Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44029 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siwi Arum Yunanda Sari
"Tugas akhir ini membahas bagaimana dan faktor apa saja yang belum dipenuhi dalam proses pemberian pembebasan bersyarat pada kasus tindak kejahatan terorisme yang dilakukan oleh Abu Bakar Baasyir (ABB) sehingga berkontribusi pada belum diberikannya pembebasan bersyarat kepada narapidana ABB dengan membandingkan syarat-syarat yang mempengaruhi pembebasan bersyarat di negara lain. Pembebasan bersyarat akan diberikan kepada narapidana apabila memenuhi syarat pembebasan bersyarat dan kelengkapan dokumen yang diatur Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018. Hasil penelitian menemukan bahwa narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir hanya memenuhi beberapa syarat hukum, yaitu telah menjalani hukuman pidana dua pertiga masa hukuman dan berkelakuan baik selama menjalani hukuman. Sebagian syarat-syarat tidak dipenuhi oleh narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir, termasuk syarat non-hukum/politik yang melibatkan dokumen-dokumen berupa surat pernyataan, seperti kebersediaan untuk membantu membongkar tindak pidana, tidak akan melarikan diri, tidak melakukan perbuatan melanggar hukum, serta ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan syarat lainnya. Tidak terpenuhinya sebagian besar syarat terutama persyaratan non-hukum/politik menyebabkan tidak diberikannya pembebasan bersyarat kepada narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir.

This study discusses how and what factors that haven't been fulfilled in the process of granting parole to a terrorist prisoner named Abu Bakar Baasyir that contributed to the parole revocation by comparing the conditions that has affect on parole in other countries. Parole will be granted to inmates if they have fulfilled the conditions for parole and necessary documents stated in Permenkumham Number 3 of 2018. The study found that the terrorist prisoner Abu Bakar Baasyir only fulfilled several legal conditions, i.e. serving a two-thirds of the sentence and showed well-behaved behavior while serving the sentence. Most of the conditions were not fulfilled by terrorist prisoner Abu Bakar Baasyir including non-legal/political conditions involving documents in the form of statements, i.e. the willingness to help expose a criminal act, not run away, not to commit unlawful acts, and pledges loyalty to the Negara Kesatuan Republik Indonesia, and other conditions. The failure to fulfill most of these conditions, especially the non-legal/political conditions is affecting the process of granting parole to terrorist prisoner Abu Bakar Baasyir. As a result, the parole of Abu Bakar Baasyir has not been granted."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhtar
"Fokus penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan pembebasan bersyarat bagi narapidana sebagai upaya mengurangi dampak negatif kepadatan atau kelebihan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang. Kebijakan ini merupakan kebijakan pembinaan narapidana dalam konsep re-integrasi sosial yang paling baik dalam membebaskan narapidana. Namun pada kenyataannya beberapa orang berpendapat bahwa pembebasan bersyarat dipandang sebagai pemberian maaf atau rasa simpati pemerintah, bertujuan memperpendek hukuman dengan mempercepat waktu pembebasan, bahkan pembebasan bersyarat dianggap sebagai upaya untuk menyenangkan atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in-dept interview). Analisis terhadap proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dilakukan dengan cara mengadopsi teori implementasi kebijakan dari George Edward III, Marilee S. Grindle dan Van Meter serta Carl Van Horn (teori yang digunakan disesuaikan dengan kondisi lapangan).
Lapas Kelas I Cipinang berusaha merubah pendapat keliru beberapa orang mengenai kebijakan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dengan cara seoptimal mungkin mengimplementasikan kebijakan tersebut, bahwa tujuan pembebasan bersyarat pada narapidana bukan untuk memperkecil hukuman, mempermudah atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan, juga bukan merupakan toleransi atau pemaaf. Sebaliknya kebijakan pemberian pembebasan bersyarat pada narapidana sebagai program pembinaan bertujuan untuk mengembalikan narapidana agar dapat hidup kembali di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi, dan hal ini harus direkomendasikan sebagai alternatif yang paling banyak mendatangkan manfaat terutama dalam menanggulangi dampak kepadatan atau kelebihan penghuni di dalam Lapas.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan Pembebasan Bersyarat bagi narapidana dalam upaya menanggulangi dampak negatif kepadatan atau kelebihan penghuni di Lapas Kelas I Cipinang secara umum dapat dikatakan berjalan cukup baik namun kurang begitu optimal. Proses implementasi kebijakan berjalan cukup baik terbukti dari telah dipahaminya perubahan strategis yang diinginkan dan implikasinya; adanya peraturan pelaksanaan atau peraturan penjelas; dan telah dilaksanakan sosialisasi kebijakan pemberian pembebasan bersyarat tersebut. Namun yang menyebabkan kurang optimalnya implementasi kebijakan tersebut atau dapat dikatakan terjadi implementation gap (kesenjangan/perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan) yaitu adanya faktor-faktor menjadi hambatan dalam pelaksanaanya. Beberapa faktor yang menjadi hambatan tersebut adalah komunikasi dan koordinasi, sumber daya, dan struktur birokrasi.

The focus of this research is how the Implementation of parole policy for inmates in effort to overcome negative impact of overcapacity at Correctional Institution of Class I Cipinang. This policy is a policy to treatment the inmates in the concept of social re-integration, and it is the best concept to release them. But in fact some people argue that parole is viewed as forgiveness or sympathy from government, aimed to shortening the sentence with speed up their release, parole even considered as an attempt to please or give comfort to criminals.
The research used qualitative research method. Data was collected through in-depth interviews. Analysis of the processes and factors that influence the policy implementation is done by adopting the theory of policy implementation from George Edward III, Marilee S. Grindle, Van Meter and Carl Van Horn (the use of theory adapted with field conditions).
Correctional Institution of Class I Cipinang try to change the wrong opinion of some people about this parole policy by optimize the implementation, that the purpose of parole for inmates is not to minimize the penalties, facilitate or give comfort to criminals, also not as a tolerant or forgiving. Instead the policy of parole for inmates as a treatment program aims to restore inmates so can live back in the community and did not commit a crime again, and it should be recommended as an alternative can bring the most benefits, especially in reducing the impact of overcapacity in the correctional institution.
The research concludes that the process of Implementation of parole policy for inmates in effort to overcome negative impact of overcapacity at Correctional Institution of Class I Cipinang, generally speaking, quite well, but less so optimal. Policy implementation process can be said quite well proven that the strategic change desired and its implications have been understood; available regulatory implementation or regulation explanatory; and socialization of this parole policies have been implemented. But the causes of less than optimal implementation of the policy or it can be said to occur the implementation gap (the difference between what are formulated with what has been done), this is due to several factor which become obstacles in its implementation. Some of these factors are communication and coordination, resources, and bureaucratic structures.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafvan Rizki
"Teleconference sebagai cara yang digunakan untuk melindungi saksi pada saat memberikan keterangan di persidangan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Teleconference juga bisa dikategorikan sebagai manifestasi bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada saksi pada kasus-kasus tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Akan tetapi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa semua bentuk perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dapat diberikan setelah adanya persetujuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara dalam Pasal 9 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1), bahwa pemeriksaan saksi melalui teleconference baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari hakim. Skripsi ini menganalisis siapa sesungguhnya yang berwenang dalam menentukan apakah seorang saksi diperiksa melalui teleconference atau tidak, khususnya pada Persidangan Tindak Pidana Terorisme Atas Nama Terdakwa Abu Bakar bin Abud Ba?asyir Alias Abu Bakar Ba?asyir Nomor Register Perkara 148/Pid.B/2011/PN.JKT.Sel. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode kepustakaan dengan metode pendekatan perudang-undangan dan pendekatan kasus.

Abstract
Teleconferencing as an option for protecting the witness when he or she gives his or her testimony on a trial has been regulated in article 9 paragraph (3) of Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victim. Teleconferencing as a form of protection that may provided for witness in certain cases refers to article 5, paragraph (1) of Law No.13/2006. However, as article 5 paragraph (2) has determined that all forms of protection refers to article 5 paragraph (1) allowed only after the approval of Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (The Body of Witness and Victim Protection). Although article 9 paragraph (3) jo. Article 9 paragraph (1) that the interrogation of witness via teleconference may be done only after receiving permission from the judge. This thesis mainly discussed about the authority to determine whether a witness examined via teleconference or not, especially on the trial of a terrorism crime in the name of offender Abu Bakar bin Abud Ba'asyir alias Abu Bakar Ba'asyir Case Number 148/Pid.B /2011/PN. JKT.Sel. This thesis is using the normative method research in statue approach and case approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S266
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sjamsudi Wahjunto
"Penelitian ini berfokus di Lembaga Pemasyarkatan Klas I Cipinang tentang kendala-kendala dalam pelaksanaan kebijakan pemberian pembebasan bersyarat, yaitu semenjak diusulkan clan Lembaga Pemasyarakatan hingga diterbitkannya Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat dart Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Informan dalam penelitian ini terdiri dari 5 (orang) petugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, 6 (enam) narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, 2 (dua) orang petugas di Kantor Wilayah DKI Jakarta, 5 (orang) petugas di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 1 (satu) orang staf pada Balai Pemasyarakatan, 1 (satu) orang petugas di Kejaksaan Negeri, dan 2 (dua) orang penjamin narapidana. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, sedangkan analisis dilakukan dengan merujuk pada standar dan pendapat para peneliti di bidang information literacy.
Dari analisis terhadap hasil wawancara, disimpulkan bahwa : 1) Proses pengusulan untuk memperoleh pembebasan bersyarat bagi narapidana, masih belum dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang dialur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.; 2) Kebijakan pentahapan dalam proses pemberian pembebasan bersyarat pada kenyataannya membutuhkan wakiu yang cukup Iama; 3) Hambalan dalam proses pemberian pembebasan bersyarat sudah sangat kompleks, kendala yang dihadapi bukan saja pada permasalahan SDM petugas Pemasyarakatan, namun juga terkendala pada ketidak konsistenan dalam menerapkan kebijakan yang ada terutama masalah mekanisme teknis maupun substantif dalam pemberian pembebasan bersyarat; 4) Kendala lain yang menjadi penghambat dalam proses pemberian PB adalah kurangnya kepedulian instansi terkait yang masih menekankan pada kebijakan masing-masing, Hasil penelitian menyarankan bahwa Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan harus memberikan penekanan kepada seluruh Kepala Lembaga Pemasyarakatan melaui kebijakannya untuk mewajibkan pembuatan Lilmas awal bagi narapidana, mengingat Litmas awal merupakan kunci dalam meningkatkan kualitas maupun kuantitas pemberian pembebasan bersyarat; perlu adanya perbaikan regulasi yang mengatur tentang penyederhanaan proses pemberian pembebasan bersyarat, terutama dalam hal pentahapan atau hirarki; Direktorat Jenderal Pemasyarakatan harus menelapkan kebijakan program non fsik terutama peningkatan pengetahuan dan pendidikan kepada petugas Lembaga Pemasyarakatan maupun Balai Pemasyarakatan mengenai program pembinaan integrasi, salah satunya pemberian pembebasan bersyarat; melakukan pendekatan serta koordinasi kepada inslansi terkait yang diawali dengan diskusi untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam pemberian PB.

This research is focused on the Cipinang Correctional Institution Class I, concerning to the obstacles of the policy implementation of parole granting, from first process until the prisoner received the verdict from the Authority. It is also include the qualitative research in description design.
Five informants in this research are 5 (five) Cipinang Correctional officers, 2 (two) officers from Ministry of Law and Human Rights district office in DKI Jakarta, and 6 (six) prisoners, 5 (five) Directorate General of Correctional officers, I (one) Parole Board, I (one) prosecutor from Attorney General, and 2(two) bailsman. Data is collected by deep interview; the analysis is referred to standard and opinions from researcher in information literacy field.
From analyzing of the interview results, it concludes: 1) The granting process of the parole for the prisoner is remain out of procedures and not follow the existing policy which are regulated in law; 2) The stage policy in processing the parole granted is need long term; 3) Obstacles is more complex, such as correctional human resources, it also faces inconsistency of policy implemented especially the technical mechanism and substantial problem; 4) Other obstacles is the lack of awareness of the other government authority who claim only their own policy. This research suggests that the correctional authority should emphasize on compulsory to the whole correctional institution to implement social research at the first time the prisoner enter the institution. The social research is the key for the development of the parole quality and quantity; Directorate General should make a policy in building program, particularly the prison officer knowledge and education for the Correctional Institution and Parole Board about integration treatment program, like parole granting; approaching and coordination to the other government authorities, which could be started from comprehensive discussion to solve the problem in terms of parole granting."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20811
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Anggraini
"Skripsi ini membahas tentang dukungan sosial pada pelaksanaan pembebasan bersyarat terhadap klien pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan dengan melihat bagaimana peran dukungan sosial formal dan informal selama pelaksanaan pembimbingan dalam upaya reintegrasi dan mencegah residivisme. Penelitian berfokus kepada peranan dukungan sosial dalam upaya menghasilkan reintegrasi sosial dan mencegah residivisme pada kasus narkotika dengan menggunakan social support theory, social bond theory dan theory of desistance. Ketiga teori tersebut digunakan untuk melihat peran dukungan sosial dalam upaya membangun ikatan sosial dan membantu desistance dari pengulangan kembali pelanggaran. Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode kualitatif dan dilakukan dengan teknik wawancara mendalam semi terstruktur dengan Klien Pemasyarakatan, PK Bapas Kelas IA Jakarta Pusat, Anggota Keluarga Klien, serta Masyarakat oleh staf YIIM. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dukungan sosial hadir baik secara formal maupun informal. Namun, dukungan formal dari Bapas serta PK diketahui belum maksimal didapatkan klien. Hal ini disebabkan karena terdapat berbagai hambatan internal Bapas dalam upaya menghasilkan berbagai dukungan selama pembimbingan klien. Sebaliknya, dukungan informal melalui keluarga dan masyarakat oleh YIIM memperlihatkan memiliki sumber daya yang lebih berlimpah, sehingga dukungan berjalan dengan lebih baik dan maksimal. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa dukungan yang diberikan baik formal maupun informal memiliki peranan dalam membentuk ikatan sosial dan mempertahankan desistance untuk mencegah residivisme dan reintegrasi yang sukses ke masyarakat.

This thesis discusses social support in the implementation of parole for correctional client. This research was conducted by looking at the role of formal and informal social support during the implementation of guidance in reintegration efforts and preventing recidivism. Research focuses on the role of social support in an effort to produce social reintegration and prevent recidivism in narcotics cases by using social support theory, social bond theory and theory of desistance. The three theories are used to see the role of social support in an effort to build social bond and helping desistance from reoffended. The method used in this study is a qualitative method and is carried out with semi-structured in-depth interviews with Client, Probation Officer, Family Members of Clients, and Society by YIIM (Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun) Staf. The results showed that social support was present both formally and informally. However, formal support from correctional centre and probation officer shows has not been maximally obtained. This is because there are various internal obstacles to correctional centre in an effort to generate various supports during client mentoring. On the other hand, informal support through family and community by YIIM show that it has more abundant resources, so that support runs better and maximally. This study also shows that the support provided both formal and informal has a role in forming social bonds of clients and maintaining good desistance to prevent recidivism and sucsees reintegration into society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis
"Pembebasan bersyarat adalah salah satu upaya untuk mempersiapkan narapidana hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana. Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidananya, dan dua pertiga masa pidana tersebut sekurang-kurangnya sembilan bulan. Narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat harus menjalani masa percobaan selama sisa masa pidananya ditambah satu tahun. Selama masa percobaan tersebut, narapidana tersebut harus memenuhi syarat umum dan syarat khusus sesuai dengan ketentuan undang-undang. Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang dapat melakukan pengawasan secara intensif. Salah satu pihak yang bertugas mengawasi terpenuhinya syarat-syarat tersebut adalah Balai Pemasyarakatan (Bapas). Bapas bertugas melakukan pengawasan terhadap syarat khusus, yakni hal-hal yang berkaitan dengan kelakuan narapidana selama menjalani masa percobaan. Oleh karena itu, pengawasan yang dilakukan Bapas selanjutnya disebut sebagai pembimbingan. Narapidana yang berada di bawah bimbingan Bapas disebut klien pemasyarakatan (klien). Pembimbingan terhadap klien dilakukan oleh petugas Bapas yang disebut pembimbing kemasyarakatan. Pada dasarnya, Bapas memegang peranan yang penting dalam membantu narapidana berintegrasi kembali dengan masyarakatnya. Namun sampai saat ini masih banyak pihak yang kurang memahami peran penting Bapas, sehingga dapat menjadi penghalang terwujudnya tujuan pembebasan bersyarat. Untuk itu, penulis melakukan penelitian mengenai bagaimana mekanisme pembimbingan yang dilakukan oleh Bapas Jakarta Selatan terhadap narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22361
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suhud Prabowo Mukti
"Penelitian ini menganalisis pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana Tindak Pidana Khusus. Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur mengenai hak-hak narapidana dan syarat pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut tentang itu dalam PP. Pelaksanaan hak-hak narapidana berupa remisi dan pembebasan bersyarat diatur lebih lanjut dalam PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi. kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisir, yang diklasifikasikan dalam PP ini sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan tujuan sistem Sistem Pemasyarakatan, dan pengaturan tersebut berbeda materi muatan dengan peraturan diatasnya yaitu UU No. 12 Tahun 1995 yang tidak membedakan pemberian remisis dan pembesan bersyarat antara narapidana tindak pidana umum dan tidak pidana khusus. Perbedaan perlakuan dalam PP No. 99 Tahun 2012 terhadap narapidana tindak pidana khusus atas haknya untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat atas dasar untuk memenuhi keadilan masyarakat adalah bentuk diskriminasi. Temuan penulis adalah, pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 kurang menekankan pada pembinaan yang merupakan program lembaga pemasyarakatan, sehingga pengetatan pemberian remisis dan pembebasan bersyarat lebih kepada pembalasan dendam kepada warga binaan pemasyarakat (WBP) dengan kasus extra ordinary crime. Kedua, adalah adanya upaya penghukuman terhadap narapidana oleh pemerintah, dan ketiga, adalah adanya suatu bentuk diskriminasi terhadap WBP dengan kasus extra ordinary crime yang keseluruhan nilai yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah 99 Tahun 2012 tersebut adalah telah melanggar asas-asas Pemasyarakatan, Hak Asasi Manusia dan tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan yang lebih tinggi diatasnya.

This study analyzes the granting of remission and parole for inmates Special Crimes . Article 14 paragraph ( 1 ) of Act Number 12 of 1995 concerning Corrections governing the rights of prisoners and conditions of exercise of prisoners delegate more about the settings in government regulations . Implementation of the rights of prisoners in the form of remission and parole further stipulated in Regulation No.99 of 2012 on the Second Amendment Governemnt Regulations Number 32 of 1999 on the Terms and Procedures for Implementation of the Rights of prisoners were set tightening granting remission and parole for inmates terrorism , narcotics , corruption. serious crimes and transnational organized crime , which is classified as a crime in this Government Regulations extraordinary ( extraordinary crime ) . Such arrangements are not in line with the objective system Correctional System , and the different settings substance of the rules above , namely Law No. 12 of 1995 which does not distinguish granting conditional remisis pembesan between inmates and the general crime and criminal not special . Differences in the treatment of Government Regulation 99 of 2012, to convict a criminal act specifically on the right to get remission and parole on the basis to meet the community justice is a form of discrimination . The findings of the authors is , first , the Government Regulation No. 99 of 2012 is less emphasis on the development of a program of correctional institutions , thus tightening granting parole remisis and more to revenge the correctional prisoners in the case of extraordinary crime . Second , is the effort punishment of prisoners by the government , and the third , is the existence of a form of discrimination against prisoners with extraordinary crime cases that the overall value contained in the Government Decree 99 of 2012 is to have violated the principles of Corrections , Human Rights and of course it is not in accordance with the principles of the formation of legislation that higher regulations thereon ."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riezaldo Aulia
"Pendanaan merupakan salah satu jenis aktivitas yang integral dan juga sentral dalam aktivitas terorisme secara umum. Hal ini membuat upaya intervensi dan pencegahan terhadap aktivitas pendanaan teror menjadi suatu hal yang krusial diperlukan agar dapat secara menyeluruh dan efektif “menang” melawan kejahatan terorisme. Dewasa ini, sebagian besar kebijakan kontra pendanaan terorisme dijalankan menggunakan model kerjasama/kemitraan multi-agensi. Model kerjasama ini memungkinkan adanya pengefisiensian kerja dan penggunaan sumber daya yang kolaboratif antar agensi terkait. Namun, di dalam implementasinya kebijakan jenis ini seringkali dihadapkan oleh berbagai macam kendala dan tantangan, baik dari internal maupun eksternal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berusaha menjabarkan proses implementasi dan memetakan kendala – kendala yang dihadapi oleh Satgas CTF BNPT sebagai salah satu aktualisasi implementasi operasional kebijakan CTF yang berbasis kerjasama multi-agensi, dalam hal ini melibatkan BNPT, Densus 88, PPATK. Dalam analisisnya, penelitian ini menggunakan teori Multi-Agency Anti-Crime Partnership (Rosenbaum, 2002) dan Political Model of Policy Implementation (Khan & Khandaker, 2016).

Funding is one type of activity that is integral and also central to terrorism in general. This makes the intervention and prevention efforts on terrorism financing activities is a crucial thing needed in order to be able to "win" against the crime of terrorism. Nowadays, most counter terrorism financing policies are implemented using a multi-agency partnership model. This cooperative model allows for efficient work and collaborative use of resources between related agencies. However, in its implementation this type of policy is often faced by various kinds of obstacles and challenges, both internal and external. This research is a qualitative study that seeks to describe the implementation process and map the constraints faced by the BNPT CTF Task Force as one of the Indonesia’s operational implementations of CTF policy based on multi-agency collaboration, in this case it involves BNPT, Detachment 88, and PPATK. In its analysis, this study uses the theory of Multi-Agency Anti-Crime Partnership (Rosenbaum, 2002) and Political Model of Policy Implementation (Khan & Khandaker, 2016).
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Meikhurniawati
"Over kapasitas yang terjadi di sebagian besar lapas/rutan di Indonesia menimbulkan berbagai permasalahan yang disebabkan oleh sarana yang menjadi terbatas dan di satu sisi tuntutan pelayanan semakin meningkat. Kondisi ini akan menghambat pelaksanaan pembinaan dan pelayanan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja organisasi sebagai institusi publik yang mempunyai kewajiban memberikan pelayanan prima bagi masyarakat. Salah satu alternatif mengurangi over kapasitas guna peningkatan kinerja pemasyarakatan adalah dengan melalui program pembinaan pembebasan bersyarat bagi narapidana. Untuk itu tesis membahas implementasi optimalisasi pembebasan bersyarat dengan lokus penelitian di Lapas Klas I Cipinang Jakarta.
Tujuan penulisan ini adalah untuk menggambarkan mengenai implementasi kebijakan optimalisasi pembebasan bersyarat ditinjau dari aspek konten dan konteks sebagai suatu kebijakan dan menjelaskan mengenai pelaksanaannya di lapas Klas I Cipinang Jakarta Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan melakukan wawancara kepada 7 (tujuh) informan dan observasi lapangan, serta dokumen terkait untuk mendapatkan data. Teori yang digunakan adalah teori implementasi kebijakan dari Grindle yang meliputi aspek konten dan konteks suatu kebijakan.
Kesimpulan dari hasil penelitian adalah keberhasilan implementasi kebijakan optimalisasi pembebasan bersyarat dipengaruhi oleh pelaksanaan sosialisasi tentang kebijakan dimaksud kepada pihak internal dan pihak eksternal yang terkait dengan pemberian pembebasan bersyarat. Untuk mampu mengurangi over kapasitas secara optimal diperlukan adanya koordinasi dan sosialisasi kepada pelaksana kebijakan dan pihak terkait, terutama kepada aparatur penegak hukum yang masuk dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, guna membahas tujuan bersama dalam penegakkan hukum sehingga masing-masing instansi dapat menjalankan fungsi dan tugas tanpa mengabaikan kepentingan instansi lainnya.

The over capacity that occurred in most prison in Indonesia have resulted many problems caused by limited infrastructure, mean while the demand for services are keep increasing. This condition will be come an obstacle in treatment and service which will ends to influencing the organization's activity as a public institution which must give good service to society. One of the alternatives to decrease the over capacity in order to optimizing the work of correction is parole program for inmates. Therefore, the study is focusing on the implementation of optimizing parole in Lapas Klas I Cipinang Jakarta.
The objective of this study is to describe the implementation of policy in optimizing parole observed from content and context aspect as a policy and explain the implementation in Lapas Klas I Cipinang Jakarta. This is a qualitative study done by interviewing 7 informants and field observation, also related documents for the data. The theory is the implementation of policy from 'Grindle' which contains contents and context aspect of a policy.
Conclusion of the study is success of implementation of policy in optimizing parole influenced by socialization of the mentioned policy to the internal and external party related to parole. In order to decrease the overcapacity optimally, coordination and socialization is needed to all people and related party, especially the law officers that have role in integrated justice system to discuss the equal purpose in law enforcement so every institution could do their jobs and functions without disobeying others interest.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26335
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Eko Rini
"

Radikalisasi paham terorisme tidak hanya terjadi di luar lapas (lembaga pemasyarakatan) namun juga di dalam lapas. Terorisme sebagai kejahatan ‘ideologi’ telah menjadi ancaman bagi lapas, termasuk dengan beberapa kejadian radikalisme dan terjadinya kerusuhan di dalam lapas yang dilakukan oleh narapidana teroris. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa implementasi kebijakan lapas high risk terorisme di Lapas Kelas IIA pasir Putih dalam rangka mewujudkan keefektifan sistem pemasyarakatan dalam menangani narapidana teroris. Peneliti menggunakan pendekatan post positivism dengan pengumpulan data kualitatif. Peneliti menggunakan teori yang disampaikan oleh Grindle sebagai panduan terkait implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan lapas high risk terorisme dengan manajemen keamanan super maksimum sudah berjalan namun belum effective dan dalam pengimplementasian kebijakan ini, terdapat kerentanan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dapat mengakibatkan penyakit psikis dan fisik narapidana sehingga diperlukan segera pemenuhan kebutuhan organisasi baik dari pembenahan struktur organisasi, kuantitas dan kualitas petugas serta pemenuhan financial baik untuk pembenahan standar makan, sarana prasarana dan juga insentive pegawai. Konsistensi Lapas Kelas IIA Pasir Putih sebagai lapas khusus untuk narapidana beresiko tinggi kategori teroris juga perlu ditunjukan,Mengingat penerapananya yang masih 2 tahun berjalan, baik dalam substansi kebijakan dan konteks implementasi masih diperlukan usaha lebih maksimal. 


Radicalization of the terrorism occurs not only outside prison but also inside prison. Terrorism as an 'ideological' crime has become a threat to prisons, including those involving some incidents of radicalism and fighting riots in prisons by terrorist inmates. This study aims to analyze the implementation of terrorism high-risk prison in prison of Class IIA Pasir Putih in order to realize a penal system for terrorist prisoners. Researcher uses post positivism by collecting qualitative data. The researcher uses the theory presented by Grindle as a guide related to policy implementation and the factors that influence implementation. The results show that the implementation of the terrorism high risk prison policy with super maximum security management was already running but not yet effective and in this implementation, it could occur offence of human right resulting psychological and physical illnesses of prisoners so that immediate fulfillment of organizational needs was needed both from reforming organizational structures, the quantity and quality of officers as well as financial fulfillment both for improvement of food standards, infrastructure and also employee incentives. The consistency of Class IIA Pasir Putih prison as a special prison for high-risk prisoners in the terrorist category also needs to be showed. Considering that the application is still running for 2 years, both in the substance of the policy and the context of implementation, more optimal efforts are needed.

"
2020
T54776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>