Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83258 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yus Arlika Putra Wibawa
"Latar Belakang: Deviasi atau ketidakseimbangan proporsi fasial serta hubungan gigigeligi yang menggangu fungsi, estetika dan profil wajah. Bedah ortognatik bertujuan memperbaiki ketidakharmonisan dan estetika wajah bekerjasama dengan perawatan ortodonti. Sagital split osteotomy merupakan reposisi segmen mandibula yang dilakukan
secara bilateral. Perubahan posisi kondilus mandibula serta stabilitas skeletal pada pasien BSSO mempengaruhi asimetri kondilus mandibula yang dikaitkan dengan adanya resiko terjadinya TMD.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kondilus mandibula pada pasien pra bedah dan pasca bedah BSSO di Divisi Bedah Mulut dan Maksilofasial RSCM, Jakarta dengan perhitungan indeks simetri dan asimetri kondilus mandibula. Material dan Metode: Penelitian retrospektif melalui radiografik panoramik pra bedah, pasca bedah dan 1 tahun pasca bedah BSSO prosedur setback mandibula di Divisi Bedah Mulut dan
Maksillofasial, RSCM, Januari 2001 hingga Desember 2017 sesuai kriteria inklusi dan eksklusi dan didapatkan 16 sampel. Setiap sampel dilakukan pengukuran pada radiografi panoramiknya dengan menggunakan teknik Habets dan teknik Kjellberg.
Hasil Penelitian: Haasil uji Repeated ANOVA, didapatkan hasil kemaknaan p = 0.389 maka p>0.05 pada indeks asimetri Habets pada saat pra bedah, pasca bedah dan 1 tahun pasca bedah,. Sedangkan uji Repeated ANOVA kelompok indeks simetri Kjellberg, didapatkan hasil kemaknaan p = 0.297 maka p>0.05 pada indeks asimetri Kjellberg pada saat pra bedah, pasca bedah dan 1 tahun pasca bedah.
Kesimpulan: Hasil penelitian indeks asimetri Habets dan indeks simetri Kjellberg menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada hasil pengukuran simetri dan asimetri mandibula. Orientasi kodilus terhadap fossa glenoid dan manuver posisi kondilus merupakan langkah terpenting yang harus dilakukan dalam BSSO.sehingga tujuan pokok
BSSO yaitu perbaikan fungsi, estetik dan stabilitas dapat tercapai.

Background: Deviations or imbalances in facial proportions and occlusions that interfere with facial function, aesthetics and profile. Orthognathic surgery aims to correct the disharmony and facial aesthetics in collaboration with orthodontic treatment. Sagittal split
osteotomy is repositioning of the bilateral mandible segment. Changes in mandibular condyle position and bone stability in BSSO affect mandibular condyle asymmetry related to TMD risk.
Objective: To determine the differences in mandibular condyle in pre-surgical and postBSSO patients in the Oral and Maxillofacial Surgery Division, RSCM, by calculating the symmetry index and asymmetry of the mandibular condyle.
Materials and Methods: Retrospective studies through preoperative, postoperative and 1 year post-BSSO mandibular setback procedures panoramic radiographs in the Oral and Maxillofacial Surgery Division, RSCM, January 2001 to December 2017 according to inclusion and exclusion criteria and obtained 16 samples. Each sample was measured on its panoramic radiography using the Habets technique and the Kjellberg technique.
Result: The results of repeated ANOVA test obtained significance p = 0.389 then p> 0.05 in the Habet asymmetry index during pre-surgery, post-surgery and 1 year post-surgery. Whereas the Repeated ANOVA test from the Kjellberg symmetry index group, the result of significance was p = 0.297, then p> 0.05 on the Kjellberg asymmetry index during presurgery, post-surgery and 1 year post-surgery.
Conclusion: The results of the Habets asymmetry index and the Kjellberg symmetry index showed no significant differences in the results of measurements of mandibular symmetry and asymmetry. Condyle orientation to the glenoid fossa and condyle position maneuver are the most important steps that must be done in BSSO. So that the main objectives of BSSO are improvement of function, aesthetics and stability can be achieved.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Hartanto Wahyu Prasetyo
"Latar Belakang: Prognati mandibula merupakan kasus maloklusi skeletal yang dapat ditemukan dengan fekuensi 15-23% dari seluruh populasi orang di asia tenggara. Koreksi terhadap kondisi ini dapat dilakukan secara bedah ortognatik mandibular setback dengan teknik Bilateral Sagital Split Osteotomy (BSSO). Penelitian telah mengkategorikan bahwa tindakan mandibular setback sebagai prosedur dengan stabilitas paling rendah di antara prosedur bedah ortognatik lainnya. Namun demikian bebrapa penelitian menyatakan bahwa hasil pasca operasinya masih dapat dikatakan stabil dengan kategori tertentu.
Tujuan: Mengetahui perbedaan relaps pada varian kategori besaran mandibular setback pasca tindakan tersebut dengan teknik BSSO saja dan BSSO dengan prosedur bedah ortognatik tambahan pada maksila pada pasien-pasien prognati mandibula.
Material dan Metode: Rekam medis dan radiograf sefalometri pasien pre operasi, pasca operasi dan H+6 bulan pasca operasi BSSO dan BSSO dengan prosedur bedah ortognatik tambahan pada maksila selama periode tahun 2001 sampai 2017 dari divisi Bedah Mulut dan Divisi Ortodonti R.S. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dikumpulkan dan didapatkan 16 sampel sesuai kriteria inklusi. Hubungan antar variabel dievaluasi dengan Uji Fishers Exact pada Chi Square dan Uji hipotesis dengan Mann-Whitney U Test
Kesimpulan: Tidak ditemukan perbedaan bermakna bermakna antara relaps pada mandibular setback sedang, dan besar pada kelompok BSSO dan BSSO dengan Prosedur bedah ortognatik tambahan pada maksila (Le Fort I). Dari analisis yang dilakukan terdapat kemiripan dengan penelitian sebelumnya yaitu lebih dari 50% sampel terjadi relaps pasca operasi lebih dari 2mm.

Background: Mandibular prognathism has the frequency among 15% to 23% of the entire population of southeast Asian people. Correction of such malocclusion can be done by performing mandibular setback using Bilateral Sagital Split Osteotomy (BSSO) method. Few research has categorized that setback mandibular as procedure with the low rate of stability among other orthognathic surgery procedures. However, this has become the method of choice until now.
Objective: To observe significant difference among post operative relapse on each small, moderate, and large mandibular setback after BSSO and BSSO combined with adjunct orthognathic surgery procedures on the maxilla in patients with mandibular prognathism.
Materials and Methods: Patients medical records including cephalometric radiographs preoperative, postoperative, and 6 months after BSSO and BSSO with adjunct orthognathic surgery procedures in the maxilla during year 2001 to 2017 gained from Oral Surgery Division and Orthodontics Division of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta was collected. Based on inclusion criteria, 16 samples was observed. Data correlation was analyzed using Fishers Exact test in Chi Square and hypothesis was evaluated using Mann-Whitney U Test
Conclusion: There is no significant difference was found in term of relapse on each small, moderate, and large mandibular setback in BSSO group and BSSO with adjunct orthognathic surgery procedures in the maxilla (Le Fort I). This study tend to have similarity as the past studies stated in term of more than 50% with post operative relaps more than 2mm
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pradono
"A young girl 20 years old with mandibular prognatism has been treated with orthodontics and surgical treatment in between. Mandibular set back was done intra orally 5mm length with bilateral sagital split ramus osteotomy method. And rigid fixation was done by inserting three 2mm bicortical screws for stabilizing the fragment. This method allowed the bony segments to heal properly and allowed the patients to function sooner."
Jakarta: Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Tri Susilo
"Latar Belakang : Tebal ramus mandibula merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan saat melakukan Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Fraktur unvaforable atau bad split dapat terjadi saat melakukan BSSO apabila ramus mandibula tipis. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula masih belum banyak diteliti. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula bisa dipakai sebagai acuan jika akan melakukan BSSO.
Tujuan : untuk mengetahui tebal ramus mandibula berdasarkan CBCT Scan sebagai acuan tindakan BSSO.
Metode : Subjek penelitian ini terdiri dari 61 sampel data DICOM CBCT Scan yang kemudian dilakukan reorientasi dalam 3 bidang dan dilakukan pengukuran pada tebal ramus mandibula menggunakan software Osirix LXIV.
Hasil : Didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula pada laki-laki 8.049 1.205 mm dan pada perempuan 8.463 1.358 mm. Pada kelompok usia 18-30 tahun didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula 8.087 1.29 mm, kelompok usia 31-40 tahun 8.176 1.49 mm, kelompok usia 41-50 tahun 8.742 1.04 mm.
Kesimpulan : Berdasarkan CBCT Scan, secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna tebal ramus mandibula pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan maupun pada kelompok usia.

Backgorund: Ramus mandibular thickness is one of the most important factor that has to be concerned when performing Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Unfavorable fracture or bad split could happen when performing BSSO if the ramus mandible thickness is thin. There only a few regarding antropometric data about thickness of mandibular ramus.
Objective: To measure thickness of mandibular ramus based on CBCT Scan as a reference when performing BSSO.
Methods: Subject of this research consist of 61 data sample DICOM CBCT Scan which reoriented in three planes and measuring thickness of the ramus mandible using Osirix LXIV.
Result: Mean thickness of the ramus mandible for male is 8.049 1.205 mm and female 8.463 1.358 mm. In group age of 18 30 mean thickness of the ramus mandible is 8.087 1.29 mm, group age 31 40 is 8.176 1.49 mm, group age 41 50 is 8.742 1.04 mm.
Conclusion: Based on CBCT Scan there are no difference statistically between thickness of ramus mandible in male and female, and group of age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudy Ardilla Utomo
"Latar Belakang: Tumor rongga mulut jinak yang besar menyebabkan deformitas pada wajah sehingga tindakan koreksi dengan operasi menyebabkan defek anatomis, fisiologis, serta psikologis pada penderita. Prosedur bedah dan rekonstruksi pada pasien dengan tumor mandibula merupakan tantangan yang kompleks. Mandibula tersusun atas komponen-komponen seperti korpus mandibula, simphisis mandibula, parasimphisis mandibula, ramus mandibula, procesus coronoideus, dan kondilus mandibula. OPG masih dapat digunakan untuk melihat perubahan morfologi kondilus. Diketahui bahwa perubahan pada morfologi kondilus dapat berupa berkurangnya konfigurasi dan volume dari kondilus itu sendiri, berkurangnya ketinggian ramus, hal ini dapat menyebabkan permasalahan pada sistem stomatognatik pasien.
Tujuan: Mengetahui perubahan morfologi kondilus mandibula pasca reseksi dengan kategori perubahan morfologi kondilus di Divisi Bedah Mulut dan Maksilofasial, Departemen Gigi dan Mulut RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Material dan Metode: Penelitian dengan metode retrospektif melalui radiografi panoramik pasien-pasien tumor mandibula pre operasi reseksi,pasien-pasien tumor mandibula pasca operasi reseksi,dan pasien-pasien tumor mandibula 1 tahun pasca operasi reseksi selama bulan Juni sampai dengan Agustus tahun 2019 di Divisi Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Setiap sampel dilakukan pengukuran pada radiografi panoramiknya dengan menggunakan Klasifikasi Kranjenbrink dan klasifikasi morfologi kondilus mandibula.
Hasil: Pada penelitian ini tidak terjadi perubahan tinggi kondilus mandibula pasca segmental reseksi mandibula. (p: 0,801). Tidak terjadi perubahan morfologi kondilus mandibula pasca reseksi mandibula (P: 0.41) untuk kondilus kiri dan (p: 0.32) untuk kondilus kanan. Dan didapat dengan jenis operasi disartikulasi, terjadi perubahan morfologi kondilus mandibula pasca disartikulasi reseksi mandibula (p: 0.003) untuk kondilus kiri, dan (p: 0.012) untuk kondilus kanan.
Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perubahan morfologi kondilus mandibula pada reseksi mandibula pada left condyle (LC)ataupun right condyle (RC). Terdapat perubahan morfologi kondilus pada satu sisi pasca reseksi disartikulasi mandibula. Tidak terdapat perubahan tinggi kondilus mandibula pasca reseksi segmental mandibula pada left condyle (LC)ataupun right condyle (RC).

Background: Large benign oral cavity tumors causing deformity in the face, requires surgical correction causing anatomical, physiological and psychological defects in patients. Surgical and challenging procedures in patients with mandibular tumors are complex challenges. The mandible is composed of components such as the mandibular corpus, mandibular symphysis, mandibular parasymhysis, mandibular ramus, coronoid process, and mandibular condyle. OPG can still be used to see changes in the condyle morphology. It is known that changes in the condyle morphology can affect its configuration and volume of the condyle itself, reducing the height of the ramus, this can cause complications in the patient's stomatognathic system.
Objective: To determine the morphological changes of the mandibular condyle post resection in condyle morphological changes in the Oral and Maxillofacial Surgery Division, Department of Dentistry Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta.
Materials and Methods: A retrospective study using panoramic radiographs of patients with preoperative mandibular tumor resection, patients with mandibular tumor postoperative resection, and mandible tumor patients 1 year after surgery 2019 in the Oral and Maxillofacial Surgery Department of Cipto General Hospital, Cipto General Hospital Mangunkusumo, Jakarta. Each sample was measured on its panoramic radiography using the Kranjenbrink Classification and the morphological classification of the mandibular condyle.
Result: In this study there was no change in the height of the mandibular condyle after segmental resection of the mandible. (p: 0.801). There were no changes in the morphology of the mandibular condyle after resection of the mandible (P: 0.41) for the left condyle and (p: 0.32) for the right condyle. And obtained with this type of disarticulation surgery, there was a morphological change in the mandibular condyle after disarticulation of the resection of the mandible (p: 0.003) for the left condyle, and (p: 0.012) for the right condyle.
Conclusion: The results showed no morphological changes in the mandibular condyle in resection of the mandible in the left condyle (LC) or right condyle (RC). There is a change in the condyle morphology on one side post disarticulating resection of the mandible. There is no change in the height of the mandibular condyle after resection of the segmental mandible in the left condyle (LC) or right condyle (RC).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Adla Runisa
"

atar Belakang: Silikonoma penis merupakan suatu proses inflamasi yang menyebabkan deformitas pada penis, yang disebabkan oleh penyuntikan substansi non-biologis pada penis, dan menyebabkan kerusakan yang hebat. Tata laksana berupa eksisi radikal kadang menjadi satu-satunya pilihan, dengan penutupan defek menggunakan tandur kulit. Namun, tandur kulit menyebabkan kontraktur sekunder dan terputusnya ujung saraf dari kulit, sehingga berpotensi menyebabkan disfungsi seksual. Studi ini dilakukan untuk mengevaluasi pasien tersebut dengan menggunakan IIEF-5.

Metode: Studi ini merupakan studi cross sectional retrograde yang melibatkan pasien silikonoma penis yang di rekonstruksi menggunakan tandur kulit di Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Cipto Mangunkusumo dari januari 2015 ke juli 2019. Pasien yang bersedia mengikuti penelitian ini akan dievaluasi fungsi seksualnya menggunakan kuesioner IIEF-5.

Hasil: Terdapat total 36 pasien silikonoma penis yang direkonstruksi dengan tandur kulit, dan 19 pasien bersedia untuk ikut serta pada penelitian ini. Dari total pasien, 16 (84,2%) pasien memiliki fungsi seksual yang normal, 2 (10,5%) mengalami disfungsi ereksi ringan dan 1 (5,3) mengalami disfungsi ereksi ringan-sedang.

Kesimpulan: Pasien dengan silikonoma penis yang mendapatkan rekonstruksi dengan penutupan defek menggunakan tandur kulit memiliki fungsi seksual jangka panjang yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai opsi penutupan defek.


Background: The necessity for penile augmentation has been present throughout history, using non-biological high viscosity substances resulting in detrimental damages, leading to siliconoma. Surgical management with radical excision with choices of split thickness skin graft as defect closure option for resurfacing. Nevertheless, the presence of secondary contracture and sensation diminution of the graft might interfere with sexual function. The aim of this study is to evaluate sexual function in penile siliconoma patient post skin graft reconstruction, using Simplified International Index of Erectile Function (IIEF-5).

Methods: This is a retrograde cross-sectional study involving penile siliconoma patients receiving reconstruction using split thickness skin graft at Hasan Sadikin and Cipto Mangunkusumo General Hospital from January 2015 to July 2019. All patients willing to enroll in this study were given the IIEF-5 questionnaire for sexual function evaluation.

Result: A total patient of 36 people was detected through medical record in both centers, and 19 were willing to be enrolled in this study. Among the patients, 16 (84.2%) had normal sexual function and 2(10.5%) Mild and 1(5.3%) had mild to moderate erectile disfunction.

Conclusion: Penile siliconoma patients receiving radical excision and resurfacing using skin graft has a good sexual function, and could be used as a resurfacing option in the treatment of penile siliconoma.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Firtanty Tasya Andriami Syahputri
"ABSTRAK
Latar Belakang: Rekonstruksi pada pasien Fournier Gangrene membutuhkan hasil yang baik secara fungsi dan estetik karena dapat mempengaruhi kondisi psikosologis pasien. Karena, penilaian penampilan estetik sangat subjektif, kami mengumpulkan data persepsi estetik pasien Fournier gangrene yang telah dilakukan prosedur STSG menggunakan Visual Analog Scale.
Tujuan: Mendapatkan data mengenai persepsi estetik terhadap pasien Fournier Gangrene
Metode: Residen bedah plastik, pasien Fournier gangrene dan pasangannya diberikan foto pasien Fournier gangrene yang telah menjalani prosedur STSG. Mereka memberikan nilai bedasarkan VAS. Kami menanyakan apakah ada keluhan tambahan pada pasien.
Hasil: Dari Januari 2011 hingga Agustus 2019, didapatkan 91 pasien Fournier gangrene di RSHS. Kami melakukan seleksi pada pasien menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi dan mendapatkan 11 pasien. Hampir semua pasien menyatakan bahwa hasil prosedur STSG secara estetik baik, mean 8,10 (SD 0,74). Sedangkan semua residen bedah plastik dan pasangan dari pasien memberikan nilai yang baik atas hasil operasi, mean 8,36 (SD 0,50) dan 8,22 (SD 0,62). Tidak ada pasien yang mengeluhkan keluhan tambahan setelah prosedur STSG.
Kesimpulan: Tiap kelompok penelitian memiliki latar belakang yang berbeda, namun didapatkan hasil persepsi estetik yang sama (baik) atas prosedur STSG tersebut.

ABSTRACT
Background: Reconstruction of Fournier Gangrene patient is required functional and aesthetic appearance for psychological reasons. However, aesthetic perfection varies greatly and depends on subjective perception.
Methods: Plastic Surgery residents, Fournier gangrene patients and their spouses are given the photos of patients after STSG. They made score based on VAS. We also asked for any complaints after the procedure.
Aim: Provide database regarding aesthetic perception of Fournier gangrene patient after STSG.
Result: From January 2011 until August 2019, there is 91 fournier gangrene patients at Hasan Sadikin hospital. We got 11 patients after selecting those using inclusion and exclution criteria. Almost all patients claimed that the aesthetic result after STSG procedure were good, the mean value were 8,10 (SD 0,74). While, all off the plastic surgery residents and the spouses of the patients argued that the aesthetic outcome of Fournier gangrene patients after STSG procedure were good. The mean value were 8,36 (SD 0,50) and 8,22 (SD 0,62). All of the patients didnt complaint any additional complaint.
Conclusion: While each subject group has different background, we got same aesthetic perception from all groups (good result)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bisschop, Lode
Nijkerk: G.F. Callenbach, 1991
BLD 839.36 BIS s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Coen Pramono Danudiningrat
"Odontektomi merupakan suatu tindakan bedah di bidang Kedokteran Gigi yang paling sering dilakukan, sehingga selalu menarik bagi klinisi untuk terus ingin melatih drinya agar dapat melakukan odontektomi dengan baik."
Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP), 2012
617.605 COE o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sariyani Pancasari Audry Arifin
"Latar Belakang: Perubahan degeneratif pada TMJ dapat menyebabkan perubahan morfologi kondilus mandibula. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan degeneratif TMJ yaitu kehilangan gigi posterior yang tidak diganti. Modalitas CBCT memberikan gambar multiplanar bidang aksial, sagital dan koronal sehingga mempermudah visualisasi TMJ secara menyeluruh, sehingga CBCT dapat menjadi modalitas alternatif untuk mengevaluasi keadaan TMJ terutama morfologi kondilus. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti perubahan morfologi kondilus mandibula pada evaluasi CBCT yang berhubungan dengan jumlah kehilangan gigi posterior, kelompok usia dan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui hubungan perubahan morfologi kondilus mandibula berdasarkan jumlah kehilangan gigi posterior pada kelompok usia 30 – 45 tahun dengan kelompok usia 55 – 70 tahun pada evaluasi CBCT. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik cross sectional. Pengumpulan sampel dilakukan menggunakan metode Non-Probability Sampling dengan teknik Purposive Sampling dan didapatkan sebanyak 70 sampel volume data CBCT. Rekonstruksi dilakukan menggunakan Software CS Imaging Patient Browser 7.0.23 dan CS 3D Imaging v3.8.7. Carestream Health Inc. Kondilus mandibula dibedakan antara sisi kanan dan kiri, hasil rekonstruksi diambil dari potongan sagital dan koronal anteroposterior. Pengamatan dilakukan dua orang, sebanyak dua kali dalam jangka waktu berbeda dan jarak waktu dua minggu. Uji reliabilitas hasil pengamatan dilakukan menggunakan Uji Cohen’s Kappa dan hasil uji intraobserver dan intraobserver menunjukan angka 0.814 – 1.000 yang termasuk dalam kategori almost perfect agreement. Hasil: Terdapat hubungan yang bermakna antara perubahan morfologi kondilus mandibula dengan jumlah kehilangan gigi posterior pada kelompok usia 30 – 45 tahun dan kelompok usia 55 – 70 tahun dalam bentuk erosi, flattening, dan sklerosis (p= <0.005). Pada variabel jenis kelamin tidak ditemukan hubungan yang bermakna (p= >0.005). Kesimpulan: Dari keseluruhan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin banyak jumlah kehilangan gigi dan semakin bertambahnya usia, memiliki hubungan dan dapat menyebabkan terjadinya perubahan morfologi kondilus mandibula.

Background: Degenerative changes in the TMJ can lead to changes in the morphology of the mandibular condyle. One of the factors that affect degenerative changes in the TMJ is the loss of posterior teeth that are not replaced. CBCT modality provides multiplanar images in axial, sagittal, and coronal planes making it easier to visualize the TMJ thoroughly, therefore CBCT can be an alternative modality to evaluate the TMJ condition, specifically the morphology of the condyles. This study aimed to examine the morphological changes of the mandibular condyle on CBCT evaluation with the number of missing posterior teeth, age group, and gender. Objective: To determine the relationship between changes in the morphology of the mandibular condyle based on the number of missing posterior teeth in the age group 30-45 years and the age group 55-70 years. Methods: This study is a cross-sectional analytic retrospective study. Sample collection was carried out using the Non-Probability Sampling method with the Purposive Sampling technique. Reconstruction was performed using CS Imaging Patient Browser 7.0.23 and CS 3D Imaging v3.8.7 Software from Carestream Health Inc. The mandibular condyle was divided into right and left, and the results of the reconstruction were taken from the sagittal and coronal anteroposterior sections. Observations were made by two people, two times in different periods with an interval of two weeks. The reliability test from the observations using Cohen's Kappa test and the results showed almost perfect agreement category with Kappa value 0.814 - 1.000. Results: There was a significant relationship between changes in the morphology of the mandibular condyle in the form of erosion, flattening, and sclerosis with the number of missing posterior teeth in the age group 30-45 years and the age group 55-70 years (p = <0.005). In the gender variable, there was no significant relationship with changes in the morphology of the condyle (p = > 0.005). Conclusion: It can be concluded that the greater number of missing teeth and the older the subject gets has relationship with and can cause changes in the morphology of the mandibular condyle."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>