Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186703 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atagoran, Teresa Catharina Boi
"Wali sebagai pelaksana kekuasaan orang tua terhadap anak memiliki peran
yang signifikan dalam tumbuh kembang dan kesejahteraan anak. Namun jika pada
kenyataannya perwalian tidak berjalan sebagaimana mestinya, wali dapat dicabut
oleh Pengadilan setempat. Masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
pengertian dan pengaturan mengenai anak, perwalian, perbandingan pengaturan
pencabutan perwalian antara Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang
Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, serta perbandingan pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor
302/Pdt.G/2012/PN.Mdo dengan ketentuan pencabutan perwalian dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan metode
analisa data kualitatif. Perbedaan antara pengaturan pencabutan wali dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29
Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali adalah lebih spesifiknya
pemohon pencabutan wali, yakni orang tua atau badan hukum atau orang yang akan
ditunjuk sebagai wali serta alasan-alasan pencabutan wali yang lebih mendetail dan
ada beberapa alasan baru, yakni wali melalaikan kewajibannya, wali tidak cakap
melakukan perbuatan hukum, menyalahgunakan kewenangan sebagai wali,
melakukan tindak kekerasan terhadap anak yang ada dalam pengasuhannya, dan
orang tua dianggap telah mampu untuk melaksanakan kewajibannya. Pertimbangan
hakim dalam Putusan Nomor 302/Pdt.G/2012/PN.Mdo seharusnya merujuk pada
Undang-Undang Perkawinan sebagai dasar hukum pencabutan wali, namun
keputusan hakim dalam kasus ini tetap tepat, karena hakim mempunyai wewenang
untuk menggali nilai keadilan dalam masyarakat, yang dilakukan dengan cara
mempertimbangan pendapat anak yang berada dalam perwalian. Alasan pencabutan
wali, prosedur pencabutan wali dan penunjukan wali baru dalam kasus ini telah
sesuai dengan ketentuan pencabutan wali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29
Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyka Yustika Anggraini
"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) telah mengatur mengenai Pembatalan Perkawinan dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 28. Hal-hal yang diatur mengenai Pembatalan Perkawinan di dalam UU Perkawinan sendiri adalah mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat menjadi penyebab dibatalkannya suatu perkawinan. Bahwa secara keseluruhan dibatalkannya suatu perkawinan adalah karena tidak dipenuhinya syarat-syarat bagi suami dan/atau isteri untuk melangsungkan perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa salah satu alasan suatu perkawinan dapat dimohonkan pembatalannya adalah karena terdapat salah sangka atas diri suami atau isteri. Ketentuan inilah yang menjadi dasar adanya permohonan perkawinan yang diajukan Pemohon dalam perkara Nomor 1360 K/Pdt/2012, dimana Pemohon yang berkedudukan sebagai Isteri mendalilkan telah adanya salah sangka terhadap keadaan orientasi seksual Termohon—suami yang dinikahinya. Hakim pada Pengadilan Negeri maupun sampai dengan Mahkamah Agung, menolak adanya permohonan ini dengan alasan bahwa keadaan salah sangka tidak mencakup keadaan orientasi seksual dan perkawinan yang terjadi tidak menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, setelah dikaji lebih lanjut dapat dipahami bahwa perkawinan yang demikian sebenarnya telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan yang mengamanatkan kehidupan perkawinan yang langgeng. Lebih lanjut, dikaitkan dengan kajian psikologis mengenai kelainan orientasi seksual, dapat dipahami bahwa orientasi seksual merupakan bagian dari identitas diri seorang individu, sehingga merupakan bagian dari diri seseorang sebagaimana rumusan dari Pasal 27 ayat 2 UU Perkawinan. Untuk itu perkawinan yang demikian sepatutnya dibatalkan.

Marriage Regulation Number 1 Year 1994 as amended with The First Amendment of Marriage Regulation Number 16 Year 2019 (later on mentioned as “UU Perkawinan”) has regulated the annulment of marriage in the provisions of Article 22 through Article 28. UU Perkawinan regulates regarding what are the reasons that can be the cause of marriage being annulled. In general, the annulment of marriage can happen because of the conditions that already been established in UU Perkawinan is not fulfilled by the husband and/or the wife. In the provision of Article 27 verse (2) mentioned that one of the reason why marriage can be annulled is because there has been such misinterpretation towards the husband and/or the wife. This provision later became the main reason of marriage annulment petition that requested by the applicant in the case number 1360 K/Pdt/2012 in which the applicant has a legal standing as the wife that postulates that there had been some sort of misinterpretation towards her husband’s sexual orientation. Judges in Pengadilan Negeri and Mahkamah Agung rejected this petition with consideration that misinterpretation as mentioned in the provision of Article 27 verse 2 can not be applied for sexual orientation and there was no one in that marriage violates marriage law, thus, the petition can not be granted. However, after further study it can be understood that this kind of marriage is not comply with the provision of Article 1 UU Perkawinan which mandates that any marriage should expected to be last for a lifetime. Furthermore, related with physicology perspective regarding sexual orientation, it can be understood that sexual orientation is a part of the identity of an individual, therefore it is part of oneself as is mentioned in the Article of 27 verse (2) UU Perkawinan. For this reason such marriages should be cancelled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyka Yustika Anggraini
"

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) telah mengatur mengenai Pembatalan Perkawinan dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 28. Hal-hal yang diatur mengenai Pembatalan Perkawinan di dalam UU Perkawinan sendiri adalah mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat menjadi penyebab dibatalkannya suatu perkawinan. Bahwa secara keseluruhan dibatalkannya suatu perkawinan adalah karena tidak dipenuhinya syarat-syarat bagi suami dan/atau isteri untuk melangsungkan perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa salah satu alasan suatu perkawinan dapat dimohonkan pembatalannya adalah karena terdapat salah sangka atas diri suami atau isteri. Ketentuan inilah yang menjadi dasar adanya permohonan perkawinan yang diajukan Pemohon dalam perkara Nomor 1360 K/Pdt/2012, dimana Pemohon yang berkedudukan sebagai Isteri mendalilkan telah adanya salah sangka terhadap keadaan orientasi seksual Termohon—suami yang dinikahinya. Hakim pada Pengadilan Negeri maupun sampai dengan Mahkamah Agung, menolak adanya permohonan ini dengan alasan bahwa keadaan salah sangka tidak mencakup keadaan orientasi seksual dan perkawinan yang terjadi tidak menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, setelah dikaji lebih lanjut dapat dipahami bahwa perkawinan yang demikian sebenarnya telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan yang mengamanatkan kehidupan perkawinan yang langgeng. Lebih lanjut, dikaitkan dengan kajian psikologis mengenai kelainan orientasi seksual, dapat dipahami bahwa orientasi seksual merupakan bagian dari identitas diri seorang individu, sehingga merupakan bagian dari diri seseorang sebagaimana rumusan dari Pasal 27 ayat 2 UU Perkawinan. Untuk itu perkawinan yang demikian sepatutnya dibatalkan.


Marriage Regulation Number 1 Year 1994  as amended with The First Amendment of Marriage Regulation Number 16 Year 2019 (later on mentioned as “UU Perkawinan”) has regulated the annulment of marriage in the provisions of Article 22 through Article 28. UU Perkawinan regulates regarding what are the reasons that can be the cause of marriage being annulled. In general, the annulment of marriage can happen because of the conditions that already been established in UU Perkawinan is not fulfilled by the husband and/or the wife. In the provision of Article 27 verse (2) mentioned that one of the reason why marriage can be annulled is because there has been such misinterpretation towards the husband and/or the wife. This provision later became the main reason of marriage annulment petition that requested by the applicant in the case number 1360 K/Pdt/2012 in which the applicant has a legal standing as the wife that postulates that there had been some sort of misinterpretation towards her husband’s sexual orientation. Judges in Pengadilan Negeri and Mahkamah Agung rejected this petition with consideration that misinterpretation as mentioned in the provision of Article 27 verse 2 can not be applied for sexual orientation and there was no one in that marriage violates marriage law, thus, the petition can not be granted. However, after further study it can be understood that this kind of marriage is not comply with the provision of Article 1 UU Perkawinan which mandates that any marriage should expected to be last for a lifetime. Furthermore, related with physicology perspective regarding sexual orientation, it can be understood that sexual orientation is a part of the identity of an individual, therefore it is part of oneself as is mentioned in the Article of 27 verse (2) UU Perkawinan. For this reason such marriages should be cancelled. 

 

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia Wulan Suci Siswanto
"Tulisan ini berfokus pada analisis mengenai pembatalan perkawinan karena salah sangka terhadap diri pasangan dalam Putusan No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn dengan mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974 yang diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 (UU Perkawinan). Adapun metode penulisan yang digunakan adalah doktrinal dengan studi kepustakaan. Salah sangka terhadap diri pasangan didefinisikan ahli hukum dan para hakim terdahulu sebagai suatu penipuan identitas yang disengaja mengenai dirinya karena tidak terdapat pengaturan mendetail yang mendefinisikan salah sangka di dalam UU Perkawinan. Selaras dengan hal tersebut, Putusan No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn mengandung pokok perkara mengenai salah sangka mengenai diri istri yang diajukan oleh Pemohon. Pemohon menilai bahwa terdapat kebohongan mengenai latar belakang profesi, pendidikan, domisili, serta sikap Termohon yang tidak sesuai dengan sangkaannya sebelum perkawinan. Hakim dalam perkara mengabulkan permohonan Pemohon selaku suami secara seluruhnya dengan mempertimbangkan adanya kebohongan mengenai identitas diri istri selaku Termohon. Penulis menilai bahwa No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn telah sesuai dengan UU Perkawinan, tetapi tidak menyetujui pertimbangan hakim yang menafsirkan sikap pemarah Termohon dan percekcokan setelahnya sebagai suatu salah sangka, karena tidak relevan dengan penipuan identitas yang dilakukan Termohon dan merupakan sebab akibat dengan hak nafkah Termohon yang tertahan. Dalam menghadapi kekosongan hukum terkait salah sangka, hakim juga tidak mengakomodasi hukum agama Kristen yang dianut Pemohon dan Termohon serta memberi pertimbangan yang kurang cermat yang tidak didasarkan pada pengaturan selain UU Perkawinan. Penulis menilai bahwa hakim kurang mencerminkan penguasaan hukum. Dibutuhkan pula pengaturan yang spesifik mengenai definisi dan kategorisasi salah sangka untuk menciptakan kepastian hukum.

This paper analyzes marriage annulment due to false presumption towards the spouse in District Court Decision No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn with reference to Law No. 1 of 1974 which was amended by Law No. 16 of 2019 (Marriage Law). The writing method used is doctrinal method with literature study. False presumptions as the basis of marriage annulment has been defined by legal experts and previous judges as deliberate identity fraud regarding oneself due to unavailable provisions in defining false presumptions in the Marriage Law. In accordance with this, District Court Decision No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn contains the subject of the case regarding false presumptions submitted by the husband as Petitioner. The Petitioner considered that there were lies regarding the Respondent's professional background, education, domicile, and attitude which did not match Petitioner presumptions before the marriage. The judge granted the Petitioner's petition in its entirety taking into account the lies regarding the wife's identity as the Respondent. The author considers that No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn was in accordance with the Marriage Law, but disagree with the judge's consideration which interpreted the Respondent's temperament and subsequent quarrel as a false presumptions, owing to the fact that it was irrelevant to the identity fraud committed by the Respondent and was a causality of the Respondent's livelihood being withheld. In facing the legal vacuum related to false presumptions, the judge also did not accommodate the Christian religious law adhered to by the Petitioner along with Respondent and gave inaccurate considerations that were not based on regulations other than the Marriage Law. In addition, the author considers that judges do not reflect their mastery of the law. Specific regulations are also needed regarding the definition and categorizations of false presumptions to contribute and construct legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Ayudiatri
"Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap pencegahan perkawinan di bawah umur serta untuk mengetahui latar belakang dari kaidah dispensasi kawin dalam mengadili pemberian izin dispensasi kawin di Pengadilan Agama Depok. Penelitian ini menggunakan yuridis empiris dan yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan hasil data dari jumlah pengajuan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Depok dan 2 (dua) contoh penetapan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Depok. Dari penelitian ini, Penulis mendapatkan hasil bahwa pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak sepenuhnya berjalan efektif dalam mencegah perkawinan di bawah umur di Indonesia. 

This thesis discourse the Effectiveness of The Law Number 16 Year 2019 Regarding to Amendment on The Law Number 1 Year 1974 on Marriage in the Prevention of Underage Marriage and to examine the background of the rules of marriage dispensation in adjudicating the granting of a marriage dispensation permit in the Depok Religious Court. This study uses empirical juridical and normative juridical with qualitative approaches. The results conferred from the number of marriage dispensation submissions in the Depok Religious Court and examples of Court Decision regarding to marriage dispensations permits in Depok Religious Court serve as the basis of this study. The result from this study shows the implementation of Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 Year 1974 concerning marriage is not effectively prevents the underage marriages in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fadli
"Tesis ini menganalisa terkait dorongan gerakan sosial dalam mendorong negara merevisi UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 di Indonesia. Penelitian ini memberikan sebuah kontribusi bukan hanya Koalisi 18+ sebagai sebuah gerakan sosial yang memiliki aktivitas diorganisasi dalam memperjuangkan terciptanya kebijakan yang mengubah suatu situasi sosial politik yang ada. Namun juga keberpihakan Presiden Joko Widodo dan Eva Kusuma Sundari (anggota DPR RI Fraksi Partai PDIP) dalam mendorong upaya revisi batas usia perkawinan pada UU Perkawinan tersebut sebagai suatu peluang politik yang mendukung aksi dari gerakan sosial dalam hal ini Koalisi 18+. Penelitian ini menggunakan teori gerakan sosial Macionis (1999) untuk melihat entitas Koalisi 18+ sebagai sebuah gerakan sosial di Indonesia. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada narasumber yang menjadi kunci dari penelitian ini, serta pengumpulan data-data sekunder berupa dokumen dan laporan-laporan terkait. Hasil penelitian ini menunjukan Koalisi 18+ sebagai sebuah gerakan sosial telah berhasil mendorong upaya revisi batas usia perkawinan di Indonesia, keberhasilan ini didukung oleh peluang-peluang politik yang hadir dari Presiden Joko Widodo serta Eva Kusuma Sundari yang memiliki kekhawatiran yang sama dengan apa yang diperjuangkan oleh Koalisi 18+. Penelitian ini menunjukkan bahwa dorongan Koalisi 18+ relevan dengan teori gerakan sosial yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini, serta keberhasilan Koalisi 18+ didukung oleh peluang politik yang mendorong keberhasilan suatu gerakan sosial.

This thesis analyzes the impetus of social movements in pushing the state to revise the Marriage Law No. 1 of 1974 in Indonesia. This research provides a contribution not only to the 18+ Coalition as a social movement that has organized activities in fighting for the creation of policies that change an existing socio-political situation. However, the President Joko Widodo and Eva Kusuma Sundari (members of the Indonesian Parliament from PDIP period 2014-2019) are also taking sides in pushing for efforts to revise the age limit for marriage in the Marriage Law as a political opportunity to support the actions of social movements, in this case the 18+ Coalition. This study uses the social movement theory of Macionis (1999) to view the 18+ Coalition entity as a social movement in Indonesia. Data collection techniques were carried out by in-depth interviews with informants who were the key to this research, as well as collecting secondary data in the form of related documents and reports. The results of this study show that the 18+ Coalition as a social movement has succeeded in encouraging efforts to revise the age limit for marriage in Indonesia, this success is supported by the political opportunities presented by President Joko Widodo and Eva Kusuma Sundari who have the same concerns as what the The 18+ Coalition. This research shows that the encouragement of the 18+ Coalition is relevant to the social movement theory that forms the basis of the theory in this research, and the success of the 18+ Coalition is supported by political opportunities that drive the success of a social movement."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Purborini
"Tesis ini membahas mengenai pengaturan pembuatan perjanjian perkawinan yang berisi hal-hal lain yang diperjanjikan selain harta kekayaan yang dengan mengkaitkannya terhadap pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan implementasinya oleh Notaris. Permasalahan dalam penulisan ini ialah seperti apa batasan isi perjanjian perkawinan yang tidak hanya memuat tentang harta kekayaan saja dan praktek pembuatan akta perjanjian perkawinan oleh Notaris. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis dan dianalisa dengan metode kualitatif. Batasan perjanjian perkawinan menurut pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah tidak melanggar hukum, agama dan kesusilaan. Hasil penelitian ini bahwa perjanjian perkawinan harus tidak melanggar hukum positif yang ada di Indonesia, memenuhi prinsip religious married dan civil married sesuai dengan norma-norma yang ada didalam masyarakat. Selain itu, praktek pembuatan perjanjian perkawinan yang menambahkan klausul selain harta kekayaan oleh Notaris dapat dilakukan oleh Notaris sepanjang dalam praktek pembuatan perjanjian perkawinan tetap memuat pokok utama tentang harta kekayaan (harta benda). Notaris memiliki subjektivitasnya masing-masing dalam membuat perjanjian perkawinan, hal ini didasarkan atas pengetahuan, pengalaman, latar belakang dan perspektif notaris masing-masing.

This thesis discusses the arrangements for making a marriage agreement that contains other matters that are agreed to besides the assets that relate to article 29 paragraph 2 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and its implementation by Public Notary. The problem in this paper is what is the limitation of the contents of the marriage agreement that does not only contain assets and the practice of making a marriage agreement by a notary. This research is a normative juridical research with descriptive analytical research type and analyzed with qualitative methods. Limitation of marriage agreements according to article 29 paragraph 2 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage is not against the law, religion and morality. The results of this study that marriage agreements must be relate with the positive laws that exist in Indonesia, also relate with the principles of religious married and civil married in accordance with existing norms in society. In addition, the practice of making marriage agreements that add clauses other than assets by a notary can be carried out by a notary as long as in practice the marriage agreement is still made to contain the main points of assets (property). Notary public has their own subjectivity in making marriage agreements, this is based on their notary knowledge, experience, background and perspective.
"
2019
T54771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Shinta Abidasari
"Indonesia selalu menjadi negara transit bagi para pencari suaka dan pengungsi yang ingin menuju negara Australia dan Selandia Baru. Salah satu permasalahan sosial dan hukum yang muncul atas keberadaan pencari suaka dan pengungsi selama menunggu di Indonesia adalah terjadinya perkawinan antara warga negara Indonesia (WNI) dan pencari suaka atau pengungsi. Perkawinan semacam ini mengalami permasalahan dihadapan hukum Indonesia. Dalam praktiknya, perkawinan antara pengungsi asing dan WNI dilakukan sah secara agama saja atau perkawinan dibawah tangan karena tidak dapat dipenuhinya syarat formal sahnya perkawinan yaitu mengenai pencatatan perkawinan. Hal ini membawa konsekuensi tidak diperolehnya akta nikah yang merupakan satu-satunya alat bukti otentik atas peristiwa perkawinan tersebut. Dari perkawinan yang hanya sah secara agama ini tidak hanya berdampak negatif terhadap anak yang dilahirkan tetapi berdampak
negatif pula terhadap perempuan (isteri). Dengan status perkawinan yang sah secara agama ini maka seorang perempuan tidak dapat menuntut atas pemenuhan hak haknya sebagai selayaknya seorang isteri sah. Tesis ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana status hukum akibat hukum perkawinan yang dilakukan antara WNI dengan orang asing berstatus Pengungsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan antara WNI dengan pengungsi asing seharusnya diatur lebih jelas dalam peraturan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum adanya pengaturan khusus untuk perkawinan tersebut sehingga perkawinan itu hanya sah secara agama dan tidak dimungkinkan diterbitkannya akta nikah yang merupakan akta otentik suatu perkawinan.

Indonesia has always been a transit country for asylum seekers and refugees who wish to travel to Australia and New Zealand. One of the social and legal problems that arise with the existence of asylum seekers and refugees while waiting in Indonesia is the occurrence of marriages between Indonesian citizens (WNI) and asylum seekers or refugees. Such marriages run into problems before Indonesian law. In practice, marriages between refugees and WNI are only legally valid or marriage under hand because the formal requirements for validity of marriage, namely regarding the registration of marriage, cannot be fulfilled. This has the consequence of not obtaining a marriage certificate which is the only authentic evidence for the marriage incident. From this religious marriage not only has a negative impact on the child born but also has a negative impact on the woman (wife). With such marriage status, a woman cannot claim the fulfillment of her rights as a legal wife. This thesis tries to answer the question of how the legal status and the legal consequences of marriage between Indonesian citizens and foreigners with refugee status according to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. Marriages between Indonesian citizens and foreign refugees should be regulated more clearly in Indonesian national regulations. This is because there is no special provision for such marriage so that the marriage becomes valid only on religiousbased thus it is impossible to issue a marriage certificate which is an authentic marriage certificate."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Yustisiani Riaji
"Pembatalan perkawinan yang telah dilangsungkan masih banyak terjadi dalam masyarakat, hal itu disebabkan karena perkawinan yang dilangsungkan tersebut cacat hukum. Pembatalan perkawinan tersebut didasarkan karena adanya syarat-syarat perkawinan yang tidak dipenuhi sehingga menyebabkan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum yang berlaku. Salah satu contohnya yaitu dalam putusan Pengadilan Agama Banda Aceh Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna yang latar belakang pengajuan pembatalan perkawinannya disebabkan karena perkawinan dilangsungkan dengan berwalikan calon mempelai perempuan sendiri dan adanya pemalsuan identitas. Dari uraian tersebut timbulah pertanyaan apakah putusan Pengadilan Agama Banda Aceh Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna bertentangan dengan Peraturan dalam Undang?Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, kemudian bagaimana status terhadap suami isteri, harta bersama dan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang telah dibatalkan. Untuk dapat mencari jawaban masalah ini, penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan dan didukung dengan wawancara kepada nara sumber. Dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna perkawinan dibatalkan karena adanya wali nikah yang tidak sah dan pemalsuan identitas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap dasar pertimbangan Hakim Majelis pada putusan tersebut telah tepat sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang?undangan yang berlaku khususnya mengenai perkawinan, hanya saja hakim kurang menambahkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang?Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan untuk merujuk pada Pasal 71 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan yaitu segala hak dan kewajiban antara suami isteri menjadi tidak ada, dan keputusan pembatalan tersebut tidak berlaku surut terhadap anak?anak yang dilahirkan dari perkawinan dan anak tetap menjadi anak yang sah serta terkait harta bersama pembagiannya diserahkan kepada masing?masing pihak sesuai dengan kesepakatan.

Most of the marriage in the community is annulled due to invalidity. The annulment of marriage is resulting from the failure to the terms of marriage thereby making the marriage invalid according to the applicable regulation. One of the examples is judgment of Banda Aceh Religious Court Number Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna that annulled a marriage because the guardian is the bride herself and because of falsification of identify. From the description, there is a question, does the judgment of Banda Aceh Religious Court Number 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna contravene the Law Number 1 Of 1974 and the Compilation of Islamic Law?, and then what is the status of the married couple, mutual property and children born from the marriage so annulled?. To answer the question, the writer uses juridical and normative research method by using secondary data from the literature supported with the interview with the resources persons. In the Judgment of the Religious Court Number 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna, the marriage is annulled due to invalid status of the guardian and falsification of identity. The research to the consideration basis of the Council of Judges indicates that the Judgment is not in contravention of the applicable legislation, particularly that on marriage, but the judges lacks the Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 Of 1974 on Marriage to refer to Article 71 point (e) Compilation of Islamic Law. Legal consequences of the annulment of marriage are all rights and obligations of the married couple become non-existing, and the judgment of annulment is not retroactive to the children born from the marriage and the children remain being legitimate children and the division of mutual property is submitted to the respective parties in accordance with the agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>