Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164705 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Melati Arum Satiti
"Latar belakang: Pasien dengan hemofilia dan Von Willebrand (VWD) memiliki risiko infeksi terkait transfusi, salah satunya adalah infeksi hepatitis C (HCV). Skrining darah donor terbaru adalah nucleic acid testing (NAT) dengan window period 3 hari. Berdasarkan rekapitulasi pasien hemofilia dewasa di RS Cipto Mangunkusumo tahun 2012, ditemukan 38% mengalami infeksi HCV dan dua diantaranya sudah didiagnosis dengan sirosis hati. Pengobatan infeksi HCV secara dini dapat menurunkan risiko sirosis hati. Namun saat ini belum ada data mengenai proporsi infeksi HCV pada hemofilia dan VWD anak yang menggunakan NAT dan tidak menggunakan NAT untuk skrining darah donor.
Tujuan: Mengetahui proporsi infeksi HCV pada pasien hemofilia dan VWD anak yang tidak menggunakan skrining NAT dan yang menggunakan skrining NAT.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif yang dilakukan terhadap pasien hemofilia dan Von Willebrand (VWD) anak dengan riwayat transfusi komponen darah. Subyek penelitian dieksklusi bila memiliki riwayat penggunaan jarum suntik bergantian dan ibu dengan riwayat infeksi HCV C. Subyek penelitian dibagi menjadi kelompok tidak menggunakan skrining NAT dan menggunakan skrining NAT. Kemudian dilakukan pemeriksaan anti HCV pada tiap kelompok. Subyek dengan hasil anti HCV reaktif menjalani pemeriksaan HCV RNA. Kemudian dilakukan analisa risiko relatif (RR) antara penggunaan skrining NAT terhadap proporsi infeksi HCV.
Hasil: Studi dilakukan terhadap 108 subyek penelitian mendapatkan proporsi anti HCV reaktif pada kelompok yang tidak menggunakan skrining NAT sebesar 3,3% (3/91) dan pada kelompok yang mengguanakan skrining NAT sebesar 0% (0/17). Analisis hubungan antara penggunaan skrining NAT dan anti HCV reaktif ditemukan hasil RR = 1,034 (IK95% 0,996-1,074) dengan nilai P 0,448 dan kekuatan penelitian 8,3%. Hasil pemeriksaan HCV RNA tidak ditemukan virus pada kedua subyek dengan anti HCV reaktif.
Simpulan: Proporsi anti HCV reaktif pada kelompok dengan riwayat transfusi komponen darah yang tidak menggunakan skrining NAT lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan skrining NAT. Namun hasil pemeriksaan HCV RNA tidak ditemukan virus pada seluruh subyek dengan anti HCV reaktif.
Title of the article : Hepatitis C Infection Related to Blood Transfusion in Children with Hemofilia and Von Willebrand Before and After the Implementation of Nucleic Acid Testing as the Method of Blood Donor Screening.

Background: Patient with hemophilia and Von Willebrand (VWD) have an increased risk of acquiring transfusion transmitted infection (TTI). The latest technology of blood donor screening method were using nucleic acid testing (NAT). In 2012, there were 38% of adult with hemophilia acquiring hepatitis C infection in Cipto Mangunkusumo hospital and two of them had developed liver cirrhosis. Early initiation of therapy may prevent the progression of hepatitis C (HCV) infection into liver cirrhosis. Currently, there is no data regarding the incidence of HCV infection in children with hemophilia and VWD before and after the implementation of NAT for blood donor screening.
Aim: To determine the incidence of HCV infection in children with hemophilia and VWD who were not using NAT compares to the one who were using NAT as their blood screening method.
Method: It is a cohort retrospective study of children with hemophilia and VWD with history of blood transfusion. The exclusion criteria were personal history of sharing needle and having mother with history of HCV infection. Subjects were divided into the group of subjects who were using NAT and not using NAT for blood donor screening method. Anti HCV examination were performed on each group. HCV RNA examination were carried out only on subjects with reactive anti HCV result. Relative risk (RR) of using NAT related to the incidence of HCV infection were then calculated.
Results: Study in 108 subjects reported the incidence of reactive anti HCV in a group who were not using NAT around 2% (2/91) compared to other group who were using NAT around 0% (0/17). The association between NAT implementation and the incidence of HCV infection showed RR = 1.022 (CI95% 0.991-1.054) with P value of 0.54 and power of 8.4%. HCV RNA examination showed no virus were found on both subjects with reactive anti HCV.
Conclusion: The incidence of reactive anti HCV was higher in the group who were not using NAT compared to the other group who were using NAT as their blood screening method. However, HCV RNA showed no virus were found on all subjects with reactive anti HCV. It is recommended to consider NAT as screening method due to 3 subjects were found to have history of hepatitis C infection in current study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maghfira
"ABSTRAK
Anti-HCV menjadi marker serologi utama yang digunakan untuk uji saring hepatitis C pada donor darah di Indonesia. Selain serologi anti-HCV, untuk lebih meningkatkan kemananan darah, Unit Transfusi Darah UTD DKI Jakarta juga menerapkan pemeriksaan Nucleic Acid Test NAT . Pemeriksaan anti-HCV tidak dapat membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah sembuh. Darah akan dianggap terifeksi HCV apabila salah satu dari pemeriksaan serologi atau molekuler positif, begitupula dengan darah donor dengan hasil pemeriksaan anti-HCV grayzone dan NAT negatif. Diperlukan kepastian atas berisiko tidaknya darah tersebut dalam menularkan infeksi HCV, mengingat kebutuhan darah di sebagian besar provinsi di Indonesia masih belum memenuhi target. Sehingga dibutuhkan uji molekuler lain untuk dijadikan pembanding dengan hasil NAT. Interpretasi hasil anti-HCV dilakukan berdasarkan rasio S/CO, yang dapat dijadikan prediksi status viremia donor, sehingga perlu dilakukan analisis hubungan antara S/CO dengan hasil pengujian molekuler dan HCV Ag-Ab. Nilai prediksi viremia diharapkan dapat menjadi alternatif bagi UTD yang belum mampu menerapkan NAT. Kemudian dipilih 93 sampel dengan kriteria anti-HCV positif dan NAT positif; anti-HCV positif dan NAT negatif serta anti-HCV grayzone dan NAT negatif untuk diuji dengan nested PCR kualitatif dan HCV Ag-Ab. Berdasarkan perbandingan hasil pengujian NAT dan nested PCR diperoleh nilai sensitivitas NAT sebesar 90, 63 , dengan Spesifisitasnya 96,71 . Dari hasil analisis chi-square diperoleh hubungan yang bermakna antara nilai S/CO anti-HCV dengan hasil pengujian NAT, nested PCR kualitatif dan HCV Ag-Ab P5 dapat dijadikan prediksi adanya infeksi aktif pada donor.

ABSTRACT
Anti HCV is the main serological marker for hepatitis C screening in blood donors in Indonesia. Besides anti HCV, UTD DKI Jakarta also implementing Nucleic Acid Test NAT to improve blood transfusion safety. Anti HCV assay can not distinguish between active infection and cured infection. Blood will be considered HCV infected if either from a positive serologic or molecular test, including blood with anti HCV grayzone and NAT negative. There is a requirement to ensure the risk status of blood with anti HCV grayzone and NAT negative, because the supply of blood in most provinces in Indonesia still insufficient. So, it takes another molecular test to compare with NAT result. Interpretation of anti HCV results was calculating by S CO ratio, which could be a predictor of viremia status. It is necessary to analyze the correlation between S CO with molecular test and HCV Ag Ab results.Viremia prediction value is expected to be an alternative for UTDs who have not been able to apply NAT. There are 93 samples collected then tested with NAT and anti HCV. Sample with concondantly positive anti HCV and NAT anti HCV positive and NAT negative and anti HCV grayzone and NAT negative. These samples then tested with nested PCR and HCV Ag Ab. Based on comparison of NAT and nested PCR, obtained NAT sensitivity value of 90, 63 , with Specificity 96.71 . The result of chi square analysis shows a significant correlation between S CO anti HCV with NAT, qualitative nested PCR and HCV Ag Ab P 5 can be used as predictors of active infection in donors. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Susianti Timan
"Hepatitis C merupakan penyakit infeksi yang dapat ditemukan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 90-95% dari seluruh hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh infeksi virus hepatitis C, sedangkan sebagian besar diantaranya cenderung asimptomatik. sehingga kadang-kadang tidak terdeteksi. Sekitar separuh dari penderita tersebut dalam perjalanan penyakitnya akan menjadi hepatitis kronis, dan 20% di antaranya berlanjut menjadi sirosis bahkan karsinoma hepatoseluler. Timbulnya hepatitis C pada transfusi tentunya akan memperburuk kondisi penderita.
Di Indonesia, penggunaan darah dan komponennya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Komplikasi utama dari transfusi adalah timbulnya hepatitis pasca transfusi. Pada penderita hemofilia/talasemia seringkali harus berulang kali menerima transfusi darah dan faktor pembekuan, sehingga mempunyai resiko tinggi untuk menderita hepatitis pasca transfusi. Begitu pula para penderita lain yang suatu waktu harus menerima transfusi darah, juga mempunyai resiko yang cukup besar untuk mendapat hepatitis pasca transfusi.
Selain melalui transfusi darah, dilaporkan juga adanya berbagai Cara penularan secara parenteral yang juga sering mengakibatkan seseorang terinfeksi virus hepatitis C, antara lain melalui hemodialisa, transplantasi organ, melalui jarum suntik pada pengguna obat bius, dan lain-lain. Penularan hepatitis C pada penderita hemodialisa tentunya akan mempersulit penanganan penderita tersebut.
Akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan tes serologic untuk mendeteksi adanya antibodi HCV yang merupakan petanda infeksi virus hepatitis C. Diharapkan dengan dilakukan penelitian ini penularan virus hepatitis C baik melalui transfusi darah dan komponennya, ataupun secara tidak langsung melalui proses hemodialisa dapat dikurangi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
"Pendahuluan: Transfusi darah pada hakekatnya adalah suatu proses pemindahan darah dari seorang donor ke resipien. Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan menimbulkan reaksi pada resipien maka sebelum pemberian transfusi darah dari donor kepada resipien, perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta uji silang serasi antara darah donor dan darah resipien. Walaupun golongan darah donor dan pasien sama, ternyata dapat terjadi ketidakcocokan(inkompatibilitas) pada uji silang serasi.Sehingga perlu dilakukan analisis penyebab ketidakcocokan pada uji silang serasi antara darah donor dan pasien.
Cara kerja : Hasil pemeriksaan terhadap 1.108 sampel darah pasien yang dirujuk ke laboratorium rujukan unit transfusi darah daerah (UTDD) PMI DKI dari bulan Januari-Desember 2003 dikumpulkan, kemudian dikaji penyebab terjadinya inkompatibilitas pada uji silang serasi.
Hasil dan diskusi: Dari 1.108 kasus yang dirujuk, 677 (61.10%) kasus menunjukkan adanya inkompatibilitas pada uji silang serasi. Sisanya 431 (38.90 %) menunjukan adanya kompatibilitas (kecocokan) pada uji silang serasi. Dari 677 kasus inkompatibel, 629 (92.90%) kasus disebabkan karena pemeriksaan antiglobulin langsung (DAT-Direct Antiglobulin Test) yang positif. Sisanya yaitu 48 (7.10%) kasus disebabkan karena adanya antibodi pada darah pasien yang secara klinik berpengaruh terhadap transfusi darah dari donor ke pasien. Kasus inkompatibel yang menunjukan hasil positif pada uji antiglobulin langsung (DAT=Direct Antiglobulin Test )sebanyak 629 kasus (92.90%), dengan perincian hasil positip DAT terhadap IgG pada ditemukan sebanyak 493 kasus (78.38%), hasil positip DAT terhadap komplemen C3d sebanyak 46 kasus (7.31%), dan hasil positip DAT terhadap kombinasi IgG dan C3d sebanyak 90 kasus (14.31%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Rahma Yanti
"Darah sangatlah penting demi menunjang keberlangsungan hidup manusia. Di Indonesia masih terdapat kekurangan stok persediaan darah dari jumlah ideal sebanyak 972.522 kantong darah atau sebesar 18,8% belum terpenuhi. Ditambah dengan adanya kondisi pandemik Covid-19 seperti saat ini semakin membuat stok darah di sejumlah daerah berada di ambang batas kekhawatiran. Salah satu faktor permasalahan tersebut dikarenakan rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjadi sukarelawan donor darah. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan minat masyarakat menjadi sukarelawan donor darah dengan cara mensosoialisasikan kampanye gerakan “Suka & Rela Donor Darah” yang peneliti kembangkan menggunakan bantuan media sosial instagram Unit Transfusi Darah Pusat Palang Merah Indonesia @utdpusatpmi. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dan dilakukan survei online untuk mengukur minat masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konten yang diunggah di instagram @utdpusatpmi berdasarkan indikator tingkat kognitif rata-rata skor yakni 4,31, diikuti indikator tingkat afektif 3,67, dan indikator tingkat keperilakuan 3,43. Dari hasil penelitian ini dapat menciptakan respon kognitif positif, yakni responden mengetahui atas informasi kesehatan dan terjadi peningkatan pengetahuan mengenai donor darah. Namun demikian kampanye ini belum mencapai indikator afektif dan keperilakuan sehingga belum terjadinya perubahan perilaku pada masyarakat.

Blood is very important to support human life. In Indonesia, there is still a shortage of blood supplies, from the ideal number of 972,522 blood bags or 18.8% that has not been fulfilled. Coupled with the current Covid-19 pandemic conditions, the blood stock in a number of areas is on the threshold of concern. One of the factors of this problem is the low level of public awareness in volunteering for blood donations. This study aims to increase public interest in volunteering for blood donations by socializing the campaign for the “Like & Willing Blood Donation” movement which the researchers developed using social media assistance from the Indonesian Red Cross Central Blood Transfusion Unit @utdpusatpmi. This type of research is quantitative research and online surveys are conducted to measure people's interest. The results showed that the content uploaded on Instagram @utdpusatpmi was based on the average cognitive level indicator score of 4.31, followed by the affective level indicator at 3.67, and the behavioral level indicator at 3.43. From the results of this study, it can create a positive cognitive response, in which the respondents are aware of health information and there is an increase in knowledge about blood donors. However, this campaign has not reached the indicators of affective and behavioral, so there has not been a change in behavior in society."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soenardi Moeslichan
"Rasa syukur kita ini akan bertambah nikmat manakala kita menyadari eksistensi diri di alam jagat raya ini. Manusia adalah salah satu dari sejumlah makhluk bumi, dan seorang manusia adalah seorang warga penduduk bumi yang diperkirakan akan mencapai 6,2 milyard pada tahun 2000 nanti. Mereka saling berinteraksi dan saling merindukan kedamaian (walaupun masih terjadi peperangan antar manusia disana-sini yang masih sulit untuk didamaikan).
Menyadari betapa kecil kehadiran manusia di bumi ini, manusia akan lebih merasakan betapa kecilnya lagi manakala dianugerahi kemampuan berfikir, bahwa bumipun hanya merupakan sebagian kecil eksistensinya dalam tata surya alam ini. Allahu Akbar.
Dengan manusia sebagai titik tumpu setelah teropong megamakro digunakan untuk mengagumi kebesaran jagad raya dalam makrokosmos berbalik teropong itu diarahkan ke dalam dunia mikro terhadap komposisi tubuh manusia. Kita akan dapat temukan berbagai fenomena menakjubkan yang dapat dilihat dan dipelajari. Salah satu diantaranya adalah darah.
Benda cair yang berwarna merah ini tersusun dari berbagai materi biologis yang juga saling berinteraksi. Interaksi yang serasi diperankan oleh masing-masing unsur untuk mempertahankan homeostasis tubuh agar terpelihara tubuh yang sehat. Mereka diproduksi .di dalam sumsum tulang. Sumsum tulang ini seakan-akan suatu pabrik yang memproduksi berbagai jenis sel darah, setiap hari tiada hentinya. Diperhitungkan sekitar 200 bilion sel darah merah, 10 bilion sel darah putih dan 400 bilion butir trombosit diproduksi setiap hari. Betapa besar kapasitas pabrik dalam tubuh kita ini. Keindahan semakin dirasakan karena terbukti masing-masing materi bioiogis ini saling berinteraksi yang sangat unik di dalam dunianya. Apabila karena sesuatu hal interaksi dan produksi tersebut terganggu maka terjadilah penyakit yang mengancam kehidupan individu tersebut.
Darah masih merupakan materi biologis yang belum dapat di sintesis di luar tubuh, atas dasar itu apabila pada suatu saat terjadi kekurangan darah atau komponennya, biasanya seseorang memerlukan bantuan darah dari orang lain yang disebut transfusi darah. Tetapi dalam transfusi darah yang bertujuan menyelamatkan jiwa sesama manusia tersebut, dapat mengundang pula berbagai risiko yang merugikan kesehatan tubuh, bahkan dapat berakibat kematian. Atas dasar itu praktek transfusi darah yang benar haruslah dilandasi oleh suatu disiplin ilmu yang disebut Ilmu Transfusi Darah (Transfusion Medicine).
Berbagai keindahan dan pesona darah yang mendasari ilmu ini mengundang kekaguman, dan kadang-kadang enak dinikmati, karena itu saya ingin berbagi rasa dengan para hadirin dengan menyajikan sekelumit tentang transfusi darah yang berkaitan dengan profesi saya sebagai dokter anak, kemudian ikut memikirkan kemungkinan permasalahannya dalam suatu sajian yang berjudul Kajian Pediatrik Terhadap Transfusi Darah.
Para hadirin yang berbahagia,
Seperti dikemukakan sebelumnya darah adalah materi biologis, berbentuk cair berwarna merah. Didalamnya terkandung bagian yang bersifat korpuskuler dan sebagian lainnya bersifat tarutan. Bagian korpuskuler ini disebut sebagai butiran darah yang terdiri dari sel darah merah (erythrocyte), sel darah putih (leukocyte) dan butir trombosit (platelet), Ketiga jenis butiran darah ini terutama dibuat di dalam sumsum tulang dari sejenis sel yang disebut sel stem. Sel stem ini seolah-olah suatu benih yang mampu terus-menerus bertahan dengan memperbanyak diri serta berdeferensiasi. Hal ini dimungkinkan karena di dalam sumsum tulang terdapat strama yang memberkan lingkungan mikro (micraenvironment) seakan-akan suatu lahan tanah yang subur bagi pertumbuhan sel stem.
Katau diperhatikan lebih seksama, sel darah merah itu berbentuk diskus bikonkaf yang fleksibel, diameternya 8 um, dan didalamnya berisi cairan hemoglobin. Hemoglobin inilah yang memberi warna merah darah kita. Bentuk sel darah merah yang fleksibel memungkinkan sel darah merah melalui saluran sirkulasi mikro yang berdiameter lebih kecil."
Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0121
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
New Delhi: WHO, 1998
362.178 4 WOR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Femmy Nurul Akbar
"Latar Belakang. Salah satu terapi standar hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi interferon alfa (IFN) dan ribavirin (RIB). Namun terapi kombinasi tersebut dapat menimbulkan efek samping anemia. Anemia menyebabkan dosis ribavirin harus diturunkan atau dihentikan sementara yang mengakibatkan penurunan keberhasilan terapi hepatitis C kronik. Oleh karena itu perlu diketahui prevalensi dan faktor risiko anemia pada pasien yang menjalani terapi kombinasi agar anemia dapat diantipasi dan diawasi lebih cermat pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Penelitian semacam ini belum pernah dipublikasi di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui prevalensi dan faktor risiko terjadinya anemia pada pasien hepatitis C kronik yang menjalani terapi interferon alfa dan ribavirin serta mengetahui frekuensi pasien anemia yang mengalami penurunan dan penghentian ribavirin.
Metodologi. Pasien hepatitis C kronik yang mendapat pengobatan berupa terapi kombinasi interferon alfa-ribavirin oleh staf divisi Hepatologi FKUIIRSCM diikutsertakan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah tepi pada minggu ke 8 terapi kombinasi. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, genotip, dosis ribavirin dan, kadar hemoglobin awal terapi.
Hasil. Enam puluh satu subyek penelitian terdiri dari pria 47 (77%), wanita 14 (23%) dan usia rerata 38,9 tahun, 23 (71,9 %) subyek mempunyai genotip 1 dan 4, dan 44 (72,1 %) subyek mendapat dosis ribavirin 1000 mg. Prevalensi anemia sebesar 52,5 % (32 subyek). Dari analisis multivariat hanya kadar hemoglobin awal terapi yang rendah yang berhubungan bermakna dengan anemia.. Jumlah pasien anemia yang mengalami penurunan dosis ribavirin adalah 8 dari 32 pasien anemia.
Kesimpulan. Prevalensi anemia pada terapi kombinasi 52,5 %. Kadar hemoglobin awal terapi < 14 gldl merupakan faktor risiko terjadinya anemia sehingga pengawasan lebih ketat dan intervensi terhadap anemia dapat dilakukan pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Meskipun umur ? 50 tahun, dan wanita belum terbukti sebagai faktor risiko anemia namun harus tetap menjadi perhatian. Delapan subyek (25 %) Ban 32 pasien anemia memerlukan penurunan dosis ribavirin dan tidak ada yang mengalami penghentian ribavirin.

Background. Interferon alfa and ribavirin combination therapy is one of effective standard therapy for chronic hepatitis C. However, anemia is a common side effect of this therapy. Therefore, patients have to reduce or discontinue ribavirin therapy and this can reduce the effectivity of the therapy. Hence, it is important to know the prevalence of anemia and to determine the factors associated with anemia.
Objective. To determine the prevalence of anemia and some risk factors associated with anemia caused by combination therapy in chronic hepatitis C, also to know frequencies of anemia patients who received dose reduction or discontinuation ribavirin therapy.
Method. Sixty one patient of chronic hepatitis C received combination therapy from staff of Hepatology Division FKUIfRSCM were included in the study. Data were obtained by anamnesis, physical examination, and measured complete blood count on 8`h week of therapy. This study was conducted by using cross sectional design.
Result. Subjects were 47 males (77%), females 14 (23%) with mean age 38.9 years. Twenty three subjects had genotype 1 and 4 (71.9%) and 44 subject (72.1) received 1000 mg ribavirin. Prevalence of anemia was found to be 52.5 % (32 subjects). It was concluded that risk factors of anemia are: age > 50 years, females, low pretreatment hemoglobin concentration (<14 gldl) were risk factors of anemia. On multivariate analysis only pretreatment hemoglobin concentration < 14 g/dl was determined to be the risk factor of anemia There were 8 subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on Bch week of therapy.
Conclusion. Prevalence anemia was 52,5 % and pretreatment hemoglobin concentration <14 gldl were found to be the risk factors of anemia. Although age > 50 years and female were not yet found to be risk factors of anemia, we should be careful of these risk factors. Therefore patient with these risk factors should be carefully monitored and intervention to prevent anemia should be considered. Eight subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on 8`h week of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nining Ratna Ningrum
"ABSTRAK
Deteksi antibodi bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi ireguler terhadap sel darah merah di dalam plasma pasien. Sampai saat ini, kegiatan pelayanan transfusi darah di Indonesia masih bergantung pada uji silang serasi yang masih kemungkinan adanya antibodi ireguler yang tidak terdeteksi. Antibodi tersebut dapat menyebabkan terjadinya reaksi transfusi tipe lambat yang ditandai dengan penurunan hemoglobin dan peningkatan kadar bilirubin. Upaya keamanan pada pasien transfusi perlu ditingkatkan dengan diterapkan uji saring antibodi secara rutin pada pemeriksaan pra-transfusi. Tujuh ratus sampel pasien yang meminta darah ke laboratorium pelayanan pasien di UTD PMI DKI Jakarta dilakukan uji saring antibodi dan uji silang serasi secara otomatis dengan alat Ortho AutoVue Innova dengan Column Agglutination Technology. Untuk membuktikan kompatibel palsu dipilih 10 plasma pasien yang mengandung antibodi untuk dilakukan uji silang serasi mayor dengan 70 sampel darah donor. Hasil kompatibel dilakukan konfirmasi dengan antigen typing pada donor. Semua sampel pasien yang tidak memiliki antibodi 100 kompatibel pada uji silang serasi mayor. Dari 70 sampel dengan hasil kompatibel pada uji silang serasi mayor ditemukan 14 20 hasil negatif palsu. Dari penelitian ini disimpulkan uji saring antibodi lebih mampu mendeteksi antibodi pada plasma pasien dan aman digunakan dalam pemeriksaan pra-transfusi.

ABSTRACT
Detection of antibody aims to detection of irregular antibody on the blood cell in patient plasma. Until now, blood transfusion in Indonesia in terms still depending on the crossmatch is still risking on undetected irregular antibody. The irregular antibody may cause a delayed hemolytic transfusion with hemoglobin reduction and bilirubin increase as the symptoms. Patient with blood transfusion 39 s safety needs to be improved by routine antibody screening on pre transfusiontest. 700 samples of patients who requested blood to the patient care laboratory in UTD PMI DKI Jakarta were antibody screening and major crossmatch automatically with Ortho tool AutoVue Innova with Column Agglutination Technology. To prove false compatible, 10 patient 39 s plasma containing antibodies have been selected to be tested by major of crossmatch with 70 blood donor samples. Compatible Results were confirmed with antigen typing. All samples of patients who did not have antibodies 100 compatible on crossmatch test. from 70 samples which compatible on major crossmatch test was found 14 20 of false negative results. This study suggests the antibody screening which capable of detecting antibodies in the patient 39 s plasma and safely used in the pre transfusion test. "
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadliyana Ekawaty
"[ABSTRAK
Kebutuhan puskesmas rawat inap sebagai unit pelayanan transfusi darah sudah
memasuki tahap kritis dikarenakan anak dengan penyakit kronis memerlukan
layanan khusus guna mengoptimalkan kualitas hidupnya termasuk fungsi sekolah.
Penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapan
puskesmas rawat inap dalam pemberian transfusi darah pada anak dengan
thalassemia di kota Depok. Metode menggunakan cross sectional melibatkan 66
tenaga kesehatan, 10 staf PMI, 13 anggota POPTI. Analisis menyatakan terdapat
hubungan signifikan antara pendidikan dan pengetahuan dengan kesiapan
puskesmas. Pengetahuan memiliki peluang 6,2 kali terhadap kesiapan. Hasil
penelitian dapat menjadi acuan merencanakan intervensi bersifat elaborasi antara
puskesmas, UDD PMI, POPTI dan pemerintah.

ABSTRACT
Needs of inpatient care in public health center (PHC) as a unit blood transfusion
service has entered a critical. This study to determine the factors related to the
readiness of PHC to provide blood for children with thalassemia in Depok. This
study used cross sectional method involving 66 health workers, 10 PMI staff, 13
staff member POPTI. Result of the analysis stated there is a statistically
significant relationship between education and knowledge with the readiness.
Knowledge also had chances 6.2 times the readiness. This result could be a
reference intervention, which is the elaboration between PHC, UDD PMI, POPTI
and government, Needs of inpatient care in public health center (PHC) as a unit blood transfusion
service has entered a critical. This study to determine the factors related to the
readiness of PHC to provide blood for children with thalassemia in Depok. This
study used cross sectional method involving 66 health workers, 10 PMI staff, 13
staff member POPTI. Result of the analysis stated there is a statistically
significant relationship between education and knowledge with the readiness.
Knowledge also had chances 6.2 times the readiness. This result could be a
reference intervention, which is the elaboration between PHC, UDD PMI, POPTI
and government]"
2015
T43682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>