Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187692 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Mulyani
"Penelitian ini membahas perjuangan Orang Rimba di Bukit Duabelas, spesifiknya di Makekal Hulu, untuk memengaruhi kebijakan zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi melalui pengorganisasian Kelompok Makekal Bersatu (KMB). Kebijakan zonasi tersebut menuai penolakan karena akan mengusir Orang Rimba dari tempat tinggal aslinya serta bertentangan dengan aturan adat yang mereka jalankan. Dua hal yang menjadi fokus pembahasan adalah proses pengorganisasian KMB dan upaya-upaya KMB untuk memengaruhi kebijakan zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas sepanjang tahun 2006-2019. Penelitian ini berargumen bahwa upaya-upaya yang dilakukan KMB merupakan bentuk aktivisme politik, sebagaimana dikemukakan Pippa Norris dalam teori aktivisme politik.
Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif (wawancara mendalam dan studi dokumen) ini menemukan bahwa KMB dibentuk atas urgensi untuk merespons kebijakan zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas, dan upaya-upaya KMB sepanjang tahun 2006-2019 yang mencakup konsolidasi, demonstrasi, kampanye, pemetaan partisipatif, dan dialog merupakan bentuk aktivisme politik. Upaya-upaya tersebut masuk ke dalam kategori mixed action strategies. Targetnya bersifat state oriented karena berusaha memengaruhi aktor negara dalam proses perumusan kebijakan. KMB sendiri berperan sebagai agensi, dan masuk ke dalam kategori agensi modern. Aktivisme politik tersebut berhasil mendorong Kesepakatan Bersama untuk memadukan aturan adat dan aturan negara dalam pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas. Faktor faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan ini mencakup fondasi perjuangan yang kuat, ragam strategi, persistensi, organisasi pendamping yang suportif, serta momentum eksternal yang mendukung.

This study delves into the struggle of Orang Rimba in Bukit Duabelas—specifically in Makekal Hulu—to influence the zoning policy of Bukit Duabelas National Park in Jambi through the organization of Kelompok Makekal Bersatu (KMB). The zoning policy in question was rejected because it would displace Orang Rimba from their ancestral lands and contradict their tribal laws. This study focuses on two things: the organizing process of KMB and the organization’s efforts to influence the zoning policy of Bukit Duabelas National Park through years 2006-2019. It is argued here that KMB’s efforts fit the definition of political activism as outlined by Pippa Norris in her theory of political activism. This qualitative study, which uses both in-depth interviews and document analyses, found that KMB itself was formed due to the urgency to respond to the zoning policy of Bukit Duabelas National Park, and KMB’s efforts through years 2006-2019, namely consolidation, demonstration, campaign, participatory mapping, and dialogues, are forms of political activism. These efforts fall into the category of mixed action strategies. Due to its aim to influence state actors in policymaking, the target of these efforts is deemed to be state-oriented. KMB itself takes on the role of an agency and is categorized as a modern agency. These acts of political activism have resulted in the joint decision to combine tribal and state laws in the management of Bukit Duabelas National Park. The factors that contributed towards the success of KMB’s political activism included its strong foundation, the variety of strategies used, persistence, supportive partner organizations, as well as external momentum that worked in favor of the movement.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle
"Peradilan adat adalah salah satu bukti hidupnya penegakan hukum adat di dalam masyarakat Indonesia. Terlepas dari berbagai peraturan perundang-undangan di masa lalu yang berupaya untuk menghapuskan peradilan adat, pada kenyataannya berbagai kesatuan masyarakat hukum adat memiliki pranata sosial yang menjalankan fungsi peradilan sampai dengan saat ini, seperti Saniri Ria Muni pada masyarakat Nuaulu di Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah. Melalui studi dokumen hukum, tulisan ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana sejarah serta perkembangan kedudukan dan kewenangan peradilan adat dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang Kekuasaan Kehakiman dan Pemerintahan Daerah atau Desa. Dengan melakukan penelitian sosio-legal seperti wawancara dan observasi di Negeri (Desa) Nua Nea dan Negeri Sepa, tulisan ini kemudian bertujuan untuk menganalisis bagaimana legitimasi lembaga peradilan adat Saniri Ria Muni dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nuaulu yang tinggal di dua Negeri tersebut. Hasil penelitian ini menemukan bahwa peradilan adat tidak memiliki kedudukan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, namun lembaga-lembaga adat diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi penyelesaian sengketa oleh berbagai peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa sebagai bentuk pelaksanaan hak otonomi “Desa”.  Terkait dengan legitimasi Saniri Ria Muni, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat Nuaulu memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap putusan-putusan peradilan adat, di antaranya, karena masyarakat melihat bahwa penegak hukum mampu memberikan hasil yang diharapkan, diberikan hak untuk bersuara dan menunjukkan bukti, dan penegak hukum memperlakukan para pihak yang terlibat secara terhormat dan mendengarkan serta mempertimbangkan penjelasan mereka yang dapat dipercaya.

Indigenous juridical system is one proof of the persistence of indigenous/customary laws enforcement in Indonesia. Despite laws and regulations implemented in the past aiming for its abolishment, in reality hitherto many indigenous communities have social institutions that function like a court, for example the Saniri Ria Muni of the Nuaulu community in Seram Island, Central Maluku District. Through documentary legal research, this paper aims to explore the history and development of the position and authority granted to indigenous juridical systems in the Indonesian juridical power system by legal documents on juridical power and regional autonomy. By conducting a socio-legal research in Negeri (village) Nua Nea and Negeri Sepa, this paper continues to seek and analyze the legitimacy of the Saniri Ria Muni as an indigenous juridical court in the lives of the Nuaulu community residing in both said villages. The findings of this research shows that indigenous juridical system or courts do not have a legally regulated position in the Indonesian juridical power system, however indigenous institutions are given the authority to resolve disputes by legal documents on regional or village autonomy as a form of their rights. In regards to the legitimacy of Saniri Ria Muni, this research found that the people of Nuaulu have a strong degree of compliance to its decisions because, among others, the society perceives that the authorities were able to provide desired outcomes, allow people to speak and present evidence, and treat people with dignity and respect to explain judgments that they are trustworthy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiputra
"

Penatalayanan lingkungan pada hakekatnya merupakan penggunaan yang bertanggung jawab terhadap sumber daya alam dengan cara yang memperhitungkan kepentingan masyarakat, generasi mendatang, dan spesies lainnya, serta kebutuhan pribadi, dan menerima tanggung jawab yang signifikan kepada masyarakat. Salah satu aktor penatalayanan lingkunga yang paling “terkenal” tidaklah lain selain masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat dalam praktiknya selalu dianggap sebagai sekelompok manusia yang sangat amat mencintai bumi, masyarakat hukum adat dalam praktik yang mereka lakukan selalu dikaitkan dengan betapa mereka sangat menjaga kelestarian alam. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidalah selalu sejalan dengan realitas hukumnya. Sebagai contohnya, Masyarakat Hukum Adat Bali dalam menjalankan upacara agamanya, membutuhkan daging penyu hijau yang mana termasuk kedalam hewan langka. Hal tersebut membangkitkan pertanyaan utama dimana benarkah masyarakat hukum adat merupakan actor penatalayanan lingkungan. Terhadap permasalahan tersebut, dalam penulisan ini penulis melakukan penelitian dengan metode yuridis normative. Seharusnya, Masyarakat hukum adat, sebagai kumpulan manusia haruslah dipandang sebagai manusia biasa yang tidaklah sempurna dan juga bisa berbuat kerusakan.


Environmental stewardship is essentially a responsible use of natural resources in a way that takes into account the interests of the community, future generations, and other species, as well as personal needs, and accepts significant responsibilities to the community. One of the most "well-known" environmental stewardship actors is nothing but indigenous peoples. Indigenous peoples in practice is always regarded as a group of people who really love the earth, indigenous peoples in their practice is always associated with how they are very preserve nature. However, this statement is not always in line with its legal reality. For example, the Balinese indigenous peoples in carrying out its religious ceremonies, requires green turtle meat which is included in rare animals. This raises the main question where is it true that indigenous people are environmental stewardship actors. Against these problems, in this paper the author conducts research with normative juridical methods. Supposedly, the customary law community, as a collection of people must be seen as ordinary human beings who are not perfect and can also do damage.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aqidatul Izza Zain
"Penelitian ini menganalisis praktik jual beli suara di komunitas masyarakat adat Kesu’ pada Pemilihan Kepala Daerah Toraja Utara tahun 2020. Kemudian bagaimana praktik jual beli suara berdampak pada hancurnya praktik adat ma’ kombongan sebagai demokrasi lokal komunitas masyarakat adat Kesu’. Penelitian ini menggunakan teori pertukaran klientelistik Aspinall dan Berenschot (2019). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Yang khas dalam Pemilihan Kepala Daerah Toraja Utara 2020 di komunitas masyarakat adat Kesu’ adalah adanya pergeseran nilai dari kesepakatan bersama melalui mekanisme ma’ kombongan ke praktik jual beli suara; (2) Adanya pertukaran klientelistik berupa jual beli suara pada Pemilihan Kepala Daerah Toraja Utara 2020 di komunitas masyarakat adat Kesu’. Berdasarkan tiga dimensi Aspinall dan Berenschot (2019), jejaring non partai adalah pemangku adat dan anggota komunitas masyarakat adat Kesu’ sebagai timses dan broker, pada pola kontrol diskresi inkumben memberikan bantuan dan hibah menjelang pemilihan, sumber daya yang dipertukarkan adalah uang yang didistribusikan oleh broker; (3) Klientelisme dalam bentuk jual beli suara berdampak pada hancurnya demokrasi lokal komunitas masyarakat adat Kesu’, yakni ma’ kombongan.

This research analyzes the practice of vote buying in the Kesu' indigenous community in the 2020 North Toraja Regional Head Election. Then how the practice of vote buying has an impact on the destruction of ma' kombongan customary practices as local democracy in the Kesu' indigenous community. This research uses Aspinall and Berenschot's (2019) clientelistic exchange theory. This research uses a qualitative method with a case study approach. The findings of this study show that (1) What is unique in the 2020 North Toraja Regional Head Election in the Kesu' indigenous community is the shift in values from mutual agreement through the ma' kombongan mechanism to the practice of vote buying; (2) There is a clientelistic exchange in the form of vote buying in the 2020 North Toraja Regional Head Election in the Kesu' indigenous community. Based on Aspinall and Berenschot's (2019) three dimensions, non-party networks are traditional leaders and members of the Kesu' indigenous community as timses and brokers, in the discretionary control pattern the incumbent provides assistance and grants ahead of the election, the resources exchanged are money distributed by brokers; (3) Clientelism in the form of vote buying and selling has an impact on the destruction of the local democracy of the Kesu' indigenous community, namely ma' kombongan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baiduri Agung Putra
"ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis strategi AMAN dalam memperjuangkan hak masyarakat adat Pagu yang direnggut oleh Pemerintah Indonesia dan PT Nusa Halmahera Minerals (PT. NHM). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan konsep Social Movement Sidney Tarrow sebagai alat analisa. Penelitian ini menemukan bahwa AMAN belum berhasil secara maksimal dalam memperoleh hak-hak masyarakat adat Pagu. AMAN juga belum sepenuhnya mampu mempengaruhi dan mengubah perilaku aktor negara, yaitu Pemerintah Indonesia dan Multinational Corporation (MNC), yaitu PT. NHM. Terdapat lima faktor yang menyebabkan strategi yang digunakan belum berhasil secara maksimal, yaitu (1) Ketidakmampuan AMAN secara konsisten dalam memperoleh dukungan masyarakat luas, (2) Konflik internal masyarakat adat Pagu, (3) Keterbatasan sumber daya AMAN, (4) PT. NHM terus memperluas areal pertambangan, (5) Motif politik. Penelitian ini juga menemukan bahwa strategi pembingkaian (framing) isu menjadi metode yang cukup kuat dalam menggalang dukungan dan memberikan tekanan terhadap negara. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa gerakan sosial yang dilakukan di level nasional memiliki implikasi terhadap level internasional. Dengan begitu, terjadi proses difusi antara advokasi nasional dan advokasi transnasional

ABSTRACT
This reseach analyzes AMANs strategy in fighting for the rights of the Pagu indigenous people which were taken away by the Government of Indonesia and PT Nusa Halmahera Minerals (PT. NHM). This study uses qualitative methods and Sidney Tarrows Social Movement advocacy strategy concept as an analytical tool. This study found that AMAN had not succeeded optimally in obtaining the rights of the indigenous people of Pagu. AMAN also has not fully been able to change the behavior of state actors, namely the Government of Indonesia and Multinational Corporation (MNC), namely PT. NHM. There are five factors that have led to the strategy being used has not succeeded optimally, namely (1) Inability of AMAN to mobilize public support consistently, (2) Pagu indigenous peoples internal conflicts, (3) Limitations of AMAN resources, (4) PT. NHM continues to expand the mining area, (5) Political motives. This study also found that the strategy of issue framing became a quite powerful method of mobilizing support and putting pressure on the state. In addition, this study also shows that social movements carried out at the national level have implications for the international level. Therefore, there is a diffusion process between national advocacy and transnational advocacy.
"
2018
T52350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Nur Hidayah
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas jejaring advokasi transnasional yang dilakukan non-state actor dalam menyelesaikan konflik HAM yang muncul di dalam sebuah Negara. Dalam skripsi ini, penulis meneliti AMAN sebagai non-state actor di Indonesia dalam menyelesaikan pelanggaran hak yang dialami indigenous peoples Kepulauan Aru sebagai studi kasus. Dengan menggunakan Transnational Advocacy Network TAN dari Keck dan Sikkink sebagai model analisis, penulis berupaya menganalisis strategi advokasi transnasional yang dilakukan AMAN dalam melindungi dan menegakkan hak-hak indigenous peoples Kepulauan Aru. Hal ini dikarenakan terdapat investor yang memasuki wilayah hutan Aru yang merupakan wilayah adat indigenous peoples. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AMAN sebagai non-state actor mampu membentuk jejaring transnasional sehingga memberikan tekanan kepada Pemerintah Indonesia dengan menggunakan 4 empat tipologi analisis taktik TAN, yaitu: information politics politik informasi , symbolic politics politik simbolik , leverage politics politik pengaruh , dan accountability politics politik tanggung jawab.

ABSTRAK
This study discussed transnational advocacy network on indigenous peoples rsquo rights. In this thesis, the writer analyzed AMAN as non state actor in Indonesia and its advocacy to address human rights violation of indigenous peoples in Kabupaten Kepulauan Aru. Using Transnational Advocacy Network TAN of Keck and Sikkink as frame of thought, the writer analyzed the transnational advocacy conducted by AMAN to protect and maintain the rights of indigenous peoples in Kepulauan Aru. The finding of this study showed that AMAN as non state actor is able to conduct a transnational network. AMANS succeed giving pressure to Indonesia government by using four typology of TAN tactics, which are information politics, symbolic politics, leverage politics, and accountability politics."
2017
S69134
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradipta Danar Jati
"
Tugas Karya Akhir ini menjelaskan mengenai politik perkotaan dengan melihat
relasi kuasa antara pemerintah Kota Tangerang Selatan dan warga dengan studi
kasus Penghentian Proyek Pengurukan Situ Tujuh Muara. Tugas Karya Akhir ini
menggunakan metode kualitatif. Kegiatan pengurukan yang dilakukan oleh salah
satu perusahaan pengembang di Situ Tujuh Muara dihentikan oleh pemerintah
karena dilakukan di atas lahan ruang terbuka hijau. Dalam proses menentukan
kebijakan penghentian ini pemerintah melibatkan masukan warga yang bergerak
bersama Organisasi Kepemudaan Gugusan Alam Nalar Ekosistem Pemuda ( OKP
Ganespa ) untuk melakukan penghentian kegiatan yang dilakukan di atas lahan
Situ Tujuh Muara. Tugas Karya Akhir ini menggunakan teori urban regime untuk
menganalisis relasi kuasa antara pemkot Tangerang Selatan dengan warga dan
teori kebijakan publik. Hasil temuan dari Tugas Karya Akhir ini adalah
pemerintah membuka ruang bagi adanya kerjasama dengan warga dan adanya
hambatan dalam mengeluarkan kebijakan sesuai dengan aspirasi warga.

This undergraduate thesis explores urban politics and power relations between
Tangerang Selatan government and its citizen, with the stopping of Tujuh Muara
Lake landfilling activity as a case study. This research uses qualitative
methodology. The The Stopping of Tujuh Muara Lake Landfilling project is
halted by the government due to its location in which it mostly covers an area of
an open green space. Throughout the process to get the policy regarding the
halting of the landfilling activity properly applied, the Tangerang Selatan
government involves input from its citizens together with Organisasi
Kepemudaan Gugusan Alam Nalar Ekosistem Pemuda ( OKP Ganespa ) to
suspend the landfilling activities carried out on the Tujuh Muara Lake area. This
research uses the theory of urban regimes for analyzing power relations between
South Tangerang city government with its citizens and public policy theory.. This
research suggest that, while the government has been facing hurdles in issuing a
policy that is in line with the aspirations of its citizens, the local government is
open to work hand in hand with the citizens."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Neony Luthfi Taris
"Dengan dibangunnya kereta cepat Jakarta-Bandung, Walini sebagai salah satu stasiun pemberhentiannya memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Penelitian ini dilakukan untuk membuat desain konseptual dari konsep pengembangangan wilayah Kota Baru Walini sebagai Technology Park dan menghitung biaya investasi yang dibutuhkan. Konsep technology park berfokus pada industry-industri high tech dan kawasan-kawasan riset. Jenis industry yang akan dibangun adalah industry mobile phone, semokonduktor, dan komponen. Sedangkan untuk kawasan riset terdiri dari science park, bio techno park, geo park, art techno park, dan industrial park. Untuk mengetahui besar biaya investasi, dilakukan studi literature atau benchmarking pada industry dan kawasan yang telah ada. Wilayah yang akan dikembangkan seluas 1126 ha. Hasil dari penelitian ini adalah pengembangan kawasan Technology Park terdiri dari berbagai jenis industry, kawasan residensial, kawasan komersial, kawasan universitas, dan kawasan riset dan pengembangan, dan infrastruktur pendukung. Biaya investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan wilayah adalah Rp 257,466,389,150,559.

With the development of Jakarta Bandung high speed train, Walini as one of the stop station has a great opportunity to be developed. This research intend to develop the conseptual desain of Kota Baru Walini regional development as Technology Park and calculating the initial cost to build the area. Technology park focused on high tech industries and research area. Hight tech industry that will be develop is mobile phone industry, semiconductor industry, dan component manufacture. For the research area, will be developed science park, bio techno park, geo park, art techno park, and industrial park. The method to determine the initial cost is by literature study and benchmarking from the industry or the area that already exist. The area that will be developed has 1126 ha. The result from this research is, the development of Technology Park will consist of high tech industries, residential area, commercial area, university, research and development area, and supportive infrastructure. The initial cost to develop the area is Rp 257,466,389,150,559.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S68283
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Ramdhaniaty
"ABSTRAK
Studi ini menunjukkan bahwa perempuan adat non elit telah diekslusi secara berlapis dari proses perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adat. Keberadaan masyarakat adat secara global maupun di Indonesia belum sepenuhnya mendapatkan pengakuan atas tanah dan sumber daya alamnya. Hutan adat yang terdapat di wilayah adatnya dinyatakan sebagai hutan negara. Penetapan hutan adat secara legal berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 merupakan upaya perwujudan hak konstitusional kewarganegaraan masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya. Namun dalam proses perjuangannya perempuan adat non elit tidak pernah terlihat dan terlibat. Studi ini bertujuan untuk menelusuri kompleksitas eksklusi berlapis yang dialami perempuan adat non elit dalam proses perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adat. Studi kualitatif yang dilakukan dengan pendekatan life her story pada lima perempuan adat non elit ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara proses eksklusi berlapis perempuan adat non elit dengan perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adatnya. Dengan mengadopsi teori power of exclusion yang dikembangkan oleh Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li, teori feminist political ecology dari Rebecca Elmhirst, dan teori feminis tentang kewarganegaraan dari Anupama Roy, argumentasi pada studi ini adalah 1 bahwa ketidakterlibatan perempuan adat non elit dalam proses perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adat karena perempuan adat telah dieksklusi secara berlapis, dan 2 untuk itu penetapan hutan adat memiliki beragam limitasi yang memunculkan keberagaman dilema perempuan adat non elit dalam pengelolaan lahan dan sumber daya alam lainnya.

ABSTRACT
This study show that non elite indigenous women had been excluded in multi layered from the process of citizenship rights struggle over customary forest. The existence of indigenous people globally as well as in Indonesia had not fully got its recognition over its land and natural resources. Customary forest which located in their community area declared as the state forest. The customary forest legal determination based on Constitutional Court Decree No. 35 PUU X 2012 was an embodiment effort of inidigenous people citizenship constitutional rights over their land and natural resources. However, in the struggling process, the non elite indigenous women, never been seen and involved. This study aimed to search the complexity multi layered exclusion which experienced by non elite indigenous women in the process of inidigenous people citizenship rights struggle over their customary forest. This qualitative study which performed with life her story approach in five non elite indigenous women, showed the connection between the multi layered exclusion process of non elite indigenous women with the struggle of indigenous people citizenship rights over their customary forest. By adopting the power of exclusion theory which developed by Derek Hall, Philip Hirsch, and Tania Li, feminist political ecology theory by Rebecca Elmhirst, and feminism theory on citizenship by Anupama Roy, we argue 1 that the non involvement of non elite indigenous women on the struggling process of indigenous people citizenship rights over the customary forest because the non elit indigenous women had been excluded in multi layered, therefore 2 the determination of customary forest gained various limitation that gave rise variety of non elit indigenous women rsquo s dilemmas in managing land and other natural resources."
2018
T51126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>