Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129370 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aulia Rohayati Rahmaniah
"Dalam membuat suatu perjanjian, seharusnya pihak yang ada dalam perjanjian tersebut adalah pihak yang benar-benar melakukan perikatan atau kuasanya. Hal ini sangan berkaitan dengan tanggung jawab masing-masing pihak yang berada dalam perjanjian apabila perjanjian tersebut dilaksanakan. Dalam tesis ini, kasus terjadi dimana seseorang dijebak untuk membayarkan utang orang lain yang tidak ia ketahui adanya, dengan menggunakan identitasnya sebagai identitas palsu. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis dan dianalisa dengan metode kualitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah putusan batal demi hukum oleh hakim terhadap Akta Pengakuan Hutang serta Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam kasus ini sudahlah tepat karena sejak awal tidak ada perikatan sehingga melanggar pasal 1320 KUHPerdata. Selain itu Notaris/PPAT meskipun dibebani tanggungjawab secara hukum perdata, sebenarnya juga dapat dibebani tanggung jawab secara administratif juga dengan pengenaan sanksi dalam UUJN maupun dalam kode etik profesi.

In making an Agreement, the party on the agreement should be the party that really does the engagement or its proxy. This is very related to the responsibilities of each party in the agreement if the agreement is being implemented. In this thesis, a case occurs where someone is framed to pay someone elses debt that he doesnt know exists, using his identity as a forged identity. This research is normative juridical research with a descriptive-analytical research type and analyzed with qualitative methods.
The result of this research is that the verdict is null and void by the judge regarding the Deed of Recognition of Debt and the Deed of Granting of Guarantee For Encumbrance in this case because it was right since there was no agreement so that it violated Article 1320 of the Civil Code. Besides, the Notary/PPAT, although burdened with civil legal responsibility, can also be burdened with administrative responsibilities related to UUJN, and also from its professional ethics code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Lareka Putri
"Dalam jaminan atas tanah, terdapat lembaga khusus yang mengatur ketentuan mengenai jaminan hak atas tanah, yaitu lembaga Hak Tanggungan dan telah diatur dalam suatu perundang - undangan khusus, yaitu Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996. Adanya lembaga khusus tersebut beserta peraturan yang ada berfungsi untuk melindungi kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan agar mempunyai kedudukan yang kuat. Namun karena semakin tingginya persaingan bank, sehingga bank sudah kurang memperhatikan, tidak mematuhi dan mengikuti lagi peraturan - peraturan yang ada. Untuk meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan oleh nasabah selaku debitur dalam proses pemberian kredit, terutama kredit kecil atau kredit mikro, dalam penjaminan hak atas tanah, bank meniadakan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak tanggungan (SKMHT) dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).
Tesis ini mengangkat pokok permasalahan, seperti bagaimana penjaminan tanah tanpa dibuatnya SKMHT maupun APHT dalam proses perkreditan, serta bagaimanakah penyelesaiannya apabila terdapat kredit macet dengan jaminan tanah yang tidak dibuatkan SKMHT maupun APHT. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut, tesis ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, dimana penelitian dilakukan terhadap hukum positif tertulis dalam suatu perundang - undangan, untuk mengetahui kesesuaian terhadap praktek yang di lapangan mengenai penjaminan tanah dalam proses perkreditan mikro terkait dengan peraturan di dalam Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.
Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa praktek yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan - ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, dengan tidak melaksanakan peraturan yang ada jelas bank tidak memanfaatkan perlindungan yang telah diatur dalam Undang - Undang Hak Tanggungan. Begitu pula mengenai terjadinya kredit macet, bank tentunya kesulitan untuk melakukan pencairan jaminan hak atas tanah, terlebih apabila nasabah tidak lagi kooperatif. Karena belum dibuatnya SKMHT maupun APHT, sehingga tentunya berakibat tidak dapat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan, sehingga secara otomatis tidak terbitnya sertifikat Hak Tanggungan, yang mengakibatkan bank tidak menjadi kreditur preferen.

In relation to this, a special institution celled the Mortgage Agency (Lembaga Hak Tanggungan) has been established which is regulated by a special law namely Law Number 4 of 1996 on Mortgage Rights. The main purpose of this institution and related regulations is to protect the creditors as the holder of Mortgage Right, thus giving them a strong legal basis. However, highly intense competition between banks forces them to disregard those regulations. To keep the costs a debtor has to spend to get a loanat a minimum, particularly for small and micro enterprises, when using land as a collateral, some banks no longer issue a Power of Attorney to Charge for the Rights of Land Mortgage (SKMHT) and Deed of Grant of Mortgage (APHT).
This thesis analyzes the process of obtaining bank loans which involves the practice of making land mortgages without issuing SKMHT or APHT. This thesis also identifies the bank’s strategies to settle bad loans involving land mortgages made without SKMHT or APHT. To analyze those problems, this thesis applies juridical-normative approach, in which a codified positive law is examined to measure the relevance between the applicable law and the real practice of land mortgage in the loan process with reference to Law Number 4 of 1996 on Mortgage Right.
Results show that loan practices are not in compliance with the regulations stated in Law Number 4 of 1996 on Mortgage Rights. By not abiding to the applicable law, the bank denies itself the protection provided by the Mortgage Right Law. If bad loans do occur, which requires them to apply for Mortgage Rights first, especially when the debtor is no longer cooperative. The absence of both SKMHT and APHT prevents the bank from appliying the Mortgage Rights, which effectively prevents them from obtaining the Mortgage Right certificate. This will certainly risk the bank’s reputation as a credible creditor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39109
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Pratiwi
"Dalam pemberian fasilitas kredit, bank dapat meminta adanya jaminan berupa hak atas tanah yang diikat dengan Hak Tanggungan. Hak atas tanah yang dijaminkan sebagai jaminan kredit tidak terlepas dari adanya sengketa tanah. Salah satu sengketa kepemilikan tanah yang kerap terjadi yaitu tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah. Ada akibat hukum dari tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah terhadap Objek Hak Tanggungan. Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan apabila objek Hak Tanggungan kepemilikannya tumpang tindih, perlu mendapatkan pelindungan hukum. Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian doktrinal yang bertujuan menelaah akibat hukum dari tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah terhadap Hak Tanggungan dan pelindungan hukum Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan apabila ada tumpang tindih kepemilikan objek Hak Tanggungan. Penelitian ini juga melakukan studi putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 109/PDT/2023/PT DKI. Melalui penelitian ini didapatkan hasil bahwa terhadap objek Hak Tanggungan yang tumpang tindih, salah satu sertipikat hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak dapat dibatalkan. Apabila hak atas tanah hapus karena dibatalkan, Hak Tanggungan juga turut hapus. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan belum secara konsisten mendapat pelindungan hukum meskipun telah ada SEMA Nomor 7 Tahun 2012 bahwa kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan yang beritikad baik wajib dilindungi.

When providing mortgage facilities, banks can request collateral in the form of lan rights bound by Hak Tanggungan. Land rights pledged as credit collateral cannot be separated from land disputes. The land ownership disputes that often occurs is overlapping ownership of land rights. There are legal consequences of overlapping ownership of land rights to the Mortgage Rights Object. Banks as holders of mortgage rights, if their mortgage rights objects overlap, need to obtain legal protection. This research is conducted using doctrinal research which aims to examine the legal consequences of overlapping ownership of land rights to Hak Tanggungan and the legal protection of the Bank as the holder of Hak Tanggungan if the ownership of Hak Tanggungan objects is overlapping. This research also studies the decision of DKI Jakarta High Court Number 109/PDT/2023/PT DKI. Through this research, it was found that for overlapping objects of Hak Tanggungan, the cancellation shall be done for one of a land certificate as proof of land ownership. If land ownership is extinguished because of the cancellation, Hak Tanggungan are also distinguished. This research also concludes that bank as Hak Tanggungan holder have not consistently received legal protection even though SEMA Number 7 0f 2012 states that creditors as a Hak Tanggungan holders in good faith must be protected."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelia Mariani Santoso
"Pelelangan eksekusi hak tanggungan seharusnya dilaksanakan berdasarkan hak penerima hak tanggungan peringkat pertama yang terdapat dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) yang berkekuatan hukum (parate eksekusi). Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 988/K/Pdt/2022, APHT yang menjadi dasar pelelangan dibuat secara melawan hukum karena pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungannya tidak dihadiri oleh pemberi hak tanggungan sehingga menjadi batal demi hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akibat hukum dari pelelangan yang dilakukan berdasarkan APHT yang dibuat setelah debitur meninggal dunia dan mengenai perlindungan hukum bagi kreditur pasca batalnya lelang eksekusi hak tanggungan ketika debitur wanprestasi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal dengan tipologi penelitian eksplanatoris yang menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Pada penelitian ini, ditemukan bahwa APHT yang dibuat setelah debitur meninggal dunia bertentangan dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sehingga menjadi batal demi hukum dan mengakibatkan batal demi hukumnya pelelangan dan peralihan atas objek hak tanggungan. Sedangkan perlindungan hukum bagi kreditur pasca batalnya lelang eksekusi hak tanggungan ketika debitur wanprestasi adalah dengan menyatakan seluruh isi perjanjian kredit harus dilaksanakan dan dapat mengajukan gugatan wanprestasi untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada ahli waris debitur. Maka dari itu, pembuatan APHT setelah debitur meninggal dunia tidak cukup hanya dengan janji dalam perjanjian kredit sehingga pertimbangan hakim tidak tepat.

Execution of mortgage rights should be held by the first holder’s right (parate execution) contained in the legally enforceable deed of grant of mortgage (“APHT”). On the Supreme Court Decision Number 988/K/Pdt/2022, the APHT that used for the auction was made against the law because the power of attnorney was made without the presence of the mortgagee thus becoming null and void. This research aims to analyze the consequences of the auction held based on APHT made after the debtor’s death and regarding legal protection for creditors after the execution of mortgage rights was declared null and void in the event of the mortgagee’s default. This research is a doctrinal legal approach with explanatory research typology that used secondary data obtained through literature study. The data was analyzed qualitatively. Based on this research, it was found that APHT made after the debtor’s death was against Article 15 paragraph (1) Law No. 4 year 1996 on Mortgage Right hence it becomes null and void, resulting the auction and the object of mortgage’s transfer to be null and void as well. Meanwhile, the legal protection that could be taken by the creditors after the execution of mortgage rights was declared null and void in the event of the mortgagee’s default are by stating that all contents of the credit agreement must be implemented and by filing a default lawsuit to the debtor’s heirs to get compensation for losses and interest. The conclusion is the pledge from the credit agreement was not sufficient to be used as a basis to make APHT after the debtor’s death, so the judges’ judgement was not precise.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latifah Puspa Herwido
"Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam kegiatan jual beli tanah memiliki peran yang sangat penting. Keabsahan perbuatan hukum dalam akta harus diperhatikan untuk tetap menjaga keotentikan akta PPAT agar memiliki kepastian hukum yang penerapannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tesis ini akan membahas mengenai keabsahan Akta Jual Beli (AJB) dengan Kuasa yang cacat hukum dan pertanggung jawaban Badan Pertanahan Nasional jika terbukti terjadi kelalaian. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif.
Permasalahan yang akan dianalisis dalam tesis ini ialah kasus yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1979/K.Pdt/2016. Jika dikaji secara hukum, Kuasa dalam Akta Jual Beli nya dapat dikatakan cacat hukum sehingga berimplikasi terhadap keabsahan Akta Jual Beli yang menjadi batal demi hukum. Kehati-hatian PPAT dalam mempelajari peristiwa hukum dengan dokumen dari penghadap sangat dibutuhkan untuk menghindari terjadinya kebatalan Akta yang berakibat kerugian bagi para pihak. Pertanggungjawaban Badan Pertanahan Nasional atas proses sertipikat yang telah selesai didasari dengan Akta Jual Beli yang batal demi hukum ialah mengembalikkan lagi ke keadaan semula dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum.

Land Deed Officials (PPAT) in land buying and selling activities have a very important role. The validity of legal actions in the deed must be considered in order to maintain the authenticity of the PPAT deed so that it has legal certainty, the implementation of which is in accordance with the laws and regulations. This thesis will discuss the validity of the Deed of Sale and Purchase (AJB) with a legal defect and the accountability of the National Land Agency if negligence is proven. This research was conducted in a normative juridical manner.
The problem to be analyzed in this thesis is the case contained in the Supreme Court Decision Number 1979/K.Pdt 2016. If reviewed legally, the Power of Attorney in the Sale and Purchase Act can be said to be legally flawed so that it has implications for the validity of the Sale and Purchase Deed which is null and void. Carefulness of PPAT in studying legal events with documents from the parties is needed to avoid the cancellation of the Deed which results in losses for the parties. The National Land Agency's responsibility for the completed certification process based on a deed of sale and purchase that is null and void by law is to return to its original state with a court decision that has legal force.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54785
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Torang, Grace Anne
"Lahirnya Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-undang Hak Tanggungan) pada tanggal 9 April 1996 menjadi peristiwa yang penting dalam pembangunan hukum tanah nasional karena telah tercipta kesatuan hukum di bidang jaminan hak atas tanah yang tidak hanya memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditur dan debitur, tapi juga kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. Sifat dan ciri Hak Tanggungan yang mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, menjadikan lembaga jaminan yang satu ini tumpuan perlindungan hukum bagi para kreditur dalam melaksanakan kegiatan perkreditan di tengah masyarakat. Namun pada kenyataannya kemudahan yang ditawarkan oleh Undangundang Hak Tanggungan bagi pemegang jaminan kebendaan untuk melunasi hakhak piutangnya tidak selalu kuat, mudah dan pasti dalam pelaksanaannya, banyak faktor yang menjadi penghalang terwujudnya keadaan tersebut, salah satunya diangkat dalam tesis ini, yaitu terjadinya perbedaan penafsiran Pasal 6 Undangundang Hak Tanggungan yang memuat bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut dan Pasal 15 ayat (1) huruf (b) Undang-undang Hak Tanggungan pada prinsipnya mengatur larangan adanya kuasa substitusi dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang membawa dampak penolakan terhadap pelaksanaan lelang Parate Eksekusi oleh KPKNL Bandar Lampung. Perbedaan dasar penolakan dari kedua lembaga yang terkait erat dalam proses pelelangan yaitu Ketua KPKNL dan Direktur Lelang pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan Republik Indonesia, menunjukkan masih belum sempurnanya pemahaman mengenai Undang-undang Hak Tanggungan, tidak hanya penolakan pelaksanaan lelang Parate Eksekusi Hak Tanggungan merugikan pihak kreditur dan debitur tetapi juga merugikan masyarakat pada umumnya karena telah terjadi ketidakpastian hukum.

The issuance of law No. 4 year 1996 regarding the Mortgage of Land and Objects Related Attached To It, on April 9, 1996 ("Mortgage Act"), is an important event in the development of national land laws for the legal entity created in the field of security of tenure which not only gives protection and legal certainty for creditors and debtors, but also to the other parties concerned. The natures and the characteristics of Mortgage is easy and the execution is definite, that makes this security institution support and giving legal protection, specifically for creditors in conducting lending activities in the community. But in fact the convenience offered by this Mortgage Act for collateral holders to settle the rights to claims are not always robust, easy, and certainly in practice, many factors can be prohibitive of such event, one of them raised in this thesis, that is the differences in the interpretation of Article 6 and Article 15 paragraph (1) letter (b) Mortgage Act that took effect to the rejection of the Parate Execution by KPKNL Bandar Lampung. The basic differences reason given by the two institutions in rejecting Parate Execution, shows that the related authorities have minor understanding of the Mortgage Act, not only the rejection of Parate Execution Mortgage detrimental to the creditors and debtors, but also detrimental to public because of a legal uncertainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30003
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gerardus Cahyo Nugroho
"Sertipikat sebagai alat bukti terkuat ternyata tidak menjamin dapat di jadikan alat bukti yang dapat secara penuh di miliki ini di buktikan dengan di batalkannya Hak Tanggungan No.5/HT/18/IV/199 oleh pengadilan. Akibat di batalkannya Akta Jual Beli Tanah yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan sehingga menyebabkan hapusnya obyek jaminan hal ini tentu saja merugikan pihak kreditur karena pihak kreditur yang beitikad baik yang telah memenuhi segala ketentuan untuk memberi pinjaman tidak mendapatkan perlindungan karena haknya telah di cederai dengan di batalkannya hak tanggungan tersebut karena batalnya sertipikat jual beli tersebut. Sehingga dalam hal ini penulis ingin meneliti dan mengkaji bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi bagaimana kekuatan perjanjian yang di lakukan sebelum AJB di buat apakah mempunyai Implikasi yang besar terhadap pembatalan sertipikat kedua tanah tersebut sehingga mengakibatkan batalnya hak tanggungan. Tesis ini di buat untuk dapat mengetahui factor apa saja yang dapat membatalkan sertifikat sehingga penulis mengharapkan dapat mengklarifikasi penyebab batalnya hak tanggungan yang di sebabkan batalnya sertifikat akibat akta jual beli yang batal di masa yang akan datang.

Certificate as the strongest evidence did not ensure that the evidence can be made in full to have this attested by at cancellation of Mortgage No.5/HT/18/IV/199 by the court . Due on Sale and Purchase of Land Deed canceled the object of causing collateral mortgage guarantee this object abolishment of course detrimental to the creditors because the creditors are faith both have met all the provisions to provide protection because the loan did not get in to harm the rights have been in cancellation the encumbrance certificate for the cancellation of the sale and purchase. in this case I want to examine and assess how such events can happen how the strength of the agreement will be undertaken prior to AJB is made whether to have great implications on both the soil certificate cancellation, resulting in the cancellation of mortgage. Thesis is made in order to determine what factors may cancel the certificate so that the author hopes to clarify the cause of the cancellation of mortgage that is caused due to the cancellation of the deed of sale certificate is canceled in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliftya Tjakra Susanto
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pengikatan jaminan kebendaan terhadap pesawat di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilaksanakan dan bagaimana urgensi pembentukan lembaga pendaftaran jaminan kebendaan terhadap pesawat di Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pesawat merupakan benda bergerak berdasarkan sifat dan hakikatnya di pasal 509 KUHPerdata. Sebagai benda bergerak, pesawat dapat dibebankan jaminan kebendaan sebagai jaminan pelunasan utang. Namun, dalam pelaksanaannya, pesawat sukar untuk dijaminkan dengan gadai mengingat bobot dan ukurannya yang lebih besar dibanding ukuran rata-rata benda bergerak lainnya. Pasal 12 ayat (1) UU Penerbangan 1992 telah mengatur lembaga jaminan terhadap pesawat melalui hipotik. Namun, aturan pelaksanaan hipotik terhadap pesawat tersebut masih belum disahkan hingga keberlakuan UU Penerbangan 2009 yang mencabut keberlakuan UU Penerbangan 1992. Ketentuan yang ada di UU Penerbangan 2009 tidak mengatur secara jelas lembaga jaminan yang dapat dibebankan terhadap pesawat. Ketidakjelasan pengaturan terhadap jaminan pesawat ini menjadikan belum adanya lembaga pendaftaran jaminan kebendaan pesawat di Indonesia sehingga jaminan terhadap pesawat tidak dapat lahir. Sementara itu, aktivitas penerbangan sipil dan kebutuhan akan pesawat udara yang semakin meningkat mengakibatkan kebutuhan akan jaminan dalam pembiayaan pengadaaan pesawat juga semakin meningkat. Agar jaminan yang dibebankan atas pesawat ini dapat lahir dan memiliki kekuatan hukum diperlukan suatu lembaga pendaftaran jaminan kebendaan terhadap pesawat. Oleh karena itu, pembentukan lembaga pendaftaran jaminan terhadap pesawat menjadi hal yang penting untuk memberikan kepastian hukum terhadap perlindungan hak kreditur dan pelaksanaan eksekusi terhadap pesawat.

This paper analyzes how the binding of collateral for aircraft in Indonesia based on applicable and implemented laws and regulations in Indonesia and how urgent it is to establish an agency for registering collateral for aircraft in Indonesia. This article was prepared using doctrinal research methods. Aircraft are movable objects based on their nature and essence in Article 509 of the Civil Code. As a movable object, an aircraft can be subject to material collateral as collateral for debt repayment. However, in practice, it is difficult to pledge aircraft as collateral considering their weight and size are greater than the average size of other movable objects. Article 12 paragraph (1) of the 1992 Aviation Law regulates the institution of guarantees for aircraft through mortgages. However, the regulations for implementing mortgages on aircraft have not yet been ratified until the 2009 Aviation Law comes into force, which revokes the 1992 Aviation Law. The provisions in the 2009 Aviation Law do not clearly regulate the collateral institutions that can be imposed on aircraft. This lack of clarity in the regulations regarding aircraft guarantees means that there is no institution for registering aircraft material guarantees in Indonesia so that guarantees for aircraft cannot be issued. Meanwhile, civil aviation activities and the increasing need for aircraft have resulted in the need for collateral in financing aircraft procurement also increasing. For the guarantee imposed on this aircraft to be valid and have legal force, an agency for registering material collateral for the aircraft is required. Therefore, the establishment of an agency for registering collateral for aircraft is important to provide legal certainty regarding the protection of creditors' rights and the execution of aircraft."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Puspitasari Latala
"Penelitian ini membahas mengenai tanggung jawab Notaris terhadap Salinan Akta yang dikeluarkan berdasarkan Minuta Akta. Notaris dalam menjalankan jabatannya yang antara lain berwenang untuk membuat akta autentik, harus mematuhi apa yang diatur dalam undang-undang bahwa Notaris dalam membuat Minuta Akta wajib mengeluarkan Salinan Akta yang berisikan Salinan kata demi kata dari seluruh akta. Kelalaian Notaris dalam menjalankan kewenangannya tersebut akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah akibat hukum terhadap salinan akta perjanjian kredit yang dikeluarkan tidak sesuai dengan Minuta Akta Notaris pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 20/Pdt.G/2017/PN Jkt-Sel; dan pertanggungjawaban hukum terhadap Notaris yang lalai dalam menjalankan jabatannya pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 20/Pdt.G/2017/PN Jkt-Sel. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif. Adapun analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa akibat hukum dari Salinan Akta yang dikeluarkan tidak sesuai dengan Minuta Akta ialah akta tesebut terdegradasi menjadi akta dibawah tangan, karena kekuatan pembuktiannya ada pada Asli Akta yaitu Minuta Akta, namun jika terjadi suatu permasalahan di kemudian hari atas Salinan Akta tersebut Notaris dapat dimintakan pertanggung Jawaban Hukumnya. Sementara pertanggungjawaban yang dapat dimintakan kepada Notaris adalah pertanggungjawaban secara administratif, dan secara Hukum Perdata sebagai Perbuatan Melawan Hukum dikarenakan adanya kerugian yang diderita oleh Pihak tertentu.

This research takes up issue regarding the responsibility of Public Notary to Copy of Deed which issued not based on Minute of Deed.  Public Notary has authorities to issuing authentic deed, which should regulate based on Indonesian Law that stated Notary’s. for making the minutes of deed, it is obligatory to issue a copy of the deed which contains a word-for-word copy. The notary's negligence in carrying out his authority will cause problems in the future. The problem raised in this study is the legal consequences of the copy of the credit agreement deed that was issued not in accordance with the Minuta of the Notary Deed in the South Jakarta District Court Decision Number 20/Pdt.G/2017/PN Jkt- Sel; and legal responsibility for Notaries who are negligent in carrying out their positions in the Decision of the South Jakarta District Court Number 20/Pdt.G/2017/PN Jkt- Sel. To answer this problem, normative juridical research methods are used. The data analysis was carried out qualitatively. The results of the study found that in the legal consequences of the Copies of Deeds issued that are not in accordance with the Minutes of the Deed are that the deed is degraded to Private Deed, because the strength of the proof is in the Original Deed, namely the Minutes of the Deed, but if there is a problem in the future regarding the Copy of the Deed, the Notary can be held accountable the law. Meanwhile, the liability that can be asked of the Notary is administrative responsibility, and in Civil Law as an unlawful act due to losses suffered by certain parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Syamsiruddin
"Pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan dikatakan bahwa pesawat terbang dan helikopter yang mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek sedangkan ketentuan pembebanan hipotek diatur Iebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanah itulah Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Udara telah melakukan menyusun konsep dan naskah akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Hipotek Pesawat Udara yang oleh penulis coba melakukan analisis apakah rancangan undang-undang tersebut sudah memenuhi kebutuhan masyarakat industri penerbangan. Penulis selain membahas hipotek yang merupakan pokok kajian dalam tesis ini juga membahas penggolongan pesawat udara terutama terkait dengan belum jelasnya penggolongan benda sesuai KUHPerdata dari perspektif pesawat udara itu sendiri, belum tersedianya lembaga jaminan dan belum Iengkapnya peraturan-peraturan pelaksana.
Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dan penelitian lapangan dengan menggunakan wawancara. Dewasa ini praktek pembebanan pesawat udara oleh pihak-pihak terkait ada yang melakukan dengan jaminan fidusia dan hipotek. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 15 Tabun 1992 tidak tegas tetapi mengambangkan dengan cara mempergunakan perkataan "dapat dibebani hipotek" sebagaimana yang ditemukan pada Pasal 12 ayat (1) dan penjelasan yang memungkinkan pembebanan pesawat udara dengan hak jaminan Iainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang beriaku.
Dari analisis yang dilakukan terhadap substansi Rancangan Undang-Undang tentang Hipotek Pesawat Udara yang terdiri dari 8 BAB dan 29 Pasal, menurut hemat penulis sudah memenuhi kebutuhan masyarakat industri penerbangan. Namun demikian terhadap lembaga yang berwenang menetapkan pendaftaran hipotek yang diatur pada Pasal 10 Rancangan Undang-Undang menetapkan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, menurut hemat penulis perlu dibentuk suatu badan atau lembaga yang bersifat independen seperti hainya Badan Pertanahan Nasional pada lembaga jaminan hak tanggungan. Demikian juga perlunya ditetapkan penggolongan hak kebendaan terhadap pesawat udara dalam Rancangan Undang-undang agar lembaga jaminan hipotek sebagaimana yang dimaksudkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan memiliki dasar hukum perundangundangan seperti halnya kapal laut yang mempunyai bobot mati 20 M3 digolongkan sebagai benda tidak bergerak dalam Kitab Undang-Undang Dagang. Akhirnya, sebagai konsep awai Rancangan Undang-Undang ini sudah balk secara keseluruhan namun masih memeriukan penjelasan yang Iebih konkrit, pembahasan yang Iebih mendalam sehingga nantinya memberikan suatu kepastian hukum sebagaimana yang ditunggu tunggu masyarakat industri penerbangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T17315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>