Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203997 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Raditio Jati Utomo
"

Indonesia sebagai negara hukum menjamin pemenuhan hak atas warga negaranya melalui konstitusi. Salah satu bentuk jaminan tersebut ialah memastikan setiap pelanggaran atas hak-hak warga negara dapat dicegah dan ditanggulangi. Hukum pidana adalah sarana untuk menanggulangi pelanggaran terhadap kepentingan kolektif, Indonesia mengenal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang memuat ketentuan pidana, tidak terkecuali sanksi pidana mati. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan populasi pemeluk Islam terbesar di dunia. Realitas sosiologis yang demikian itu menjadikan secara nyata tidak hanya hukum positif yang tumbuh, berkembang, dan dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, tetapi juga hukum Islam. Hukum Islam pun mengenal pidana mati. Diskursus mengenai pidana mati masih ramai kontroversi, sebagian berpandangan pidana mati penting dipertahankan karena memiliki sejumlah manfaat. Oleh karenanya, Penulis meneliti perbandingan karakteristik pidana mati dalam Hukum Islam dan hukum positif di Indonesia serta relasinya dengan teori Asas Kemanfaatan Hukum. Penelitian menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan mengkaji norma Hukum Islam dan norma Hukum Nasional berkaitan dengan pidana mati. Hasil penelitian ini ialah sanksi pidana mati dalam Hukum Islam maupun Hukum Positif secara teoritis dianggap memiliki persamaan dan perbedaan dalam memberikan manfaat bagi terhukum dan masyarakat, utamanya mengenai bagaimana Hukum Islam dan Hukum Positif mendefinisikan Asas Kemanfaatan Hukum itu sendiri. Salah satu perbedaan mendasar ialah Hukum Islam lebih lebih memiliki dimensi transendental, sedangkan Hukum Positif berdimensi materialistik.


Indonesia as a state of law guarantees the fulfillment of the rights of its citizens through the constitution. One form of the guarantee is to ensure that any violations of citizens' rights can be prevented and dealt with. Criminal law is a means to overcome violations of the collective interest, Indonesia is familiar with the Indonesian Criminal Code (KUHP) and several other statutory regulations that contain threats and criminal penalties, including capital punishment. In addition, Indonesia is also a country with the largest Muslim population in the world. Such sociological reality makes it clear that it is not only positive law that grows, develops and is obeyed by the majority of Indonesian people, but also Islamic law. Islamic law also recognizes capital punishment. Discourse regarding capital punishment is still full of controversy, some of whom view the death penalty as important because it has a number of benefits. Therefore, the author examines the comparison of the characteristics of capital punishment in Islamic law and positive law in Indonesia and its relation to the theory of the Principle of Legal Uses. The study uses a juridical-normative approach by examining Islamic Law norms and National Law norms relating to capital punishment. The results of this study are the sanctions of capital punishment in Islamic Law and Positive Law are theoretically considered to have similarities and differences in providing benefits to the convicted and the community, especially regarding how Islamic Law and Positive Law define the Principle of the Benefit of the Law itself. One fundamental difference is that Islamic law has a more transcendental dimension, while Positive Law has a materialistic dimension

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Praditya Revienda Putra
"Tesis ini membahas mengenai pro dan kontra yang muncul seiring dengan perdebatan mengenai pidana mati dilihat dari falsafah pemidanaan serta pelaksanaannya. Louk H.C. Hulsman, seorang sarjana hukum Belanda, menghubungkan pidana dan sistem peradilan pidana dengan menggunakan pendekatan kemanusiaan dan rasionalistik. Pendekatan Hulsman tersebut digunakan penulis untuk melihat apakah tujuan pemidanaan pidana mati sebagaimana the law on the books akan dapat diwujudkan dalam pelaksanaannya sebagai the law in action dan bagaimana pengaturan pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, yang mengumpulkan dan mengolah data dari data kepustakaan serta dianalisa menggunakan pendekatan filsafat hukum (legal philosophy approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach) dengan metode analisa deskriptifkualitatif, sehingga hasil yang diperoleh setalah dilakukan analisa hasil penelitian adalah kesimpulan bahwa falasafah pemidanaan pidana mati adalah retributif dan untuk mencegah masyarakat (potential offender) agar tidak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati (teori prevensi umum/general deterrence) yang diwujudkan oleh sistem peradilan pidana saat ini tidak akan pernah mencapai tujuannya. Pengaturan pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia lebih rasional dan manusiawi serta dimungkinkan sistem peradilan pidana dapat mewujudkan tujuan pemidanaan dari pidana mati yaitu demi pengayoman masyarakat yang menitikberatkan pada pencegahan (deterrent) dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum.

The thesis examines pros and cons which often appearing along with the debate on death penalty seen from the philosophy and the punishment. Louk H.C. Hulsman, a Dutch jurist and criminologist, relates crimes and criminal justice system using humanitarian and rationalistic approach. The Hulsman approach was used to see whether the purpose of the death penalty as the aw on the books can be implemented as the law in action. In this case, the study sees criminal justice system as a process and death penalty arrangement in Indonesian law reform. The method used was normative research which collected and processed data taken from legal philosophy approach, statute approach, and conceptual approach with qualitative-descriptive analysis method. This study concluded that the philosophy of death penalty was retributive. In addition, it was to warn the society (potential offender) committing crimes charged with death sentence (general deterrence theory). The existing criminal justice system will never be able to reach the philosophy of death penalty mentioned above. The new Indonesian Criminal Law s more rational and humane and there is a possibility for the criminal justice system to actualize the purpose of death penalty that is the society protection emphasizing on the deterrence of committing crimes by upholding legal norms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28576
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hardika Aji Drajatsatria
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan hukuman mati di Indonesia ditinjau dari aspek politik hukum pidana. Permasalahan yang diangkat ialah pertama, apa dasar politik hukum pidana oleh para pembuat kebijakan memasukan hukuman mati dalam jenis hukuman pidana. Kedua, jenis tindak pidana apa saja yang dapat diancamkan dengan hukuman mati ditinjau dari frasa kejahatan paling serius, dimana diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif, dimana data penelitian ini sebagian besar dari studi kepustakaan yang diperoleh. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa (1) dasar politik hukum pidana diaturnya hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah berdasarkan tujuan pemidanaan baik tujuan pembalasan ataupun pemidaan sebagai sebuah tujuan. (2) jenis tindak pidana yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan paling serius didasarkan oleh instrument hukum internasional yang terkait dan dibandingkan dengan kejahatan yang di Indonesia dianncamkan dengan hukuman mati.

This main of this study is the arrangements about the death penalty in Indonesian in terms of aspect criminal legal policy. The problem is, first, what political policy makers criminal legal policy include the death penalty as a criminal punishment. Second, what are types of crime that can be threatened with the death penalty in terms of the most serious crime. This research is a normative juridical research, which some of the data are based on the related literatures. The results of this study stated that, (1) criminal legal policy in the regulation of the death penalty in Indonesia regulatory purpose of retribution and utilitarian theory. (2) Types of offenses classified as the most serious crime to compare International human right instrument with Indonesian law regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55426
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Raymon Zamora
"Tugas arsitek di era pembangunan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Seorang Profesi Arsitek mengemban tugas perancangan dan perencanaan dalam suatu konstruksi bangunan yang dilakukan sebelum dimulainya konstruksi bangunan. Dalam pelaksanaan konstruksi terdapat kemungkinan terjadinya kegagalan bangunan baik yang terjadi di tengah konstruksi atau pasca konstruksi. Untuk meminimalisir hal tersebut, seorang arsitek tentu perlu memerhatikan berbagai ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangundangan serta Kode Etik keprofesian yang menjadi pedoman berpraktik arsitek. Tujuan ditulisnya penelitian ini adalah agar pembaca dapat memahami pertanggungjawaban arsitek sebagai pencipta karya arsitektur yang mengalami kegagalan bangunan serta kepemilikan karya arsitektur yang mengalami kegagalan bangunan tersebut. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana seorang arsitek sebagai pencipta karya arsitektur bertanggung jawab terhadap kegagalan bangunan yang terjadi pada karyanya serta status kepemilikan karya arsitektur yang mengalami kegagalan bangunan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini menghasilkan simpulan bahwa dalam menentukan status kepemilikan hak cipta karya arsitektur diperlukan pemenuhan setiap unsur dari objek hak cipta yang salah satunya perwujudan karya (Fiksasi). Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan simpulan bahwa arsitek ikut bertanggung jawab terhadap kegagalan bangunan menurut instrumen UndangUndang Jasa Konstruksi yang didukung dengan teori terkait dengan pertanggungjawaban.

The task of an architect in the era of infrastructure development is closely related to the development and needs of an increasingly complex society. An Architect Profession carries out design and planning tasks in building construction that is carried out before the start of building construction. In the implementation of construction, there is a possibility of building failure either in the middle of construction or after construction. To minimize this, an architect certainly needs to pay attention to various provisions regulated in laws and regulations as well as the professional Code of Ethics which guides the practice of architects. The purpose of this research is so that readers can understand the responsibility of architects as creators of architectural works that experience building failures and ownership of architectural works that experience building failures. By using normative juridical research methods, this paper will analyze how an architect as a creator of architectural works is responsible for building failures that occur in his work and the ownership status of architectural works that experience building failures based on positive law in force in Indonesia. This research concludes that in determining the copyright ownership status of architectural works, it is necessary to fulfill every element of the copyrighted object, one of which is the embodiment of the work (fixation). In addition, this research also concludes that architects are also responsible for building failures according to the instruments of the Construction Services Act which are supported by theories related to responsibility."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Sholeh
"Pidana mati narkoba dapatlah dikatakan sebagai salah satu jenis pidana yang terberat di dunia. Mengapa demikian, karena dengan pidana mati, direnggutlah jiwa manusia yang merupakan miliknya yang paling berharga dan asasi. Dengan pidana mati pupuslah harapan seseorang untuk menikmati kehidupan di dunia Iebih lanjut. KUHP telah mencantumkan pidana mati sebagai jenis pidana pokok (pasal 10 ayat 1), sehingga secara hirarkis substantif menunjukkan, bahwa pidana mati merupakan pidana yang terberat. Oleh karena itu, pidana mati dapat dinyatakan pula sebagai pidana yang paling kejam. Dikatakan kejam, oleh karena pelaksanaannya sungguh mendirikan bulu kuduk. Karena itu, tidak mengherankan bila ada orang yang melihat lembaga pidana mati sebagai sesuatu yang tua dalam usia tetapi selalu bersifat muda. Ungkapan ini berarti pidana mati selalu dibuah bibirkan oleh kaum moralis, sarjana hukum, filosofis dan lain-lain. Dahulu, sekarang dan selama pidana mati belum dihapuskan, pasti akan tetap dipersoalkan pada masa yang akan datang. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dan pendekatan koparatif, yaitu penelitian yang berusaha memaparkan pemahaman masalah berdasarkan data-data yang ada, kemudian menganalisis, menginterpretasikan serta membandingkan antara dua variabel, yaitu dengan membandingkan pandangan hukum Islam dengan hukum positif. Adapun metode yang digunakan adalah metode kepustakaan (library reseach), dengan maksud untuk mengumpulkan data-data balk dari kitab-kitab dan KLTHP, serta buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sehingga mendapatkan hasil penelitian yang sempurna. Akhimya dapat disimpulkan, bahwa pidana mati narkoba, sekalipun secara eksplisit al-Qur'an dan Hadits tidak menyebutkan. Namur, secara filosofis Allah swt. menegaskan akan keadilan hukumnya, yakni melalui para mujtahid yang telah diberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat yang belum ada hukumnya dalam al-Qur'an dan Hadits. Maka pidana mati narkoba sangat relevan diterapkam di Indonesia. Balk hukum Islam maupun hukum positif melihat, bahwa pidana mati narkoba merupakan pengajaran, bukan untuk memberikan derita. Karena para pengedar narkoba secara terang-terangan melawan hukum dan sekaligus mereka tidak segan-segan melanggar hak hidup orang lain.

Drug-related death punishment is likely one of the heaviest penalties in the world, Why? Because being subject to death punishment, one's soul as the most important and essential thing a man has will come to an end. Such a sentence will make one's expectancy stop enjoying life. Penal Code ("KUHP") has specified the death punishment as a major penalty (article 10 paragraph I) and therefore, shown in substantive hierarchical manner that it is the heaviest sentence. So, it appears to be the most vindictive penalty. It is vindictive since its execution makes one fright. As a sequence, it is no surprising when one assumes its institution aged but young in manner. This word means that moralists, lawyers, philosophers and so on commonly argue it. In the past, at present and so long as the death sentence exists still, it will always become the matter in the future. In this thesis writing, the author uses method kualitative-descriptive and approach comparative, the research tries to reveal problems according to the current data and then analyze, interpret and compare two variables; comparing views of Islamic Law and those of Positive Law. Now the method applied is library research by gathering data from references and KUHP (Penal Code), textbooks about the problem of study for a perfect output of research. Ultimately, one may come to a conclusion that Drug-related Death Punishment despite the Koran and Hadist do not specify it explicitly, however, Allah SWT., confirm philosophically His law; that is, through Mujtahids to whom He has given ability to solve any problem that may arise in the community whose law is beyond the Koran and Hadist. For that reason, drug-related death sentence is very relevant to apply in Indonesia. Islamic Law or Positive Law perceives that the drug-related death punishment is an educative way rather than a suffering because illegal drug distributors explicitly break law and violate other's rights."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzian Rahman Aulia
"Skripsi ini membahas mengenai Sukuk Ijarah PT Berlian Laju Tanker Tbk. Pembahasan mengenai Sukuk Ijarah PT Berlian Laju Tanker Tbk ini mengenai Struktur, akad-akad dalam Sukuk Ijarah. Saat Sukuk Ijarah gagal bayar dalam Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia. Metode penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif analisis. Dari analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa Struktur Sukuk Ijarah dan akad-akad dalam Sukuk Ijarah tidak sesuai dengan hukum Islam maupun hukum Positif di Indonesia. ini dapat dilihat dari akad-akad pendukung seperti akad Ijarah, akad Wakalah, dan akad Kafalah. Tidak sesuainya akad-akad dalam Sukuk Ijarah dalam Sukuk Ijarah berakibat pada Sukuk Ijarah tidak mereprentasikan kepemilikan pemegang Sukuk Ijarah atas Hak manfaat. Sukuk Ijarah ini seharusnya mereprentasikan kepemilikan hak manfaat dari pemegang Sukuk Ijarah, dan objek ijarah menjadi jaminan untuk merepresentasikan kepemilikan hak manfaat dari pemegang Sukuk Ijarah
This thesis discusses about Sukuk Ijarah PT Berlian, especially regarding the structure, contracts in the Sukuk Ijarah. When defaulted Sukuk Ijarah in Islamic Law and Positive Law in Indonesia. Research methods are conducted using descriptive analysis. From the analysis can be seen that the structure of Sukuk Ijarah contract and contract-Ijarah Sukuk do not in accordance with Islamic law and positive law in Indonesia. Sukuk Ijarah is supposedly represents the ownership rights of the holders of the Sukuk Ijarah benefits, and ijara objects represent a guarantee for the benefit of holders of rights Sukuk Ijarah"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57349
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fina
"Di era globalisasi saat ini, wakaf hak cipta masih belum terlaksana di Indonesia. Sekalipun sudah ada peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya yaitu dalam Pasal 16 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Penelitian ini memiliki dua rumusan masalah yaitu bagaimana kriteria harta benda yang dapat diwakafkan menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia dan apakah hak cipta dapat diwakafkan menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa menurut hukum Islam, hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang diwakafkan dan hak cipta dapat diwakafkan karena telah memenuhi rukun wakaf. Begitupula dengan hukum positif Indonesia hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang dapat diwakafkan dan hak cipta dapat diwakafkan kerena sudah dengan jelas tercantum dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S55052
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Magdalene Victoria Lorenzo
"Indonesia dikritik masyarakat internasional ketika pemerintah memutuskan untuk melanjutkan eksekusi. Hampir setiap kasus terpidana mati tidak didasarkan pada standar peradilan yang adil. Pihak yang bertentangan dengan hukuman mati mengungkapkan bahwa otoritas secara sewenang-wenang menolak hak-hak dasar dalam sistem peradilan pidana yang jelas melanggar hukum internasional. Hak tersebut mencakup hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan keamanan, hak atas peradilan yang adil dan hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia diwujudkan hanya secara prinsip dalam perundang-undangan. Dalam melaksanakan undang-undang perdebatan bermunculan terkait apakah kemampuan penyandang intelektual dan mental dapat dipertanggungjawaban secara sempurna dalam hukum pidana. Tantangan muncul terlebih lagi di tingkat kemampuan mereka untuk membela hak yang melekat pada diri manusia dengan menggunakan standar peradilan yang adil. Penelitian ini menyimpulkan komponen sistem peradilan pidana yang diamanatkan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana menjalankan kewenangan dengan obyektif masing-masing secara terpisah. Untuk memberikan perspektif yang berbeda, penelitian membandingkan putusan pengadilan di India, Amerika Serikat dan Malawi yang mengidentifikasi gangguan jiwa sebagai alasan pemaaf pidana. Penelitian juga memperlihatkan dua studi kasus yang membandingkan keadaan seseorang didiagnosis dengan gangguan jiwa sebelum dan sesudah vonis.

Indonesia generated international criticisms over the last few years when the government decides to resume executions. Most, if not all, of these cases had not been based on the fair trial standards. Oppositions reported the rights fundamental to the criminal justice system were arbitrarily denied in a deliberate violation of international law. These rights encompass the right to life, right to liberty and security, right to a fair trial and right to freedom from torture and ill treatment embodied only in principle within national laws and regulations. The legislative implementation prompts an active debate as to whether a person with intellectual disability and mental illness has the normal minimum culpability required for criminal liability. Challenges arise even more so in the extent of their ability to a defence by means of their inherent right to the fair trial standards. The thesis has produced a round of critiques which concludes individual objectives in institutions mandated in each stages of the criminal justice system. To provide different perspectives, it compares judicial decisions in India, United States of America and Malawi identifying the insanity defence. In addition, the research made two case studies comparing the circumstances of a person diagnosed with mental illness prior to and after conviction.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S66759
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ramzy
"Secara konvensional hukum dibagi menjadi menjadi hukum publik dan hukum privat maka hukum pidana menjadi hukum publik. di Indonesia tidak dipisahkan hukum publik dan hukum privat. Berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Terdapat suatu metode penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam, yaitu metode perdamaian (shulh). Di dalam perdamaian (shulh) baik korban atau walinya ataupun washinya (pemegang wasiat) diperbolehkan untuk mengadakan perdamaian dalam hal penggantian hukuman dengan imbalan pengganti sama dengan diat atau lebih besar dari diat. Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Proses penyelesaian perkara pidana melalui perdamaian sangat sesuai dengan ciri khas bangsa Indonesia yaitu semangat musyawarah untuk setiap permasalahan pidana dengan tujuan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium (obat terkahir) bukan sebagai premium remedium (obat utama).

Conventionally law is divided into the public law and private law in which the public law governing the relationship between citizens and the state such as criminal law, while private law governs the relationship between citizens with citizens such as contract law. Enactment of Law No. 8 of 1981 regarding Indonesian Crime Law Procedure has led to fundamental changes, both conceptually and in implemental to the settlement procedures for criminal cases in Indonesia. In the tradition of Islamic criminal law there is a method of settlement, namely method of concilliation (shulh). In the shulh both the victim or the will holder will be allowed to make conciliation in terms of punishment in return for a replacement is equal or greater than the blood money (diyat). Restorative justice is an approach model in a criminal case settlement efforts. This approach focuses on the direct participation of perpetrators, victims and society in the process of resolving criminal cases. Criminal cases settlement process through conciliation method is in accordance with the characteristic of the Indonesian nation, "spirit of deliberation" for every crime case settlement with the aim that criminal law is not as a premium remedium but ultimum remedium"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31921
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Caroline Uli
"Memasuki era baru teknologi yang semakin kompleks, hadir jenis token unik yang dapat merepresentasikan suatu aset yang dikenal dengan Non-Fungible Token (NFT). NFT beroperasi melalui proses tokenisasi aset dalam sistem blockchain yang terdistribusi dan memungkinkan semua orang dapat mengakses dan memasukan data serta informasi. Dengan begitu timbulah masalah hukum yang dapat terjadi dalam perdagangan pada media blockhain terutama menyangkut hak kekayaan intelektual khususnya bagi perlindungan merek dagang untuk menghindari persaingan tidak sehat maupun kebingungan dalam perdagangan. Dalam penulisan ini akan dijawab mengenai sejauh mana undangundang merek dan indikasi geografis dapat mengakomodasi perlindungan merek dagang dalam perdagangan NFT. Selain itu analisis dalam penulisan ini akan ditinjau pula dengan peraturan mengenai aset kripto oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Penelitian dalam penulisan ini dilakukan dengan studi kasus yang dikaji dengan peraturan perundang-undangan dan penelusuran terhadap literatur. Penulisan ini sampai kepada kesimpulan bahwa peraturan berdasarkan Undang-Undang Merek dan Indikasi masih dapat mengakomodir perlindungan merek dagang dalam perdagangan NFT. Namun peraturan aset kripto oleh Bappebti belum mengakomodir perdagangan NFT karena belum diklasifikasikannya NFT sebagai jenis aset kripto di Indonesia.

Entering a new era of increasingly complex technology, a new type of unique token that represent an asset or known as NFT established. NFT operates through the process of assets tokenizing in a distributed blockchain system that allows everyone to access and enter any data and information. Thus legal problems arise in the trading on blockchain media, especially on intellectual property rights and trademark protection issue to avoid unfair competition and confusion in trade. This paper will answer the extent to which Trademark and Geographical Indication law can accommodate trademark protection in NFT trading. The analysis will also be reviewed with regulations regarding crypto assets by the Badan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Research in this writing is carried out using case studies that are reviewed by laws and literatures. Lastly this writing concludes that regulation based on the Trademark and Geographical Indication Law can still accommodate trademark protection in NFT trading. However, the regulation on crypto assets by Bappebti has not accommodated NFT trading as NFT has not been classified as a type of crypto assets in Indonesia. Keyword: cryptocurrencies, blockchain, trademark rights, trademark, NFT

"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>