Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174051 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizka Dany Afina
"Latar belakang: Pada penelitian terdahulu disebutkan bahwa pembedahan hidung dapat memperbaiki keluhan subjektif dan meningkatkan kualitas hidup pada pasien sleep disordered breathing (SDB), namun secara objektif yang dinilai dengan polisomnografi masih terdapat kontroversi. Diperlukan suatu evaluasi lain yaitu dengan drug induced sleep endoscopy (DISE) yang dapat menilai sesuai patofisologi utama SDB yaitu adanya kolaps jalan napas pada saat tidur. Tujuan penelitian: untuk mengetahui efektivitas pembedahan hidung endoskopik pada pasien SDB yang disertai sumbatan hidung secara subjektif dengan menilai perbedaan skor Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dan Epworth Sleepiness Scale (ESS), secara objektif menilai perbedaan parameter polisomnografi (PSG) dan Drug Induce Sleep Endoscopy (DISE) dengan melihat perbedaan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan jalan napas atas sebelum dan sesudah pembedahan hidung endoskopik. Metode: Penelitian ini menggunakan desain pre-eksperimental jenis pre-post intervention pada subjek SDB dengan sumbatan hidung yang di dapat dengan total population sampling. Pengumpulan data sebelum pembedahan diperoleh secara sekunder (nilai kuesioner, PSG, video DISE) dan data evaluasi sesudah pembedahan diperoleh secara primer selama rentang waktu Agustus 2019 hingga Desember 2019. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada parameter subjektif menggunakan skor NOSE (p=0,005) dan ESS (p=0,003) dan objektif pada parameter PSG untuk sleep architechture yaitu REM sleep (p=0,020). Belum terdapat kemaknaan secara statistik untuk parameter respiratory disturbance index (RDI), respiratory effort related arousal (RERA),deep sleep, light sleep. Perbedaan secara statistik untuk parameter DISE belum dapat dibuktikan namun terdapat perbaikan secara klinis pada lokasi derajat dan konfigurasi kolaps pada beberapa subjek setelah pembedahan terutama pada level velum dan orofaring. Diperlukan penelitian lanjutan untuk parameter-parameter tersebut dengan jumlah sampel sesuai hasil akhir hitung ulang jumlah sampel pada penelitian ini.

Background : Previous studies mentioned that nasal surgery can improve subjective complaints and improve quality of life in patients with sleep disordered breathing (SDB), but objectively assessed by polysomnography there is still controversy. Another evaluation is needed, drug induced sleep endoscopy (DISE) is a tool that can evaluate according to the primary pathophysology of SDB, the presence of airway collapse during sleep. Objective : to find out the success rate of endoscopic nasal surgery in SDB patients with nasal obstruction by subjectively assessing differences in scores of Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) and Epworth Sleepiness Scale (ESS), objectively assessing differences in polysomnographic parameters (PSG) and Drug Induce Sleep Endoscopy (DISE) by looking at differences in location, configuration and degree of upper airway obstruction before and after endoscopic nasal surgery. Method: This is pre-experimental study design type of pre-post intervention on SDB subjects with nasal obstructions obtained with total population sampling. Data collection before surgery was obtained secondary (questionnaire values, PSG, DISE video) and evaluation data after surgery were obtained primarily during the period of August 2019 to December 2019. Result : There were significant differences in subjective parameters using NOSE scores (p = 0.005) and ESS (p = 0.003) and objective in PSG parameters for sleep architechture, namely REM sleep (p = 0.020). There is no statistical significance for the respiratory disturbance index (RDI) parameters, respiratory related related arousal (RERA) parameters, deep sleep, light sleep. The statistical difference for DISE parameters has not been proven yet but there is a clinical improvement in the degree location and collapse configuration in some subjects after surgery, especially at the velum and oropharyngeal level. Further research is needed for these parameters with the number of samples in accordance with the final results recalculate the number of samples in this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Ageng Rizki
"Latar belakang: Sleep disordered breathing (SDB) merupakan satu spektrum kelainan abnormalitas pola pernapasan pada saat tidur. Diperlukan visualisasi untuk menilai kedinamisan saluran napas atas untuk menentukan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan saluran napas atas saat terjaga dan saat tidur secara spesifik pada setiap subjek berdasarkan hasil inklusi dari kuisioner STOP BANG dikarenakan karakteristik dan faktor risiko yang berbeda-beda pada setiap individu. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan jalan napas atas yang terjadi antara pemeriksaan (Perasat Muller) PM saat terjaga dan pemeriksaan Drug Induced Sleep Endoscopy (DISE) saat tidur serta dengan menggunakan pemeriksaan polisomnografi (PSG) untuk menentukan derajat gangguan tidur. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan perbedaan saturasi oksigen terendah antara pemeriksaan PSG dan DISE saat tidur, dengan tujuan untuk mendapatkan cara diagnosis yang dapat memberikan nilai tambah pada pasien SDB. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian studi potong lintang (cross sectional) dengan data sekunder yang bersifat retrospektif; 1) Deskriptif analitik, dan 2) Membandingkan gambaran lokasi, derajat dan konfigurasi sumbatan jalan napas dengan pemeriksaan PM, DISE dan PSG pada kasus SDB di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan 46 subjek yang diambil dari data Januari 2017 hingga April 2019. Hasil: Karakteristik kelompok pasien SDB pada penelitian ini mempunyai rentang usia antara 18-73 tahun dengan laki-laki dan perempuan mempunyai proporsi yang sama besar. Pada anamnesis didapatkan STOP BANG risiko tinggi sebesar 58,7%, Epworth Sleepiness Scale (ESS) risiko gangguan tidur 93,5%, skor Nasal Obstruction Score Evalutaion (NOSE) dengan risiko hidung tersumbat 97,8%, subjek obesitas 56,5%, subjek dengan Refluks laringofaring (RLF) 67,4%, hipertensi 28,3%, kelainan jantung 30,4%. Terdapat 13 subjek (28,2%) SDB non OSA, 18 subjek (39,13%) OSA ringan, 10 subjek (21,73%) OSA sedang, dan 5 subjek (10,86%) OSA berat. Terdapat perbedaan bermakna pada lokasi dan konfigurasi sumbatan jalan napas atas antara PM dan DISE pada area velum, orofaring dan epiglotis dengan nilai p berturut-turut p = 0,036; p<0,001 dan p = 0,036. Terdapat perbedaan bermakna pada lokasi dan derajat sumbatan jalan napas atas antara PM dan DISE pada area velum, orofaring, dasar lidah dan epiglotis dengan nilai p berturut-turut p = 0,002; p<0,001; p<0,001 dan p<0,001. Subjek dengan SDB non OSA dan OSA ringan dapat juga menunjukkan sumbatan multilevel dengan konfigurasi yang berbeda-beda. Derajat RDI tidak selalu berhubungan dengan konfigurasi sumbatan jalan napas atas. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar saturasi oksigen terendah saat tidur pada saat DISE dan PSG dengan nilai p = 0,055. Pada penelitian ditemukan sumbatan jalan napas atas pada fase tidur REM dan NREM diihat berdasarkan derajat RDI pada PSG, terlihat kecenderungan adanya RDI REM dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan RDI NREM pada subjek dengan OSA ringan dan OSA sedang. Pada SDB non OSA dan OSA berat nilai RDI NREM sama dengan RDI REM.

Background: Sleep disordered breathing (SDB) is a spectrum of breathing abnormality during sleep. Direct visualization needed to evaluate the level, configuration and degree of upper airway obstruction during sleep in each patient due to the difference in characteristic and risk factor of SDB based on STOP BANG questionnaire. Purpose: Evaluate the differences of location, configuration, and degree of upper airway obstruction between Muller Maneuver (MM) during awake and Drug Induced Sleep Endoscopy (DISE) during sleep using polysomnography (PSG) to determine the degree severity of sleep disorder. To evaluate the lowest oxygen saturation between PSG and DISE during sleep thus acquired a better diagnostic value for SDB patient. Methods: Analitical decriptive of cross sectional study with retrospective secondary data evaluate the difference of location, configuration and degree of upper airway obstruction in SDB subject using Mueller Maneuver (MM) and DISE in ENT-HNS Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2017 until April 2019 with 46 subjects. Result: The age range of subjects between 18-73 years old, both each male and female are 26 subjects, using anamnesis and questionnaire STOP Bang with high risk 58,7%, ESS high risk of SDB 93,4%, NOSE score with nasal congestion 97,8%, obesity 56,5%, Laryngopharungeal Reflux 67,4%, hypertension 39%, heart disease 30,4%. Based on polysomnography data there were 28,2% subjects with SDB non OSA (Obstructive Sleep Apnea), 39,1% subjects mild OSA, 21,7% subjects moderate OSA, 10,7% subjects severe OSA. Statistically difference in configuration of upper airway obstruction between MM and DISE in level velum (p = 0,036), oropharynx (p<0,001), epiglotits (p = 0,036), also statistically different in location and degree of upper airway obstruction between MM and DISE in velum, oropharynx, tongues base and epiglottis with p = 0,002; p<0,001; p<0,001 dan p<0,001. No statisticaly difference on lowest oxygen saturation during polysomnography and DISE (p = 0,055). Subjects with SDB non OSA and mild OSA alos shown multilevel obstruction with different airwal collaps configuration. RDI degree didnt always correlate with upper airway obstruction configuration. RDI NREM was higher in subject with mild OSA and moderate OSA, in SDB non OSA and severe OSA RDI REM as same as RDI NREM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas NNP dan Mini FESS sebagai modalitas terapi pasien hidung tersumbat dengan SDB. Digunakan rancangan pre eksperimental sebelum dan sesudah NNP dan Mini FESS dengan menilai perubahan pemeriksaan kualitatif menggunakan Epworth Sleepiness Scale (ESS), Skor Analog Visual (SAV), Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF), nasoendoskopi dan Polisomnografi (PSG). Pengambilan subyek penelitian secara berurutan (consecutive sampling) selama 6 bulan di poli THT-RSCM. Sebanyak 7 pasien dengan keluhan hidung tersumbat disertai sleep disordered breathing menunjukkan perbaikan pasca operasi berdasarkan ESS dengan delta 48,28±1,99% nilai p=0,017, SAV median delta 100%(80% - 100%) nilai p=0,018, PNIF delta 52,03±2,69% p=0.017 dan 85,71% (6 dari 7) perbaikan ukuran konka inferior menjadi normal. Seluruh parameter PSG tidak didapatkan adanya perubahan yang bermakna dengan p>0,05. NNP dan mini FESS efektif untuk mengatasi hidung tersumbat yang disertai SDB berdasarkan perbaikan parameter pemeriksaan kualitatif. Hipereaktifitas parasimpatis yang mengakibatkan hipertrofi konka inferior merupakan hipotesis yang dapat dibuktikan pada penelitian ini dan memperkaya kerangka teori pada patofisiologi obstruksi nasal sebagai penyebab SDB.

This study aims to determine the effectiveness of PNN and Mini FESS as a therapeutic modality for patients with nasal congestion and SDB. This pre- experimental study evaluated the efficacy of PNN and mini FESS in management of nasal obstruction with SDB subjects. The evaluation performed by assessing changes in qualitative examination using Epworth Sleepiness Scale (ESS), Visual Analog Score (VAS) of nasal obstruction symptom Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF), nasoendoscopic examination. and Polysomnography (PSG). The subjects were included consecutively for 6 months at ENT clinic-Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 7 patients with nasal obstruction and sleep disordered breathing showed post-operative improvement in evaluations by using ESS (delta 48.28 ± 1.99% p-value = 0.017), VAS of nasal obstruction with median delta of 100 % ( 80 % - 100 % ) and p-value = 0.018, PNIF (delta 52.03 ± 2.69% p-value = 0.017) and regaining normal size of inferior turbinate in 85,71% (6 of 7) subjects. While all of the PSG parameters did not had any significant changes with p > 0.05. PNN and mini FESS is effective to overcome nasal obstruction with SDB based on an improvement in the qualitative evaluations. Parasympathetic hyperreactivity resulting in inferior turbinate hypertrophy is a proven hypothesis; thus may enrich the theoretical framework on the pathophysiology of nasal obstruction in SDB."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58744
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Astram
"ABSTRAK
Pendahuluan: Asam pipemidat efektif pada 94 kasus infeksi saluran kemih akut, 87,5 infeksi saluran kemih kronis. Asam pipemidat diekskresi di urin sebanyak 85 dosis dalam bentuk aktif sehingga memberikan efek uroseptik. Metodelogi: Penelitian ini dibagi 2 kelompok masing-masing 20 pasien, terdiri dari pasien yang menjalani operasi TURP, litotripsi batu buli dan urethrotomi interna di RSU Kardinah April 2016 - Mei 2016. Kelompok intervensi diberikan asam pipemidat, pada kelompok kontrol diberikan ceftazidime. Hasil: Asam pipemidat memiliki efektivitas yang tidak berbeda dengan antibiotik kontrol sebagai profilaksis infeksi pasca operasi. Asam pipemidat terbukti memberikan waktu perawatan yang lebih singkat. Kesimpulan: Asam pipemidat dapat digunakan sebagai profilaksis pada operasi endourologi traktus urinarius bawah dan memberikan waktu perawatan yang lebih singkat.

ABSTRACT
Introduction Pipemidat acid effective 94 in acute urinary tract infection case, 87,5 chronic urinary tract infection. Pipemidat excretion in urine approximately 85 of total doses in active form so that give uroseptic effect. Methods Study divided into 2 groups, each group have 20 patients that were done TURP, bladder stone lithotripsy and internal urethrotomy in Kardinah General Hospital on April 2016 ndash Mei 2016. Intervention group was given pipemidat acid while control group used ceftazidime. Result pipemidat acid have no significant effectivity with control antibiotic as prophylaxis to prevent infection after operation. Pipemidat acid gives in short length of stay. Conclusion pipemidat acid can be used as prophylactic therapy in lower urinary tract endourology surgery and give a short time in length of stay."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers, 2015
617.057 STA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Evan Regar
"Latar Belakang: Akses yang baik ke sakus lakrimal sangat penting dalam prosedur DCR endoskopik pada kasus obstruksi duktus nasolakrimal. Struktur ini dapat terhalangi oleh keberadaan agger nasi, yang juga dapat mempersulit prosedur operasi dan meningkatkan angka kegagalan.
Tujuan: Untuk menentukan variasi anatomi agger nasi dalam hubungannya dengan sakus lakrimal menggunakan CT scan dan membandingkannya dengan pembukaannya. Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 11 subjek yang didiagnosis dengan sumbatan saluran air mata hidung terperoleh primer. Subjek menjalani CT scan untuk menilai keberadaan agger nasi dan penempatannya terhadap sakus lakrimal. Subjek kemudian menjalani dakriosistorinostomi endoskopik, dan operator menilai apakah agger nasi perlu dibuka atau tidak untuk mengakses sakus lakrimal. Analisis statistik menggunakan Cohen's Kappa dilakukan untuk mengevaluasi kesepakatan antara kedua temuan tersebut.
Hasil: Dari 13 subjek, 12 adalah perempuan. Agger nasi ditemukan pada 12 dari 13 subjek. Pada pemeriksaan radiologi, 8 dari 12 subjek menunjukkan penempatan sakus lakrimal dengan agger nasi. Pada intraoperatif, agger nasi dibuka pada 9 subjek. Terdapat kesepakatan yang substansial dengan κ = 0,800; p = 0,005. Satu pasien tidak menunjukkan penempatan, namun agger nasi dibuka karena kesulitan mengakses sakus lakrimal yang disebabkan oleh sudut proses frontal maksila.
Kesimpulan: Evaluasi aposisi agger nasi terhadap sakus lakrimal dapat dilakukan secara rutin. Terdapat kesepakatan yang substansial antara pemeriksaan radiologi dan temuan intraoperatif mengenai pembukaan agger nasi.

Background: Proper access to the lacrimal sac is crucial in endoscopic DCR procedures in nasolacrimal duct obstruction. This structure can be obstructed by the presence of the agger nasi, which may complicate the surgery and increasing failure rate.
Objectives: To determine the anatomical variations of the agger nasi in relation to the lacrimal sac using CT scan and comparing it with its opening.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted on 11 subjects diagnosed with primary acquired nasolacrimal duct obstruction. The subjects underwent CT to assess the presence of the agger nasi and its apposition to the lacrimal sac. Endoscopic dacryocystorhinostomy was performed, and the operator assessed whether the agger nasi needed to be opened or not to access the lacrimal sac. Statistical analysis using Cohen's Kappa was conducted to evaluate the agreement between the two findings.
Results: Out of the 13 subjects, 12 out of 13 were female. Agger nasi was found in 12 out of 13 subjects. In radiological examination, 8 out of 12 subjects showed apposition of the lacrimal sac with the agger nasi. Intraoperatively, the agger nasi was opened in 9 subjects. There was substantial agreement with a κ = .800; p = .005. One patient did not show apposition, however agger nasi was opened due to difficulty in accessing the lacrimal sac caused by the angulation of the frontal process of the maxilla.
Conclusion: Evaluation of the apposition of the agger nasi to the lacrimal sac can be routinely performed. There is substantial agreement between radiological examination and intraoperative findings regarding the opening of the agger nasi.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Ma`ly Ray
"Latar Belakang: Berdasarkan alat yang digunakan, pendekatan operasi kraniofaringioma terbagi menjadi endoskopik dan mikroskopik. Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga akan memberikan luaran klinis, resektabilitas dan efektifitas pembiayan yang berbeda-beda. Belum diketahui luaran pasca operasi baik pendekatan mikroskopik maupun endoskopik di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Tujuan: Mengetahui luaran operasi pasien kraniofaringioma di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo..
Metode: Kohort retroprospektif pasien kraniofaringioma yang menjalani pembedahan sejak tahun 2012 hingga tahun 2021 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia. Pasien dengan masalah ekstrakranial, pasien endoskopi dengan kraniotomi luas dikeluarkan dari penelitian. Dilakukan pengambilan data demografis, luaran klinis dan resektabilitas tumor dan efektifitas pembiayaan. Data dikelompokkan menjadi variabel kategorik dan numerik. Analisa variabel kategorik dan kategorik diolah menggunakan uji Chi-square. Sedangkan variabel kategorik dan numerik diolah menggunakan T-Test. Pengolahan data menggunakan SPSS 25.0.
Hasil: Pada 30 subjek penelitian, 22 subjek (73%) menjalani tindakan operasi mikroskopik dan 8 subjek (27%) menjalani tindakan operasi endoskopik. Perdarahan intraoperasi rata-rata pendekatan mikroskopik 445ml (50-1600), sedangkan endoskopik 57ml (20-200). Secara signifikan perdarahan intraoperasi pendekatan endoskopik lebih rendah dibandingkan pendekatan mikroskopik, p < 0,01. Durasi operasi rata-rata pendekatan mikroskopik 3 jam (2-4jam), sedangkan endoskopik 6,6jam (2,5-14jam). Secara signifikan waktu operasi pendekatan endoskopik lebih singkat dibandingkan mikroskopik, p=0,001. Kesimpulan: Pendekatan endoskopik memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai pilihan tatalaksana bedah pasien kraniofaringioma.

Based on the equipment used, the surgical approach to craniopharyngioma is divided into endoscopic and microscopic. Each approach has its own advantages and disadvantages so that it will provide different clinical outcomes, resectability, and cost effectiveness. The postoperative outcome for both microscopic and endoscopic approaches in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo is unknown.
Objective: Knowing the operative approach outcome of craniopharyngioma patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Methods: A retrospective cohort of craniopharyngioma patients undergoing surgery from 2012 to 2021 at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia. Patients with extracranial problems, assisted endoscopic approach were excluded from the study. Demographic data, clinical outcome, and tumor resectability and cost effectiveness were collected. The data are grouped into categorical and numeric variables. The analysis of categorical and categorical variables was processed using the Chi-square test. Meanwhile, categorical and numerical data were processed using T-Test. Data processing using SPSS 25.0.
Results: In 30 study subjects, 22 subjects (73%) underwent microscopic surgery and 8 subjects (27%) underwent endoscopic surgery. Intraoperative bleeding using microscopic approach average 445ml (50-1600), while endoscopic 55ml (20-200). Intraoperative bleeding was significantly lower in the endoscopic approach than the microscopic approach, p<0.01. The average duration of surgery for the microscopic approach is 3 hours (2-4 hours), while the endoscopic approach is 6.6 hours (2.5-14 hours). The operating time for the endoscopic approach was significantly shorter than the microscopic one, p=0.001.
Conclusion: The endoscopic approach has good potential to be developed as a surgical treatment option for craniopharyngioma patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Hasan
"Latar Belakang. Striktur bilier ditemukan pada 70-90% kasus keganasan pankreatobilier dan menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama pada stadium lanjut yang unresectable. Pada stadium tersebut, tata laksana paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memperbaiki kesintasan. Tata laksana paliaitf yang dapat dilakukan adalah dengan pemasangan sten bilier perendoskopik dan operasi pintas saluran bilier. Sehingga, perlu diketahui perbedaan kesintasan satu tahun pasien dengan striktur bilier maligna yang mendapatkan terapi paliatif dengan prosedur biliodigestive double bypass dan pemasangan sten bilier perendoskopik di RSCM. Tujuan. Mengetahui perbedaankesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier per endoskopik.
Metode. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif dengan subyek penelitian pasien striktur bilier maligna distal yang menjalani prosedur pemasangan sten perendoskopik atau prosedur double bypass di RSCM pada periode 1 Januari 2015 – 31 Desember 2019 dan dilakukan pengamatan selama 1 tahun sejak pasien menjalani prosedur tersebut. Kesintasan dinilai dengan metode Kaplan-Meier dan dilanjutkan dengan analisis multivariat terhadap faktor-faktor yang dinilai dapat menjadi faktor perancu.
Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 119 subjek pada kelompok sten endoskopik dan 39 subjek pada kelompok double bypass. Pada pengamatan kesintasan satu tahun, didapatkan median kesintasan 93 hari pada kelompok sten endoskopik dan 140 hari pada kelompok double bypass [HR 0,871 (IK95% 0,551-1,377; p = 0,551)]. Tidak ditemukan perbedaan kurva kesintasan pada kedua kelompok. Pada analisis multivariat, didapatkan Charlson Comorbidity Index, usia, dan bilirubin adalah variabel perancu.
Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan kesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier perendoskopik. Usia, CCI 34, dan kadar bilirubin merupakan faktor perancu terhadap kesintasan kesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier per endoskopik.

Background. Biliary strictures are observed in 70-90% of cases of pancreatic malignancy and cause high morbidity and mortality, especially in advanced, unresectable stage. At this stage, palliative management aims to improve the patient's quality of life and survival. Palliative management can be done is by placing an endoscopic biliary stent and biliary tract bypass surgery. Thus, it is necessary to know the one-year survival of patients with malignant biliary stricture who received palliative therapy with billio-digestive double bypass procedures and perendoscopic biliary stent placement in RSCM. Objective. To determine the survival between patients with distal malignant biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent placement procedure.
Methods. This is a restrospective cohort study with the subjects being patients with distal malignant biliary strictures who underwent endoscopic stenting procedures or double bypass procedures at RSCM in the period 1 January 2015 – 31 December 2019 and was observed for one year since the patient underwent the procedure. Survival was done using the Kaplan-Meier method and followed by multivariate analysis using the cox regression test.
Result. We collected 119 subjects in the endoscopic stent group and 39 subjects in the double bypass group. After one year, median survival was 93 days in the endoscopic stent group and 140 days in the double bypass group [HR 0,871 (95%CI 0,551-1,377; p = 0,551)]. In multivariate analysis, it was found that Charlson Comorbidity Index, age, and bilirubin were confounding variables.
Conclusion. There was no difference in survival between patients with malignant distal biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent procedure. Age, CCI 4, and bilirubin levels were confounding factors for survival among patients with malignant distal biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent placement procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Muhammad Arfiza Putra
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai gambaran endoskopik struktur neurovaskular fossa pterigopalatina. Karakteristik arteri maksila, foramen dan arteri sfenopalatina, ganglion pterigopalatina, foramen rotundum dan kanal vidianus dinilai dengan menggunakan nasoendoskopi. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang pada 6 subyek cadaver yang menghasilkan langkah-langkah panduan diseksi fossa pterigopalatina. Diseksi periosteum fossa pterigopalatina dimulai dari lateral foramen sfenopalatina di pertengahan dinding posterior sinus maksila. Lemak dibuang dengan mengikuti arteri sfenopalatina. Landmark penting yang harus diperhatikan adalah foramen dan arteri sfenopalatina serta nervus trigeminus cabang maksila V2 , selanjutknya struktur lainnya yaitu arteri maksila, ganglion pterigopalatina, foramen rotundum dan kanal vidianus dapat diidentifikasi. Kata kunci: arteri maksila, fossa pterigopalatina, foramen sfenopalatina, , nervus trigeminus, nervus vidianus.
"
"
"ABSTRACT
"
This study analyzed endoscopic neurovascular structures of pterygopalatine fossa. Maxillary artery, sphenopalatine artery and foramen, pterygopalatine ganglion, rotundum foramen and vidian canal characteristics are evaluated using nasoendoscope. The study design is descriptive crossectional on 6 kadaver subject reported procedural steps of pterigopalatine fossa dissection. Periosteum of pterygopalatine fossa is dissected from lateral sphenopalatine foramen at the middle of posterior wall of maxillary sinus. Pterygopalatine fat is removed by following sfenopalatine artery. Important landmarks firstly identified are sphenopalatine foramen and artery as wall as maxillary branch of trigeminal nerve V2 subsequently are maxillary artery, pterigopalatine ganglion, rotundum foramen and vidian canal."
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Gede Intan Saraswati
"ABSTRAK
Pengaruh Deep Breathing Exercise terhadap Kualitas Tidur Pasien Gagal Jantung Gangguan tidur merupakan salah satu gejala pada pasien gagal jantung. Tidur yang buruk berimplikasi negatif pada kesehatan psikologis, fisiologis, kualitas hidup, pasien gagal jantung. Deep breathing exercise menjadi intervensi keperawatan yang dapat memperbaiki kualitas tidur. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh deep breathing exercise terhadap kualitas tidur pasien gagal jantung. Rancangan penelitian menggunakan quasy experiment pre-post with control group. Besar sampel sebanyak 34 subjek sebagai kelompok kontrol dan perlakuan. Terdapat perubahan yang signifikan pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi p=0,001 , dan tidak ada perubahan yang signifikan antara kelompok kontrol dan perlakuan setelah intervensi. Walaupun demikian terjadi perubahan nilai kualitas tidur yang lebih baik pada kelompok intervensi, sehingga teknik deep breathing exercise ini dapat diberikan pada pasien gagal jantung. Kata kunci: deep breathing exercise, gagal jantung, kualitas tidur.

ABSTRACT
The Effect of Deep Breathing Exercise for Sleep Quality in Heart Failure Patient THE EFFECT OF DEEP BREATHING EXERCISE FOR SLEEP QUALITY IN HEART FAILURE PATIENT Sleep disorder is one of the symptom among heart failure patients. The Poor sleep quality has negative impact for the psychological, physiological, quality of life in heart failure patients. Deep breathing exercise is a nursing intervention to improve sleep quality. This study aim to identify the effect of deep breathing exercise among heart failure patients. This study used quasy experiment pre post test with control group design. This study recruited 34 subjects as control and treatment group. The result of the study showed that quality of sleep was improved significantly after deep breathing exercise was implemented in treatment group p 0,001 , but there was no significant difference between control and treatment group after deep breathing exercise. However deep breathing exercise is recommended as nursing intervention to improve the quality of sleep among heart failure patient because the change of sleep quality in treatment group is better than control group Keywords deep breathing exercise, heart failure, quality of sleep"
2017
T47167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>