Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89474 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gita Rindang Lestari
"Galvanic Skin Response (GSR) adalah perubahan psikologis pada kulit yang dihasilkan dari perubahan aktivitas kelenjar keringat; pada saat itu, kelenjar keringat akan aktif ketika tubuh dalam keadaan sakit. Prototipe ini dibuat untuk mengukur konduktivitas kulit pada bayi berdasarkan injeksi imunisasi pada bagian paha bayi. Pengukuran dilakukan dengan 3 parameter yaitu pre, intra dan post. Total waktu yang diambil untuk pengukuran adalah 6 menit. Prototipe ini menggunakan mikrokontroler Arduino Uno sebagai prosesor sinyal analog ke digital, dan hasilnya akan dikirim ke PC atau smartphone menggunakan Bluetooth HC-05 melalui plotter serial untuk tampilan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan alat deteksi nyeri pada bayi berbasis respon kulit galvanik yang terjangkau, andal dan feasible. Nilai tambahan dari penelitian ini adalah menggunakan Bluetooth sebagai transfer data agar lebih mudah digunakan. Hasil penelitian ini berhasil mengembangkan prototipe respon kulit galvanik portabel untuk sensor nyeri pada bayi yang dapat bekerja dengan baik dan hasil sensitivitasnya dapat terverifikasi. Dari hasil percobaan pengukuran nyeri terhadap bayi maka diperoleh tiga kategori nyeri pada bayi yaitu tidak nyeri dengan tegangan <2, nyeri ringan dengan tegangan 2-4 dan nyeri akut dengan tegangan >4-5 volt.

Galvanic Skin Response (GSR) is a psychological change in the skin resulting from changes in sweat gland activity; at that time, the sweat glands will be active when the body is in pain. This prototype was made to measure skin conductivity in infants based on the injection of immunization on the baby's thigh. Measurements were made with 3 parameters namely pre, intra, and post. The total time taken for measurement is 6 minutes. This prototype uses the Arduino Uno microcontroller as an analog to a digital signal processor, and the results will be sent to a PC or smartphone using Bluetooth HC-05 via a serial plotter for display. This study aims to develop a pain detection tool in neonates based on galvanic skin response that is affordable, reliable, and feasible. The additional value of this research is to use Bluetooth as a data transfer to make it easier to use. The results of this study succeeded in developing a prototype of a portable galvanic skin response for pain sensors in infants that can work well and the sensitivity results can be verified. From the results of experiments measuring pain in infants, three pain categories were obtained in infants, namely no pain with voltage <2, mild pain with voltage 2-4, and acute pain with voltage> 4-5 volts."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farrel Mahardhika Fajar
"Manusia selalu dipaparkan dengan rangsangan eksternal, baik fisik (langsung) maupun emosional (tidak langsung). Sekresi keringat yang terjadi pada sistem syaraf manusia dapat terjadi sebagai sistem respon. Keberadaan keringat mengubah konduktivitas kulit. Pada skripsi ini sebuah alat dibuat untuk aktivitas konduktivitas kulit ketika rangsangan fisik dan emosional diberikan. Rangsangan fisik merupakan pukulan sedang ke dada, dan ransangan emosional berupa penontonan video kejutan. Pengukuran diberikan waktu diam selama 10 detik agar tubuh beristirahat sebelum menerima rangsangan fisik, dan setelah sepuluh detik selanjutnya, rangsangan emosional diberikan. Jangka waktu percobaan selama 45 detik. Analisis dilakukan untuk membandingkan perubahan konduktivitas pada kulit kering dan kulit basah. Hasil pengukuran memberikan perubahan pada konduktivitas kulit kering lebih terlihat dibandingkan perubahan pada kulit yang berkeringat. Percobaan ini juga menunjukkan adanya jeda waktu 3,05 sampai 5 detik antara rangsangan fisik dan responnya, tetapi pada rangsangan emosional jeda waktu ini tidak ada.

Humans are continually exposed to external impulses, both physical (direct) and emotional (indirect). Sweat can be secreted by the nervous system as a response system. The presence of sweat changes skin conductivity. For this study a device was developed to measure skin conductivity and its activity when physical and emotional impulses were introduced. The physical impulse was a mild punch to the arm, and the emotional impulse was prompted by watching a video that contained an element of surprise. Measurement was delayed by 10 seconds to let the body rest before receiving the physical impulse, and after another 10 seconds, the emotional impulse was introduced. Total time taken for the measurement was 45 seconds. An analysis was conducted to compare the change in dry skin conductivity with the change in conductivity in skin that was already sweating. Measurement results revealed that changes in dry skin conductivity are more pronounced than changes in sweating skin conductivity. The study also demonstrated that a delay of 3.05 to 5 seconds exists between physical impulse and response, but no delay is present between emotional impulse and response."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boucsein, Wolfram
New York: [Springer, ], 2012
e20396106
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Vania
"Kulit sebagai organ terbesar dan terluar dari tubuh manusia yang langsung berhadapan dengan lingkungan luar menjadi pertahanan fisik lini pertama sekaligus tempat kolonisasi mikrobiota komensal dalam mencegah invasi patogen. Identifikasi komposisi mikrobiota kulit menarik dilakukan untuk mengetahui interaksi antar mikrobiota sehingga mikrobiota kulit komensal yang bersifat probiotik dapat dikembangkan menjadi bahan aktif terapeutik mikrobioma kulit untuk menjaga kesehatan kulit. Keberagaman mikrobiota kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor etnis. Penelitian ini mempelajari pengaruh faktor etnis pada dewasa muda pria dan wanita yang mewakili etnis Papua, Jawa, dan keturunan Tionghoa terhadap profil mikrobioma kulit. DNA genomik mikrobiota dari sampel kulit wajah diekstraksi dan disekuens dengan metode Next Generation Sequencing lalu dilakukan analisis diversitas alfa dan beta. Berdasarkan analisis alfa dengan indeks OTU yang dterobservasi, Shannon, dan Faiths PD, diversitas dalam grup tertinggi terdapat pada grup etnis Papua dan terendah pada grup etnis keturunan Tionghoa, namun diversitas alfa ketiga grup tidak berbeda signifikan secara statistik. Analisis beta dilakukan berdasarkan kualitatif dan kuantitatif menunjukkan pengaruh faktor etnis pada profil mikrobioma kulit antar etnis yang signifikan secara statistik serta pengelompokkan yang baik berdasarkan hasil PCoA pada indeks Jaccard, disimilaritas Bray Curtis, Unweighted, dan Weighted. Bakteri yang bersifat komensal dan dominan selanjutnya dapat dikembangkan menjadi bacterial cocktail maupun formula postbiotik untuk terapi mikrobiota kulit dengan pertimbangan interaksi komposisi mikrobiota kulit pada etnis terkait.

Skin as the largest and the outermost part of human body that directly exposed to the outer environment serves as the first physical barrier and colonised by commensal bacteria to prevent pathogen invasion. Identifying composition of commensal skin microbiota is interesting to know the interaction between the microbiota so the commensal skin microbiota who has probiotic effect can be developed as active substance of skin microbiome therapeutic to maintain skin health. The skin microbiome diversity is influenced by several factors, one of them is ethnicity. This study shows the influence of ethnicity factor in Papuans, Javanese, and Chinese descent young adults on skin microbiome profiles. The microbiota genomic DNA are extracted from the face skin samples and sequenced with Next Generation Sequencing method to be further analysed on its alpha and beta diversity. According to alpha diversity analysis with observed OTU, Shannon, and Faiths PD indices, the greatest alpha diversity shown in Papuans, while the smallest is shown in the Chinese descent group, but alpha diversity differences between three groups are not statistically significant. Beta diversity was assessed by the use of Jaccard index, Bray Curtis dissimilarity, Unweighted and Weighted Unifrac with PCoA shows the difference skin microbiome profiles according to ethnicity and is statistically significant between ethnic group. The characterised commensal and dominant bacteria can be further developed as bacterial cocktail and postbiotic formula as skin microbiome therapeutic with interaction between skin microbiota composition within each ethnicity taking into account."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Indria Anggraini
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Prevalensi xerosis pada lanjut usia (lansia) berkisar antara
30-85%. Tatalaksana xerosis yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi. Urea
sebagai humektan dan lanolin 10% dalam petrolatum yang bersifat oklusif dan emolien
mampu memperbaiki hidrasi kulit. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas
dan efek samping krim yang mengandung urea 10% dengan lanolin 10%/petrolatum
pada pengobatan xerosis lansia.
Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 35 orang penghuni
suatu panti lansia di Jakarta. Evaluasi skin capacitance (SC), specified symptoms sum
score (SSRC), dan derajat gatal dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat.
Setelah prakondisi selama dua minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan pelembap
yang berbeda secara acak pada kedua tungkai bawah.
Hasil: Persentase peningkatan nilai SC setelah empat minggu lebih besar pada tungkai
yang mendapat krim urea 10% dibandingkan lanolin 10%/petrolatum (64,54% vs.
58,98%; p=0,036). Persentase penurunan SSRC setelah empat minggu tidak berbeda
antara kedua kelompok perlakuan (100%; p=0,089). Derajat gatal pada minggu kedua
menurun pada kedua kelompok, hingga menjadi tidak gatal pada seluruh SP (100%)
setelah minggu keempat. Efek samping rasa lengket lebih banyak ditemukan pada
kelompok krim urea 10% daripada lanolin10%/petrolatum, tetapi tidak bermakna secara
statistik.
Kesimpulan: Pelembap yang mengandung urea 10% meningkatkan SC lebih besar
secara bermakna daripada lanolin 10%/petrolatum setelah empat minggu pengolesan
pada tungkai lansia yang xerotik. Efek samping tersering adalah rasa lengket yang lebih
sering ditemukan pada lanolin 10%/petrolatum, tetapi tidak berbeda antar kelompok perlakuan.ABSTRACT Background and objectives: The prevalence of xerosis among elderly is 30-85%.
Inadequate treatment may result in complications. Urea as a humectant and 10% lanolin
in petrolatum as an occlusive agent and emollient can restore skin hydration. This study
aimed at comparing the efficacy and side effects of cream containing 10% urea and 10%
lanolin/petrolatum in the treatment of xerosis in elderly
Methods: A randomized, double blind clinical trial was conducted in 35 elderly from a
nursing home in Jakarta. Evaluation of skin capacitance (SC), specified symptoms sum
score (SSRC), and pruritic degree were measured at baseline, week-2 and -4 after the
start of therapy. Following a 2-week precondition period, each subject received a
random moisturizer for each limb, to be applied twice daily.
Results: The percentage of SC increase at week-4 was significantly higher in limb
receiving cream containing 10% urea than 10% lanolin/petrolatum (64.54% vs. 58.98%;
p=0.036). The percentage of SSRC decrease at week-4 did not differ between groups
(100%; p=0.089). Pruritus was equally improved in both groups at week-2, and
completely diminished at week-4. Sticky feel was more frequent in
lanolin10%/petrolatum than 10% urea cream, although not statistically significant.
Conclusion: After four-week application, moisturizer containing 10% urea gave higher
percentage of SC increase than 10% lanolin/petrolatum in the xerotic limbs of the
elderly. Sticky feeling was more frequently found in 10% lanolin/petrolatum group, but statistically not significant."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinita Apritasari
"ABSTRAK
Dalam sistem EBF, jarak link memiliki fungsi untuk memberikan
penampang yang lemah pada frame sehingga akan memberikan kapasitas deformasi plastis dan mendisipasi energi yang muncul akibat gempa. Link yang cukup panjang maka disipasi energi diperoleh dari flexural yielding, sementara link tidak terlalu panjang, maka link akan mengalami shear yielding. Shear yielding memungkinkan untuk terjadinya pengembangan deformasi plastis yang besar tanpa adanya
pengembangan strain lokal berlebihan yang muncul pada flexural yielding. Oleh karena itu, sistem EBF dengan shear yielding link lebih stabil dan menunjukkan daktilitas yang lebih baik dibandingkan dengan flexural yielding link.
Dalam perkembangan dunia arsitektur, bangunan tidak hanya dilihat
berdasarkan fungsi dan kekuatannya, namun juga estetika dan seninya. Jika dinilai berdasarkan fungsi dan estetika, frame tanpa bracing lebih baik digunakan untuk penggunaan ruang seperti jendela dan bukaan pada dinding lainnya. Namun, jika dibandingkan dengan sistem bangunan tanpa bracing, sistem bangunan dengan bracing akan menunjukkan kekuatan yang lebih baik terhadap beban lateral.
Sehingga untuk dapat mengimbangi kebutuhan kekuatan dan estetika bangunan, flexural yielding link dapat dijadikan sebagai aternatif solusi karena mampu memberikan ruang yang lebih luas dibandingkan dengan shear yielding link.
Pada penelitian ini, dilakukan eksperimen pada portal baja dengan sistem struktur Eccentrically Braced Frames (EBF) dengan menggunakan flexural link dan menggunakan analisa dinamik dengan menggunakan eccentric mass shaker. Dilakukan juga pemodelan numerik pada portal tersebut dengan software OpenSEES.

ABSTRACT
In an EBF system, the length of a link functions to give a frame a weak section that provides a plastic deformation capacity and dissipates energy that emerges from earthquakes. Longer links dissipate energy through flexural yielding while shorter links dissipate energy through shear yielding. Shear yielding allows for larger development of plastic deformation without experiencing excessive local strain, as is what happens when links experience flexural yielding. For that reason,
shear link EBFs tend to be more stable and more ductile than flexural link EBFs.
A look from the perspective of the world of architecture denotes that a
structure is not only seen from its function and strength, but also its aesthetic and artistry. Functionally and aesthetically speaking, unbraced frames are better utilized for windows and other wall openings. However, braced frames have been known to show better resistances to lateral loading when compared with unbraced frames. To resolve this issue between strength and aesthetics, flexural link EBFs proves to
be a viable alternative because of its ability to provide larger clearance space than shear link EBFs.
In this research, an experiment will be conducted on a steel frame utilizing the flexural link Eccentrically Braced Frame (EBF) system. A dynamic analysis using an eccentric mass shaker will be conducted. The frame will also be numerically modelled on OpenSEES."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anik Rustiyaningsih
"Ruam popok dapat meningkatkan ketidaknyamanan pada bayi baru lahir, bahkan bisa menjadi masalah yang serius. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktorfaktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ruam popok pada bayi baru lahir dan prevalensinya, di ruang perinatologi salah satu rumah sakit rujukan di Jakarta, Indonesia. Penelitian menggunakan metode survey dengan desain cross sectional restrospective study. Sampel (n=95) dipilih berdasarkan teknik consecutive sampling. Ruam popok ditentukan menggunakan instrumen DDSIS (Diaper Dermatitis Severity Intensity Score). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi ruam popok 26,3 %. Analisis multivariat regresi logistik menunjukkan dua faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ruam popok: infeksi mikroorganisme dan lama hari rawat.

Besides increasing infant's discomfort, diaper rash could cause other serious problems. This study aimed to investigate the risk factors of infant's diaper rash and its prevalence in a perinatology ward at a recommended hospital in Jakarta, Indonesia. This study used a survey method with cross-sectional retrospective design. The respondents (n=95) were chosen based on consecutive sampling. Diaper rash was identified using DDSIS (Diaper Dermatitis Severity Intensity Score). The results showed that the prevalence of diaper rash was 26.3%. The multivariate logistic regression analysis showed that there were two risk factors related to diaper rash prevalence: microorganism infection and inpatient time."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T34600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eifel Faheri
"Latar Belakang: Kanker Nasofaring (KNF) salah satu pilihan terapinya adalah kemoterapi neoajuvan. Respon kemoterapi ini, di pengaruhi oleh Epidermal Growth Factor Receptor(EGFR), faktor yang berperan pada pertumbuhan dan invasif tumor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan tingkat ekspresi EGFR dengan respon kemoterapi neoajuvan dan tingkat ekstensif tumor primer. Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif, dilakukan penilaian respon kemoterapi neoajuvan dan tingkat ekstensif tumor primer, pada pasien KNF yang telah mendapat kemoterapi dan dilakukan pemeriksaan ekspresi EGFR.
Hasil penelitian: Proporsi ekspresi EGFR pada kanker nasofaring untuk ekspresi negatif, positif dan kuat, berturut-turut sebesar (10%), (70%) dan (20%). Pasien yang respon terhadap kemoterapi neoajuvan adalah 23 pasien (76,6%) dan tidak respon 7 pasien (23,4%). Kelompok pasien yang memberikan respon terhadap kemoterapi, 15 pasien ( 50%) memiliki intensitas EGFR yang lemah. Pasien dengan tingkat ekstensif T3-T4 , mempunyai ekspresi EGFR lebih besar dibandingkan T1-T2 tumor.
Kesimpulan : Proporsi ekspresi EGFR pada kanker nasofaring di Indonesia sebesar 90 persen. Kemoterapi neoajuvan lebih respon pada tumor dengan ekspresi EGFR positif dan intensitas EGFR yang lemah. Tumor dengan tingkat ekstensif yang lebih tinggi, mempunyai ekspresi EGFR lebih tinggi.

Background: Neoadjuvan chemotherapy is one option of treatment for nasopharyngeal cancer (NPC). The response of chemotherapy influenced by EGFR expression. EGFR is important factor for the growth and tumors invasion. Purpose of the study is compare of the EGFR expression level with response of neoadjuvan chemotherapy and extensive level of the primary tumor. The methods is cross-sectional descriptive study that assessment of response to neoadjuvan chemotherapy and extensive level of the primary tumor. The NPC patients who have received chemotherapy is examined of EGFR expression.
Result of the study is the proportion of EGFR expression in NPC for negative, positive and strong expression is 10%, 70%, and 20% respectively. Patients who responses to neoadjuvan chemotherapy are 23 patients(76.6%) and non-responses 7 patients (23.4%). The group patients who responses to chemotherapy, 15 patients (50%) have EGFR weak intensity. Patients with T3-T4 tumors (56,6%) have EGFR expression is greater than T1-T2 tumors(44,4%).
Conclusion: The proportion of EGFR expression in NPC in Indonesia is 90 percent. Neoajuvan chemotherapy is more response in tumors with positive EGFR expression and weak intensity. Tumors with high extensive levels have higher EGFR expression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismoyo Danurwindo
"

Laju pernapasan (respiratory rate) merupakan salah satu dari lima tanda vital pada tubuh manusia. Pengukuran laju pernapasan yang paling sering dilakukan ialah dengan menghitung banyaknya napas yang dilakukan seseorang dalam satu menit. metode ini dinilai bersifat subjektif yang mana masing-masing pengukuran hasilnya akan bergantung kepada pengukur. Metode lain yang dapat digunakan ialah dengan mengunakan metode kontak, seperti strain gauges or impedance methods, transcutaneous CO2 methods, oximetry probe (SpO2) methods, dan ECG derived respiration rate methods. Namun, penggunaan metode kontak dapat menimbulkan beberapa masalah, seperti rasa tidak nyaman, iritasi kulit karena penggunaan elektroda, dan surface loading effect. Oleh karena itu, pada penelitian ini dirancang bangun sebuah sistem pengukuran laju pernapasan nonkontak berbasis sensor ultrasonik.

Pengukuran dilakukan dengan menghitung perubahan jarak antara area thoracoabdominal depan dengan sensor. Hasil pengukuran kemudian diolah menggunakan metode gaussian filter dan transformasi wavelet diskrit (TWD). Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh hasil bahwa metode pengukuran ini memiliki simpangan kesalahan rata-rata terkecil sebesar 4,48 menggunakan metode penyaringan gaussian filter dan menggunakan metode perhitungan pendekatan FFT. Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan untuk mengukur laju pernapasan, tetapi perlu dilakukan beberapa peningkatan untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal.


The respiratory rate is one of the five vital signs in human body. The measurement that is most often done is by counting the amount of breath a person does in one minute. This method is considered to be subjective in which each outcome measurement will depend on the counter. Other method that can be used are by using contact method, such as strain gauges or impedance methods, transcutaneous CO2 methods, probe oximetry (SpO2) methods, and ECG derived respiration rate methods. However, the use of contact methods can cause several problems, such as skin irritation, and surface loading effect. Therefore, in this study a respiratory rate measurement system ultrasonic sensor based was designed.
Measurements were made by calculating the distance change between the front of thoracoabdominal area and the sensor. The results are then processed using the gaussian filter method and discrete wavelet transform (DWT). Based on the result of data processing, the result show that this measurement method has has the smallest error deviation of 4.48 using the gaussian filter filtering method and uses the FFT approach calculation method. Therefore, this method can be used to measure respiratory rate, but some improvement needs to be done to produce maximum results.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
616.951 MAS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>