Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182746 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasudungan, David Gilbert
"ABSTRAK
Hukuman kebiri kimia yang diatur dalam Pasal 81 ayat (7) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu hukuman pidana tambahan terbaru yang dapat dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Hukuman pidana tambahan kebiri kimia tersebut pada bulan Mei 2019 telah digunakan pertama kalinya untuk menjerat pelaku kekerasan seksual pada anak dalam putusan nomor 69/Pid.Sus/2019/PN.MJK. Namun pelaksanaan dari hukuman pidana tambahan kebiri kimia dalam putusan a quo menghadapi permasalahan dengan tidak adanya hukum formil yaitu peraturan pelaksana dari Undang-Undang No.17 Tahun 2016 tersebut. Kejaksaan selaku entitas yang mengemban kewenangan pelaksana dari putusan pengadilan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada faktanya harus melakukan penunjukkan kepada entitas yang memiliki kompetensi dalam bidang medis untuk melaksanakan hukuman pidana tambahan kebiri kimia tersebut secara langsung. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mengatur bahwa kebiri kimia termasuk ke dalam tindakan medis yang disebut upaya kesehatan kuratif, karenanya pelaksanaan dari kebiri kimia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang yaitu dokter khususnya dokter spesialis kejiwaan. Sehingga Kejaksaan dalam melaksanakan hukuman pidana tambahan kebiri kimia harus melakukan penunjukkan kepada dokter spesialis kejiwaan yang memiliki kewenangan dan kompetensi yang dibutuhkan.

ABSTRACT
Chemical castration criminal penalty regulated in Article 81 paragraph (7) of Law No. 17 of 2016 on the Establishment of Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2016 on the Second Amendment to Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection is one of the latest additional criminal penalties that can be imposed for perpetrators of sexual violence against children. The chemical penalties for additional castration in May 2019 were used for the first time to ensnare perpetrators of sexual violence against children in decision number 69 / Pid.Sus / 2019 / PN.MJK. Nevertheless, the implementation of additional chemical castration criminal penalties in the a quo decision faces a problem in the absence of formal law, particularly the implementing regulations of the Law No.17 of 2016. The Prosecutor's Office as an entity that carries out the executive authority of the court's decision according to the Criminal Procedure Code and Law No. 16 of 2004 concerning the Attorney General's Office of the Republic of Indonesia, in fact, must appoint an entity that has competence in the medical field to carry out additional chemical castration penalties. Law No. 36 of 2009 on Health and Law No. 18 of 2014 on Mental Health regulates that chemical castration is included in a medical action called curative health measures, therefore the implementation of chemical castration can only be carried out by authorized health personnel namely doctors especially psychiatric specialists. So that the Prosecutor's Office in carrying out additional criminal sentences of chemical castration must appoint a psychiatric specialist who has the authority and competence needed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Purna Indiera Adhiasti
"Penjatuhan hukuman kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun praktiknya masih menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya efek samping yang ditimbulkan karena kebiri dilakukan dengan memanipulasi hormon sehingga dianggap melanggar hak asasi manusia. Status quo keputusan hakim dalam penjatuhan hukuman kebiri kimia di Indonesia pun masih terjadi disparitas, padahal hakim memiliki peran yang sentral dalam menjatuhkan sanksi kebiri kimia kepada pelaku dengan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangannya. Dari permasalahan tersebut, studi ini mengajukan pertanyaan penelitian terkait faktor yang mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman kebiri kimia khususnya kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Studi ini menggunakan teori judicial decision making yang merujuk pada proses seorang hakim dalam membuat suatu keputusan yang didasarkan pada faktor legal dan extralegal. Selain itu, teori judicial attribution of cause juga digunakan dalam studi ini untuk melihat hubungan atribusi antara faktor karakteristik pelaku atau tingkat keseriusan kejahatan dengan berlandaskan pada prinsip judicial legitimacy yang dimiliki oleh hakim. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan Population-based Survey Experiments (P-BSE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim di Indonesia tidak memandang faktor kondisi individu pelaku dan tingkat keseriusan kejahatan sebagai faktor yang signifikan untuk menentukan penjatuhan hukuman kebiri kimia, namun legitimasi norma dan proses hukum yang berlangsung dalam persidangan justru menjadi faktor pertimbangan utama hakim ketika menjatuhkan hukuman tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan penelitian ini menilai bahwa teori attribution of cause tidak relevan dalam konteks pertimbangan hakim untuk menjatuhkan hukuman kebiri kimia di Indonesia karena yang dititikberatkan dan signifikan ialah faktor legal legitimacy (orientasi dalam sistem hukum dan peraturan yang berlaku) dan practical constraint (konsekuensi praktis dari penjatuhan hukuman).

The imposition of chemical castration punishments on perpetrators of sexual violence against children has been regulated in such regulations, however, the practice still has pros and cons, one of which is the side effect that arises due to the castration being carried out by manipulating hormones, thus it is considered to violate the human rights. There are still disparities in the status quo of judges’ verdicts in imposing chemical castration sentences in Indonesia, even though judges have a pivotal role in imposing chemical castration sanctions on perpetrators according to their considerations. Then from this problem, the question arises regarding what factors influence the judge’s consideration in imposing a sentence of chemical castration, mainly on perpetrators of sexual violence against children. This study uses judicial decision-making theory which refers to the process of a judge making a decision based on legal and extralegal factors. Besides, the theory of judicial attribution of cause is also used in this study to look at the attribution relationship between the characteristics of the perpetrator and the seriousness of the crime. Apart from that, the theory of judicial attribution of cause is also used in this study to look at the attribution relationship between the characteristics of the perpetrator or the level of seriousness of the crime based on the principle of judicial legitimacy held by the judge. This research uses a quantitative approach with Population-based Survey Experiments (P-BSE). The results of the research show that judges in Indonesia do not consider the condition of the individual perpetrator and the seriousness of the crime to be significant factors influencing the imposition of a chemical castration sentence, but the legitimacy of the norms and legal processes that took place in the trial are actually the main factors considered by the judge when handing down the sentence. Thus, this research considers that the attribution of cause theory is not relevant in the context of judges' considerations for imposing chemical castration sentences in Indonesia because what is emphasized and significant is the legal legitimacy and practical constraint factors."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Rahman Hakim
"Studi ini berangkat dari maraknya kasus kekerasan seksual khususnya yang menimpa anak-anak (kekerasan seksual anak) terjadi di Indonesia. Meluasnya Pornografi disebut-sebut banyak pihak sebagai penyebab fenomena ini terjadi. Menggunakan dua pendekatan sekaligus, yakni kualitatif sebagai pendekatan utama dan kuantitatif sebagai pendukung, penelitian ini berusaha menelusuri pola penggunaan media pornografi pada pelaku kekerasan seksual anak dan bagaimana media pornografi berhubungan dengan perilaku seksual mereka tersebut. Berdasarkan analisis statistik deskriptif data kuantitatif yang diperoleh dengan metode survey pada 30 orang responden diduga bahwa penggunaan media pornografi pada pelaku kekerasan seksual anak penghuni Lembaga Pembinaan Khusus Anak tidak banyak berbeda dengan orang biasa pada umumnya.
Berdasarkan studi kasus dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara diketahui bahwa bagaimana penggunaan media pornografi memengaruhi perilaku seksual pelaku kekerasan seksual anak merupakan hasil dari mekanisme pemutarbalikan persepsi, proses belajar sosial, efek desensitisasi, serta adanya keterbangkitan seksual (sexual aurosal) para pelaku kekerasan seksual anak tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan antara penggunaan media pornografi dan kekerasan seksual tidak bersifat langsung. Konsumsi pornografi mendorong terbentuknya skema tertentu tentang perempuan dan kondisi tersebut yang mendorong terjadinya kekerasan seksual.

This study departs from the rampant cases of sexual violence, especially affecting children (child sexual abuse) occurred in Indonesia. Widespread pornography is touted by many as the cause of this phenomenon occurs. Using two approaches at once, qualitative as a main and quantitative as a supporter, this study tried to discover patterns of media use of pornography on the perpetrators of child sexual abuse and how the media of pornography relates to their sexual behavior. Based on the descriptive statistical analysis of quantitative data obtained by the the method of the survey on 30 respondents alleged that the use of media pornography on the perpetrators of child sexual abuse is not much different from people in general.
Based on case studies with data collection through interviews showed that how the use of media pornography affects sexual behavior of perpetrators of child sexual abuse is the result of a twisting mechanism of perception, social learning processes the effects of desensitization, and the presence of sexual arousal perpetrators of sexual abuse of the child. The study concluded that the relationship between media use pornography and sexual violence is not straightforward and not directly. Consumption of pornography encourages the formation of certain schemes on women on perpetrators and the conditions that perpetuate sexual violence.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Budi Cahyono
"Kekerasan seksual di Indonesia merupakan salah satu permasalahan hukum yang dianggap serius, Dalam menanggapi hal tersebut Indonesia mengatur hukuman pidana tambahan yakni kebiri kimia dan tercantum pada Undang-undang No.17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang. Ditengah polemic pro dan kontra Presiden Joko Widodo secara Resmi Menanda tangani Peraturan Pemerintah No.70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku kekerasan Seksual Terhadap Anak. Dengan timbul banyaknya polemik terkait keberadaan hukuman ini, maka penulis akan melakukan penelitian terkait penerapan hukuman kebiri kimia dengan menggunakan metode penelitian bersifat yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan pendekatan analisis perbandingan hukum, pendekatan analisis peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini penulis mendapatkan bahwa hukuman kebiri kimia di beberapa negara sangat memerlukan peran dari ahli medis untuk dapat melakukan penjatuhan hukuman kebiri kimia, dan hukuman kebiri kimia merupakan suatu bentuk hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak karena dianggap memiliki gangguan kelainan mental yakni pedofilia. Pada saat ini para dokter masih menolak akan keberadaan hukuman kebiri kimia dikarenakan bertentangan akan kode etik profesinya, akan tetapi penulis menemukan bahwa seharusnya dokter dapat mengambil peran penuh dalam penerapan hukuman ini sebagai bentuk menjaga kondisi Kesehatan baik secara mental maupun fisik sehingga hukuman ini dapat menjadi bentuk rehabilitasi atau pengobatan atas perbuatan menyimpang dari pelaku.

In Indonesia sexual violence is one of the legal issues that considered as serious crime. For the response of this issue, Indonesia regulates additional criminal penalties called chemical castration and Written in UU No. 17/2016 about the Second Amendment to UU No. 23/2002 Child Protection Becomes Law. In between of the pro and cons of this sentence, President of Indonesia Joko Widodo Officially Signed Government Regulation No. 70 of 2020 concerning Procedures for Carrying Out Chemical Castration, Installation of Electronic Detection Devices, Rehabilitation, and Announcement of the Identity of Perpetrators of Sexual Violence Against Children. With the emergence of many polemics related to the existence of this punishment, the authors will conduct research related to the application of chemical castration using normative juridical research methods with qualitative analysis methods. This research is using comparative legal analysis approach, an analysis approach to statutory regulations. The results of this study the authors found that chemical castration in several countries fully depends on the role of medical experts to give chemical castration sentences, and chemical castration punishment is for perpetrators of sexual crimes against that are considered to have a mental disorder, namely pedophilia. At this time doctors still reject the existence of chemical castration punishment because it conflicts with the professional code of ethics, but the authors found that doctors should be able to take a full role in implementing this punishment as a form of maintaining health conditions both mentally and physically so that this punishment can be a form of punishment. rehabilitation or treatment of the perpetrator's deviant acts."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fania Putri Alifa
"Skripsi ini membahas mengenai fenomena disparitas pidana yang terjadi pada kasus kekerasan seksual terhadap anak di Provinsi DKI Jakarta. Skripsi ini merupakan penelitian yuridis-normatif yang akan menjawab tiga rumusan masalah: pertama, faktor apa yang lebih dominan di antara faktor legal dan faktor ekstralegal sebagai penyebab disparitas pidana; kedua, hal-hal apa saja yang seharusnya dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak; dan ketiga, bagaimana pengaruh dinaikkannya ancaman pidana penjara minimum khusus dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU Nomor 35 Tahun 2014 terhadap disparitas pidana bagi para pelakunya.
Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer berupa wawancara dengan tiga hakim dari tiga pengadilan negeri di Provinsi DKI Jakarta dan data sekunder berupa studi kepustakaan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan dua puluh delapan putusan pengadilan negeri di Provinsi DKI Jakarta mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak; bahan hukum sekunder berupa RKUHP, buku-buku, dan hasil penelitian berupa skripsi, tesis, dan disertasi; dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, faktor yang lebih dominan sebagai penyebab disparitas pidana adalah faktor ekstralegal, yaitu karakteristik kasus yang bersangkutan yang diikuti oleh subjektivitas hakim; kedua, hal-hal yang seharusnya dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari dua jenis, yakni pertimbangan-pertimbangan umum dan pertimbangan-pertimbangan khusus; dan ketiga, dinaikkannya pidana penjara minimum khusus dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU Nomor 35 Tahun 2014 nyatanya tidak berpengaruh pada disparitas pidana bagi para pelakunya.

This thesis discusses about the phenomenon of disparity of sentencing that occurs towards the perpetrators of child sexual abuse in DKI Jakarta Province. This thesis is a juridical normative study that will answer three main issues first, what factor that is more dominant between legal factors and extralegal factors as the cause of disparity of sentencing secondly, what points should the judge consider in imposing punishment for a perpetrators of child sexual abuse and third, how is the effect of the raising of the threat prison punishment in Article 81 and Article 82 of Law Number 35 Year 2014 against disparity of sentencing towards the perpetrators.
Data used in this study includes primary data in the form of interviews with three judges from three district courts in DKI Jakarta Province and secondary data in the form of literature study. The legal substances used are primary legal materials in the form of statutory regulations and twenty eight decisions of the district courts in DKI Jakarta Province regarding cases of child sexual abuse secondary law materials in the form of RKUHP, books, and research results like thesis and dissertation and tertiary legal material is language dictionary.
The results of this study indicate that first, the more dominant factor as the cause of disparity of sentencing is the extralegal factor, that are characteristic of the case followed by the subjectivity of the judges secondly, the judges should consider two types of points in order to impose punishment a perpetrator of child sexual abuse, that are general consideration and special consideration and third, the raising of the threat prison punishment in Article 81 and Article 82 of Law Number 35 Year 2014 in fact does not affect the disparity of sentencing towards the perpetrators.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primayvira Ribka
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22600
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Mazumah
"Tulisan ini membahas tentang konsep restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual sebelum dan sesudah peraturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS hadir dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini tidak pernah didapatkan oleh korban kekerasan seksual yang kerap kali menjadi korban kembali dalam sistem hukum di Indonesia. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pemenuhan hak korban kekerasan seksual, terutama restitusi, dalam sistem hukum di Indonesia. Data yang dipergunakan dalam tulisan ini diperoleh melalui metode penelitian yang bersifat sosiolegal. Hal ini dilakukan dengan menganalisis implementasi peraturan perundang-undangan tentang restitusi berdasarkan penerapannya sebagaimana disampaikan dalam wawancara pendamping dari Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara itu, analisisnya menggunakan teori restoratif dan teori hukum feminis.
Hambatan penelitian ini adalah Penulis tidak banyak menemukan praktik restitusi bagi korban kekerasan seksual baik sebelum atau setelah UU TPKS disahkan pada 2022 lalu. Kelemahan penerapan restitusi sebagai pidana pokok bagi pelaku kekerasan seksual yang diancam pidana penjara 4 (empat) tahun masih terjadi. Dalam implementasinya, restitusi masih belum menjadi hak korban yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana. Sebagai hak, korban juga memiliki kewenangan menolak atau menerima dengan beragam alasan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemenuhan hak korban kekerasan seksual belum optimal, khususnya restitusi. Kemudian terdapat tantangan pula berupa perspektif Aparat Penegak Hukum yang masih beragam dalam implementasi restitusi sebagai hak korban sehingga dibutuhkan layanan terpadu antar pihak agar restitusi menjadi hak bagi korban dalam upaya pemenuhan pemulihan akibat dari kasus yang dialami.

This paper discusses the concept of restitution for victims of sexual violence before and after the regulation of the Law Number 12 of 2022 on the Crime of Sexual Violence. The Crime of Sexual Violence Law is present in order to provide guarantees of prevention, protection, access to justice, and recovery, as well as the comprehensive fulfillment of victims' rights that have never been obtained by victims of sexual violence who often become victims again in the legal system in Indonesia. This research wants to find out how the fulfillment of the rights of victims of sexual violence, especially restitution, in the legal system in Indonesia. Data used in this paper was obtained through sociolegal research method. This is done by analyzing the implementation of laws and regulations on restitution based on its implementation as conveyed in an accompanying interview from the Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang and the Witness and Victim Protection Agency (LPSK). Meanwhile, the analysis uses restorative theory and feminist legal theory.
The obstacle for this research is that the author did not find many restitution practices for victims of sexual violence both before and after the Crime of Sexual Violence Law was passed in 2022. The weak application of restitution as the main punishment for perpetrators of sexual violence who are sentenced to 4 (four) years imprisonment still occurs. In its implementation, restitution is still not a victim's right that must be fulfilled by the perpetrator of the crime. As a right, victims also have the authority to refuse or accepts for various reasons. The results of this study conclude that the fulfillment of the rights of victims of sexual violence has not been optimal, especially restitution. Then there are also challenges in the form of perspectives of law enforcement officials that are still diverse in the implementation of restitution as a victim's right, hence integrated services are needed between parties so that restitution becomes a right for victims in an effort to fulfill recovery from the cases they experience.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyzia Ellena Ayuningtyas
"Tesis ini membahas mengenai pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja oleh pemberi kerja setelah berlakunya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 dimana pemberi kerja wajib untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana implementasi Keputusan Menteri ini pada pelaksanaannya. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana implementasi Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dan non-doktrinal. Setiap pekerja memiliki hak atas perlindungan terhadap moral dan juga kesusilaan serta diperlakukan sebagaimana harkat dan martabat manusia dan juga nilai-nilai agama, namun tindak kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa pun sehingga penting untuk dibentuk pihak yang khusus untuk menangani pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja.

This thesis discusses the formation of a Task Forces for the Prevention and Handling of Sexual Violence Within the Workplace by employers after the issuance of the Minister of Manpower Decree Number 88 of 2023 where employers are required to form a Task Forces for the Prevention and Handling of Sexual Violence Within the Workplace, but further research needs to be done on how the implementation of this Ministerial Decree is implemented. This thesis aims to find out what is meant by sexual violence, its impact on victims, and how the the Minister of Manpower Decree Number 88 of 2023 is implemented. The research methods used are doctrinal and non-doctrinal. Every worker has the right to protection of morals and decency and to be treated according to human dignity and religious values, however sexual violence can happen to anyone so it’s important to establish a special party to handle the prevention and handling of sexual violence in the workplace."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jana Pertiwi
"ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan bagaimana pihak sekolah memberikan reaksi atas penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru terhadap murid murid perempuan di SMA X Jakarta Reaksi yang sekolah berikan merupakan suatu bentuk implikasi dari proses pendefinisian tentang kasus kekerasan seksual yang terjadi Penelitian ini menggunakan metode kualitatif feminis dengan melakukan wawancara mendalam kepada 5 subjek korban dan 11 subjek non korban Ke lima subjek korban adalah para murid dan alumni SMA X Jakarta serta 11 subjek non korban adalah teman korban guru guru SMA X Jakarta warga sekolah dan pejabat dinas pendidikan Peneliti menggunakan kajian feminis radikal dan feminis multikultural oleh Rosemarie Putnam Tong untuk menjelaskan bentuk distorsi yang terjadi pada proses pendefinisian kasus kekerasan seksual Lalu terkait dengan bagaimana sekolah memberikan reaksi dalam penanganan kasus peneliti menggunakan analisis state crime berdasarkan pemikiran Raymond Michalowski dan Ronald C Kramer Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses pendefinisian kekerasan seksual merupakan tahapan awal yang penting dan berpengaruh terhadap reaksi yang diberikan pihak sekolah kepada para korban Pendefinisian kasus kekerasan yang baik dapat berimplikasi pada reaksi sekolah yang bersifat menguntungkan bagi pihak korban begitu pula sebaliknya

ABSTRACT
This research describes how the school provides a reaction of handling child sexual abuse cases that committed by teachers against female students in X Senior High School Jakarta The reactions were given by the school is an implications form of definition process of sexual abuse that occurred This research uses feminist qualitative method by conducting in depth interviews to 5 victims and 11 non victims The five victims are senior high school students and alumni of X Senior High School Jakarta 11 non victims who are friends with the victims teachers of X Senior High School Jakarta school community and the education department councils Researcher uses a radical feminist studies and feminist multicultural by Rosemarie Putnam Tong to describe distortion form that occurs in the process of defining sexual abuse case Then related to how schools reacted in the handling child sexual abuse case researcher uses state crime analysis based on Raymond Michalowski and Ronald C Kramer The result of this research indicates that the process of defining sexual abuse is an important in the early phase and affect to the reaction that given by the school Good definition about violence cases may be implicated the school reactions that are opportune to the victim and vice versa
"
2015
S61391
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Febrianto
"Tugas karya akhir ini membahas pelecehan seksual yang dialami perempuan pekerja dalam ruang kerja online saat work from home pada masa pandemi COVID-19. Dengan menggunakan teori feminis radikal, tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana terjadinya kekerasan seksual berbasis jenis kelamin/gender yang difasilitasi teknologi terhadap perempuan pekerja selama WFH, apa yang menjadi latar belakangnya, dan menjelaskan perbedaan kekerasan seksual berbasis sex/gender di ruang fisik dengan ruang cyber. Tugas karya akhir ini menggunakan secondary data analysis untuk menganalisis data dari Never Okay Project dan South East Asia Freedom of Expression Network (2020) dan ditemukan bahwa kekerasan seksual berbasis gender terhadap perempuan pekerja dalam ruang cyber memiliki penyebab dasar yang sama dengan yang terjadi di ruang fisik karena teknologi mereproduksi hubungan hierarki gender. Meski begitu, pelecehan seksual yang dialami perempuan pekerja dalam ruang cyber saat pandemi COVID-19 menghasilkan dampak, kerentanan, dan ketidakberdayaan yang lebih buruk daripada pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja fisik pada umumnya.

The work of this final paper discusses sexual harassment experienced by women workers in the online workspaces when working from home during the COVID-19 pandemic. Using radical feminist theory, this paper aims to explain how technology-facilitated gender/gender-based sexual violence occurs against women workers during WFH, what is the background, and also explain the difference between sex/gender-based sexual violence in physical space and cyberspace. This final paper uses secondary data analysis to analyze the data from Never Okay Project and South East Asia Freedom of Expression Network (2020) and it is found that gender-based sexual violence against women workers in cyberspace has the same basic causes as those that occur in physical space because technology reproduces hierarchical gender relations. Even so, the sexual harassment experienced by women workers in cyberspaces during the COVID-19 pandemic resulted in a worse impact, vulnerability and helplessness that sexual harassment that occurred in the physical workplace in general."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>