Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185052 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahira Nabila
"Peer to peer lending merupakan sebuah inovasi layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Risiko umum dari kegiatan pinjam meminjam uang ini adalah kegagalan debitur untuk melunasi pinjamannya. Asuransi menjadi salah satu mitigasi yang digunakan terhadap risiko tersebut. Skripsi ini membahas mengenai apakah asuransi kredit fintech peer to peer lending sudah cukup diatur dalam peraturan perundang-undangan, mekanisme penutupan asuransi dan penyelesaian klaim, serta penerapan prinsip insurable interest dan indemnity. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis-normatif melalui studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa (1) peraturan perundangan perasuransian saat ini belum cukup mengatur mengenai asuransi kredit fintech peer to peer lending; (2) proses penutupan asuransi dilakukan dengan mengikuti mekanisme dan prosedur yang telah ditentukan oleh penanggung dalam polis demikian juga untuk proses penyelesaian klaim; (3) prinsip insurable interest pada asuransi ini diterapkan dengan berlandaskan hubungan perjanjian antara penerima pinjaman (debitur) dan pemberi pinjaman (kreditur) yang diwakili oleh penyelenggara, sementara prinsip indemnity diterapkan dengan menghitung sisa jumlah kewajiban yang belum dibayar (tunggakan kredit) setelah dikurangi dengan risiko sendiri atau deductible (excess), sehingga tidak melebihi kerugian yang benar-benar diderita oleh tertanggung. Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis memberikan saran kepada OJK selaku regulator dan pengawas agar menerbitkan peraturan OJK yang memuat ketentuan yang lebih jelas dan lebih lengkap mengenai asuransi kredit fintech peer to peer lending.

Peer to peer lending is an innovative lending and borrowing service based on information technology. The general risk of lending and borrowing money is the failure of the debtor to repay the loan. Insurance is one of the mitigation used against that risk. This thesis discusses peer to peer fintech lending credit insurance from the point of whether it is sufficiently regulated in legislation, insurance closing mechanism and settlement of claims, as well as the application of the insurable interest and indemnity principle. The research method that used in this thesis is juridical-normative through literature study and applicable laws and regulations. The conclusions of this research state that (1) the current legislation is not sufficient to regulate fintech peer to peer lending credit insurance; (2) the insurance closing and settlement of claims is done by following the mechanisms and procedures that have been determined by the insurer under the policy; (3) the principle of insurable interest in this insurance is applied based on the agreement relationship between the borrower (debtor) and the lender (creditor) represented by the organizer, while the indemnity principle is applied by calculate the remaining amount of liabilities (credit arrears) after deducting the own risk or a deductible (excess), so it does not exceed the losses actually suffered by the insured. Based on these conclusions, the authors advise the OJK as regulators and supervisors to enact OJK regulations that contain better and more complete provisions for peer to peer fintech lending credit insurance.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Ath-Thahirah
"Financial technology (fintech), khususnya Peer-to-Peer (P2P) Lending, telah berkembang pesat di Indonesia dan berpotensi mengancam perbankan tradisional yang juga memberikan layanan pembiayaan. Dalam hal ini, studi-studi terdahulu cenderung menemukan hasil yang inkonklusif dimana Fintech ditemukan memberikan pengaruh positif dan juga negatif terhadap kinerja perbankan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah mengkaji dampak fintech P2P lending terhadap kinerja perbankan di Indonesia, baik perbankan konvensional maupun perbankan syariah. Studi ini menggunakan metode Generalized Method of Moment (GMM) dimana sampel yang digunakan meliputi 63 bank konvensional dan 12 bank syariah di Indonesia periode 2016-2020. Variabel kinerja perbankan yang digunakan mencakup ROA sebagai variabel dependen, jumlah perusahaan P2P lending sebagai variabel independen, dan variabel kontrol meliputi ukuran bank, jumlah kantor cabang, rasio modal, ukuran pinjaman, penyisihan kerugian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan fintech P2P lending tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perbankan secara agregat. Namun, analisis terpisah antara perbankan konvensional dan syariah, menemukan bahwa fintech P2P lending tidak mempengaruhi kinerja perbankan konvensional namun memiliki dampak positif yang signifikan terhadap kinerja perbankan syariah. Hasil penelitian ini akan memberikan membantu regulator dan pelaku industri di sektor perbankan dan fintech P2P lending serta memperkaya literatur akademik dalam disiplin ini.

Financial Technology (Fintech), particularly Peer-to-Peer (P2P) Lending, has developed rapidly in Indonesia and has the potential to threaten traditional banks that also provide financing services. In this regard, previous studies found inconclusive results where Fintech was found to have positive and negative effects on banking performance. Therefore, this study aims to examine the impact of fintech P2P lending on banking performance in Indonesia, both conventional banking and Islamic banking. This study uses the Generalized Method of Moment (GMM) with sample includes 63 conventional banks and 12 Islamic banks in Indonesia in 2016-2020. The banking performance variables used include ROA as the dependent variable, the number of P2P lending companies as the independent variable, and control variables consisting of bank size, number of branch offices, capital ratio, loan size, and allowance for losses. The results indicate that the existence of fintech P2P lending does not have a significant effect on banking performance in the aggregate. Separate analysis for conventional and Islamic banking found that fintech P2P lending had no effect on the performance of conventional banking but had a significant positive effect on the performance of Islamic banking. The results of this study will help regulators and banking and fintech P2P lending industry players and enrich academic literature in these disciplines"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ami Fitri Utami
"Perusahaan Teknologi Finansial Pendanaan atau sering disebut sebagai FinTech Peer to Peer Lending di Indonesia memiliki peran penting dalam mendukung pemerataan kebutuhan akses pendanaan secara nasional. Namun, terdapat ketimpangan antara kinerja perusahaan dari sisi jumlah pengguna serta jumlah pendanaan yang terdistribusi dibandingkan dengan potensi pasar yang ada. Hal ini disebabkan banyaknya kompleksitas yang terjadi termasuk adanya kekurangan sumber-daya internal, tekanan dari regulator, hingga tekanan dari keraguan pasar untuk menggunakan produk. Dalam menyingkapi masalah tersebut, para pemain melakukan berbagai macam kolaborasi dengan berbagai pihak untuk dapat menghasilkan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar, regulasi dan perkembangan teknologi. Penelitian ini berforkus pada dinamika dalam kolaborasi antara para FinTech Peer to Peer Lending dengan jejaringnya. Dalam penelitian ini konsep sistem memori transaktif pada level perusahaan dengan rekan kolaborasinya menjadi kunci dalam memahami dinamika yang ada. Diprediksikan bahwa karakteristik rekan kolaborasi dari sisi spesialisasi pengetahuan, kepercayaan perusahaan akan kredibilitas pengetahuan rakennya serta koordinasi dengan rekan rekan yang dimiliki dianggap dapat berperan dalam peningkatan inovasi serta kinerja perusahaan.

Peer to Peer (P2P) lending FinTech firms in Indonesia possess a major role in enhancing the country’s financial inclusion that leads to a better national’s economy condition. Despites of its’ massive growth in terms of players, investors, as well as innovations; number of national’s P2P lending FinTech adopters are still low which pivotal as it resemblance their performance. This occur as P2P lending FinTech firms facing various challenges both internal and externally due to the newness of the industry. To become more effective, current players tend to collaborate with various parties in deciphering the industrial dynamics. This research focusing on how firm might entrench benefits from its’ collaboration through the concept of Transactive memory system in the inter-firm collaboration level. This research argued that the availability of TSM among the P2P lending FinTech firm and its collaborative might enhance the firm’s competitive advantage such innovation which leads to a better performance in the market. This research mainly contributes to the TMS research field where the concept of TMS mainly used in a small group, and never been investigated in the context of inter-firm collaboration. Current study also contributes to the TMS field as it goes to the dimensional level rather than uses TMS as second order factor construct."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rachmaninda
"Peer-to-peer lending merupakan salah satu bentuk praktik pemberian pinjaman uang antara individu dimana peminjam dan pemberi pinjaman dipertemukan melalui platform yang diberikan oleh perusahaan peer-to-peer lending. Prakteknya, terdapat tiga pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan bisnis peer-to-peer lending di Indonesia. Pertama adalah pemodal, kedua peminjam, dan ketiga adalah perusahaan peer-to-peer lending sebagai perantara. Pada praktek pemberian pinjaman berbasis peer-to-peer lending, para pihak tidak bertatap muka secara langsung, melainkan bertemu dalam dunia maya melalui suatu media, yaitu platform yang disediakan oleh perusahaan peer-to-peer lending. Bagaimanakah pengawasan dari pihak OJK selaku otoritas yang berwenang terhadap adanya pemberian pinjaman berbasis peer-to-peer lending? Perlu adanya aturan yang dapat mengakomodir penerapan prinsip kehati-hatian dan pengawasan, khususnya mengenai produk perjanjian pinjam-meminjam karena hingga saat ini, belum ada peraturan khusus yang diundangkan terkait permasalahan tersebut. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah deskriptif analisis melalui pendekatan yuridis normatif. Penelitian menitikberatkan pada penelitian kepustakaan yang menggunakan data sekunder. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian dianalisis dengan metode normatif kualitatif. Pengaturan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian pada kegiatan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending) belum dilakukan secara optimal oleh pihak OJK. Hal ini membuat setiap perusahaan peer-to-peer lending ini mempunyai mekanismenya sendiri dalam penerapan prinsip kehati-hatian. Selain itu, fungsi pengawasan oleh OJK belum cukup dilakukan khususnya terkait dengan produk yang dimiliki oleh perusahaan peer-to-peer lending.

Peer-to-peer lending is a loan activity between two parties which borrower and lender summoned by a platform that provided by peer-to-peer lending company. In fact, there are three parties that included in peer-to-peer lending business in Indonesia. First party is lender, second party is borrower, and third party is peer-topeer lending company as a connector. In loan activity based on peer-to-peer lending, each party no need to meet directly, but only virtually through a platform that provided by peer-to-peer lending company. How is OJK's supervision as the authorized authority on the existence of lending-based peer-to-peer lending? We need a regulations which can accommodate the implementation of prudential principle and surveillance especially on loan agreement enforcement is urgently needed because recently, there is no special regulation announced yet that manage about that issue. The research method of this thesis is a descriptive analytic through juridical normative. This research is literature review priority used the secondary data. The obtained data analyzed with normative qualitative method later. The effectivity of regulation about the implementation of prudential principle on loan based on information technology (peer-to-peer lending) by OJK is not good enough. This problem can make every peer-to-peer lending company create their own regulation in implementation of prudential principle. Besides, surveillance.function that held by OJK is not quite enough, especially about peer-to-peer lending company products.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48760
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Fauzia Handrianti
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh model bisnis yang di gunakan oleh pelaku bisnis dalam industri teknologi finansial. Analisis di lihat dari elemenelemen yang tergabung dalam ekosistem fintech beserta kunci penggerak nya. Produk yang di tawarkan, permintaan pelanggan, hambatan masuk, percepatan teknologi, serta modal pendanaan usaha juga termasuk ke dalam bagian dari penelitian.

This study aims to analyze the influence of bussiness models that are used by peer to peer lending businesses in financial technology fintech. The analysis is viewed from the element of fintech ecosystem along with its driving key firms. Offered products, customer demands, barriers to entry, pace of acceleration technology, and funding of the bussiness are also included inside the part of research.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Noorfairuza
"Peer-to-peer lending (P2P lending) memanfaatkan sistem online untuk menjembatani pemberi pinjaman dan peminjam, sehingga memungkinkan adanya pemberian kredit tanpa harus melalui bank. P2P lending populer dalam beberapa tahun terakhir karena kemudahannya, namun P2P lending tetap memiliki satu kelemahan besar—yaitu risiko gagal bayar yang tinggi. Untuk memenuhi kewajiban peraturan dan tuntutan konsumen untuk melindungi pemberi pinjaman, berbagai penyelenggara P2P lending, termasuk Modal Rakyat dan Akseleran telah bekerjasama dengan perusahan asuransi untuk menawarkan asuransi kredit kepada pemberi pijaman. Asuransi kredit memitigasi risiko kredit dengan memberikan ganti rugi kepada pemberi pinjaman atas sebagian besar dana mereka yang hilang apabila terjadi gagal bayar. Asuransi Kredit merupakan strategi mitigasi risiko yang baik namun penggunaannya yang terbatas terhadap sebagian pinjaman saja membatasi keefektifannya. Selain itu, perlindungan asuransi dalam pinjaman P2P hanya diberikan melalui suatu pernyataan asuransi tertulis di situs web penyelenggara. Namun, meskipun pernyataan terulis ini tidak memenuhi persyaratan isi suatu polis sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Peraturan OJK No. 23/POJK.05/2015, pernyataan-pernyataan ini dianggap berlaku layaknya suatu polis—sehingga tetap melahirkan kewajiban penanggung secara hukum
Peer-to-peer lending (P2P lending) utilizes online systems to bridge lenders and borrowers, thus enabling the provision of loans without banks as intermediaries. P2P lending has gained popularity in recent years due to its simplicity, but remains to possess one weakness—the risk of non-performing loan. To fulfil regulatory and consumer demands for risk mitigation, various P2P lending platforms, including Modal Rakyat and Akseleran, have opted to offer credit insurance to its lenders in partnership with insurance companies. Credit insurance minimizes financial loss from credit risk by compensating lenders a majority of the funds they have lost in the event of a non-performing loan. Credit insurance is a reliable mitigation method, but its limited application to only some of the loans in P2P lending limits its effectiveness. Furthermore, insurance protection in Modal Rakyat and Akseleran is simply given through a written statement of insurance by the insurer in the platform’s website. However, despite the statements’ non-compliance to the requirements of a policy according to the Commercial Code and OJK Regulation No. 23/POJK.05/2015, these written statements still apply like a policy—thus still giving birth to insurance and the legal obligations of the insurer nonetheless."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusi Yolanda
"Perkembangan teknologi informasi melahirkan inovasi di bidang keuangan salah satunya Fintech Peer-to-Peer Lending syariah. Penyelenggara Fintech Peer-to-Peer Lending Syariah di Indonesia bersaing menyediakan berbagai produk pembiayaan dengan beragam akad dan program, sedangkan ketentuan penyelenggaraannya baru diatur oleh POJK No 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi, dan Fatwa DSN-MUI No 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah. Penelitian ini membahas mekanisme pembiayaan dan model pengawasan Fintech Peer-to-Peer Lending Syariah di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme pembiayaan telah sesuai dengan Fatwa DSN MUI, dan dilaksanakan dalam tiga tahapan yakni tahapan penerimaan pembiayaan, tahapan penawaran investasi, dan masa investasi. Analisis syariah dilakukan pada tahapan penerimaan pembiayaan dan saat masa investasi berlangsung. Pengawasan Fintech Peer-to-Peer Lending Syariah di Indonesia dilakukan oleh pihak internal dan pihak eskternal. Pengawasan internal dilakukan oleh organ perusahaan dengan pembuatan dan pelaksanaan SOP yang telah disetujui oleh OJK. Dewan Pengawas Syariah ikut melakukan pengawasan secara internal dengan pemantauan aspek syariah. Pengawasan Eksternal dilakukan oleh OJK, namun OJK tidak spesifik memiliki program atau unit khusus yang mengawasi aspek syariah. Dewan Syariah Nasional juga berperan melakukan pengawasan tidak langsung dengan memberikan rekomendasi DPS, pembinaan, dan pencabutan DPS. Penyelenggara harus mengoptimalkan integrasi aspek syariah dalam SOP dan penyelenggaraannya. OJK harus mengeluarkan aturan baru yang mengakomodir Fintech Peer-to-Peer Lending Syariah serta melakukan pengawasan spesifik terhadap aspek syariah. DPS harus mengoptimalkan perannya dalam melakukan pengawasan. DSN perlu meningkatkan pelatihan dan sertifikasi untuk menambah jumlah DPS yang masih terbatas

The development of information technology has created innovations in financial sector, one of them is Sharia Peer-to-Peer Lending. Sharia Peer-to-Peer Lending operators in Indonesia compete to provide various financing products with various akad and programs, while rules for their implementation are only regulated by POJK NO 77/POJK.01/2016 and in the DSN-MUI Fatwa No 117/DSN-MUI/II/2018. This study discusses the financing mechanism and supervision model of Sharia Peer-to-Peer Lending in Indonesia. This research is normative research and analytical descriptive. The results showed that the financing mechanism has in accordance with DSN MUI Fatwa, and implemented in three stages; the stage of receiving financing, offering investment, and investment period. Sharia compliance is carried out within the stage of receiving financing and during the investment period. Supervision of Sharia Peer-to-Peer Lending is carried out by internal and external parties. Internal supervision is carried out by the operators by making and implementing SOPs that have been approved by the OJK. DPS participates in monitoring sharia aspects. External supervision is carried out by OJK, unfortunately OJK not yet specifically have a special program or unit that oversees sharia aspects. DSN plays a role in indirect supervision by providing DPS recommendations, coaching, and revoking DPS. Operators should optimize the integration of sharia aspects in SOPs and their implementation. OJK must issue new rules to accommodate Sharia Peer-to-Peer Lending and carry out specific supervision on sharia aspects. DPS should optimize its role in conducting supervision. DSN should continue to conduct various trainings and certifications to increase the number of DPS which is still limited"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bram Michael Joshua
"Tidak semua masyarakat di Indonesia memiliki akses ke perbankan, sehingga timbul berbagai penghimpunan dana masyarakat yang berbasis lembaga keuangan non-bank dan lembaga keuangan lainnya yang dapat membantu permasalahan perolehan dana dari bank serta diikuti dengan sistem teknologi dan informasi yang mulai berkembang pesat di Indonesia. Salah satu bentuk yang muncul ditengah kebutuhan masyarakat dalam akses perolehan dana, yaitu peer-to-peer lending.
Akhir - akhir ini ramai diberitakan oleh media bahwa muncul masalah terkait penetapan suku bunga Peer-to-peer lending. Hal ini disebabkan oleh penetapan bunga yang dilakukan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dirasa cukup tinggi, yakni 0,8 % per hari. Penetapan bunga pinjaman peer-to-peer lending diteteapkan oleh asosiasi yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan penetapan bunga yang menjadi kewenangan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang mana adalah pelaku usaha penyelenggara usaha Peer-to-peer lending yang menjadi anggota asosiasi, dapat membuat celah bagi pelaku usaha untuk melakukan praktik usaha tidak sehat, khususnya praktik kartel. Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam tulisan ini adalah
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis. Dari peneletian ini penulis berpendapat tindakan penetapan bunga pinjaman yang dilakukan oleh AFPI tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli ataupun terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Otoritas Jasa Keuangan memang mebiarkan penetapan bunga peer-topeer lending diserahkan kepada asosisasi dan masing – masing penyelenggara karena peer-to-peer lending di Indonesia masih tergolong baru dan masih dalam tahap awal, sehingga dibutuhkan keleluasaan dalam menjalankan usahanya sehingga usaha peer-to-peer lending dapat berkembang dan maju kedepannya di Indonesia
Not all people in Indonesia have access to banks, resulting in a variety of public fund raising based on non-bank financial institutions and other financial institutions that can help with the problem of obtaining funds from banks and followed by technology and information systems that are starting to develop rapidly in Indonesia. One form that arises in the midst of community needs in access to funding is peer-to-peer lending. Lately, it has been widely reported by the media that there are problems with setting Peer-to-peer lending rates. This is caused by
the determination of the interest made by the Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) which is considered quite high, which is 0.8 percent per day. The determination of peer-to-peer lending lending rates is determined by an association appointed by the Financial Services Authority (OJK). With the determination of the interest that becomes the authority of the Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) which is a Peer-to-peer lending business organizer that is a member of the association, it can create a gap for business actors to carry out unhealthy business practices, especially cartel practices. The type of research used by the authors in this paper is normative juridical research, namely research that emphasizes the use of written legal norms. From this research, the author is of the opinion that the determination of loan interest by the AFPI does not result in monopolistic practices or unfair business competition. The Financial
Services Authority does indeed allow the determination of peer-to-peer lending rates to be submitted to the association and each organizer because peer-to-peer lending in Indonesia is still relatively new and is still in the initial stages, so that flexibility is needed in conducting its business so that the peer-to business peers lending can develop and move forward in Indonesia"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Unggul Dwi Sulistiyanto
"Financial Technology atau FinTech dengan model Peer-to-Peer Lending (P2P) adalah salah satu dari metode pembiayaan saat ini yang banyak digunakan oleh industry kreatif hingga perusahaan jasa konstruksi karena didukung oleh keuntungan dari berbagai aspek. Tetapi, walaupun adaptasi terhadap seluruh industry sangat cepat dan besar di dunia, tetapi berbanding terbalik dengan kondisi adaptasinya di Indonesia. Banyak Perusahaan Jasa Konstruksi Kecil dan Menengah mengalami kesulitan keuangan dan akses untuk pembiayaan proyeknya oleh karena permasalahan kompetisi dengan perusahaan yang lebih besar serta pembayaran yang terlambat oleh pemilik proyek. Studi ini memiliki tujuan untuk mengembangkan strategi peningkatan adaptasi dari FinTech P2P Lending agar dapat meningkatkan penggunanya sehingga akses pembiayaan terhadap perusahaan jasa konstruksi kecil dan menengah dapat lebih mudah. Studi ini menggunakan metode TAM untuk mengidentifikasi faktor yang sudah baik, masih kurang, dan perlu peningkatan untuk strategi adaptasi Fintech P2P Lending untuk PUJK. Hasil yang didapat adalah saat ini ekosistem P2P Lending Indonesia masih harus dikembangkan pada beberapa sector seperti kemudahan penggunaan, kemudahan pengendalian, hingga loyalitas. Dari hasil benchmark dengan beberapa negara didapat strategi pengembangan adapasi tersebut. Strategi tersebut ditempuh dengan peningkatan keuntungan yang diharapkan, kustomisasi dashboard, peningkatan garansi serta asuransi, kerja sama eksklusif, maupun pembuatan Platform P2P Lending khusus Perusahaan Jasa Konstruksi.

Financial Technology (FinTech) with the Peer-to-Peer Lending (P2P) scheme is one of the project financing methods that has been widely utilized by crea-tive industries owing to its benefits in various aspects, particularly the con-struction services companies. However, though its massive adoption in the construction industries in multiple countries, P2P has not been tapped by In-donesia’s construction companies. Many small and medium-sized enterprises (SMEs) working in the construction sector experience financial difficulties and access to capital for their projects, primarily due to competition with larger companies and late payments from the project owners. This Study aims to study the current research on the adoption of P2P lending FinTech in SME construction service companies. Used method is TAM to identify the current situation and determined affected factors. The result of this study shows that factors deemed necessary as well as a new strategy to increase users for FinTech adoption can help foster the development of the business processes compatible with the needs of SME construction companies, subsequently increasing its level of use in the future."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bitra Mouren Ashilah
"Sejak tahun 2019, Direktorat Kriminal Khusus SubDit IV Tindak Pidana Cybercrime telah memulai untuk penanganan kasus kejahatan penagihan hutang pinjaman online yang berujung pada penyalahgunaan data pribadi, hal ini dilakukan oleh debt collector dari fintech peer to peer lending. Sampai bulan Oktober tahun 2020, telah ada 12 data aduan yang masuk terkait penyalahgunaan data pribadi. Kasus-kasus tersebut terjadi karena fintech menggunakan data pribadi untuk melakukan verifikasi pinjaman. Oleh karena itu, penelitian ini diperlukan untuk mendiskusikan aturan apa yang diperlukan untuk melindungi data pribadi dalam hal fintech peer to peer lending. Metode peneltiain yang digunakan adalah hukum Normatif dengan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan melakukan wawancara mendalam dan terstruktur dengan lembaga terkait yaitu YLKI. Kesimpulan dari penelitian ini, 1) Perlu adanya peraturan khusus yang mengatur terkait pengaturan dan pengawasan fintech di sektor peer to peer lending, aturan yang dikeluarkan oleh OJK dan AFPI masih memiliki masalah kepastian hukum; 2) Aturan untuk pertanggungjawaban pidana terhadap penyalahgunaan data oleh fintech peer to peer lending, masih menggunakan aturan konvensional yaitu KUHP yang sifatnya umum atau generik berlaku; 3) Penerapan pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan data masih menggunakan KUHP. Namun, jika permasalahan yang timbul lebih kompleks seperti hacking, maka KUHP saja menjadi tidak cukup. Oleh karena itu perlu segera dirumuskan dan disahkannya UU Perlindungan data pribadi yang tidak hanya berlaku untuk individu tetapi juga penyelenggara fintech, selain itu kewenangan OJK dan AFPI juga perlu diperluas tidak hanya penyelenggara fintech peer to peer lending tetapi juga peminjam individu

Since 2019, the Special Criminal Directorate of Sub-Directorate IV for Cybercrime has started to handle criminal cases involving online loan debt collection dissemination of personal data, this is done by debt collectors from peer to peer lending fintechs. Until October 2020, there have been 12 complaints relating the misuse of personal data filed. These cases occured because fintech uses personal data to make loan verification. Hence, this research attemps to discuss regulatory framework to protect personal data in the context of peer to peer lending. The method used in this research is a normative legal approach based on literature studies particulary, primary legal and secondary legal materials. Data collection techniques used in this research is literature studies and structured in-depth interviews with related institutions, namely YLKI. It is argued here that, 1) there is no specific law regulating fintech in the peer to peer lending sector because the rules currently used are not complete considering that this crime is quite complex, regulations issued by OJK and AFPI still cannot provide significant protection leading to legal uncertainity; 2) rules for criminal liability for misuse of data in fintech peer to peer lending, still applies conventional rules, namely the Criminal Code, which are generic in nature; 3) in the practice, the application of criminal responsibility for data misuse can still use the Criminal Code. However, if the problems that arise are more complex, such as hacking, then the Criminal Code alone is not enough. Here the act should be applicable not only to individual user but also fintech operations. For that reason, the outreach of OJK and AFPI should be extended: not only be focusing on peer to peer lending fintech providers but also to individual borrowers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>