Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163540 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Rafid Naufaldi
"

Latar Belakang: Talasemia I² mayor merupakan penyakit dengan gen carrier yang cukup banyak ditemukan di Indonesia sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang pola talasemia β mayor terlebih lagi penderitanya mengalami inefektif hematopoesis sehingga pasien talasemia I² mayor sangat bergantung dengan terapi transfusi dan kelasi untuk bertahan hidup sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari kepatuhan terapi kelasi pada populasi Indonesia terhadap kadar alanin aminotransferase, aspartat aminotransferase, dan AST to patelet ratio index (APRI) score.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode observatif cross sectional dan seluruh partisipan penelitian adalah pasien RSCM Kiara. Data kepatuhan pasien didapat dari kuisioner morisky medication adherence scale -8 serta pertanyaan singkat alasan ketidakpatuhan dalam terapi yang akan dicocokan dengan data laboratorium pasien pada rekam medik elektronik dan selanjutnya data dianalisis menggunakan uji bivariat nonparametrik Kruskal-Wallis dan uji Post-Hoc Mann-Whitney.

Hasil: Tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara kepatuhan terapi kelasi terhadap kadar alanin amintotransferase, aspartat aminotransferase, dan APRI score namun, ditemukan hubungan yang bermakna pada umur, lama transfusi, dan jenis kelator terhadap nilai APRI score.

Kesimpulan: Tidak ditemukan adanya hubungan bermakna pada kepatuhan terapi kelasi terhadap kadar alanin aminotransferase, aspartat aminotransferase, dan APRI score namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi hasil tersebut dikarenakan terdapat keterbatasan dalam penelitian.

 


Background: Thalassemia I² major is a disease with carrier gene common enough to be found in Indonesia therefore further research was needed to know the exact pattern and characteristics of thalassemia I² major because the patients has ineffective hematopoiesis depend their life with transfusion and chelation therapy to survive therefore it need further research to know the effect of chelation therapy for population in Indonesia with alanin aminotransferase, aspartat aminotransferase, and AST to platelet ratio index (APRI) score level.

Methods: This study used observative cross sectional method and all of the participants are patients at RSCM Kiara. Participants compliance were measured by morisky medication adherence scale-8 with some adjustment to know the reason why participants isnt complying with therapy and will be compared with laboratory result through electronic medical record then both results were then analyzed non-parametrically using Kruskal-Wallis followed by Mann-Whitney for Post-Hoc.

Results: There arent any correlation between chelation therapy compliance with aspartat aminotransferase, alanine aminotransferase, and AST to platelet ratio index score level but it has been found that age, transfusion duration, and type of chelator have some degree of correlation.

Conclusion: There arent any correlation between chelation therapy compliance with aspartat aminotransferase, alanine aminotransferase, and AST to platelet ratio index score level but the result need further research to confirm the result because this research has its own degree of limitation

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Taufik
"Pendahuluan: Beta thalassemia mayor (BTM) merupakan kelainan sintesis rantai beta globin yang menyebabkan penderitanya harus menjalani transfusi berulang untuk mempertahankan kadar hemoglobin. Hal tersebut dapat menyebabkan hemokromatosis di berbagai organ yang dapat menyebabkan komplikasi, termasuk diabetes melitus (DM). Terapi kelasi besi ditujukan untuk mengurangi hemokromatosis dan mencegah komplikasi, namun seringkali penderita tidak patuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kepatuhan terapi kelasi terhadap kejadian DM pada pasien BTM. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong-lintang. Tingkat kepatuhan terapi kelasi ditentukan menggunakan Morisky Medication Adherence Scale – 8 (MMAS-8), sementara data pemeriksaan laboratorium terkait DM (kadar glukosa darah sewaktu, puasa, dan 2 jam postprandial) didapatkan dari rekam medis. Subjek penelitian adalah penderita BTM di Pusat Kesehatan Ibu & Anak (PKIA) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kiara yang bersedia mengisi kuesioner dan memiliki data pemeriksaan laboratorium terkait. Analisis data dilakukan dengan Uji One- Way ANOVA dan Uji T Tidak Berpasangan. Hasil: Dari 50 penderita BTM yang menjadi subjek penelitian, sebagian besar (74%) memiliki tingkat kepatuhan terapi kelasi yang rendah. Ditemukan 1 (2%) subjek yang memiliki kondisi prediabetes. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tingkat kepatuhan terapi kelasi terhadap kadar glukosa darah sewaktu (p = 0,843, n = 35), kadar glukosa darah puasa (p = 0,776, n = 17), maupun kadar glukosa darah 2 jam postprandial (p = 0,863, n = 17). Kesimpulan: Tingkat kepatuhan terapi kelasi tidak berhubungan dengan kejadian DM yang ditentukan melalui kadar glukosa darah sewaktu, puasa, dan 2 jam postprandial
Introduction: Beta thalassemia major (BTM) is a disorder of beta globin chain synthesis that causes sufferers to undergo repeated transfusions to maintain hemoglobin levels. This can cause hemochromatosis, and in various organs can cause complications, including diabetes melitus (DM). Iron chelation therapy is intended to reduce hemochromatosis and prevent complications, but often sufferers do not comply. The purpose of this study was to determine the relationship of the level of adherence of chelation therapy to the occurence of DM in BTM patients. Method: This research is a cross-sectional study. The level of chelation therapy adherence was determined using the Morisky Medication Adherence Scale - 8 (MMAS-8), while laboratory examination data related to DM (random, fasting, and two hours post-prandial plasma glucose level) were obtained from medical records. The subjects were BTM sufferers at the Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Kiara Hospital who were willing to fill out questionnaires and have relevant laboratory examination data. Data analysis was performed with One-Way ANOVA and Independent T-Test. Results: From BTM sufferers who were the subjects of the study, the majority (74%) had a low level of chelation therapy adherence. One (2%) subject were found to have prediabetes. No significant relationship was found between the level of chelation therapy adherence to random blood glucose levels (p = 0.843, n = 35), fasting blood glucose levels (p = 0.776, n = 17), and 2 hours post-prandial blood glucose levels (p = 0.863 , n = 17). Conclusion: The level of chelation therapy adherence is not related to the occurence of DM which is determined through random, fasting, and two hours post- prandial plasma glucose level."
Depok: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Rachmawarni Bachtiar
"Latar Belakang: Fibrosis hati telah menjadi masalah kesehatan global dengan angka mortalitas 800 ribu kematian tahun 2004. Hepatitis kronis yang disebabkan oleh hepatitis C memerlukan perhatian khusus karena secara patogenesis sebelum berkembang menjadi hepatocellular carcinoma (HCC) akan melalui fase fibrosis hati. Baku emas diagnosis fibrosis hati adalah melalui biopsi hati, tetapi terdapat banyak keterbatasan antara lain kesediaan fasilitas dan efek samping. Pemeriksaan non-invasif saat ini menjadi pilihan untuk deteksi fibrosis.
Tujuan: untuk mengetahui akurasi pemeriksaan non-invasif (FibroScan, skor APRI, dan FIB-4) dalam mendeteksi fibrosis hati. Metode: Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien yang dilakukan biopsi hati di RSPUN dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2008 hingga Desember 2014.
Hasil: Dari 120 orang yang menjalani biopsi hati, 56 pasien yang memenuhi kriteria seleksi. Akurasi APRI, FIB-4, dan FibroScan adalah sebagai berikut, AUC 0,692 (IK95%, 0,381-1,000), AUC 0,567 (IK95%, 0,253-0,882), dan AUC 0,712 (IK 95%, 0,398-1,000). Berdasarkan hasil analisis berjenjang, akurasi diagnostik kombinasi pemeriksaan APRI dan FibroScan, FibroScan dan FIB-4, APRI dan FIB-4, dan kombinasi ketiganya adalah sebagai berikut AUC 0,702 (IK95%, 0,375-1,000), AUC 0,798 (IK95%, 0,533-1,000), AUC 0,774 (IK95%, 0,513- 1,000), dan 0,798 (IK 95%, 0,533-1,000).
Kesimpulan: FibroScan memiliki akurasi terbaik dibandingkan APRI dan FIB4 dalam mendeteksi fibrosis hati. Akurasi dengan kombinasi APRI, FIB-4, dan FibroScan meningkat jika dibandingkan dengan pemeriksaan tunggal untuk mendeteksi fibrosis hati pada pasien hepatitis C.

Background: Liver fibrosis has become a global health problems with the 800 thousand mortality death in 2004. Chronic hepatitis caused by hepatitis c need special attention because before it develops into Hepatocellular Carcinoma (HCC) going through the liver fibrosis. Gold standard of liver fibrosis is liver biopsy, but there are many limitations, such as facilities and side effects. Non-invasive diagnostic tools are the option for the detection fibrosis.
Aim: To know the accuracy of the noninvasive diagnostic tools (FibroScan, the APRI score, FIB-4 score) in detecting liver fibrosis . Methods: This is diagnostic research which used secondary data from medical patient doing liver biopsy conducted in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in January 2008 to December 2014.
Results: There are 120 patients who underwent liver biopsy and 56 patients who fulfill selection criteria. The accuracy of APRI score, FIB-4, and FibroScan are AUC 0,692 (IK95%, 0,381-1,000), AUC 0,567 (IK95%, 0,253-0,882), and AUC 0,712 (IK95%, 0,398-1,000). Based on the multivariate analysis , accuracy of diagnostic combination FibroScan and APRI , FIB-4 and FibroScan , and FIB-4 and APRI, and combination of the three are as follows AUC 0,702 (IK95% , 0,375-1,000 ), AUC 0,798 (IK95%, 0,533-1,000), AUC 0,774 (IK95%, 0,513- 1,000), and 0,798 ( IK95% , 0,533-1,000 ).
Conclusion: FibroScan has the highest diagnostic accuracy compared with APRI and FIB4 in detecting liver fibrosis. Accuracy of combination APRI, FIB-4, and FibroScan increase compared with the single diagnostic tools for liver fibrosis detection in hepatitis C patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Eldad Frederich Lasanudin
"Latar Belakang Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh penyumbatan pada arteri koroner jantung. Gejala utamanya adalah nyeri dada, yang disebut juga sebagai angina pektoris. TIMI risk score adalah suatu sarana penilaian risiko yang mengevaluasi berbagai faktor untuk menentukan prognosis pasien SKA. Namun, TIMI risk score tidak memperhitungkan tingkat transaminase aspartat serum dan transaminase alanina serum saat admisi pasien. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apabila terdapat hubungan antara enzim tersebut dengan hasil TIMI risk score.
Metode Penelitian ini merupakan suatu studi cross-sectional analitik yang dilaksanakan melalui pengumpulan data rekam medik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, yang meliputi TIMI risk score, tingkat transaminase aspartat serum saat admisi pasien, dan tingkat transaminase alanina serum saat admisi pasien. Terdapat 111 sampel dan data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil Tingkat transaminase aspartate serum pada saat admisi tidak berhubungan dengan hasil TIMI risk score pasien (p=,183). Tidak ditemukan hubungan statistik yang bermakna antara tingkat transaminase alanina serum pada saat admisi dengan hasil TIMI risk score pasien (p=,835).

Background Acute coronary syndrome (ACS) is a disease caused by blockage in the coronary arteries. Its characteristic symptom is chest pain, also called as angina pectoris. TIMI risk score is a risk assessment method that evaluate various factors to determine the prognosis of ACS patients. However, it does not take into account admission serum AST and ALT levels of the patient. This research aims to see whether the said liver enzymes are associated with TIMI risk score results.
Method The research is an analytical cross-sectional research that is performed through data collection, which includes TIMI risk scores, admission serum AST levels, and admission serum ALT levels, from the medical records of Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. There are 111 samples collected and the data that has been gathered is analysed using the SPSS program.
Results Admission serum AST levels are not associated with patients’ TIMI risk score results (p=.183). There is also no statistical significance between the patient’s admission serum ALT and his/her TIMI risk score result (p=.835).
Conclusion Data analysis show that there are no significant association between patients’ admission serum AST and ALT with their TIMI risk score. Thus, the use of admission serum AST and ALT are not able to assess prognosis of ACS patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dio Adrian Wisnu Adji
"Pendahuluan: Beta thalassemia mayor merupakan salah satu penyakit genetik yang mengharuskan penderitanya mendapatkan transfusi rutin seumur hidup untuk menunjang fungsi darah yang hilang. Transfusi yang dilakukan memiliki efek samping berupa peningkatan kadar besi dalam tubuh pasien (hemokromatosis) yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya penurunan produksi hormon gonadotropin yang berujung pada keterlambatan pubertas. Terapi kelasi dapat dilakukan untuk menurunkan kadar besi dalam tubuh pasien dalam rangka mencegah terjadinya komplikasi, akan tetapi masalah kepatuhan dapat menghalangi keberhasilan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan terapi kelasi besi pada pasien beta thalassemia mayor dengan kadar hormon LH.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data kepatuhan terapi kelasi diukur menggunakan Morisky Medication Adherence Scale 8 (MMAS-8) dan data laboratorium (kadar LH) diperoleh dari rekam medis. Subjek penelitian merupakan pasien dengan beta thalassemia mayor di Pusat Kesehatan Ibu dan Anak Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Kiara PKIA RSCM Kiara yang memiliki data laboratorium berupa kadar LH. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney, Kruskal Wallis, dan Spearman.
Hasil: Dari 39 sampel yang valid, 84,6% subjek memiliki tingkat kepatuhan rendah. Sebanyak 28,2% subjek memiliki kadar LH di bawah batar normal. Tidak ditemukan hubungan signifikan anatara tingkat kepatuhan terapi kelasi dengan kadar LH pada subjek (p = 0,151, n = 39).
Kesimpulan: Tidak ada hubungan signifikan antara kepatuhan terapi kelasi besi dengan penurunan kadar LH."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riki Tenggara
"Latar belakang: Pasien dengan HBK yang mendapat terapi antivirus perlu mendapat pemantauan secara teratur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan derajat kekakuan hati dengan transient elastography (TE) dan APRI sebelum dan setelah menjalani terapi minimal 1 tahun pada pasien Hepatitis B kronik dan korelasi antara TE dan APRI.
Metode: Penelitian ini adalah studi before-and-after treatment dengan melihat perubahan nilai derajat kekakuan hati dan APRI antara sebelum dan sesudah terapi. Pasien hepatitis B kronik yang pernah menjalani pemeriksaan TE dan APRI awal dan menjalani terapi antivirus setelah satu tahun dilakukan pemeriksaan TE ulang dan APRI ulang.
Hasil penelitian: Data dari 41 pasien ini didapatkan hasil median derajat kekakuan hati awal adalah 10,8 kPA dan setelah terapi satu tahun terdapat penurunan menjadi 5,9 kPa dan penurunan derajat kekakuan hati ini bermakna dengan p < 0,001. Median APRI awal adalah 1,13 dan setelah terapi antivirus terdapat penurunan menjadi 0,43 dan penurunan ini bermakna dengan p < 0,001.Dari nilai transient elastography dan APRI didapatkan koefisien korelasi pra-terapi dengan r =0,399 dan setelah terapi antivirus koefisien korelasi r = 0,731.
Simpulan: Derajat kekakuan hati yang diukur dengan transient elastography dan APRI turun secara bermakna setelah terapi antivirus satu tahun pada pasien hepatitis B kronik. Nilai Transient elastography dan APRI mempunyai korelasi moderat sebelum terapi dan korelasi yang kuat setelah terapi satu tahun.

Aim: This study was intended to know the changes of the liver stiffness by transient elastography (TE) and APRI before and after treament at least one year in HBV patients for monitoring the treatment result and correlation between TE and APRI.
Methods: Data were collected from 41 HBV patients with and by using before-and-after treatment method to assess the changes of the liver stiffness and APRI after one year of treatment.The patients were perfomed TE and APRI before and after one year of treatment. The patients were excluded if had infection of HCV or HIV, failure of the procedure, the worsening of hepatitis like acute excacerbation and HCC.
Results: The median liver stiffness measured by TE was significanly decreased from 10,8 kPA to 5,9 kPa after one year of antiviral treatment with p < 0,001. The median value of APRI before treatment was 1,13 and decreased significantly after treatment to 0.43 and with p < 0,001. The correlation between liver stiffness and APRI before treatment were moderate with r = 0,399 and after treatment the correlation were stronger with r = 0,731.
Conclusion: The liver stiffness that measured with transient elastography and APRI significantly decrease after one year of antiviral treatment in chronic HBV patients. There was a moderate correlation between TE and APRI before treatment and strong correlation after one year of treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Obesitas adalah keadaan patologis dimana terdapat penimbunan lemak
yang berlebihan di dalam jaringan tubuh. Saat ini telah ada obat tradisional
pelangsing tubuh berupa sediaan jamu dalam bentuk kapsul dengan
komposisi ekstrak simplisia yang terdiri dari: kacang buncis (Phaseolus
vulgaris L), daun jati blanda (Guazuma ulmifolia Lamk), buah gambogee
(Garcinia cambogia), dan daun teh hijau (Camellia sinensis (L) Kuntze). Jamu
ini dipakai lama dan terus menerus sehingga perlu dilakukan penelitian
toksisitas untuk melihat pengaruh komposisi bahan-bahan tersebut terhadap
organ dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, dilakukan penelitian subkronik
pada tikus putih jantan dan betina (Rattus novergicus) dengan memberikan
jamu setiap hari selama 90 hari, kemudian dilihat aktivitas AST dan kreatin
kinase plasma sebagai parameter. Digunakan 40 ekor tikus putih jantan dan
40 ekor tikus putih betina yang masing-masing dibagi menjadi tiga kelompok
perlakuan dosis dan satu kelompok kontrol. Setiap hari tikus diberi suspensi
uji dengan dosis berturut-turut 1350 mg/kg bb, 2700 mg/kg bb, dan 5400
mg/kg bb untuk kelompok I, II, dan III, sedangkan kelompok IV adalah
kelompok kontrol yang diberi larutan CMC 0,5%. Hasil pengukuran plasma
tikus pada hari ke-91 dianalisa menggunakan uji ANAVA satu arah dan
menunjukkan tidak adanya perbedaan secara bermakna (p>0,05) aktivitas
AST dan kreatin kinase plasma antara kelompok I, II, dan III maupun kelompok IV. Dengan demikian penggunaan jamu pelangsing selama 90 hari
tidak mempengaruhi organ jantung."
Universitas Indonesia, 2007
S32951
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Fathul Hasanah
"Latar belakang: Peningkatan alanine aminotransferase (ALT) dapat terjadi secara asimtomatis. Tes fungsi hati sering ditemukan abnormal pada dikalangan penerbang, dengan sedikit peningkatan kecil dalam satu atau dua parameter enzim hati, penyebab yang paling sering adalah perlemakan hati non alkoholik dan efek minor dari alkohol. Walaupun tidak mempengaruhi sertifikasi kesehatan pada penerbang sipil tetapi peningkatan ALT dapat mempengaruhi kesehatan dari penerbang itu sendiri dan akan mempengaruhi keselamatan penerbangan. Penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menghubungkan dengan kadar ALT pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Metode potong lintang yang dilakukan 5-26 Mei 2014 pada penerbang sipil yang melakukan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan dengan sampling purposif dan analisis regresi Cox. Pengumpulan data dengan mengisi kuesioner dan data ALT diambil dari laboratorium. Pemeriksaan tinggi badan, berat badan dan lingkar pinggang dilakukan oleh peneliti. Kadar ALT meningkat jika ≥41 U/l.
Hasil: Diantara 785 subjek yang mengikuti pemeriksaan kesehatan berkala terdapat 314 yang menjadi subjek penelitian. Persentase peningkatan ALT pada penelitian ini sebesar 31,8%. Faktor risiko dominan terhadap peningkatan ALT pada penerbang sipil di Indonesia adalah lingkar pinggang ≥90 cm [risiko relatif (RRa) = 2,00; p = 0,001] yang mempunyai peningkatan 2 kali jika dibandingkan dengan lingkar pinggang yg <90 cm, selanjutnya obesitas meningkatkan risiko peningkatan kadar ALT, meskipun secara statistik tidak signifikan (RRa = 1,75; 95% CI = 0,97-3,17; p = 0.062).
Simpulan: Penerbang sipil dengan lingkar pinggang ≥90 cm atau dengan obesitas mempunyai risiko lebih besar mengalami peningkatan ALT.

Background: Elevated serum alanine aminotransferase (ALT) may occur in asymptomatic. Liver function tests are frequently found to be abnormal in among aviators, with small elevations in one or two liver enzyme parameters. The most common cause is non-alcoholic fatty liver and minor effects of alcohol. This will affect the health of aviators which affect flight safety. The purpose of this study was to determine the factors that connect with ALT levels in commercial pilot in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study on May 5-26Th 2014 in commercial pilots who doing medical check up at Civil Aviation Medical Center, with purposive sampling and cox regression analysis. The collection of data by filling in a questionnaire and ALT data taken from the laboratory. The examination height, weight and waist circumference was conducted by researchers. Elevated serum ALT ≥ 41 U/l.
Results: Among 785 commercial pilots only 314 were willing to participate it in study and 31,8 % had eleveted serum ALT in this study. The dominant risk factor to the elevated of ALT in commercial pilots in Indonesia is waist circumference ≥90 cm [Relative risk (RRa=2.00; p=0,001)]#who have an increased 2 fold when compared with that waist circumference <90 cm, furthermore obesity increases the risk of elevated levels of ALT, although it was not statistically significant (RRa=1.75; 95% CI=0.97-3.17; p=0.062).
Conclusion: Commercial pilot who had waist circumference ≥90 cm or who obese had elevated serum ALT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Sagran
"Pendahuluan: Thalassemia adalah suatu kelainan genetik akibat kegagalan sintesis rantai globin, mengakibatkan terjadinya anemia berat akibat peningkatan aktivitas eritropoiesis yang inefektif dan hemolisis. Peningkatan aktivitas eritropoiesis akan memacu peningkatan absorpsi besi di usus sehingga terjadi kelebihan besi dalam tubuh. Transfusi darah dilakukan secara berkala untuk mengatasi anemia yang timbul pada pasien thalassemia mayor. Pemberian transfusi berulang akan mempercepat terjadi secondary iron overload, untuk mengatasinya diberikan terapi kelasi rutin.
Tujuan : Mendapatkan perubahan nilai indeks transferin, saturasi transferin, dan feritin sebelum dan sesudah transfusi dan juga sebelum dan sesudah terapi kelasi pada pasien thalassemia mayor. Mendapatkan perbedaan indeks transferin dan saturasi transferin, dan feritin sebagai parameter untuk menilai perubahan status besi pada pasien thalassemia mayor pasca transfusi dan terapi kelasi.
Metode: Desain penelitian kohort prospektif. Subjek penelitian terdiri dari 35 pasien thalassemia mayor usia 7-18 tahun yang mendapat transfusi berulang dan kelator besi rutin. Dilakukan pemeriksaan kadar besi serum, UIBC, TIBC, feritin, transferin, saturasi transferin dan indeks transferin pre transfusi, pasca transfusi dan pasca terapi kelasi.
Hasil: Rerata indeks transferin pasca transfusi 124±22 % lebih rendah secara bermakna dari pre transfusi dengan nilai p=0,016, sedangkan pasca kelasi 123 ± 34.5 % (p=0,045). Saturasi transferin pasca transfusi 96 (51 – 100)% meningkat secara bermakna dibangdingkan pre transfusi 87(69-100)% dengan nilai p=0,026, namum tidak berbeda bermakna pada pasca kelasi 87 (39-100). Kadar feritin serum pasca transfusi 3737 (649 -17.094) mg/dL, meningkat secara bermakna dibandingkan pre transfusi 3315 (544,7-14.964) mg/dL (p=0,018). Perbedaan indeks transferin dan saturasi transferin pre transfusi 45(22-153)% lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pasca transfusi 35(6-89)% dengan nilai p=0,000, sedangkan pasca kelasi adalah 41±25 dengan nilai p=0,036.
Kesimpulan: pemeriksaan indeks transferin untuk pemantauan efektifitas terapi kelasi pada pasien thalasemia mayor dapat dipertimbangkan.

Introduction: Thalassemia syndromes are a group of hereditary disorder characterized by genetic deficiency in the synthesis of β-globin chains. It is associated in severe anemia caused by an increase in ineffective erythropoiesis activity and hemolysis. Erythropoiesis activity will spur increased iron absorption in the intestine so there will be an excess of iron in the body. Blood transfusion is used routinely to treat anemia arising in patients with thalassemia major. Repeated transfusion will accelerate occur secondary iron overload, to solve given chelation therapy routine.
Objective: To know the index value changes transferrin, transferrin saturation, and ferritin before and after transfusion and also before and after chelation therapy in patients with thalassemia major. To know difference transferrin index and transferrin saturation, and ferritin as a parameter to assess changes iron status in patients thalassemia major post-transfusion and chelation therapy.
Methods: This was prosphective cohort, There were 35 patients with thalassemia major who receive repeated transfusions and iron kelator routine, with age 7-18 years. Examination of serum iron levels, UIBC, TIBC, ferritin, transferrin, transferrin saturation and transferrin index before transfusion, after transfusion, and after chelation therapy.
Results: Mean transferrin index post-transfusion 124±22% was significantly lower than pre transfusion (p=0.016), as well as post-chelation 123±34.5% with a value of p=0.045. Transferrin saturation post-transfusion 96 (51-100)% increased significantly with pre transfusion 87 (69-100)% with a value of p=0.026, However no significant difference were observed in post chelation therapy 87 (39-100). Post-transfusion serum ferritin level 3737 (649-17094) mg/dL, increased significantly compared to pre transfusion 3315 (544.7-14,964) mg/dL (p=0.018). Differences transferrin index and transferrin saturation pre transfusion was 45 (22-153)% significantly higher than the post-transfusion 35 (6-89)% with a value of p=0.000, while the post chelation thyrapy was 41±25% (p=0.036).
Conclusion: Transferrin index can be considered for monitoring the effectiveness of chelation therapy in patients with thalassemia major.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius R. Tenggara
"Background: Hepatitis B is endemic in Indonesia and treatment response need to be monitored during and after antiviral therapy. Liver stiffness measurement and alanine aminotransferase to platelet ratio index (APRI) are noninvasive method to detect liver fibrosis available in Indonesia. However, little is known about their ability to evaluate treatment response in chronic hepatitis B (CHB) patients in Indonesia. This study aimed to investigate liver stiffness changes by transient elastography (TE) and APRI before and after one year oral antiviral treatment in CHB patients and the correlation between TE and APRI.
Methods: this study was retrospective cohort on CHB patients in CiptoMangunkusumo Hospital, Jakarta who uderwent treatment between January 2012 and December 2014. Patients received oral antiviral treatment with newer nucleoside analogues (entecavir or telbivudine) for at least one year. TE and APRI were obtained before and after treatment. TE and APRI reductions were analyzed statistically with Spearmans test.
Results: a total of 41 patients were enrolled in this study. Median liver stiffness value was significantly reduced from 10.8 to 5.9 kPa after oral antiviral treatment (p<0.001, Wilcoxons test). Median APRI was also significantly reduced from 1.13 to 0.43 after treatment (p<0.001, Wilcoxons test). The correlation between liver stiffness and APRI before treatment was weak (r=0.40), but it was strong after treatment (r=0.73).
Conclusion: the liver stiffness measured with transient elastography and APRI significantly decreased after one year of antiviral treatment in chronic HBV patients. There was a significant correlation between TE and APRI after one year of treatment."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>