Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153436 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizqi Agung Wicaksana
"Penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik menyebabkan terjadinya hipoksia kronik yang akan memicu peningkatan eritropoietin dan meningkatkan kadar hemoglobin (Hb). Diagnosis defisiensi besi pada PJB sianotik menjadi sulit karena parameter standar seperti Hb dan indeks eritrosit tidak dapat digunakan. Parameter pemeriksaan lain seperti feritin dan saturasi transferin sering tidak akuirat karena dipengaruhi berbagai faktor seperti inflamasi akut. American Academy of Pediatrics merekomendasikan pemeriksan reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) sebagai alat diagnosis defisiensi besi yang tidak dipengaruhi inflamasi akut. Serial kasus ini bertujuan untuk menilai gambaran Ret-He dalam menilai defisiensi besi pada pasien PJB sianotik. Sebanyak 11 subjek berusia 6 bulan - 5 tahun dengan PJB sianotik mengikuti penelitian ini dan dilakukan pemeriksaan antropometri, saturasi oksigen, Hb, indeks eritrosit, serum besi, total iron binding complex (TIBC), feritin, dan Ret-He. Terdapat 7 subjek dengan diagnosis tetralogi Fallot dan 4 subjek dengan double-outlet right ventricle (DORV). Sebanyak 10 subjek mengalami malnutrisi dan gangguan penyimpanan besi, namun status gizi tidak berbanding lurus dengan status besi. Nilai Ret-He yang rendah ditemui pada 9 dari 10 subjek yang mengalami gangguan penyimpanan besi meskipun tidak ditemukan nilai yang linear. Berdasarkan temuan di atas, diperlukan beberapa pemeriksaan laboratorium dalam mendiagnosis defisiensi besi pada PJB sianotik.

Cyanotic congenital heart disease (CHD) would cause chronic hypoxia and trigger erythropoietin which led to increase hemoglobin (Hb) levels. Diagnosis of iron deficiency in cyanotic CHD is difficult because standard parameters such as Hb and erythrocyte index cannot be used. Another parameters like ferritin and transferrin saturation are confounded by various factor such as acute inflammation. The America Academy of Pediatrics recommends reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) as a diagnostic tool for iron deficiency which not influenced by acute inflammation. This case series aims to assess the role of Ret-He in diagnosing iron deficiency in cyanotic CHD. A total 11 subjects aged 6 months - 5 years with cyanotic CHD included in this study and were examined to anthropometric, oxygen saturation, Hb, erythrocyte index, serum iron, total iron binding complex (TIBC), ferritin, and Ret-He. There were 7 subjects diagnosed with tetralogy of Fallot’s and 4 subjects with double outlet right ventricle (DORV). Malnutrition found and iron storage disorder was found in 10 subject, but nutritional status was not directly proportional to iron status. A low Ret-He value was found in 9 out of 10 iron-deficient subjects, although no linearity between them. Based on the above findings, several laboratory tests are needed in diagnosing iron deficiency in cyanotic CHD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Cheng
"Latar belakang. Anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) berisiko mengalami defisiensi besi dan anemia defisiensi besi (ADB) karena peningkatan kebutuhan besi akibat hipoksia kronik. Diagnosis defisiensi besi pada anak PJB sianotik mengalami tantangan karena terdapat polisitemia dan inflamasi. Reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) adalah parameter status besi yang baru dan andal, tetapi belum terdapat nilai potong untuk evaluasi status besi anak PJB sianotik.
Tujuan. Mengetahui peran dan menentukan nilai potong Ret-He untuk diagnosis defisiensi besi dan ADB pada anak PJB sianotik.
Metode. Penelitian ini merupakan uji diagnostik terhadap 59 anak PJB sianotik usia 3 bulan-18 tahun di RSCM dan RSAB Harapan Kita. Pengambilan darah dilakukan untuk menilai parameter hematologis (hemoglobin, hematokrit, mean corpuscular volume, mean corpuscular hemoglobin) dan biokimiawi status besi standar (feritin serum, saturasi transferin) sebagai baku emas untuk menentukan status besi, kemudian dibandingkan dengan nilai Ret-He. Kurva receiveing operating characteristic (ROC) dikerjakan untuk menentukan nilai potong Ret-He untuk diagnosis defisiensi besi dan ADB.
Hasil. Median usia subjek adalah 23(3-209) bulan dengan lelaki 52,5% (n=31). Didapatkan status besi normal 27/59 (45,8%), defisiensi besi 8/59 (13,5%), dan ADB 24/59 (40,7%). Nilai potong Ret-He untuk defisiensi besi adalah 28,8 pg dengan sensitivitas 75%, spesifisitas 85,2%, NDP 60%, NDN 92%, dan AUC 0,828. Nilai potong Ret-He untuk ADB adalah 28,15 pg dengan sensitivitas 75%, spesifisitas 88,9%, NDP 85,7%, NDN 80%, dan AUC 0,824. Parameter Ret-He tetap memerlukan pemeriksaan hemoglobin dalam mendiagnosis ADB. Pada anak PJB sianotik, defisiensi besi dapat ditegakkan dengan nilai Ret-He <28,8 pg dengan hemoglobin >16,5 g/dL. Anemia defisiensi besi dapat ditegakkan dengan nilai Ret-He <28,15 pg atau Ret-He 28,15-28,8 pg dengan hemoglobin <16,5 g/dL.
Kesimpulan. Reticulocyte hemoglobin equivalent dapat digunakan untuk mengevaluasi status besi anak PJB sianotik dengan nilai potong < 28,8 pg untuk defisiensi besi dan <28,15 pg untuk ADB.

Background: Pediatric cyanotic heart disease (CHD) has a significant risk developing iron deficiency and iron deficiency anemia (IDA) due to chronic hypoxia. Diagnostic challenge occurs as polycythemia and inflammation happened. Reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) is a new and reliable parameter for iron status evaluation. However, there is no previous study regarding cut-off value in pediatric CHD population.
Objective: To evaluate the role of Ret-He and to determine cut-off points in diagnosis of iron deficiency and IDA in pediatric CHD.
Methods: A diagnostic study of 59 children aged 3 months to 18 years with CHD in Cipto Mangunkusumo Hospital and Harapan Kita Women and Children’s Hospital. The hematological parameters (hemoglobin, hematocrite, mean corpuscular volume, mean corpuscular hemoglobin) and biochemical parameters for iron status (serum ferritin, transferrin saturation) evaluated to determine iron status and then compared to the Ret-He levels. The receiver operating characteristic (ROC) analysis was done for Ret-He cut-off points.
Result: The median age of the subjects was 23(3-209) months-old with 52.5% male (n=31). Normal iron status was found in 27 (45.8%) subjects, iron deficiency in 8 (13.5%) subjects, and IDA 24 (40.7%) subjects. The Ret-He cut-off point for iron deficiency is 28.8 pg (sensitivity 75%, specificity 85.2%, PPV 60%, NPV 92%, and AUC 0.828). The Ret-He cut-off point for IDA is 28.15 pg (sensitivity 75%, specificity 88.9%, PPV 85.7%, NPV 80%, and AUC 0.824). The usage of Ret-He should be accompanied by hemoglobin. In this population, iron deficiency could be diagnosed with Ret-He <28.8 pg with hemoglobin >16.5 g/dL. While IDA could be diagnosed with Ret-He <28.15 pg or Ret-He 28.15-28,8 pg with hemoglobin <16.5 g/dL.
Conclusion. Ret-He could be used as a parameter of iron status in pediatric CHD with a cut-off value <28.8 pg for iron deficiency and <28.15 pg for IDA.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rose Kusuma
"Defisiensi besi merupakan salah satu penyebab komorbid anemia renal yang dapat meningkatkan mortalitas anak dengan penyakit ginjal kronik (PGK) sehingga dibutuhkan parameter yang bernilai diagnostik baik. Diagnosis defisiensi besi pada PGK sulit karena memerlukan kombinasi parameter yang dipengaruhi inflamasi sehingga tidak praktis dan mahal. Rekomendasi parameter baru yang mudah, lebih murah, dan tidak dipengaruhi oleh inflamasi adalah reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He). Tujuan penelitian adalah mencari titik potong RET-He untuk diagnosis anemia defisiensi besi absolut dan fungsional pada anak PGK. Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap 59 anak PGK berusia 2-18 tahun di Indonesia. Kurva receiver operating characteristic (ROC) dikerjakan untuk menentukan titik potong RET-He optimal dengan menggunakan IBM SPSS versi 20. Reticulocyte hemoglobin equivalent dengan titik potong ≤ 25,75 pg (sensitivitas 90,00%, spesifisitas 73,47%, NDP 40,91%, NDN 97,30%, dan akurasi 76,27%) dapat digunakan untuk diagnosis anemia defisiensi besi absolut sedangkan RET-He dengan titik potong ≤ 30,15 pg (sensitivitas 85,71%, spesifisitas 32,79%, NDP 14,63%, NDN 94,44%, dan akurasi 38,98%) tidak dapat digunakan untuk diagnosis anemia defisiensi besi fungsional. Peneliti menarik kesimpulan bahwa RET-He dapat digunakan sebagai parameter anemia defisiensi besi pada anak PGK dengan nilai batasan ≤ 25,75 pg dan penggunaan RET-He dalam mendiagnosis defisiensi besi harus disertai dengan parameter lain seperti hemoglobin (Hb).

Iron deficiency are one causes of comorbid renal anemia that can increase mortality in pediatric chronic kidney disease (CKD) so that parameters with good diagnostic value are needed. The diagnosis of iron deficiency in CKD is difficult because it requires a combination of parameters which are affected by inflammation so it is impractical and expensive. The new parameter recommendation which is easy, cheaper, and not affected by inflammation is reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He). The aim of the study was to look for RET-He cut-off points in diagnosing absolute and functional iron deficiency anemia in pediatric CKD. This is a cross-sectional study of 59 children aged 2-18 years diagnosed as CKD in Indonesia. The receiver operating characteristic (ROC) curve was performed to determine the optimal RET-He cut off points using IBM SPSS version 20. Reticulocyte hemoglobin equivalent ≤ 25.75 pg (sensitivity 90.00%, specificity 73.47%, PPV 40.91%, NPV 97,30%, and accuracy 76.27%) can be used for the diagnosis of absolute iron deficiency anemia in pediatric CKD while RET-He with a cut off point ≤ 30.15 pg (sensitivity 85.71%, specificity 32.79%, PPV 14.63%, NPV 94.44%, and accuracy 38.98%) cannot be used for the diagnosis of functional iron deficiency anemia. The researcher draws the conclusion that REt-He can be used as a parameter of iron deficiency anemia in pediatric CKD with a cut-off value ≤ 25.75 pg and the usage of RET-He must be accompanied by other parameters such as hemoglobin (Hb)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58948
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ailinda Theodora Tedja
"Kesesuaian antara reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He) dan reticulocyte hemoglobin content (CHr) untuk menilai status besi pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis (PGK-HD) belum diketahui. Penelitian ini bertujuan mendapat kesesuaian antara RET-He dan CHr, serta nilai cut off RET-He sebagai target terapi besi pasien PGK-HD.
Desain penelitian potong lintang. Subyek 106 pasien PGK-HD yang diperiksa RET-He menggunakan Sysmex XN-2000 dan CHr dengan Siemens ADVIA 2120i. Didapatkan korelasi sangat kuat (r=0,91; p<0,0001) dan kesesuaian yang baik antara RET-He dan CHr (perbedaan rerata 0,5 pg). Nilai cut off RET-He 29,2 pg sebagai target terapi besi pasien PGK-HD memiliki sensitivitas 95,5%, spesifisitas 94%.

The concordance between reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He) and reticulocyte hemoglobin content (CHr) to assess iron status in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis (CKD-HD) was unknown. The aim of this study was to evaluate the concordance between RET-He and CHr, and to obtain the cut off value of RET-He as iron supplementation target in CKD-HD patients.
A cross sectional study from 106 CKD-HD patients were analysed on both Sysmex XN-2000 and Siemens ADVIA 2120i. There was very strong correlation (r=0.91; p<0.0001) and good concordance between RET-He and CHr (mean bias 0.5 pg). The cut off value of RET-He 29.2 pg were obtained to assess iron supplementation target in CKD-HD patients with sensitivity and specificity were 95.5% and 94% respectively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Veronika Petri Andriani
"Ekuivalen hemoglobin retikulosit menggambarkan banyaknya besi dalam retikulosit yang akan digunakan dalam proses pembentukan hemoglobin. Pada alat Sysmex parameter tersebut dikenal sebagai Ret-He. Namun demikian, saat ini parameter tersebut belum digunakan secara rutin di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai cut off, sensitivitas dan spesifisitas Ret-He untuk penilaian status besi pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis. Desain penelitian potong lintang, terdiri dari 120 subyek PGK dengan hemodialisis. Dilakukan pemeriksaan hematologi lengkap, Ret-He serta pemeriksaan besi serum dan unsaturated iron binding capacity (UIBC) untuk menghitung nilai saturasi transferin. Penentuan nilai cut off Ret-He berdasarkan kurva receiver operating characteristic (ROC) dengan saturasi transferin sebagai baku emas. Untuk penilaian status besi, didapatkan nilai cut off Ret-He 30,3 pg dengan sensitivitas 81,6% dan spesifisitas 76,8% . Parameter Ret-He dapat digunakan sebagai alternatif untuk penilaian status besi pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis.

Hemoglobin reticulocyte equivalent represent the iron content in the reticulocyte that will be used in hemoglobinization process. In Sysmex hematology analyzer this parameter known as Ret-He. However, this parameter has not been routinely used in Indonesia. The objective of this study is to determine cut-off, sensitivity and specificity of Ret-He to assess iron deficient state in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis. One hundred and twenty patients undergoing hemodialysis were included in the study. Complete blood count, Ret-He and transferin saturation were determined. The receiver operating characteristic curve were demonstrated to obtain the cut off value of Ret-He. In 30.3 pg Ret-He cut off point, the sensitivity and spesificity to assess iron deficient state were 81.6% and 76.8% respectively. Ret-He can be used as an alternative parameter to assess iron deficient state in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melita Adiwidjaja
"Defisiensi besi adalah defisiensi mikronutrien yang paling sering ditemui. Jika tidak diobati, dapat menyebabkan anemia defisiensi besi dan gangguan kognitif, terutama pada anak usia sekolah, yang ireversibel. Diagnosis defisiensi besi rumit, tidak praktis, dan mahal. Organisasi AAP merekomendasikan RET-He sebagai pemeriksaan laboratorium untuk skrining defisiensi besi. Tujuan penelitian adalah untuk mencari nilai batasan RET-He untuk skrining status besi pada anak usia 6 – 18 tahun. Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap 207 anak sehat usia 6 - 18 tahun di Indonesia. Penelitian ini mencari nilai batasan RET-He untuk skrining status besi, kemudian dibandingkan dengan hemoglobin, mean corpuscular volume, feritin, dan saturasi transferin. Kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batasan RET-He untuk skrining status besi dengan menggunakan IBM SPSS versi 22. Pemeriksaan RET-He mendapatkan nilai batasan ≤ 30,3 pg (sensitivitas 100%, spesifisitas 19,7%, NDN 100%, NDP 5,4%) untuk skrining deplesi besi; nilai batasan RET-He ≤ 28,9 pg (sensitivitas 78,9%, spesifisitas 56,2%, NDN 92,2%, dan NDP 28,9%) untuk defisiensi besi; dan nilai batasan RET-He ≤ 27 pg (sensitivitas 75%, spesifisitas 80%, NDN 98,1%, dan NDP 18,7%) untuk anemia defisiensi besi. Peneliti menarik kesimpulan bahwa RET-He dapat digunakan sebagai parameter skrining defisiensi besi dengan nilai batasan ≤ 28,9 pg. Skrining untuk anemia defisiensi besi dapat menggunakan RET-He dengan nilai batasan ≤ 27 pg, namun harus dilakukan dengan parameter lain, seperti Hb. Pemeriksaan RET-He dengan nilai batasan ≤ 30,3 pg tidak dapat digunakan untuk skrining deplesi besi.

Iron deficiency (ID) is the most common micronutrient deficiency in the world. Left untreated, ID will lead to iron deficiency anemia (IDA) and other irreversible consequences. Screening iron deficiency is complex, impractical, and expensive. The AAP recommended RET-He as an alternative laboratory examination to screen ID. The objective is to find RET-He cut-off value to screen for iron status in healthy children, aged 6 – 18 years old. This study is a cross-sectional study of 207 children aged 6 – 18 years old in Indonesia. RET-He was compared with hemoglobin, mean corpuscular volume, ferritin to assess iron status in children. Receiver operating curve was performed to determine the optimal cut-off value for RET-He using IBM SPSS 22. Reticulocyte hemoglobin equivalent with cut-off value ≤ 30.3 pg was established to screen iron depletion (100% sensitivity, 19.7% specificity, 100% NPV, 5.4% PPV); meanwhile RET-He ≤ 28.9 pg to screen iron deficiency (78.9% sensitivity, 56.2% specificity, 92.2% NPV, 28.9% PPV); and RET-He ≤ 27 pg to screen IDA (75% sensitivity, 80% specificity, 98.1% NPV, 18.7% PPV). The researcher concluded that RET-He can be used as an iron deficiency screening parameter with a cut-off value ≤ 28.9 pg. Screening for IDA with RET-He ≤ 27 pg need to be done with other parameters, such as Hb. RET-He ≤ 30.3 pg cannot be used for iron depletion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59203
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petriana Primiastanti
"Defisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi terbanyak di seluruh dunia, dengan prevalensi tertinggi pada kelompok perempuan usia reproduksi. Di Indonesia prevalensi anemia defisiensi besi pada ibu hamil 50,5%. Penting dilakukan penapisan dini sebelum terjadi anemia defisiensi besi, untuk mencegah komplikasi sistemik yang permanen, pada ibu maupun janin.
Saat ini telah dikembangkan parameter ekuivalen hemoglobin retikulosit (RET-He) yang mendeteksi kadar hemoglobin dalam retikulosit. Usia retikulosit di sirkulasi hanya 24-48 jam, maka RET-He lebih menggambarkan keadaan sebenarnya dari status besi pada sumsum tulang. Saat besi di sumsum tulang menurun, RET-He akan mengalami penurunan. Pemeriksaan RET-He dilakukan pada alat hitung sel darah otomatis dan tidak memerlukan tabung darah tambahan karena dilaporkan sebagai bagian dari hitung retikulosit.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rentang nilai RET-He pada perempuan usia reproduksi, melakukan penapisan defisiensi besi pada perempuan hamil trimester I dan II menggunakan RET-He dan membandingkannya hemoglobin, feritin, dan saturasi transferin. Juga untuk mendapatkan titik potong RET-He dengan sensitivitas dan spesifisitas yang optimal pada perempuan hamil trimester I dan II.
Didapatkan rentang nilai RET-He pada perempuan usia reproduksi 30,69-36,17 pg. Didapatkan 100 perempuan hamil trimester I dan II yang terdiri dari 3 kelompok berdasarkan feritin dan saturasi transferin yaitu 67 (67%) subyek tanpa defisiensi besi, 17 (17%) subyek dengan defisiensi besi tahap I, dan 16 (16%) subyek dengan defisiensi besi tahap II. Rerata ± SD kadar hemoglobin, RET-He, dan saturasi transferin adalah 12,35 ± 1,02 g/dL, 33,60 ± 1,88 pg, dan 28,63 ± 1,07%. Median(min-maks) feritin adalah 40,10 (6,24 ± 191,30) ng/mL.
Dari kurva ROC untuk menentukan titik potong nilai RET-He yang memberikan sensitivitas dan spesifisitas terbaik dibandingkan dengan feritin sebagai baku emas, didapatkan RET-He dengan titik potong 33,65 pg pada sensitivitas 67% dan spesifisitas 64,18% dan area under the curve (AUC) 66,4%, serta didapatkan PPV 47,8%, NPV 79,6%, LR positif 1,86 dan LR negatif 0,52. Ditemukan perbedaan bermakna kadar RET-He antara kelompok tanpa defisiensi besi dan kelompok defisiensi besi tahap II dan antara kelompok defisiensi besi tahap I dan tahap II. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok tanpa defisiensi besi dan kelompok defisiensi besi tahap I.

Iron deficiency is the most common nutrient deficiency in the world, on developing and industrial countries. Population with highest risk of iron deficiencies is women in reproductive ages. In Indonesia the prevalence of iron deficiency anemia in pregnant women is 50,5%. Iron deficiency anemia in pregnancy can affect to both mother and fetus. In order to prevent permanent systemic complications, it is important to do early detection before iron deficiency anemia developed.
On early phase of iron deficiency before anemia developed, we need an additional test of ferritin, serum iron and saturation index aside from complete blood count. Nowadays people developed a parameter named reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He) which detect the hemoglobin in a young erythrocyte. Reticulocyte will be on circulation for only 24-48 hours, so the RET-He will give more appropriate condition of bone marrow iron. In condition where the bone marrow iron is depleted, the RET-He shows a decrease. This parameter can be tested together with CBC, so that it will not need additional blood sample.
This research aim to attain RET-He reference range on reproductive age women, to screen iron deficiency on first and second trimester pregnant women with RET-He and compare it to other parameters that available now : hemoglobin, ferritin, transferrin saturation, and to develope RET-He cut-off with optimal sensitivity and specificity.
RET-He’s reference range on reproductive women is 30,69-36,17 pg. We attained 100 I and II trimester pregnant women which can be divided into 3 groups based on ferritin and transferrin saturation : 67 women (67%) without iron deficiency, 17 women (17%) with iron deficiency stage I, and 16 women (16%) with iron deficiency stage II. Hemoglobin’s, RET-He’s and transferrin saturation’s mean ± SD are 12,35 ± 1,02 g/dL, 33,60 ± 1,88 pg, and 28,63 ± 1,07%. Ferritin’s median(min-max) are 40,10(6,24-191,30) ng/mL. Using ROC curve we found RET-He at 33,65 pg as an optimal cut-off point to differentiate iron deficiency with 67% sensitivity, 64,18% specificity, and 66,4% area under the curve (AUC).
From crosstabs table of RET-He with ferritin as gold standard and 33,65 pg as cut-off point we attained 47,8% PPV, 79,6% NPV, positive LR 1,86 and negative LR 0,52. We found significant differences of RET-He between non-iron deficiency and iron deficiency stage II groups and between iron deficieny stage I and iron deficiency stage II groups. There was no difference between non-iron deficiency and iron deficiency stage I groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Sisca Natalia
"Latar Belakang. Trombosis arteri merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien penyakit jantung bawaan (PJB) pasca tindakan kateterisasi jantung yang konsekuensinya dapat berat sampai mengancam nyawa. Kejadian ini dilaporkan bervariasi, sekitar 1%-30% oleh beberapa penelitian dengan faktor-faktor risiko yang ditemukan berkaitan dengan prosedur kateterisasi, usia dan berat badan. Hipoksemia pada PJB sianotik memicu berbagai abnormalitas yang meningkatkan risiko trombosis sesuai Trias Virchow, yaitu perubahan aliran darah, komposisi darah, dan integritas dinding pembuluh darah. Apakah faktor predisposisi ini yang merupakan faktor utama penyebab kejadian trombosis pada pasien PJB sianotik pasca kateterisasi belum diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara hipoksemia pada sianotik dengan terjadinya trombosis arteri pasca kateterisasi.
Metode. Studi potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS PJNHK) pada pasien PJB yang menjalani kateterisasi. Subyek dipisahkan dalam kelompok sianotik dan asianotik berdasarkan jenis kelainan jantung dan dilakukan pengukuran saturasi darah yang diambil secara langsung dan pemeriksaan dengan oximetry perifer dengan titik potong 95% untuk mengetahui hipoksemia dan hipoksia. Pasca kateterisasi dilakukan pemeriksaan duplex ultrasonografi (USG) untuk melihat adanya trombosis arteri. Kejadian trombosis dinilai dengan temuan berupa trombus dan perubahan gelombang doppler sampai ke distal ekstremitas.
Hasil Penelitian. Sebanyak 86 pasien PJB yang diikutsertakan dalam penelitian ini, dengan proporsi kelompok sianotik sebanyak 53 (61.6%) dan asianotik 33 (38.4%). Pada kelompok sianotik, trombosis terjadi pada 24.4%, sedangkan pada kelompok asianotik didapatkan 4.7%. Didapatkan hubungan yang bermakna antara hipoksemia pada PJB sianotik dengan terjadinya trombosis arteri pasca kateterisasi dengan risiko yang tinggi (OR 4.758; 95% IK 1.460-15.505; p= 0.006).
Kesimpulan. Penelitian prospektif ini menemukan hubungan yang bermakna antara hipoksemia pada PJB sianotik dengan terjadinya trombosis arteri pasca kateterisasi. Risiko terjadinya trombosis lebih tinggi pada PJB sianotik.

Background. Arterial thrombosis is one of complication that can happen to congenital heart disease patient post catheterization which consequence can be life threathening. According to many studies, the incidence varies between 1% to 30% and the risk factors are related to catheterization procedure, age and weight. Hypoxemia in cyanotic stimulates various abnormalities which based on Trias Virchow will increase the risk for thrombosis which are change in blood flow, blood composition and endothelial integrity. Whether this predisposition factor is the main factor causing post catheterization thrombosis is still uncertain. Therefore, the purpose of this study is to find the association between hypoxemia in cyanotic and the occurrence of post catheterization arterial thrombosis.
Methods. This cross sectional study is conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) to congenital heart disease patients undergoing catheterization. The subjects are divided into 2 groups: cyanotic and acyanotic based on the abnormality of the heart and the degree of saturation that measured directly from the blood and peripheral oxygen saturation with oximetry. Hypoxemia was defined as oxygen saturation less than 95%. Duplex sonography is conducted post chateterization to find the arterial thrombosis. Thrombosis is diagnosed with the appearance of thrombus and the change of Doppler waveform from proximal to distal extremity.
Results. There are 86 post catheterization congenital heart disease patients involved in this study. They are subsequently divided into 2 groups: 53 (61.6%) in cyanotic group, and 33 (38.4%) in acyanotic group. Post catheterization arterial thrombosis is found in 24.4% of cyanotic subjects, and 4.7% in that of acyanotic subjects. Significant association between hypoxemia in cyanotic congenital heart disease and post catheterization arterial thrombosis is found. The risk for cyanotic congenital heart disease with hypoxemia to have arterial thrombosis is high. (OR 4.758; 95% IK 1.460-15.505; p= 0.006).
Conclusion. This prospective study has demonstrated the significant association between hypoxemia in cyanotic congenital heart disease with post catheterization arterial thrombosis. The risk for having thrombosis is high in cyanotic congenital heart disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harvey Romolo
"Latar belakang: Kardioplegia merupakan komponen penting proteksi miokard. Pada pasien dewasa, kardioplegia darah dinyatakan unggul dibanding kardioplegia kristaloid. Pada bedah jantung anak belum ada penelitian yang membuktikan hal ini, khususnya pada operasi jantung bawaan sianotik. Metode: Penelitian eksperimental dengan simple randomization pada 70 populasi pasien TOF yang dibagi menjadi dua kelompok; 35 pasien kelompok kardioplegia kristaloid CC sebagai kontrol dan 35 pasien kelompok kardioplegia darah BC . Dilakukan pemeriksaan metabolik jantung: selisih kadar laktat dan ekstraksi oksigen darah arteri dan sinus koronarius ; segera, menit ke-15 dan menit ke-30 setelah CPB dihentikan. Dilakukan juga observasi klinis terhadap; mortalitas, penggunaan inotropik, durasi ventilasi mekanik, aritmia, fungsi jantung kanan, lama rawat ICU, lama rawat rumah sakit dan major adverse cardiac events. Hasil: Selisih kadar laktat tidak berbeda bermakna p>0,05 . Selisih ekstraksi oksigen koroner ditemukan berbeda bermakna pada menit ke-0 dan menit ke-15 p=0,038 dan p=0,015 . Tidak ada perbedaan pada luaran klinis. Kesimpulan: Tidak ditemukan perbedaan klinis maupun cedera miokard yang bermakna antara kedua kardioplegia. Kardioplegia darah ditemukan unggul secara metabolik pascabedah dan dapat dipakai sebagai alternatif untuk operasi jantung pasien sianosis.

Backgrounds Cardioplegia is an integral part of myocardial protection. Several authors reported the superiority of blood cardioplegia in adult patients. However, this is yet to be studied in cyanotic pediatric patients. Methods This study is a double blind randomized controlled trial. 70 TOF patients were devided into two groups 35 patients in crystalloid cardioplegia group CC as control, and 35 in blood cardioplegia group BC . Lactate and coronary oxygen extraction in arterial blood and coronary sinu, were measured immediate, 15 and 30 minutes after CPB caessation. Postoperative mortality, major adverse cardiac events, mechanical ventilation time, inotropic administrations, arrhytmias, right ventricular function, ICU and hospital length of stay were observed. Results There were no significant difference in clinical outcomes and difference in lactate levels p 0.05 . There is a significant difference in coronary oxygen extraction immediate and 15 minutes post CPB off p 0,038 dan p 0,015 . Conclusions Blood cardioplegia gave a better postoperative myocardial metabolism value. However, there are no statistical difference in myocardial damage or clinical outcome between the two groups."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Auliani
"Latar Belakang: Penggunaan cardiopulmonary bypass dalam bedah jantung terbuka pada anak yang berkepanjangan dapat memicu koagulopati dan hemodilusi, serta menyebabkan perdarahan pasca operasi. Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko lebih tinggi karena sistem koagulasi darah mereka yang imatur. Meskipun demikian, tidak ada penelitian serupa yang betujuan untuk menilai hubungan antara keduanya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk meneliti korelasi antara CPB time dan perdarahan pasca operasi jantung terbuka pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik.
Metode: Penelitian ini bersifat descriptive-analytical dengan metode cross- sectional. Rekam medis 100 pasien anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Januari 2016 sampai dengan Maret 2018 digunakan sebagai sampel. Pasien anak berusia 0 sampai 17 tahun dengan penyakit jantung bawaan sianotik, yang telah melalui bedah jantung terbuka elektif digunakan sebagai sampel. Korelasi Spearman digunakan untuk meneliti hubungan antara CPB time dengan perdarahan pasca operasi.
Hasil: Dari 100 data yang diperoleh, tidak terdapat korelasi antara CPB time dan perdarahan pasca operasi (p = 0.087). Median dari CPB time adalah 87 menit (29 – 230). Perdarahan pasca operasi pasien memiliki median 15.3/kgBB dalam 24 jam (3.0 – 105.6).
Konklusi: Tidak ada hubungan antara CPB time dan post-operative bleeding pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Faktor lain dapat mempengaruhi kedua variabel diteliti, termasuk dari pasien sendiri dan dari tindakan operasi, seperti kemampuan operator menangani perdarahan serta jenis prosedur operasi. Maka dari itu, CPB time tidak dapat dianggap sebagai faktor tunggal yang dapat mempengaruhi perdarahan pasca operasi.

Background: Prolonged use of cardiopulmonary bypass during open heart surgery can induce coagulopathy and hemodilution, contributing towards post-operative bleeding. Pediatric patients with cyanotic congenital heart disease are susceptible due to presence of immature coagulation system. However, no similar studies have been done to assess the relationship between the two.
Aim: This study aims to assess correlation between CPB time and post-operative bleeding in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease undergoing open heart surgery.
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Medical records of 100 pediatric patients from Cipto Mangunkusumo General Hospital between January 2016 to March 2018 were used. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, who underwent elective open heart surgery were included as sample. Spearman’s correlation was used to determine correlation between CPB time and post-operative bleeding.
Result: Data from 100 patients were obtained. No correlation was observed between CPB time and post-operative bleeding (p = 0.087). Patients’ CPB time has a median of 87 minutes (29 – 230). Patients’ post-operative bleeding has a median of 15.3 ml/kgBW in 24 hours (3.0 – 105.6).
Conclusion: CPB time and post-operative bleeding has no correlation in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease. Presence of various factors can influence both variables, including from the patients or operative factors, including dexterity of operator and applied procedure. Thus, CPB time cannot be held responsible as a single determining factor for post-operative bleeding.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>