Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 229351 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amira Bilqis
"Dalam skripsi ini membahas mengenai implementasi prinsip Common But
Differentiated Responsibilities (CBDR) dalam Kyoto Protocol dan Paris Agreement yang memiliki pendekatan yang masing-masing berbeda yaitu Top-Down Approach dan Bottom-Up Approach. Kedua pendekatan tersebut memiliki mekanisme yang berbeda dalam menentukan target reduksi emisi untuk memperlambat laju perubahan iklim serta memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang berpengaruh pada kebijakan lingkungan nasional yang harus dijalankan oleh negara Annex I dan Non-Annex I United Nations Framework Convention of Climate Change (UNFCCC). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif yang menjelaskan bahwa prinsip CBDR diimplementasikan secara berbeda dalam kedua instrumen hukum internasional tersebut dan mengidentifikasi perubahan tren kebijakan lingkungan nasional negara maju (Australia dan Swiss), negara berkembang (Filipina, Indonesia), dan negara berkembang kepulauan kecil (Fiji).
This thesis discusses regarding the implementation of Common but Differentiated Responsibilities (CBDR) principles in the Kyoto Protocol and Paris Agreement which have different approaches, namely the Top-Down Approach and Bottom-Up Approach respectively. Both approaches have different mechanisms in determining emission reduction targets to slow down climate change and each has advantages and disadvantages which affect national environmental policies that must be implemented by Annex I and Non-Annex I United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) countries to be able to carry out their respective roles. This study uses qualitative research methods with a normative juridical approach which explains the CBDR principle is implemented differently in the two international legal instruments and identifies changes in national environmental
policy trends in developed countries (Australia and Switzerland), developing countries (Philippines, Indonesia), and developing countries small islands (Fiji)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mari Elka Pangestu
"Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) adalah sebuah inisiatif di dalam Protokol Kyoto (PK) yang didesain untuk mitigasi emisi gasgas rumah kaca (GRK) yang dilakukan di negara-negara berkembang, sekaligus memfasilitasi negara-negara maju untuk memenuhi target penurunan emisinya. Instrumen CDM juga menyediakan berbagai insentif bagi negara-negara penandatangan PK seperti Indonesia. Selain meningkatkan kualitas lingkungan, negara-negara berkembang yang mengadopsi CDM dapat memperoleh manfaat-manfaat lain seperti transfer teknologi bersih, transfer keahlian, aliran masuk investasi asing, dan penghasilan dari penjualan karbon kredit atau Certified Emission Reductions (CERs), yang dihasilkan dari penurunan emisi.
Indonesia memiliki potensi besar di dalam memperoleh manfaat-manfaat CDM. Pemerintah bersama Bank Dunia memperhitungkan potensi penurunan emisi GRK di Indonesia (tidak termasuk kehutanan) sebesar 25 juta ton CO2e per tahun, atau 125-300 juta ton CO2e selama periode komitmen pertama 2008-2012. Jumlah CERs yang diperhitungkan dari tujuh belas proyek CDM Indonesia yang terdaftar pada Executive Board (EB) sampai Oktober 2008 hanya sekitar 2,5 juta ton CO2e (2,5 juta CERs) per tahun. Dengan demikian terdapat kesenjangan yang sangat besar antara potensi dan perhitungan perolehan CERs. Penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan CDM di Indonesia lamban dan menganalisis apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperoleh manfaat-manfaat CDM sudah optimum. Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah guna memaksimalkan perolehan manfaat-manfaat dari CDM, terutama karena mandat PK atas pelaksanaan CDM komitmen pertama akan berakhir pada tahun 2012.

As an initiative within the UNFCC?s Kyoto Protocol, the Clean Development Mechanism (?CDM?) was designed to mitigate polluting emissions in developing countries as well as to facilitate developed countries meeting their green house gas (?GHG?) reduction targets. The CDM also provides several incentives for signatories to the Kyoto Protocol such as Indonesia. Beside improving the quality of their environment, developing countries that adopt the CDM gain benefits such as the transfer of ?clean? technologies, heightened skills and expertise, inward investment, and significant revenue from the sale of "carbon credits" (Certified Emission Reductions ? ?CER?s - which result from the reduction of polluting emissions). Indonesia holds significant potential with which to secure such benefits from the CDM.
The Government of Indonesia ("GOI") and the World Bank together estimate that Indonesia has the potential to mitigate 125-300MM tons of emissions (excluding forestry) during the period 2008-2012, or 25 MM tons CO2e per annum. The number of CERs projected from the seventeen Indonesian projects registered with the Executive Board (?EB?) as of October 2008 is only 2.5MM tons of CO2 (or 25 MM CERs) per annum. Thus, there is a large gap between Indonesia?s potential and the CERs that are projected to be secured. This research identifies the factors that caused the progress in implementing the CDM in Indonesia to be slow and examines whether the efforts of the GOI have been optimum in securing the CDM?s benefits. In general this research aims to provide policy recommendations that will enable the GOI to maximise the benefits that can be secured, recommendations that have become urgent given that the current mandate of the CDM under the Kyoto Protocol will expire in 2012."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T25582
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Presents a range of options for international climate policy. Highly topical analysis of the debate over possible successors to the Kyoto agreement.
This book addresses the need to design a post-2012 international climate change policy architecture and presents six proposals for successors to the Kyoto Protocol. Some of these proposals build on the foundation established by the Kyoto agreement, while others focus on the need for developing an entirely new policy infrastructure. Commentaries provide critical reviews of the policy designs and political questions raised by the proposals."
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2007
363.738 ARC
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Bela Titis Gantika Br
"ABSTRAK
Indonesia telah menyatakan keikutsertaannya dalam perjanjian iklim, Persetujuan Paris atau Paris Agreement, dalam rangka penurunan emisi Gas Rumah Kaca. Dalam pelaksanaanya, Persetujuan Paris memberikan kewajiban bagi negara-negara pesertanya untuk membentuk kontribusi nasional yang disebut dengan Nationally Determined Contribution (NDC), dimana didalamnya terdapat target yang hendak dicapai dalam upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sesuai dengan kondisi domestik negara-negara peserta. Tentunya, setiap negara memiliki prioritas yang berbeda dalam upaya mengurangi emisi GRK, termasuk Indonesia. Bencana alam seperti kebakaran hutan dan lahan gambut yang sering terjadi di Indonesia menjadi pertimbangan pemerintah untuk memprioritaskan kegiatan restorasi hutan dan lahan gambut di dalam NDC yang telah disampaikan Indonesia kepada UNFCCC pada tahun 2016. Dalam NDC tersebut, Indonesia ditargetkan dapat merestorasi gambut di Indonesia sebesar 2 (dua) juta hektar pada tahun 2030. Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagai pelaksana kegiatan restorasi gambut yang terfokus pada tujuh provinsi prioritas. Pelaksanaan restorasi gambut di Indonesia oleh BRG diharapkan mampu mencapai target NDC Indonesia sebagai komitmen Indonesia dalam menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim, dengan adanya kerjasama dengan masyarakat dan sektor privat, dan institusi pemerintah lainnya maupun lembaga non-pemerintah, serta adanya konsistensi dalam menerapkan prinsip iktikad baik dan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional lainnya.

ABSTRACT
Indonesia has stated its participation in one of the Climate Agreement, namely Paris Agreement, in the context of reducing GHG emission. In its implementation, Paris Agreement provides obligations for the Parties to conduct a Nationally Determined Contribution (NDC), in which there are targets to be achieved in an effort to reduce GHG emissions, in accordance with the domestic conditions of the participating countries. Undoubtedly, each state has different priorities in efforts to reduce GHG emissions, including Indonesia. Natural disasters such as forest and peatland fires that often occur in Indonesia are considered by the government to prioritize forest and peatland restoration in Indonesias Nationally Determined Contribution, that has been submitted to the UNFCCC in 2016. Based on the NDC, Indonesia is targeted two million hectares of peatland to be restored by 2030. In 2016, President Joko Widodo established the Peatland Restoration Agency (BRG) as the main executor of peatland restoration that focused in seven priority provinces. The implementation of peatland restoration in Indonesia by BRG is expected to be able to achieve Indonesias NDC target, as Indonesias commitment towards a low emissions and climate resilient future, through the cooperation with the societies and private sectors, along with other governmental institutions and non-governmental organizations, and also the consistency of implementing good faith and other principles applied in the international environmental law.
"
2020
T54926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Zefanya
"Dibentuknya Perjanjian Paris menjadi katalis bagi negara-negara di kawasan Asia dan Eropa untuk meminimalisasi emisi karbon dengan mengadopsi keuangan hijau, dimana salah satu instrumen dalam hal tersebut adalah kredit hijau. Penelitian ini membahas pengaruh pembiayaan melalui kredit hijau terhadap risiko kredit instansi perbankan di kawasan Asia dan Eropa. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan model fixed effect dan random effect untuk mengolah data panel yang dikumpulkan dari instansi-instansi perbankan di 14 negara kawasan Asia dan Eropa pada periode waktu 3 tahun (2019 – 2021). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan melalui kredit hijau memiliki dampak tidak signifikan dan negatif terhadap risiko kredit untuk instansi perbankan di kawasan Eropa. Sementara itu, pembiayaan melalui kredit hijau ditemukan berdampak signifikan dan negatif terhadap risiko kredit untuk isntansi perbankan di kawasan Asia.

The Paris Agreement became a catalyst for countries in Asia and Europe to minimize carbon emissions by adopting green finance, where green credit is one of the instruments in this regard. This study discusses the effect of financing through green credit on the credit risk of banks in Asia and Europe. This research is a quantitative study that uses both fixed and random effect models to process panel data collected from banking institutions in 14 countries in Asia and Europe over a period of 3 years (2019 – 2021). The result of the study shows that financing through green credit has an insignificant and negative impact on credit risk for banks in Europe. Meanwhile, green credit proves to have significant and negative impact on credit risk for banks in Asia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, 2006
R 551.42 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Erik Faripasha S.
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri Indonesia terhadap isu perubahan iklim global era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Perubahan iklim yang semakin nyata mengancam kehidupan manusia di muka bumi mendorong negara-negara untuk mengantisipasinya. Persoalan perubahan iklim tidak dapat ditangani oleh satu negara, namun dibutuhkan kerja sama negaranegara untuk melakukan tindakan bersama dalam rangka mencegah dan memeranginya. Kerja sama antara negara maju dan negara berkembang tampaknya tidak mudah dilakukan mengingat adanya perbedaan kepentingan di antara keduanya. Negara berkembang menuntut negara maju untuk bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca yang telah dihasilkan selama pembangunan industrinya hingga membawa kesuksesan ekonomi seperti yang tampak sekarang ini. Sementara negara maju menghimbau negara berkembang agar ikut berpartisipasi dalam melakukan tindakan-tindakan nyata mengantisipasi perubahan iklim karena tingkat emisinya yang terus meningkat. Kebijakan luar negeri Indonesia harus adaptif sesuai dengan kebutuhan bagi kepentingan nasionalnya. Indonesia senantiasa menunjukkan komitmennya sebagai negara yang mendukung terhadap isu perubahan iklim global dengan memelopori pertemuan-pertemuan internasional dalam rangka mengurangi emisi sebagaimana diwajibkan dalam Protokol Kyoto , salah satunya UNFCCC. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam menangani isu perubahan iklim global banyak dipengaruhi oleh kondisi politik di lingkungan domestik dan lingkungan eksternal. Pemerintah Republik Indonesia berperan dalam mengelola dinamika politik yang terjadi untuk dapat dirumuskan menjadi sebuah kebijakan luar negeri mengenai perubahan iklim global.

This thesis is focusing on the Indonesian Foreign Policy in responding to global climate change issues era Susilo Bambang Yudhoyono during 2004-2008. Climate change has increasingly threatened the life people in this world. This problem has urged many countries to take actions. The climate change problem cannot be resolved by individual country, but it needs the cooperation among all countries in this world. However, the cooperation between developed and developing countries seems uneasy because of the differences of economics interests among them. In this issues, developing countries invoke developed countries to take responsibility for greenhouse gas emissions that have been generated during the development of their industries. Meanwhile, developed countries also call for developing countries to participate in this action as nowadays most developing countries also emit greenhouse gases more than developed countries. Indonesian Foreign policy have to adaptive for its national interest. Indonesia shows the commitment by supporting international meetings to decrease the emission as of Kyoto Protocol mandate, one of them is UNFCCC. Indonesian foreign policy in responding to global climate change more influences by domestic and external political conditions. The Indonesian government has central role in managing the dynamic domestic politic that can be formulated in foreign policy on global climate change."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26745
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Poerna Setiawan
"Perubahan iklim yang semakin nyata mengancam kehidupan manusia di muka bumi mendorong negara-negara untuk mengantisipasinya. Persoalan perubahan iklim tidak dapat ditangani oleh satu negara, namun dibutuhkan kerja sama negara-negara untuk melakukan tindakan bersama dalam rangka mencegah dan memeranginya. Kerja sama antara negara maju dan negara berkembang tampaknya tidak mudah dilakukan mengingat adanya perbedaan kepentingan diantara keduanya. Negara berkembang menuntut negara maju untuk bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca yang telah dihasilkan selama pembangunan industrinya hingga membawa kesuksesan ekonomi seperti yang yang tampak sekarang ini. Sementara negara maju mengimbau agar negara berkembang ikut berpartisipasi dalam melakukan tindakan-tindakan nyata mengantisipasi perubahan iklim karena tingkat emisinya yang terus meningkat.
Awal tahun 1990-an PBB menyepakati pembentukan UNFCCC sebagai wadah bagi pelaksanaan perundingan untuk menyusun mekanisme pencegahan dan penanganan perubahan iklim. Protokol Kyoto yang disusun sebagai mekanisme mengikat (legally binding) untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca tidak dapat berjalan efektif karena pertentangan kepentingan negara maju dan negara berkembang terkait dengan kepentingan ekonomi. Diantara negara maju, Jerman merespon isu perubahan iklim dengan kebijakankebijakan yang aktif dan progresif. Bersama Uni Eropa, Jerman senantiasa menunjukkan komitmennya dalam mengusulkan dan memelopori tindakantindakan konkret dalam rangka mengurangi emisi sebagaimana diwajibkan dalam Protokol Kyoto. Kebijakan luar negeri Jerman yang progresif dalam menangani isu perubahan iklim lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi politik domestik. Sebagai negara demokrasi liberal, pemerintah federal Jerman berperan untuk mengelola dinamika politik domestik untuk dapat dirumuskan menjadi sebuah kebijakan luar negeri mengenai perubahan iklim global.
Perundingan internasional dalam kerangka UNFCCC yang berlangsung setiap tahun pada kenyataannya telah menjadi wahana pertarungan kepentingan ekonomi dan politik negara-negara maju berhadapan dengan negara berkembang. Ditengah kondisi tersebut, kebijakan luar negeri Jerman senantiasa mendinamisasi politik perubahan iklim dari kebuntuan-kebuntuan yang mengancam bubarnya kesepakatan global mengenai upaya memerangi perubahan iklim.

Climate change has increasingly threatened the life of people in this world. This problem has urged many countries to take actions. The climate change problem can not be resolved by individual country, but it needs the cooperation among all countries in this world.. However, the cooperation between developed and developing countries seems uneasy because of the differences of economic interests among them. In this issue, developing countries invoke developed countries to take responsibility for greenhouse gas emissions that have been generated during the development of their industries. Meanwhile, developed countries also call for developing countries to participate in this action as nowadays most developing countries also emit greenhouse gases more than developed countries.
In early 1990s, the United Nations has approved the establishment of UNFCCC, forum under United Nations, as a tools for negotiation in order to arrange the mechanisms for the prevention and dealing with climate change issue. Kyoto Protocol is one of binding mechanism in order to reduce greenhouse gas emissions. However, it is not be effective because of conflict in economic interest between developed and developing coutries. Among developed countries, Germany has strong political leadership in responding to global climate change. German is also very active and progressive in developing its climate change policies. Germany with the EU always shows its strong commitment in recommending and pioneering actions in order to reduce emissions even more than as required in the Kyoto Protocol. German foreign policy in dealing with climate change is more influenced by domestic political conditions. As a liberal democratic country, the federal government has central role in managing the dynamic domestic politic that can be formulated in foreign policy on global climate change.
International negotiation in the UNFCCC framework conducts every year. Nevertheless, this negotiation forum is used to fight the economic and political interests between developed and developing countries. In this condition, German foreign policy often comes up with progressive policy that avoids the impasse of global agreement efforts in combat climate change."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25044
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dhiwa Fathi
"Performa ambivalen Norwegia terhadap komitmen Rezim Paris semakin intens pasca keputusan Norwegia untuk mengekspansi pendirian kilang migas di kawasan Arktik serta memperkuat komitmen iklim melalui Climate Act. Hal ini berimbas pada kegagalan konstan Norwegia dalam memenuhi target pengurangan emisi (NDC)—tertinggal jauh dibandingkan negara-negara Nordik lainnya. Penelitian ini menjawab alasan intensifikasi performa ambivalen Norwegia dengan menggunakan kerangka analisis kebijakan luar negeri di bawah payung Teori Peran dan Konsep Transformasi Negara. Temuan utama dalam penelitian ini mengacu pada status prominen Norwegia di ranah iklim merupakan wujud performa dari konsepsi peran sebagai Pemimpin Upaya Mitigasi Perubahan Iklim. Namun, derajat kontradiksi semakin intens pada tahun 2016-2023 lantaran proses manifestasi peran diintervensi oleh konteks-konteks khusus yang turut menempatkan optimalisasi migas sebagai kepentingan strategis. Benang merah dari temuan ini dibagi ke dalam dua tingkatan. Di tingkat perumusan kebijakan Norwegia, kompetisi politik domestik mencapai titik konvergensi antara iklim dan migas bermuara pada kebutuhan kapabilitas materiil partai politik yang bersumber dari pendapatan migas serta penjaringan legitimasi melalui isu iklim sebagai agenda populis. Adapun absensi kontrol aktivitas migas dalam Rezim Paris dalam ranah struktural menjadi celah bagi pemenuhan komitmen pengurangan emisi.

Norway’s ambivalent performance towards its Paris Agreement has intensified following its decision to expand oil and gas infrastructure in the Arctic and simultaneously strengthen climate commitments through the Climate Act. This duality has led to Norway's consistent failure to meet its Nationally Determined Contributions, lagging behind other Nordic countries. This study examines the reasons behind Norway's intensified ambivalent by employing a foreign policy analysis framework grounded in Role Theory and the Concept of State Transformation. The main findings indicate that Norway's prominent status in the climate arena reflects its role as a Leader in Climate Mitigation Efforts. However, from 2016-2023, the degree of contradiction has increased due to the interplay of special contexts that prioritize the optimization of petroleum interests as a strategic necessity. These findings can be categorized into two levels. At the policymaking level, domestic political competition converges on climate and oil interests, driven by the need for political parties to secure material capabilities sourced from oil revenues and to garner legitimacy by elevating climate issues as a populist agenda. Additionally, the structural absence of controls on oil activities within the Paris Agreement creates a gap that hinders the fulfillment of NDC commitments."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>