahun 2002 lebih besar dibanding laba usaha tani pada tahun 2003. Terjadi penurunan keuntungan usaha tani sebesar Rp. 201,5 ribu di Jatim dan Rp. 288,2 ribu di Sulsel pada perlode 2002-2003. Di Jawa Timur keuntungan usaha tani kedelai pada tahun 2002 sebesar Rp. 1.333.725 /ha dan pada tahun 2003 sebesar Rp. 1.132.200/ha, sedangkan di Sulawesi Selatan keuntungan usaha tani kedelai sebesar Rp. 1.380.700/ha pada tahun 2002 dan Rp. 1.092.500/ha pada tahun 2003.
Usaha tani kedelai di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan periode 2002-2003 masih memberikan keuntungan yang memadai. Hal ini tercermin dari nilai net transfer usaha tani kedelai di propinsi Jatim dan Sulsel yang nllainya lebih besar dari noi, yaitu sebesar Rp. 463.919 di Jatim dan Rp. 366.468 di Sulsel pada tahun 2003. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha tani kedelai masih menguntungkan di tingkat harga aktual (harga private) dibandingkan pada harga sosialnya. Hal ini disebabkan karena negara-negara produsen utama kedelai menerapkan harga dumping, sehingga harga kedelai pada harga sosial lebih murah dibandingkan harga kedelai pada harga private. Dibandingkan pada tahun 2002, nilai net transfer usaha tani kedelai di Jatim mengalami penurunan sebesar Rp.129.225/ha, sedangkan di Sulsel mengalami penurunan sebesar Rp.88.707/ha.
Nilai PCR usaha tani kedelai di propinsi Jatim dan Sulsel nilainya lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0.59 pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa untuk menghasilkan satu unit nilai tambah pada harga private di Jatim dan Sulsel hanya memerlukan 0.59 unit faktor domestik. Menurut metode PAM, hasil ini mengindikasikan bahwa usaha tani kedelai dl kedua propinsi mempunyai keunggulan kompetitif dan secara private menguntungkan. Dibandingkan dengan tahun 2002, maka nilai PCR di Propinsi Jatim dan Sulsel pada tahun 2003 mengalami peningkatan.
Nilai NPCO usaha tani kedelai dl Jatim dan Sulsel tahun 2003 nilainya lebih besar dari satu, yaitu 1.18 di Jatim dan 1.15 di Sulsel. Menurut metode PAM, ini berarti pemerintah memberikan proteksi pada output sehingga harga aktual kedelai lebih tinggi 18% di Jatim dan 15% di Sulsel dibandingkan dengan harga sosialnya. Rendahnya harga sosial tersebut diakibatkan karena perhitungan pada harga sosial menggunakan harga dumping, bukan harga sosial yang sebenarnya.
Nilai NPCI di propinsi Jatim dan Sulsel pada periode 2002-2003 nilainya juga lebih besar dari satu, yaitu 1.06 di Jatim dan 1.03 di Sulsel pada tahun 2003. Hal ini berarti adanya pajak berupa tarif bea masuk pada input tradable (benih, pupuk, pestisida). Akibat adanya tarif bea masuk pada input tradable mengakibatlcan harga input tradable usaha tani kedelai pada harga aktual di Jatim lebih tinggi 6% dan dl Sulsel lebih tinggi 3% dibanding pada harga sosialnya pada tahun 2003. Kondisi ini mengindikasikan bahwa input tradable pada usaha tani kedelai tidak mendapat proteksi, tetapi dikenakan pajak berupa tarif bea masuk.
Nilai EPC usaha tani kedelai di kedua propinsi lebih besar dari satu, yaitu 1.20 di Jatim dan 1.16 di Sulsel pada tahun 2003. Menurut metode PAM, hasil ini berarti pemefintah memberikan proteksi pada input-output secara simultan sehingga nilai tambah pada harga private di Jatim lebih besar 0.20% dan di Sulsel lebih besar 0.16% dibandingkan nilai tambah pada harga sosialnya.
Nilai DRCR usaha tani kedelai di kedua propinsi pada periode 2002-2003 nilainya lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0.71 di Jatim dan 0.69 di Sulsel pada tahun 2003. Hal ini berarti untuk rnenghasilkan satu unit nilai tambah pada harga sosial, Jatim memerlukan 0.71 unit faktor domestik dan Sulsel memerlukan 0.69 faktor domestik. Menurut perhitungan dengan metode PAM, nilai DRCR yang lebih kecil dari satu ini disebabkan karena penerimaan pada harga sosial yang lebih besar dibandingkan biaya input tradable-nya akibat subsidi domestik di negara produsen kedelai. Nilai DRCR di Sulsel pada periode 2002-2003 lebih kecil dibandlngkan dengan Jatim, hal ini mengindikasikan bahwa usaha tani kedelai di Sulsel lebih mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan di Jatim.
Terdapat perbedaan antara hasil analisis PAM dengan kondisi sebenarnya dari usaha tani kedelai di Indonesia. Perbedaan hasil perhitungan analisis PAM dengan kondisi di lapang ini diduga karena harga sosial yang digunakan dalam perhitungan PAM sudah terpengaruh oleh politik dumping, subsidi domestik dan subsidi ekspor yang dalam metode PAM pengaruh-pengaruh tersebut diabaikan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriadi Hamdat
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai rumah tangga sebagai unit produksi dengan mengetengahkan kasus usaha pertenunan tradisional (gedongan) di Kabupaten Wajo. Usaha pertenunan gedongan. di Kabupaten Wajo adalah merupakan usaha rumah tangga yang dikelola secara tradisional. Kegiatan menenun ini umumnya dilakukan oleh kaum wanita, dan mereka adalah penenun secara turun-temurun. Unit usaha dikelola dalam rumah tangga sehingga hal ini sangat berperan dalam proses sosialisasi dan alih keterampilan bagi anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Dalam pengertian bahwa rumah tangga penenun'tidak hanya berfungsi sosial tetapi jugs membawakan, fungsi ekonomi. Penenun-penenun tradisional di Wajo sejak dins telah membiasakan anak-anak mereka mengenal peralatan tenun yang digunakan, untuk selanjutnya memahami kegunaan dari tiap-tiap peralatan tersebut. Kebiasaan ini pada akhirnya akan mendorong anak-anak turut berpartisipasi dalam kegiatan bertenun.
Kemampuan bertahan usaha rumah tangga tenun gedongan di Kabupaten Wajo turut ditentukan oleh organisasi sosial seperti kekerabatan dan hubungan-hubungan patron-klien.Dalam usaha ini telah terbentuk hubungan kerja antar kerabat yang memiliki arti ekonomi dan relevansi penting bagi bertahannya usaha rumah tangga tersebut.
Hubungan patron-klien yang dikenal dalam masyarakat Wajo sebagai hubungan Ponggawa-sawi, di mana posisi seorang Ponggawa dimungkinkan karena ia memiliki kekuatan .ekonomi dan bertindak sebagai pemodal bagi sejumlah sawi. Dengan demikian bagi sejumlah penenun yang kekurangan modal usaha, maka menjalin hubungan kerja dengan seorang patron merupakan salah satu alternatif pilihan."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Isac Newton
"Terumbu karang adalah suatu ekosistem yang dibangun oleh komponen utama komunitas hewan karang dari jenis karang hermatipik yang termasuk dalam filum Coelenterata (Cnidaria), kelas Anthozoa, ordo Madreporaria-Scleractinia. Hewan karang hermatipik beserta alga berkapur dan organismeorganisme Iainnya menghasilkan endapan-endapan masif berupa kalsium karbonat (CaCO3) sehingga dapat membentuk terumbu. Kemampuan hewan karang membentuk terumbu ini karena adanya hubungan simbiosis dengan tumbuhan bersel satu di dalam jaringan polip individu hewan karang hermatifik yaitu zooxhantellae. Terumbu karang memiliki manfaat ekologi, yaitu berfungsi sebagai habitat berbagai biota laut, pelindung ekosistem padang lamun dan mangrove, pelindung pantai dan penyedia pasir taut. Manfaat ekonomi, yaitu untuk perikanan, bahan baku akuarium, hiasan, bangunan, serta wisata bahari. Manfaat sosial budaya, antara lain untuk pendidikan dan penelitian. Sumberdaya terumbu karang di Indonesia menghadapi berbagai ancaman kerusakan akibat pengaruh antropogenik di berbagai lokasi, yang telah berlangsung lama. Saat ini, kondisi terumbu karang yang baik hingga sangat baik sekitar 33,3%, sisanya dalam kondisi sedang hingga rusak. Kerusakan dapat disebabkan oleh pengaruh antropogenik, baik secara langsung maupun tak langsung. Kerusakan terumbu karang berakibat pada kerugian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Upaya merehabilitasi terumbu karang dapat ditempuh baik secara alami dan buatan, yang diikuti dengan upaya mengurangi pengaruh antropogenik. Upaya ini dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat. Pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang dilakukan masyarakat disebut pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat, disingkat dengan PBM.

Coral reef is an ecosystem mainly developed by the components of hermatiphic coral community of phylum Coelenterata (Cnidaria), class Anthozoa, order Madreporaria-Scleractinia. Hermatiphic coral and symbiotic calcite algae and other organisms produce massive sediments of Calcium Carbonate (CaCO3) and build their reefs. The ability of corals to build a reef is due to the mutual symbiotic of hermatiphic coral individual with unicellular algae called zooxhantellae. Coral reefs have ecological functions to be the habitats for marine organisms, protect sea grass and mangrove ecosystems, protect beach, and produce sand. Economic benefits of coral are fishery, source of aquarium materials, ornaments, building materials, and marine tourism. Social benefits of coral reefs are, among others, research and educational objects. Coral reef resources in Indonesia are still facing many kinds of anthropogenic threats in many locations. Currently, coral reef with good up to very good conditions is around 33.3%, the rest being poor to moderate conditions. Coral reefs degradation can be affected by anthropogenic effects, directly or indirectly. The coral reefs degradation in fact causes ecological, economical, socio and cultural losses. Rehabilitation of degraded coral reef can be conducted naturally and human intervention followed by the elimination of anthropogenic effects. These efforts could be conduct by the government, local government, and/or communities. The management of coral reefs conducted by communities is called community-based coral reefs management, shortened to CBM."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mattulada, H. Andi
"Elite modern itu, seperti dikatakan oleh Sartono (1947), adalah elite baru, sebagai pemimpin yang dapat diidentifikasikan sebagai organization man; elite modern yang bersikap idealistis dan yang sangat menyadari peranannya, simbolis sebagai pendukung ideologi-ideologi modern seperti anti-feodalisme, anti-kolonialisme, humanitarianisme, populisme, sosialisme, dan sebagainya. Pendek kata, elite modern itu harus dapat berfungsi sebagai akumulator ide-ide pembaruan, sedangkan tentang dari golongan mana akan munculnya dari segenap golongan bangsa Indonesia, tidaklah menjadi soal yang penting untuk diperdebatkan."
1991
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>