Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180403 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syifa Ahliya Aryani Budi
"Latar Belakang: Indonesia merupakan negara kepulauan yang berlokasi diantara dua benua dan dua samudera. Selain itu, Indonesia juga memiliki 129 gunung berapi. Kondisi ini tidak hanya menjadikan Indonesia kaya akan sumber daya alam tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya bencana alam. Bencana alam yang terjadi di Indonesia menyebabkan banyak korban yang harus diidentifikasi. Salah satu metode yang digunakan untuk identifikasi adalah analisis pada gigi geligi. Masing-masing gigi anterior dan posterior memiliki berbagai variasi morfologi yang dapat mengindikasikan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Tujuan: penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dimorfisme seksual berdasarkan analisis variasi morfologi gigi anterior dan posterior dan untuk mengetahui variasi mana yang menjadi karakteristik ras Mongoloid terutama pada populasi di Indonesia. Metode: Sampel terdiri dari 50 cetakan rahang atas dan bawah laki-laki dan 50 cetakan rahang atas dan bawah perempuan. Variasi morfologi yang dianalisis adalah wingin, shoveling, double shoveling, bushmen canine, ridge aksesori distal pada gigi kaninus, metacone, hypocone, Cusp of carabelli, variasi cusp lingual pada gigi premolar, jumlah cusp, protostylid, hypoconulid, enteconulid, dan metaconulid. Arizona State University Dental Anthropology System (ASUDAS) digunakan sebagai referensi untuk membandingkan prevalensi variasi morfologi pada cetakan rahang. Hasil: Persentase winging adalah 36% yang terdiri dari 16 laki-laki dan 20 perempuan. Persentase shoveling adalah 84% yang terdiri dari 38 laki-laki dan 46 perempuan. Double shoveling memiliki prevalensi 67% yang terdiri dari 33 laki-laki dan 34 perempuan. Persentase Bushmen canine adalah 26% yang terdiri dari 14 laki-laki dan 12 perempuan. Prevalensi dari Ridge aksesori distal gigi kaninus berjumlah 46% yang terdiri dari 22 laki-laki dan 24 perempuan. Prevalensi metacone adalah sebanyak 20% yang terdiri dari 10 laki-laki dan 10 perempuan. Prevalensi hypocone berjumlah 90% yang terdiri dari 47 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi metaconule kecil sekali yakni 3% yang terdiri dari 3 laki-laki. Prevalensi Cusp of carabelli sejumlah 12% yang terdiri dari 5 laki-laki dan 7 perempuan. Variasi cusp lingual pada gigi premolar sebanyak 18% yang terdiri dari 9 laki-laki dan 9 perempuan. Jumlah cusp memiliki tiga kategori: Prevalensi cusp berjumlah 4 pada laki-laki sebanyak 53,3% sedangkan pada perempuan sebanyak 46,7%. Prevalensi cusp berjumlah 5 pada laki-laki sebanyak 52,6% sedangkan pada perempuan sebanyak 47,4%. Prevalensi cusp berjumlah 6 pada laki-laki sebanyak 42,9% sedangkan pada perempuan sebanyak 57,1%. Frekuensi protostylid hanya sebanyak 6 yang terdiri dari 5 laki-laki dan 1 perempuan. Hypoconulid memiliki prevalensi 85% yang terdiri dari 42 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi enteconulid sebanyak 27% yang terdiri dari 12 laki-laki dan 15 perempuan. Dan yang terakhir, metaconulid memiliki prevalensi sejumlah 22% yang terdiri dari 8 laki-laki dan 14 perempuan. Tes chi-square menggunakan SPSS 20 antara masing-masing variasi morfologi dan penentuan jenis kelamin menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan. Kesimpulan: Tidak ada variasi morfologi yang menunjukkan dimorfisme seksual dan variasi yang memiliki frekuensi paling tinggi pada ras mongoloid adalah hypocone dan hypoconulid.

Background: Indonesia is an archipelagic country which located between two continents and two oceans. Beside that Indonesia also has 129 volcanoes. This condition not only made Indonesia rich of natural resources but also increase the risk of natural disaster. Natural disaster cause many victims to be identified. One of the methods used for identification is tooth analyzing. Each anterior and posterior tooth has some various traits which are able to indicate whether a person is male or female. Objectives: This study is conducted to identify sexual dimorphism based on analysis of anterior and posterior non-metric dental crown traits and to know which traits that become the characteristic of Mongoloid race especially in Indonesian population. Methods: Samples consist of 50 dental casts male and 50 dental casts female. Dental crown traits being analyzed were winging, shoveling, double shoveling, bushmen canine, canine distal accessory ridge, metacone, hypocone, metaconule, Cusp of carabelli, lingual cusp variation, cusp number, protostylid, hypoconulid, enteconulid, and metaconulid. The Arizona State University Dental Anthropology System (ASUDAS) was used as reference to compare the prevalence of dental traits in dental casts. Results: The percentage of winging if 36% which consists of 16 males and 20 females. Shoveling percentage is 84% which consists of 38 males and 46 females. Double shoveling has 67% prevalence which consists of 33 males and 34 females. The percentage of Canine Mesial Ridge (Busmen Canine) is 26% which consists of 14 males and 12 females. The prevalence of Canine Distal Accessory Ridge is 46%, which consists of 22 males and 24 females. Metacone has 20% prevalence which consists of 10 males and 10 females. Hypocone has 90 % prevalence which consists of 47 males and 43 females. The prevalence of metaconule is 3% which consists of only dental cast male. Cusp perempuan. Prevalensi hypocone berjumlah 90% yang terdiri dari 47 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi metaconule kecil sekali yakni 3% yang terdiri dari 3 laki-laki. Prevalensi Cusp of carabelli sejumlah 12% yang terdiri dari 5 laki-laki dan 7 perempuan. Variasi cusp lingual pada gigi premolar sebanyak 18% yang terdiri dari 9 laki-laki dan 9 perempuan. Jumlah cusp memiliki tiga kategori: Prevalensi cusp berjumlah 4 pada laki-laki sebanyak 53,3% sedangkan pada perempuan sebanyak 46,7%. Prevalensi cusp berjumlah 5 pada laki-laki sebanyak 52,6% sedangkan pada perempuan sebanyak 47,4%. Prevalensi cusp berjumlah 6 pada laki-laki sebanyak 42,9% sedangkan pada perempuan sebanyak 57,1%. Frekuensi protostylid hanya sebanyak 6 yang terdiri dari 5 laki-laki dan 1 perempuan. Hypoconulid memiliki prevalensi 85% yang terdiri dari 42 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi enteconulid sebanyak 27% yang terdiri dari 12 laki-laki dan 15 perempuan. Dan yang terakhir, metaconulid memiliki prevalensi sejumlah 22% yang terdiri dari 8 laki-laki dan 14 perempuan. Tes chi-square menggunakan SPSS 20 antara masing-masing variasi morfologi dan penentuan jenis kelamin menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan. Kesimpulan: Tidak ada variasi morfologi yang menunjukkan dimorfisme seksual dan variasi yang memiliki frekuensi paling tinggi pada ras mongoloid adalah hypocone dan hypoconulid.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Atmaji W.
"Latar Belakang: Sidik bibir bervariasi pada setiap individu. Populasi Indonesia bervariasi dan penelitian mengenai sidik bibir pada populasi Indonesia belum pernah dilakukan.
Tujuan: Untuk mengetahui pola dan dimorfisme seksual sidik bibir populasi Indonesia.
Metode: Dilakukan pemeriksaan oleh 5 peneliti dengan menggunakan lup 3,5 dioptri pada 583 responden. Dilakukan analisis perbedaan pola sidik bibir pada populasi Indonesia Barat dan Indonesia Timur, serta dimorfisme seksual sidik bibir pada kedua populasi tersebut.
Hasil dan Kesimpulan: Pola sidik bibir populasi Indonesia Barat dan Timur khas tidak mirip dengan pola sidik bibir pada populasi lain serta tidak terdapat dimorfisme seksual sidik bibir pada populasi Indonesia.

Background: Lip Print has a variation on each Individual. Indonesian population is diverse and research about lip print in Indonesian population has not been done.
Aim: Identifying type of lip print in Indonesian population and differences between gender.
Methods: Material methods 583 subject examined by five researcher using 3,5 dioptri magnifying glass and analyzed difference type and sexual dimorphism of lip print in East and West Indonesian population.
Result and summary: West and East Indonesian population lip print has a characteristic and do not like type of lip print in another population in the world and there is no sexual dimorphism in Indonesian population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Airin Que
"Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin pada jenazah yang tercerai berai akan sulit apabila kondisi jenazah tidak utuh, tercerai berai, serta ketiadaan tulang tengkorak atau tulang panggul dalam penentuan jenis kelamin. Telah dilakukan beberapa penelitian di negara lain mengenai fungsi scapula dalam penentuan jenis kelamin, namun penelitian untuk populasi di negara Indonesia belum pernah dilakukan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara parameter pengukuran tulang skapula untuk proses identifikasi jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 43 orang laki-laki dan 43 orang perempuan (86 gambaran CT-Scan Toraks / 172 tulang scapula) yang menjalani pemeriksaan CT-Scan Toraks pada bulan September 2022 hingga Desember 2022. Data klinis mencakup usia dan jenis kelamin, sedangkan data radiologis mencakup 8 parameter morfometrik pada tulang scapula. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan dan regresi linear serta kurva AUROC. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil: Seluruh parameter morfometrik laki-laki lebih besar daripada perempuan dan seluruh parameter berhubungan bermakna terhadap penentuan jenis kelamin (p<0,05). Parameter ML (morphological length) merupakan parameter terbaik untuk menentukan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Kesimpulan: Scapula dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik dalam penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia.

Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin pada jenazah yang tercerai berai akan sulit apabila kondisi jenazah tidak utuh, tercerai berai, serta ketiadaan tulang tengkorak atau tulang panggul dalam penentuan jenis kelamin. Telah dilakukan beberapa penelitian di negara lain mengenai fungsi scapula dalam penentuan jenis kelamin, namun penelitian untuk populasi di negara Indonesia belum pernah dilakukan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara parameter pengukuran tulang skapula untuk proses identifikasi jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 43 orang laki-laki dan 43 orang perempuan (86 gambaran CT-Scan Toraks / 172 tulang scapula) yang menjalani pemeriksaan CT-Scan Toraks pada bulan September 2022 hingga Desember 2022. Data klinis mencakup usia dan jenis kelamin, sedangkan data radiologis mencakup 8 parameter morfometrik pada tulang scapula. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan dan regresi linear serta kurva AUROC. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil: Seluruh parameter morfometrik laki-laki lebih besar daripada perempuan dan seluruh parameter berhubungan bermakna terhadap penentuan jenis kelamin (p<0,05). Parameter ML (morphological length) merupakan parameter terbaik untuk menentukan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Kesimpulan: Scapula dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik dalam penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurum Wahyu Putri
"Latar Belakang: Kerusakan yang parah pada korban bencana alam kerap ditemukan pada bencana alam yang masif, sehingga mempersulit proses identifikasi. Determinasi jenis kelamin merupakan prioritas utama dalam proses identifikasi karena dapat menunjang estimasi usia dan ras. Salah satu metode determinasi jenis kelamin adalah dengan pengukuran dimensi dan volume sinus frontalis dan sinus maksilaris. Sinus merupakan kavitas udara yang berada di dalam tulang tengkorak. Sinus frontalis berada di dalam tulang frontalis, sedangkan sinus maksilaris berada di dalam tulang maksilaris. Kedua sinus ini bersifat unik antar jenis kelamin, sehingga umum digunakan untuk determinasi jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan akurasi sinus frontalis dan sinus maksilaris untuk determinasi jenis kelamin. Metode: Pencarian dilakukan melalui electronic database seperti PubMed, EBSCO, Scopus, Science direct, dan ProQuest. Pencarian menggunakan panduan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis (PRISMA). Hasil: Pencarian menghasilkan 1318 studi dimana 32 studi memenuhi kriteria untuk diinklusikan. Dari hasil systematic review dan meta-analisis didapatkan sinus maksilaris lebih akurat daripada sinus frontalis untuk menentukan jenis kelamin. Selain itu, ukuran dimensi dan volume pada sinus frontalis maupun sinus maksilaris lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. Kesimpulan: Sinus frontalis dan sinus maksilaris dapat digunakan untuk determinasi jenis kelamin dengan akurasi yang lebih tinggi pada sinus maksilaris.

Background: Severe damage to victims of natural disasters is often found in massive natural disasters, which complicates the aid process. Gender determination is a top priority in the assistance process because it can support age and race determination. One method of determining sex is by measuring the dimensions and volume of the frontal and maxillary sinuses. Sinuses are air cavities within the skull. The frontal sinus is inside the frontal bone while the maxillary sinus is inside the maxillary bone. These two sinuses are unique between gender and are therefore commonly used for sex determination. Objective: To know the differences in the accuracy of the frontal and maxillary sinuses for determining gender. Methods: Searches were conducted through electronic databases such as PubMed, EBSCO, Scopus, Science direct, and ProQuest. The search used the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) guide. Results: The search returned 1318 studies of which 32 were eligible to be included in the studies. From the results of a systematic review and meta-analysis, it was found that the maxillary sinus is more accurate to determine sex. Dimensions and volume are found larger in males. Conclusion: The maxillary sinus can determine sex more accurately than the frontal sinus.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Euforia reformasi melahirkan pergerakan yang luar biasa bagi pertumbuhan media di Indonesia secara kuantitas.Bila pada masa Orde Baru sebelum reformasi terdapat pengetatan dan proteksi terhadap media-media yang ada (misalnya melalui kontrol Departemen Penerangan dengan berbagai kebijakan yang di keluarkan seperti SIUPP untuk pers cetak), maka di era reformasi ini terjadi hal yang sebaliknya...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Chairunnisa
"Latar belakang: Alopesia androgenetika merupakan kelainan kerontokan rambut yang paling sering ditemukan, dengan karakteristik kebotakan yang berpola. Kelainan ini sering ditemui pada pria. Hubungan alopesia androgenetika dengan penyakit kronik antara lain resistensi insulin terutama pada pasien pria alopesia androgenetika awitan dini telah dilaporkan pada beberapa penelitian tetapi dengan hasil yang beragam.
Tujuan: Untuk mengetahui proporsi resistensi insulin menggunakan indeks homeostasis model assestment (HOMA), serta korelasi resistensi insulin dengan derajat keparahan alopesia androgenetika pada kelompok pria alopesia androgenetika awitan dini.
Desain: Penelitian deskriptif analitik dengan rancangan potong lintang
Hasil: Didapatkan 41 subyek penelitian (SP), skala Norwood Hamilton paling banyak adalah skala III (41,5 %), diikuti oleh skala IV (26,8 %), dan skala V (12,2 %). Pada penelitian ini terdapat 10 SP (24,4%) dengan resistensi insulin. Berdasarkan analisis statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat alopesia dengan resistensi insulin. (r2 = 0.14, p > 0.05).
Kesimpulan: Resistensi insulin dapat ditemukan 24,4 % pasien pria alopesia androgenetika awitan dini tetapi tidak didapatkan korelasi derajat alopesia dengan tingkat resistensi insulin.

Background: Androgenetic alopecia is the most commonly found hair loss with patterned baldness. This disorder usually found in men. The relation between androgenetic alopecia with chronic disease among others is insulin resistance in male early onset androgenetic alopecia patient has been reported by several studies with varied results.
Purpose: This study is to investigate the proportion of insulin resistance based on homeostasis model assestment (HOMA) index and its correlation with the degree of alopecia in male early onset androgenetic alopecia.
Study design: This is an analytic descriptive study, sampling method is cross sectional.
Result: The subjects are 41 men with androgenetic alopecia, aged 18-35 years. The percentage of the Norwood Hamilton scale among the patients is 41,5 % for grade III, 26,8 % for grade IV, and 12,2 % for grade V. The insulin resistance is present in 10 subject (24,4%). Based on statistical analysis, there is no significant correlation between alopecia’s degree with insulin resistance (r2 = 0.14, p > 0.05).
Conclusion: the insulin resistance can be found on 24,4 % of male with early onset androgenetic alopecia patients. However there is no correlation between alopecia’s degree and insulin resistance level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Vanda Aryanthera Wisnu Nadia
"Masalah respirasi umum terjadi pada bayi prematur. Beberapa masalah respirasi yang dialami bayi prematur adalah kesulitan bernapas, penyakit paru-paru kronis, dan apnea. Apnea adalah kondisi ketika seseorang berhenti bernafas atau mengalami kesulitan menghirup udara melebihi 2 mL/kg. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada organ lain atau kematian. Oleh karena itu, pemantauan pada proses respirasi diperlukan. Namun, pemantauan respirasi di rumah sakit Indonesia, sebagian besar dilakukan secara manual dalam jangka waktu tertentu.
Dalam penelitian ini, dikembangkan rancang bangun perangkat pemantau respirasi berdasarkan refleksi cahaya untuk aplikasi inkubator bayi yang dapat beroperasi secara real-time. Perangkat ini terdiri dari sumber cahaya dengan panjanga gelombang 650 nm dan daya 5 mW, kertas reflektor, detektor, rangkaian pengkondisi sinyal, mikrokontroler Arduino UNO R3 dan juga buzzer untuk mengantisipasi situasi darurat, seperti apnea.
Perangkat diuji dengan simulator yang dapat diatur secara manual dengan mengikuti aplikasi metronome. Berdasarkan hasil, ditunjukkan bahwa error sebesar 1,99, nilai ini masih di bawah batas maksimal error untuk peralatan medis, yaitu 5. Batas tersebut berdasarkan AAMI Association for Advancement of Medical Instrument.

Respiratory problems are common in premature infants. Some of the problems of respiration experienced by premature infants are difficulty breathing, chronic lung disease, and apnea. Apnea is a condition when a person stops breathing or have difficulty in breathing the air that exceeds 2 mL kg. This disease can cause damage to other organs or death. Therefore, monitoring the premature respiratory process is needed. But in Indonesia, respiration monitoring at health centers mostly is done manually in a certain period of time.
In this research, we propose the design of respiration sensor based on laser reflection for infant incubator that can operate continuously. The device consists of a laser with wavelength 650 nm and power 5 mW, a paper reflector, detector, signal conditioning circuit, microcontroller Arduino UNO and also a buzzer for anticipating the emergency situation, such as apnea.
The device is tested with a simulator that can be set manually by following the metronome application. Based on the results, it is shown that the error is 1.99, this value is still below the maximum limit error for medical equipment, which is 5. The limit is based on AAMI Association for Advancement of Medical Instruments.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nasution, Iriani Febrina
"Pemanfaatan rugae palatal sebagai salah satu metode identifikasi merupakan metode yang menjanjikan karena morfologi yang unik pada setiap individu. Analisis rugae palatal dapat diterapkan secara efektif dalam forensik selama bencana massal, aksi teroris, kecelakaan lalu lintas, dan korban terbakar, dimana metode identifikasi primer sulit untuk dilakukan atau tidak memungkinkan. Keunikan rugae palatal, stabilitas, ketahanan terhadap perubahan PM dan biaya pemanfaatan rugae palatal yang rendah, menjadikan rugae palatal sebagai salah satu parameter yang ideal untuk identifikasi forensik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola rugae palatal pada populasi Indonesia Barat dan Timur guna membantu kepentingan identifikasi khususnya pada populasi Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Total sampel penelitian adalah 120 model studi rahang atas yang terdiri dari 60 model studi rahang atas populasi Indonesia Barat dan 60 model studi rahang atas populasi Indonesia Timur. Analisis perbedaan rugae palatal menggunakan klasifikasi Thomas dan Kotze dengan menghitung jumlah setiap sisi kanan dan sisi kiri, bentuk, dan panjang rugae palatal dari setiap populasi. Hasil uji Mann Whitney U didapatkan hasil perbedaan yang bermakna secara statistik pada jumlah rugae palatal di sisi kiri, bentuk, dan panjang rugae palatal antara populasi Indonesia Barat dan Timur dengan nilai p<0.05. Jumlah rugae palatal di sisi kiri pada populasi Indonesia Timur lebih banyak dibandingkan jumlah rugae palatal di sisi kiri pada populasi Indonesia Barat (p<0.05). Hasil uji Chi-Square didapatkan hasil perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada bentuk dan panjang rugae palatal antara populasi Indonesia Barat dan Timur. Bentuk rugae palatal pada populasi Indonesia Barat didominasi bentuk konvergen, gelombang, dan lurus, sedangkan bentuk rugae palatal pada populasi Indonesia Timur didominasi bentuk sirkular, divergen, dan kurva (p<0.05). Panjang rugae palatal pada populasi Indonesia Barat didominasi secondary rugae, dan primary rugae mendominasi panjang rugae palatal pada populasi Indonesia Timur (p<0.05).

Utilization of palatal rugae as an identification method is a promising method because of the unique morphology of each individual. Palatal rugae analysis can be applied effectively in forensics during mass disasters, terrorist acts, traffic accidents, and burn victims, where primary identification methods are difficult or impossible. The uniqueness of the palatal rugae, its stability, resistance to changes in PM and the low utilization cost of the palatal rugae make it an ideal parameter for forensic identification. The purpose of this study was to determine the pattern of palatal rugae in the population of West and East Indonesia in order to assist identification purposes, especially in the Indonesian population. This research is a quantitative research with an observational analytic research design with a cross sectional approach. The total study sample was 120 maxillary study models consisting of 60 maxillary study models from the West Indonesian population and 60 maxillary study models from the Eastern Indonesian population. Analysis of differences in palatal rugae used Thomas and Kotze's classification by calculating the number of each right and left side, shape, and length of palatal rugae from each population. The results of the Mann Whitney U test showed statistically significant differences in the number of palatal rugae on the left side, the shape, and the length of the palatal rugae between the populations of West and East Indonesia with a p<0.05. The number of palatal rugae on the left side of the Eastern Indonesian population was greater than the number of palatal rugae on the left side of the Western Indonesian population (p<0.05). The results of the Chi-Square test showed statistically significant differences (p<0.05) in the shape and length of the palatal rugae between the populations of West and East Indonesia. The shape of the palatal rugae in the population of West Indonesia is dominated by convergent, wavy, and straight shapes, while the shape of the palatal rugae in the population of East Indonesia is dominated by circular, divergent, and curved shapes (p<0.05). The length of the palatal rugae in the population of West Indonesia was dominated by the secondary rugae, and the primary rugae dominated the length of the palatal rugae in the population of East Indonesia (p<0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nor Iyoni
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
S2376
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>