Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106083 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitri Muslim
"Latar belakang : Simblefaron merupakan suatu proses penempelan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi yang terjadi akibat inflamasi kronis. Transplantasi
membran amnion merupakan tata laksana yang umum dilakukan pada kasus
simblefaron. Terdapat 2 jenis membran amnion yaitu cryopreserved dan frezeedried
yang berbeda proses pengawetanya. Hingga saat ini belum ada penelitian
yang membandingkan secara langsung efektivitas kedua amnion tersebut dalam
proses epitelisasi konjungtiva.
Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas membrane amnion cryopreserved
dan frezee-dried dalam epitelisasi konungtiva, dalam menurunkan inflamasi dan
meningkatkan densitas sel goblet.
Metode: Sebanyak 14 mata (10 subyek) simblefaron dilakukan randomisasi
kemudia dibagi kedalam 2 kelompok. 7 mata menjalani release simblefaron dan
transplantasi membrane amnion cryopreserved, 7 mata lainnya dengan amnion
freeze-dried. Pasca bedah pada minggu 1,2,3 dan 4 dilakukan foto segmen anterior
untuk menilai waktu epitelisasi dan derajat inflamasi. Dan pada minggu ke-4
pasien menjalani pemeriksaan sitologi impresi dan Ferning untuk dibandingkan
dengan hasil yang telah dilakukan pre operasi.
Hasil: kelompok mata dengan amnion cryopreserved menunjukan rerata waktu
epitelisasi 2,14 ± 1,07 minggu sedangkan amnion freeze-dried 3,29 ± 1,25 minggu.
Derajat inflamasi berat lebih banyak ditemukan pada kelompok freeze-dried.
Densitas sel goblet dan derajat Ferning lebih tinggi ditemukan pada kelompok
cryopreserved.
Kesimpulan: Secara klinis membran amnion cryopreserved memiliki
kecenderungan hasil yang lebih baik dibandingkan amnion freeze-dried dalam
proses epitelisasi, menurunkan inflamasi dan meningkatkan densitas sel goblet.

Background : symblepharon is a attachment of conjunctival bulbi to conjunctival
tarsal due to chronic inflammation. Amnion membrane (AM) transplantation is a
surgical treatment for symblepharon. There are two types of amniotic membranes
namely cryopreserved and freeze-dried which have different preservative
processes.
Objective : Our aims was to compare AM cryopreserved and freeze-dried in
complete conjunctival epithelization, reduce the inflammation and restored goblet
cells.
Methods : In 14 eyes of symblepharon, symblepharon release with AM
transplantation were performed. 7 eyes with AM cryopreserved, 7 eyes with MA
freeze-dried. Post-operative evaluation was done weekly in all subjects until 4
weeks after surgery include photographic documentation to evaluate conjunctival
epithelization and grading inflammation. On the last week subjects underwent
cytology impression and Ferning test (mucin production) to be compared with
results that have been done pre-operatively.
Results : Eyes with AM cryopreserved showed epithelization in 2,14 ± 1,07 weeks,
while AM freeze-dried was 3,29 ± 1,25 weeks. Severe inflammation (4/7) was
found in eyes with freeze-dried, goblet cells and mucin production were higher in
eyes with AM cryopreserved.
Conclusion : Clinically AM cryopreserved showed better result in completing
conjunctival epithelization, reduce inflammation and restored goblet cells
compared with AM freeze-dried.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Made Susiyanti
"Latar belakang: Ulkus kornea adalah salah satu penyakit infeksi mata yang banyak ditemukan di negara berkembang termasuk Indonesia. Tatalaksana ulkus kornea bakteri konvensional umumnya dapat menimbulkan jaringan parut kornea permanen yang dapat menurunkan tajam penglihatan. Penggunaan transplantasi membran amnion (TMA) pada ulkus kornea dapat mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi terbentuknya jaringan parut kornea. Membran amnion diduga menjadi kerangka baru dan mengekspresi beberapa komponen biologis yang berperan membantu proses epitelisasi dan pembentukan jaringan parut di kornea.
Tujuan: Mengetahui dan membuktikan perbedaan perubahan klinis pada kelompok TMA dan terapi standar (non-MA) pada pasien dengan ulkus kornea bakteri, perbedaan perubahan kadar protein TNF-, MMP-9, TGF-β1 di air mata dan ekspresi mRNA TNF-, MMP-9, TGF-β1, dan TGF-β2 di air mata dan kornea.
Metode: Penelitian tahap pertama, dilakukan penilaian klinis sebelum dan sesudah pada grup TMA dan terapi standar (non-TMA) dengan menilai tajam penglihatan, waktu epitelisasi total, waktu pembentukan sikatrik total dan derajat sikatrik serta uji kadar protein TNF-, MMP-9, TGF-β1 di air mata dengan pemeriksaan ELISA. Penelitian tahap kedua, dilakukan pemeriksaan ekspresi mRNA TNF-, MMP-9, TGF-β1, dan TGF-β2 di air mata dan kornea dengan pemeriksaan quantitative Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (qRT-PCR).
Hasil: Hasil penelitian pertama, pada grup TMA terjadi perbaikan yang signifikan bermakna pada tajam penglihatan (p=0.001), waktu epitelisasi total (p=0.002), waktu terbentuk sikatrik total (p=0.005), dan derajat sikatrik (p=0.001) dibandingkan grup non-TMA. Hasil kadar proteinTNF-, MMP-9, dan TGF-β1 di air mata tidak terjadi perubahan yang bermakna sebelum dan sesudah dan tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua grup (p>0.005). Pada hasil penelitian kedua, ekspresi mRNA TNF-α menurun paling tinggi pada grup TMA (0.824 ± 0), MMP-9 meningkat paling tinggi pada grup TMA (66.698 ± 24.948), TGF-β1 meningkat paling tinggi pada grup TMA (34.425 ± 14.025), sedangkan TGF-β2 mengalami peningkatan tertinggi pada grup non-TMA (114.049 ± 55.344).
Kesimpulan: Terdapat perbaikan klinis yang signifikan pasca TMA, sejalan dengan ekspresi gen dari molekul yang terkait ditandai dengan penurunan inflamasi, re-epitelisasi yang lebih cepat, dan pengurangan pembentukan sikatrik. Kadar protein dan ekspresi gen molekul inflamasi di air mata tidak dapat dijadikan penanda untuk proses yang terjadi di kornea.

Background: Corneal ulcer is one of ocular infection disease that is commonly found in developing country like Indonesia. The conventional treatment for bacterial corneal ulcer usually causes the forming of permanent corneal scar which results in decrease of visual acuity. The use of amniotic membrane transplantation (AMT) in corneal ulcer is believed can shorten the healing process and reduce corneal scar. Amniotic membrane is expected to become as a new scaffold and have several biological properties that play a role in epithelization process and fibrotic tissue formation.
Objective: To evaluate and establish the clinical differences on amniotic membrane transplantation and standard therapy of patients with bacterial corneal ulcer, and laboratory evaluation of protein level and mRNA expression changes of TNF-, MMP-9, TGF-β1 and TGF-β2 in tears and corneal tissue.
Method: This study was divided into two phases on two groups of AMT and standard therapy group (non-AMT). On the first phase, clinical evaluation was examined include visual acuity, total duration of epithelization, total duration of scar formation and the degree of corneal scar, along with laboratory of protein level of TNF-, MMP-9, TGF-β1 in tears with ELISA. On the second phase, mRNA expression of TNF-, MMP-9, TGF-β1, and TGF-β2 in tears and cornea were examined with quantitative Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (qRT-PCR).
Result: The result of first phase on TMA group showed significant improvement on visual acuity (p=0.001), total duration of epithelization (p=0.002), total duration of scar formation (p=0.005), and cicatrix degree (p=0.001) compared to non-TMA group and a non-significant result on protein level of TNF-, MMP-9, TGF-β1 in tears on both groups (p>0.005).On the second phase, mRNA expression of TNF-showed the highest decrease on TMA group (0.824 ± 0), MMP-9 showed the highest increase on group TMA (66.698 ± 24.948),TGF-β1 expression increased the highest on TMA group (34.425 ± 14.025), whereas TGF-β2 showed the highest result on non-TMA group (114.049 ± 55.344).
Conclusion: There was significant clinical improvement observed in TMA group parallel with related molecular genetic expression, indicated decreasing of inflammation, faster re-epithelization, and less dense scar formation. Protein level and genetic molecular expression in tears are poor predictors of processes occurring in the cornea.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Hapsari
"Latar Belakang: Ulkus kornea bakteri merupakan penyebab utama buta kornea. Tatalaksana standar ulkus kornea bakteri hingga kini masih terfokus pada eliminasi infeksi melalui antibiotik. Meskipun amplifikasi bateri telah dihentikan, inflamasi sekunder kornea terus berlangsung dan mengakibatkan destruksi kornea lebih lanjut dan sikatriks yang tebal.
Tujuan: Untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan terapi kombinasi keratektomi superfisial dengan transplantasi membran amnion dan plasma autolog topikal pada ulkus kornea bakteri sedang dan berat, dalam memfasilitasi penyembuhan dan meminimalisasi inflamasi sekunder kornea.
Metode: Uji klinis terandomisasi terbuka. Pembedahan pada kelompok eksperimental dilakukan dalam 72 jam pasca pemberian tiga hari antibiotik inisial.
Hasil: Enambelas mata dengan ulkus kornea bakteri diikutkan dalam penelitian ini. Seluruh ulkus sembuh dalam waktu 36 hari pada kelompok eksperimental, dan 54 hari pada kelompok kontrol. Kecepatan epitelisasi kelompok eksperimental lebih cepat dibandingkan dengan kontrol (1,82±1,11 vs 0,97±0,74 mm2/hari, p=0,04, uji t tidak berpasangan). Terdapat kecenderungan pembentukan sikatriks kornea yang lebih tebal pada kelompok kontrol. Pada akhir evaluasi, tajam penglihatan lebih baik didapatkan pada kelompok eksperimental (0,344 ± 0,15 vs 0,196 ± 0,12 pada ulkus sedang, p=0,2, uji t tidak berpasangan; dan 0,14 ± 0,05 vs 0,014 ± 0,02 pada ulkus berat, p<0,01, uji t tidak berpasangan). Tidak ada komplikasi pada kelompok eksperimental, namun terdapat dua komplikasi pada kelompok kontrol.
Simpulan: Terapi kombinasi keratektomi superfisial dengan transplantasi membran amnion dan plasma autolog topikal pada ulkus kornea bakteri terbukti lebih efektif dan aman dibandingkan terapi antibiotik konvensional. Terapi ini mempercepat epitelisasi dan penyembuhan ulkus, sehingga membentuk sikatriks kornea yang lebih tipis dengan tajam penglihatan lebih baik.

Background: Bacterial corneal ulcer is a leading cause of corneal blindness. Up to now, the standard treatment for bacterial corneal ulcer is limited to the elimination of infection with antibiotic. However, the secondary tissue inflammation may still persist, leading to further corneal tissue destruction and dense corneal scar.
Objectives: To evaluate the efficacy and safety of superficial keratectomy, freeze-dried amniotic membrane transplantation and topical autologous plasma as a novel combination therapy in moderate and severe bacterial corneal ulcer, for promoting corneal wound healing and minimizing second injury of the cornea.
Methods: An open randomized controlled trial. The operation in experimental group was performed within 72 hours after three days application of initial antibiotic.
Results: Sixteen eyes of bacterial corneal ulcers were enrolled. All ulcers were healed within 36 days in the experimental group, compared to 54 days in the control group. Epithelialization rate of the experimental group was significantly faster than the control group (1,82±1,11 vs 0,97±0,74 mm2/day, p=0,04, unpaired t-test). Dense corneal scarring was more likely marked in the control group. Higher visual acuity at the last follow-up was achieved in the experimental group (0,344±0,15 vs 0,196±0,12 for moderate cases, p=0,2, unpaired t-test; and 0,14±0,05 vs 0,014±0,02 for severe cases, p<0,01, unpaired t-test). None complication was found in experimental group, while two complications (impending perforation and limbal damage) were noted within the control group.
Conclusions: Combination of superficial keratectomy with amniotic membrane transplantation and topical autologous plasma shows its benefits and safety for bacterial corneal ulcers. It promotes early epithelialization and corneal wound healing, thus achieving less corneal scarring with better visual acuity than conventional antibiotic therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nenah Choenaenah Raldianto
"ABSTRAK
Salah satu cara penyembuhan dan pemulihan kesehatan yaitu dengan cara transplantasi (pencangkokan) organ dan atau jaringan. Pengertian transplantasi ialah pemindahan atau pencangkokan organ atau jaringan tubuh dari seorang individu ke tempat lain pada individu itu atau ke tubuh individu lain. Dalam proses tindakan transplantasi itu ada pihak yang menerima (resipien) organ dan atau jaringan tubuh dan ada pihak yang memberi (donor) organ dan atau jaringan tubuh.
Pemberian resipien pelayanan medis dari dokter kepada pasien (resipien) demikian itu di samping mempunyai aspek medis juga mempunyai aspek yuridis yaitu timbulnya transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien (resipien) dan antara dokter dengan donor; penting adanya informed consent dari pasien dan donor, dan tanggung jawab hukum dokter di bidang perdata dan hukum pidana apabila dalam melakukan tugasnya dokter itu melakukan medical malpractice. Oleh karena itu membicarakan transplantasi ditinjau dari segi hukum berarti membicarakan perlindungan hukum dari gangguan yang mengancam kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan transplantasi yaitu: (a) perlindungan hukum terhadap dokter (yang memberikan pelayanan medis kepada pasien dan donor} dari gugatan pihak ketiga
(pasien), (b} perlindungan hukum terhadap pasien (resipien) dan (c} perlindungan hukum terhadap pemberi organ (donor} apabila pada waktu dilakukan transplantasi terjadi medical malpractice. Perlindungan hukum demikian
itu mempunyai arti penting bagi pihak-pihak yang
bersangkutan, karena Peraturan pelaksanaan transplantasi (Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981) perlu peninjauan kembali misalnya tentang ?batasan mati" yang disimpulkan ?mati jantung" padahal pusat regulasi terletak di batang otak.
Dari segi kedokteran saat mati perlu ditetapkan, dalam hal transplantasi dari donor jenazah, dokter dihadapkan pada dua masalah yang harus diputuskan secara tepat melalui proses pengambilan keputusan yang relatif sangat singkat sehubungan dengan fungsi organ tersebut. Dokter (tim medis) harus memilih antara pertimbangan demi kesehatan penerima (resipien) yang akan ditransplantasi itu, atau pertimbangan akan harapan hidup donor yang mungkin masih diragukan kematiannya.
Faktor sosio-kultural dalam pelaksanaan transplantasi sangat berpengaruh, karena tampaknya nilai-¬nilai sosial budaya masyarakat Indonesia belum seluruhnya menerima kalau salah satu organ tubuh seseorang diambil untuk dimanfaatkan bagi orang lain yang membutuhkannya.
Pandangan hukum Islam terhadap hukum menyelenggarakan transplantasi merupakan hasil "ijtihad" para pakar agama Islam, dimasa yang akan datang sangat menunjang kemajuan ilmu kedokteran khususnya dan pelayanan medis pada umumnya di Indonesia.

"
1995
T20130
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The isotherm adsorptions of Cu2+ ions in aqueous slutions by cross-linked chitosan-cellulose composite membranes were investigated...."
IPTEKAB
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Proliferation phase is the second of the three phases in wound healing. In this phase, fibroblast is a pivotal component. The migration and proliferation of fibroblasts are influenced by FGF, TGF-β and FGF. Amniotic membrane (AM) which consists of several growth factors that play an important role in wound healing can be used as transplantation materials. This study investigated the influence of AM on the number of fibroblast cells in the process of wound healing on rabbit's gingiva. Thirty six rabbits were divided into 2 groups, one is the control group (C) and the other is the treatment group (I). Each of the groups were divided into 6 groups. composed of 3 rabbits based on the date of termination, i.e. 1st, 3rd, 5th. 7th. 10th and 14th day after wounded. Five layers of AM were applicated on T group wounding and C group wounding were let open. Histological evaluation was done to calculate the number of fibroblast cells. Data analysis was done by using MANOVA. The results showed there was a significant difference (p<0,05) in the number of fibroblast cells between T and C groups among the groups of termination dates. The one having the highest number of fibroblast cell was in T 10 group. lt can be concluded that AM enhanced the number of fibroblast cells in the process of wound healing on rabbit's gingival."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Wicaksono
"Pendahuluan Transplantasi ginjal menawarkan kualitas hidup dan tingkat sintasan yang lebih baik bagi pasien dengan gagal ginjal stadium akhir. Namun, disfungsi berkemih dapat mengakibatkan penurunan kapasitas kandung kemih pada pasien yang memiliki riwayat oliguria atau anuria preoperatif yang berkepanjangan. Hal ini memengaruhi secara negatif kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki faktor praoperasi yang terkait dengan terjadinya disfungsi berkemih setelah transplantasi ginjal.
Metode Sebanyak 71 pasien yang telah menjalani transplantasi ginjal yang berhasil di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Jakarta dijaring sebagai subjek. Karakteristik praoperatif di antaranya usia, jenis kelamin, riwayat hipertensi, diabetes melitus, riwayat anuria praoperatif, dan durasi terapi substitusi ginjal dijaring dan diolah. Analisis multivariat dilakukan untuk menemukan korelasi karakteristik praoperatif dengan kejadian disfungsi berkemih pasca operasi yang diukur dengan skor International prostate symptom score storage (IPSS-s) sub-skor > 5, skor overactive bladder symptom score (OABSS) > 5, laju aliran maksimum (Qmax) > 15 mL/detik, dan volume residual pascakemih (PVR) > 50 mL.
Hasil Tampak adanya korelasi signifikan skor IPSS-s yang mengindikasikan masalah pada fase filling dengan durasi dialisis praoperatif (rasio odds [OR] 1,052; interval kepercayaan 95% [CI] 1,006-1,1001, P 1⁄4 ,027). Usia yang lebih tua dan anuria preoperatif berkorelasi positif dengan skor OABSS > 5 (OR 1,104 dan 33,567, p-value 0,004 dan 0,002, secara berturut-turut). Korelasi negatif diamati antara jenis kelamin laki-laki dan Qmax > 15 mL/s (OR 1,73; 95% CI 0,033-1,907, P 1/4 ,038). Jenis kelamin laki-laki berkorelasi negatif dengan kejadian PVR > 50 mL (OR 0,231; P 1/4 ,043) tetapi berkorelasi positif dengan adanya riwayat diabetes melitus (OR 8,146; 95% CI 1,548-42,864, P 1/4 ,013). Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian usia pasien, jenis kelamin, dan riwayat medis masa lalu dapat membantu klinisi menentukan risiko pasien dalam memprediksi terjadinya disfungsi berkemih setelah transplantasi ginjal.

Introduction Renal transplantation offers a better quality of life and survival rate for patients with end-stage renal disease. However, voiding dysfunction may have results such as decreased bladder capacity that have been observed in patients with prolonged oliguria or anuria, impacting a patient’s quality of life. This study aimed to investigate preoperative factors associated with the occurrence of voiding dysfunction after renal transplantation Methods Seventy-one patients’ data who had undergone successful renal transplantation at Cipto Mangunkusumo General Hospital in Jakarta were collected. Preoperative characteristics including age, sex, history of hypertension, diabetes mellitus, preoperative anuria, and duration of renal substitution therapy were obtained. Multivariate analysis were performed examining the correlation of preoperative characteristics with postoperative voiding dysfunction measured by International Prostate Symptom Score storage (IPSS-s) sub-score > 5, overactive bladder symptom score (OABSS) > 5, maximum flow rate (Qmax) > 15 mL/cc, and postvoid residual volume (PVR) > 50 mL.
Results A significant correlation of IPSS-s score suggesting storage problem with duration of preoperative dialysis was observed (odds ratio [OR] 1.052; 95% confidence interval [CI] 1.006-1.1001, P 1⁄4 .027). Older age and preoperative anuria were positively correlated with OABSS score > 5 (OR 1.104 and 33.567, P value .004 and .002, respectively). Negative correlation was observed between male sex and Qmax > 15mL/s (OR 1.73; 95% CI 0.033-1.907, P 1⁄4 .038). Male sex was negatively correlated with PVR > 50 mL (OR 0.231; P 1⁄4 .043) but positively correlated with the presence history of diabetes mellitus (OR 8.146; 95% CI 1.548-42.864, P 1⁄4 .013).
Conclusion This study demonstrated that assessment of patient age, sex, and past medical history could help determine patients’ risk for developing voiding dysfunction after renal transplantation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aryogi Rama Putra
"Latar Belakang: Proses hiperfiltrasi yang ditandai sebagai perubahan dinamik Renal Resistive Index (RRI) merupakan mekanisme adaptasi ginjal pasca berkurangnya massa nefron sudah banyak dielaborasi pada ginjal sisa donor transplan pasca nefrektomi. Belum diketahui bagaimana proses hiperfiltrasi dan rentang nilai RRI normal pada ginjal allograft. Tujuan: Membandingkan proses hiperfiltrasi berdasarkan perubahan dinamis nilai RRI, Peak systolic velocity (PSV), and End Diastolic Velocity (EDV) pada pemeriksaan ultrasonografi pasca operasi hingga satu bulan pasca transplantasi pada kelompok ginjal allograft dan ginjal sisa donor pasangan resipien-donor transplantasi ginjal. Metode: Studi prospektif pada 62 subyek yang merupakan 31 pasangan donor dan resipien transplantasi ginjal yang menjalani operasi transplantasi ginjal di RS dr. Ciptomangunkusumo dari Juli 2023 hingga Februari 2024. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan sebelum operasi, hari ke-7 setelah operasi, dan hari ke-30 setelah operasi. Nilai RRI, PSV, dan EDV dinyatakan dalam nilai rerata dan simpangan baku, dengan perbedaan kedua kelompok nilai menggunakan uji t berpasangan. Hasil: Nilai RRI a. segmental ginjal allograft dan ginjal sisa donor secara berturut-turut saat sebelum operasi, tujuh hari pasca operasi, dan tiga puluh hari pasca operasi adalah 0,61 ± 0,06 vs 0,61 ± 0,06 (p < 0,52), 0,62 ± 0,06 vs 0,68 ± 0,06 (p < 0,001), 0,61 ± 0,06 vs 0,67 ± 0,06 (p < 0,001). Nilai RRI a. arcuata ginjal allograft dan ginjal sisa donor secara berturut-turut saat sebelum operasi, tujuh hari pasca operasi, dan tiga puluh hari pasca operasi adalah 0,56 ± 0,05 vs 0,56 ± 0,05 (p < 0,83), 0,58 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,07 (p < 0,05), 0,57 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,06 (p < 0,001). Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai PSV dan EDV kedua grup. Kesimpulan: Hiperfiltrasi pada ginjal allograft terjadi dengan pola serupa dengan ginjal residu donor transplantasi, dengan perbedaan nilai rerata RRI pada kedua kelompok.

Background: Hyperfiltration, characterized as a dynamic change in the Renal Resistive Index (RRI), is an adaptation mechanism following reduction in nephron mass, has been elaborated on residual kidneys of transplant donors. It is not yet known how the hyperfiltration process is and the range of normal RRI values in allograft kidneys. Objective: To study the difference of RRI, Peak Systolic Velocity (PSV), and End Diastolic Velocity (EDV) dynamic changes of the allograft kidney and the remaining kidney of the donor, pairs of recipient-donor before transplantation until up to one month after transplantation Method: Prospective study of 62 subjects who were 31 pairs of donor and kidney transplant recipients who underwent kidney transplantation at dr. Ciptomangunkusumo- Hospital from July 2023 - February 2024. Ultrasonography is carried out before surgery, seventh day after surgery, and thirtieth days after surgery. RRI, PSV, and EDV is expressed in mean and standard deviation, with differences between two groups are compared using t-paired test. Results: Comparison of RRI value of segmental artery of allograft kidney and donor residual kidney, before surgery, seventh day, and thirtieth day post nephrectomy/transplantation consecutively are 0,61 ± 0,06 vs 0,61 ± 0,06 (p < 0,52), 0,62 ± 0,06 vs 0,68 ± 0,06 (p < 0,001), 0,61 ± 0,06 vs 0,67 ± 0,06 (p < 0,001). Comparison of RRI value of arcuate artery of allograft kidney and donor residual kidney, before surgery, seventh day, and thirtieth day post nephrectomy/transplantation consecutively are 0,56 ± 0,05 vs 0,56 ± 0,05 (p < 0,83), 0,58 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,07 (p < 0,05), 0,57 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,06 (p < 0,001). No differences of PSV and EDV values between two groups. Conclusion: Hyperfiltration in allograft kidneys occurs in a similar pattern to transplant donor residual kidneys, with significant differences in mean RRI values between two groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harnavi Harun
"Transplantasi ginjal dapat memperbaiki fungsi jantung Penelitianeksperimental pada binatang membuktikan bahwa peningkatan kadar hormoneritropoetin memperbaiki fungsi jantung namun secara klinis masih menjadi bahanperdebatan Tujuan: Untuk menilai hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikanfungsi jantung pada pasien gagal ginjal yang menjalani transplantasi Metoda: Penelitian Kohor prospektif pada pasien gagal ginjal yang menjalanitransplantasi di RSCM Jumlah subyek 21 orang yang dikumpulkan dalam kurunwaktu Maret September 2013 Pengambilan data ekokardiografi dan kadareritropoetin dilakukan sebelum dan 3 bulan sesudah transplantasi ginjal Analisisstatistik dengan uji korelasi Pearson atau Spearman Hasil: Penelitian ini menunjukkan peningkatan bermakna kadar eritropoetin 7 58 2 56 mlU ml menjadi 18 1 6 4 mlU ml Terdapat hubungan peningkatan kadareritropoetin dengan LVEDD r 0 56 p0 05 Kesimpulan: Terdapat hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikanLVH LVEDD pada pasien gagal ginjal yang menjalani transplantasi Tidak ada hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikan LVEF
Kidney transplantation improved cardiac function Based on animaltrials elevated levels of erythropoietin hormone can improved cardiac function butin clinically still debate Aim: To determine association between elevated levels of erythropoietin andimprovement cardiac function on renal failure who underwent transplantation Methods: Prospective cohort study on renal failure who underwent kidneytransplantation at Cipto Mangunkusumo Hospital The study include 21 subjects whocollected it from Marct to September 2013 Data of echocardiography anderythropoietin level were collected at time prior to kidney transplantation and repeat 3months there after The association between elevated levels of erythropoietin andcardiac function was analyzed using Pearson correlation and Spearman test Results: The study showed a significantly elevated levels of erythropoietin from7 58 2 56 to 18 1 6 4 mlU ml There was statistically significant association between elevated levels of erythropoietin and LVEDD r 0 56 p Conclusions: There was association elevated levels of erythropoietin and improvement of LVH, LVEDD on renal failure who underwent transplantation, however, there was no association of elevated levels of erythropoietin level and improvement of LVEF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liberty Tua Panahatan
"Latar Belakang:.Donor transplantasi hati merupakan manusia yang sehat. Kualitas pelayanan transplantasi yang baik dinilai berdasarkan kualitas hidup donor dan resipien hati. Evaluasi kualitas hidup pasien donor hati sintas dan nonsintas merupakan hal yang penting untuk setiap pusat pelayan transplantasi hati.
Metode: Dilakukan penilaian kualitas hidup seluruh donor hati di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dengan mengunakan World Health Organization Quality of Life questionnaire abbreviated version (WHOQoL-BREF). Kualitas hidup donor hati dengan resipien sintas dan nonsintas dibandingkan.

Hasil: Terdapat 59 donor hati di RSCM. 3 subjek tidak bisa dihubungi, 1 subjek menolak untuk menjadi subjek penelitian. Kualitas hidup donor hati pada memiliki median domain fisik 69 (44-100), pada doman psikologis 69 (50-94), domain hubungan sosial 65 (44-100) dan domain lingkungan 69 (31-94). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kualitas hidup donor hati sintas dan nonsintas pada domain fisik (p=0,466), domain psikologis (p=1,00), domain hubungan social (p=0,77) dan domain lingkungan (p=0,13).

Kesimpulan: Subjek donor transplantasi hati di RSCM memiliki kualitas hidup yang baik. Tidak ada perbedaan bermakna kualitas hidup subjek donor transplantasi hati antara resipien sintas dan non sintas.


Background: Liver donors are healthy people. The quality of liver transplantation is assessed based on the quality of life of donors and recipients. Evaluation of the quality of life of liver donors with surviving and non-surviving recipients is important for liver transplant centers.
Method: Quality of life of liver donors in RSCM was assessed using World Health Organization Quality of Life questionnaire abbreviated version (WHOQoL-BREF). The quality of life of donors with surviving and non-surviving recipients is compared.

Result: There are 59 liver donors in RSCM. Three subjects could not be contacted, one subject refused to participate in this research. Donors’ Quality of life physical domain median was 69 (44-100), psychological domain median was 69 (50-94), social relation domain median was 65 (44-100), and environmental domain median was 69 (31-94). There were no significant differences between the quality of life of donors with surviving and non-surviving recipient in physical domain (p=0,466), psychological domain (p=1,00), social relation domain (p=0,77), and environmental domain (p=0,13).

Conclusion: Liver donors in RSCM have good quality of life. There were no significant differences in quality of life of liver donors between Bedah Digestifsurviving and non-surviving liver recipients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>