Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8181 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Weinberger, Steven E.
Philadelphia, PA: Elsevier, 2019
616.24 WEI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Harris, William
New Delhi: SEARO, 2001
362.196 HAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwien Heru Wiyono
"Pasien penderita penyakit pant obstruktif kronik ( PPOK ) tampaknya mendapatkan manfaat dari program rehabiltiasi paru. Penelitian ini mengkaji manfaat program rehabilitasi paru pada pasien rawat jalan yang menderita PPOK, dengan menggunakan St George Respiratory Questionnaire (SGRQ) dan six min walking distance test (6MWD), yang mengukur kualiti hidup kesehatan dan toleransi latihan fungsional sebagai hasil pengukuran utama. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, terbuka, acak dengan kelompok kontrol paralel yang diberikan program rehabilitasi pasien rawat jalan pada 56 pasien penderita PPOK (52 orang laki-laki dan 4 orang perempuan). Kelompok aktif(n= 27) diberikan program edukasi dan latihan selama 6 minggu. Kelompok kontrol (n= 29) diperiksa secara rutin sebagai pasien medis rawat jalan. SGRQ dan 6MWD ditakukan pada saat awal penelitian dan setelah 6 minggu. Didapatkan hasil SGRQ dan 6MWD sebelum dan sesudah terapi. Berdasarkan statistik, SGRQ menurun dan skor 6MWD meningkat secara signifikan pada kelompok aktif dibandingkan kelompok kontrol. Disimpulkan bahwa program selama 6 minggu pada pasien rawat jalan ini secara signifikan telah rneningkatkan kualiti hidup dan kapasitas fungsional pasien PPOK derajat ringan hingga sedang. (MedJ Indones 2006; 15:165-72)

Patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) have been shown to be benefit from pulmonary rehabilitation programs. We assessed an entirely outpatient-based program of pulmonary rehabilitation in patients with COPD, using the Si George's Respiratory Questionnaire (SGRQ) and six minutes walking distance test (6MWD) (which measures health-related quality of life and functional exercise tolerance) as the primary outcome measure. We undertook a randomized, opened, prospective, parallel-group controlled study of outpatient rehabilitation program in 56 patients with COPD (52 men and 4 women). The active group (n~27) took part in a 6-weeks program of education and exercise. The control group (n=29) were reviewed routinely as medical outpatients. The SGRQ and 6MWD were administered at study entry and after 6 weeks. Outcome with SGRQ and 6MWD before and after therapy was performed. Decrease score SGRQ and increase 6MWD in both groups of study, it was analyzed by statistic study and in active group the decrease of SGRQ and the increase of 6MWD was statistically significant. In conclusion 6-weeks outpatient-based program significantly improved qualify of life and functional capacity in mild-to-moderate COPD patient. (Med J Indones 2006; 15:165-72)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-3-JulySept2006-165
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Gozali
"Latar Belakang: Beban penyakit paru obstruktif kronik PPOK terus menunjukkan peningkatan di seluruh dunia. Penyakit komorbid yang biasa muncul pada PPOK salah satunya adalah penyakit kardiovaskular contohnya aritmia. Prevalens aritmia pada PPOK berkisar antara 12-14 . Terdapat kesamaan faktor antara PPOK dan aritmia, antara lain usia tua dan perokok. Aritmia yang disebabkan oleh obat-obatan bronkodilator juga banyak menyita perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Asma- PPOK Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan pada bulan Januari-April 2018 untuk melihat prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil. Delapan puluh tiga pasien PPOK stabil di ambil untuk ikut dalam penelitian ini secara consecutive sampling. Pada semua pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan tekanan darah, elektrokardiografi EKG dan laboratorium.
Hasil: Sebanyak 83 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki-laki 95,2 . Usia rerata subjek adalah 66,58. Prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil sebesar 24,1 dengan distribusi sinus takikardia sebesar 9,64 , PVCs sebesar 8,43 , PACs sebesar 3,61 dan sinus bradikardia sebesar 2,41 . Ditemukan hubungan bermakna antara kadar klorida dengan kejadian aritmia pada pasien PPOK stabil. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, kelompok PPOK, penggunaan obat-obat bronkodilator, kadar pO2 dan pCO2 dengan kejadian aritmia pada pasien PPOK stabil.
Kesimpulan: Prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil dalam penelitian ini adalah sebesar 24,1 . Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dengan lebih baik hubungan aritmia dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Background:Chronic obstructive pulmonary disease COPD represents an increasing burden worldwide. One of the major comorbodities in COPD is cardiovascular events such as arrhythmias. The estimated prevalence of arrhythmias in COPD patients is 12-14 . Chronic obstructive pulmonary disease and arrhtyhmias have common risk factors, such as older age and smoking. Arrhythmias caused by bronchodilators have received considerable attentions. The aim of this study is to reveal the prevalence of arrhythmias in stable COPD patients.
Method: This study is a cross sectional study among stable COPD patients who visit asthma ndash; COPD clinic in Persahabatan Hospital on January to April 2018 to explore the prevalence of arrhythmias in COPD patients. Eighty three COPD patients were participating in the study on a consecutive sampling basis. All patients were interviewed, doing blood pressure, electrocardiography ECG and laboratory examination. Result: A total of 83 patients participated in this study with almost all of the subjects were males 95,2 . The mean age of the subjects was 66,58. The prevalence of arrhythmias in stable COPD patients was 24,1 with sinus tachycardia by 9,64 , PVCs by 8,43 , PACs by 3,61 , and sinus bradycardia by 2,41 . There was a significant association between chloride level and arrhythmias events in stable COPD patients. There was no significant association between sex, age, bronchodilator use, pO2 dan pCO2 levels with arrhythmias events in stable COPD patients. Conclusion: The prevalence of arrhythmias in stable COPD patients in this study is 24,1. Further study is needed to determine the association between arrhythmia and the affecting factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ameru Ulfalian
"Latar belakang : Arterial switch operation (ASO) adalah operasi pilihan untuk penanganan penyakit jantung bawaan transposition of the great arteries with intact ventricular septum (TGA IVS). Namun, terdapat komplikasi regurgitasi katup neoaorta yang memengaruhi keluaran jangka pendek dan panjang pascaprosedur ASO. Prosedur pulmonary artery (PA) banding yang merupakan bagian dari ASO dua tahap bagi pasien TGA IVS berusia di atas tiga minggu merupakan salah satu faktor risiko yang diduga memengaruhi regurgitasi katup neoaorta. Akan tetapi, belum diketahui pengaruh PA banding terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada pasien TGA IVS di Indonesia.
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh PA banding terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO, karakteristik pasien TGA IVS, prevalensi regurgitasi katup neoaorta, dan pengaruh faktor risiko lain (rentang waktu antara PA banding dan ASO, usia, jenis kelamin, konfigurasi arteri koroner dan anatomi katup neoaorta) terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada TGA IVS di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK), Indonesia.
Metode : Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif berdasarkan data sekunder dari bagian rekam medis RSPJNHK pada pasien TGA IVS yang dilakukan dan tidak dilakukan PA banding sebelum ASO pada periode 2010-2022. Variabel yang dinilai antara lain PA banding, rentang waktu antara PA banding dan ASO, usia, jenis kelamin, konfigurasi arteri koroner dan anatomi katup neoaorta.
Hasil : Hasil penelitian ini terdapat 123 subjek yang terdiri dari 41 subjek kelompok PA banding dan 82 subjek kelompok tidak PA banding; median usia kelompok PA banding 14 (4–172) minggu, tidak PA banding 7 (4–364) minggu. Prevalensi regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada pasien TGA IVS di Indonesia adalah 37,4%; derajat regurgitasi ringan mendominasi pada kelompok PA banding tidak PA banding sebelum ASO dengan persentase 74,0% dan 60,9%. Pulmonary artery banding memiliki hubungan bermakna secara statistik (p = 0,010) dengan regurgitasi katup neoaorta dalam analisis multivariat dan meningkatkan regurgitasi katup neoaorta 3,01 (IK 95% 1,30 – 6,95) kali dibandingkan tanpa PA banding. Rentang waktu lambat antara PA banding dan ASO memiliki hubungan bermakna secara statistik (p = 0,010) dengan regurgitasi katup neoaorta dalam analisis bivariat subgrup dan meningkatkan regurgitasi katup neoaorta 2,46 (IK 95% 1,21 – 5,00) kali dibandingkan dengan rentang waktu cepat.
Simpulan : Berdasarkan penelitian ini, PA banding dan rentang waktu lambat antara PA banding dan ASO memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan regurgitasi katup neoaorta dan meningkatkan risiko regurgitasi katup neoaorta pada pasien TGA IVS yang menjalani ASO.

.Background : Arterial switch operation (ASO) is the treatment of choice for transposition of the great arteries with intact ventricular septum (TGA IVS). However, regurgitation of neoaortic valve was one complication that affect the short-term and long- term outcome after ASO. Pulmonary artery (PA) banding procedure, the first of two step in two-stage ASO done particularly for patient older than three weeks old, was thought to be the risk factor for developing neoaortic valve regurgitation. However, there was no data supporting this statement in Indonesia.
Aim : The aim of this study is to understand the effect of PA banding on neoaortic valve regurgitation after ASO in TGA IVS, patient’s characteristics, prevalence of neoaortic valve regurgitation and effect of other risk factors (age, gender, time interval between PA banding and ASO, coronary artery configuration and neoaortic valve anatomy) on neoaortic valve regurgitation after ASO in TGA IVS in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK), Indonesia.
Method : This study was a retrospective cohort based on secondary data from medical record of NCCHK on patient with TGA IVS who underwent and not underwent PA banding prior to ASO in 2010 to 2022 time period. The variables assessed including PA banding, time interval between PA banding and ASO, age, gender, coronary artery configuration and neoaortic valve anatomy.
Result : There were 123 subjects in this study, consisted of 41 subjects in PA banding group and 82 subjects in non PA banding group; median age in PA banding group was 14 (4–172) weeks, non PA banding group 7 (4–364) weeks. Prevalence of neoaortic valve regurgitation post ASO in TGA IVS in Indonesia was 37.4%; with mild regurgitation dominated in PA banding and non PA banding prior to ASO group with percentage of 74.0% and 60.9%, respectively. Pulmonary artery banding had statistically significant correlation (p = 0,010) with neoaortic valve regurgitation in multivariate analysis and increasing risk of developing regurgitation by 3,01 (CI 95% 1,30 – 6,95) compared with non PA banding. Late time interval between PA banding and ASO had statistically significant correlation (p = 0.010) with neoaortic valve regurgitation in subgroup bivariate analysis and increasing risk of developing regurgitation by 2.46 (CI 95% 1.21 – 5.00) compared with rapid time interval between PA banding and ASO.
Conclusion : Based on this study, PA banding dan late time interval between PA banding and ASO had statistically significant correlation with neoaortic valve regurgitation and increasing risk of developing neoaortic valve regurgitation in TGA IVS patient underwent ASO.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Maruli Tua
"Latar Belakang: Hipertensi arterial paru (HAP) memiliki mortalitas yang tinggi. HAP dapat disebabkan oleh defek septum atrium sekundum (DSAS). DSAS dengan HAP perlu diperiksa dengan kateterisasi jantung kanan (KJK) untuk menilai resistensi vaskular paru (RVP). Pengukuran pulmonary artery compliance (Cp) dengan cara invasif merupakan prediktor miliki nilai prognostik untuk meramalkan penyakit vaskular paru (PVP) dan mortalitas dibanding RVP. Fasilitas KJK belum tersedia merata di Indonesia. Gambaran notch pada kurva PW Doppler alur keluar ventrikel kanan (AKVKa) ditemukan pada pasien dengan Cp rendah. Karena itu, kami mencoba mencari korelasi antara time-tonotch dengan Cp yang didapat secara invasif. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara time-to-notch dengan Cp pada pasien DSAS. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan consecutive sampling pada pasien DSA sekundum dewasa (≥ 18 tahun) yang menjalani kateterisasi jantung kanan (KJK) di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita sejak Maret 2019 sampai Juni 2022. Parameter time-tonotch dari ekokardiografi akan diuji korelasinya dengan Cp yang didapat dari KJK. Hasil: Terdapat 84 pasien DSAS yang dilakukan analisis. Dari korelasi bivariat didapatkan bahwa time-to-notch memiliki korelasi positif sedang dengan Cp (r = 0,575, p < 0.0001). Variabel lain yang bermakna dalam uji bivariat adalah TRVmax, AKVKa VTI, PVAccT, TAPSE dan hemoglobin. Melalui regresi linier didapatkan bahwa variabel time-to-notch, TRVmax dan TAPSE dapat memprediksi Cp (R2 =0,49). Kesimpulan: Terdapat korelasi positif dengan kekuatan sedang antara time-to-notch dan Cp pada pasien DSAS. Kombinasi time-to-notch, TRVmax dan TAPSE dapat memprediksi Cp.

.Background: Pulmonary arterial hypertension (PAH) is a devastating condition with a high mortality rate. Secundum atrial septal defect (ASD) may cause PAH. It needs right heart catheterization (RHC) to assess pulmonary vascular resistance (PVR) in such patients. Pulmonary artery compliance (Cp) is another parameter gained from RHC that has better diagnostic and prognostic value to assess PAH compared to RVP. RHC facility is still not widely available in Indonesia. Low Cp is one of the factors influencing the notching in the right ventricular outflow tract (RVOT) PW Doppler curve. Therefor we try to find the correlation between time-to-notch and Cp. Objective: The study aims to evaluate correlation between time-to-notch and Cp in patients with secundum ASD. Methods: This is a cross sectional study with consecutive sampling in grown-up secundum ASD patients (≥ 18 years old) undergoing right heart catheterization (RHC) in National Cardiac Centre Harapan Kita from March 2019 to June 2022. The correlation between time-to-notch gained from echocardiography and Cp gained from RHC are then assessed. Results: There are 84 patients with secundum ASD included for analysis. From bivariat correlation time-to-notch and Cp have positive moderate correlation (r = 0.575, p < 0.0001). Other variables that also have significant correlation with Cp include TRVmax, RVOT VTI, PVAccT, TAPSE, and haemoglobin. However, multivariate analysis shows that only time-to-notch, TRVmax and TAPSE can predict Cp (R2= 0.49). Conclusions: There is moderate positive correlation between time-to-notch and Cp in secundum ASD. Combination time-to-notch, TRVmax and TAPSE can predict Cp."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiya Diena Nasuha
"Latar belakang: Aspergillosis paru kronik (APK) menjadi salah satu penyakit yang sering ditemukan pada pasien dengan kerusakan jaringan paru, misalnya tuberkulosis (TB). Deteksi antibodi Aspergillus merupakan modalitas utama pendukung diagnosis APK. Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui cut-off optimal ELISA manual Bordier dalam deteksi antibodi Aspergillus di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang. Pemeriksaan sampel menggunakan metode ELISA manual Bordier sebagai uji diagnostik APK. Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan cut-off optimal pemeriksaan.
Hasil: Sebagian besar subjek penelitian merupakan kelompok usia <60 tahun (89,1%) dengan rentang usia 17-72 tahun dan median 34 tahun. Cut-off optimal memberikan sensitivitas 43,48% dan spesifitas 100%. Sedangkan, sensitivitas pada cut-off 0.780, 0.850 dan 0.930 menunjukkan sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan cut-off 1,595 dan cut-off pabrik (>1,0). Diabetes (15,6%) dan asma (10,9%) diketahui menjadi temuan yang lebih banyak pada pasien APK dibandingkan penyakit komorbid lainnya.
Kesimpulan: ELISA manual Bordier cut-off 1,595 dengan spesifitas 100%, dapat menjadi alat skrining awal diagnosis APK. Hasil positif pada pemeriksaan disertai gejala klinis dan radiologis mengarah APK dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan hasil negatif membutuhkan investigasi lanjut dengan pemeriksaan ELISA otomatis.

Introduction: Chronic pulmonary aspergillosis (APK) is one of the diseases that are often found in patients with lung tissue damage, for example tuberculosis (TB). Aspergillus antibody detection is the main modality supporting the diagnosis of APK. This study aims to determine the optimal cut-off of Bordier's manual ELISA in the detection of Aspergillus antibodies in Indonesia.
Method: This study used a cross-sectional study design. Sampel examination using Bordier's manual ELISA method as a diagnostic APK test. The data obtained are analyzed to determine the optimal cut-off of the examination.
Result: Most of the study subjects were <60 years old age group (89.1%) with an age range of 17-72 years and a median of 34 years. The optimal cut-off provides 43.48% sensitivity and 100% specificity. Meanwhile, the sensitivity at cut-offs of 0.780, 0.850 and 0.930 showed better sensitivity compared to cut-offs of 1.595 and factory cut-offs (>1.0). Diabetes (15.6%) and asthma (10.9%) are known to be more common in APK patients than other comorbid diseases.
Conclusion: ELISA manual Bordier cut-off 1,595 with 100% specificity, can be an early screening tool for APK diagnosis. Positive results on examination accompanied by clinical and radiological symptoms leading to APK can be used to establish a diagnosis, while negative results require further investigation with automated ELISA examination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Muslim Nazaruddin
"Latar belakang: Kapasitas difusi paru berdasarkan karbon  ke  sirkulasi pulmoner. Nilai DLCO prediksi pada asma cenderung normal atau sedikit monoksida (DLCO) didesain untuk mengukur laju perpindahan gas CO dari alveolus meningkat sedangkan pada PPOK kapasitas difusi cenderung menurun akibat emfisema. Sindrom tumpang-tindih asma-PPOK dinyatakan sebagai entitas yang unik dengan kombinasi karakteristik asma dan PPOK. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui nilai DLCO pada pasien tumpang tindih asma- PPOK (TAP) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Uji DLCO dengan metode napas tunggal dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya telah dilakukan pada 40 pasien yang terdiagnosis sebagai TAP. Diagnosis TAP pada subjek penelitian ditegakkan menggunakan kriteria pedoman GINA/GOLD 2017. Kriteria akseptabilitas dan reprodusibilitas DLCO napas tunggal dinilai menggunakan kriteria dari ATS/ERS 2017. Hasil uji DLCO disajikan dalam nilai mutlak dan nilai persen prediksi.
Hasil: Rerata nilai DLCO mutlak dan %DLCO prediksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 17.98 ± 5.37 mL/menit/mmHg dan 84.16 ± 18.29%. Jika menggunakan persamaan penyesuaian DLCO berdasarkan kadar hemoglobin didapatkan nilai %DLCO prediksi sedikit meningkat dibanding sebelumnya. Terdapat 10 subjek (25.0%) yang mengalami penurunan nilai DLCO. Enam diantaranya mengalami penurunan ringan dan empat lainnya mengalami penurunan sedang.
Kesimpulan : Rerata nilai DLCO pada subjek TAP di RSUP Persahabatan Jakarta dapat diinterpretasikan normal, lebih menyerupai asma dibandingkan PPOK. Hasil ini juga mengindikasikan kebanyakan pasien TAP dalam penelitian ini tidak mengalami penurunan luas permukaan alveolar yang mengganggu proses difusi

Background: Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) was designed to measure transfer rate of carbon monoxide from alveoli to pulmonary circulation. As we know, DLCO predicted value in asthma proved to be normal or slightly elevated. On contrary it decreased in COPD with emphysematous pattern. Asthma–chronic obstructive pulmonary disease overlap (ACO) declared as a unique entity with combined characteristics between asthma and COPD. The aim of the research is to find out DLCO value of ACO patient in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Method: We have conducted single-breath DLCO and other required test to 40 patients diagnosed with ACO using GINA/GOLD 2017 guidelines. The acceptability and reproducibility of single-breath DLCO was done according to ATS/ERS 2017 criteria. The result then presented as absolute value and percent predicted value.
Results: The mean DLCO of our patient is 17.98 ± 5.37 mL/minute/mmHg with percent predicted value is 84.16 ± 18.29%. Using adjusted DLCO equation for hemoglobin, we found that the value is slightly increased, 85.17 ± 18.04%. However, we found 10 patient (25.0%) with DLCO decrease. Six of them have DLCO predicted value <75% (mild-decrease) and four of them have DLCO predicted value <60% (moderate-decrease).
Conclusion: The mean DLCO value of patient with ACO in our hospital can be interpreted as normal, similar with asthma, rather than COPD. It also indicate most of our patient did not have alveolar loss that altering diffusion process.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Suryaatmaja
"Latar Belakang : Hipertensi pulmoner (HP) merupakan faktor independen kematian, kematian kardiovaskular, dan gagal jantung pada pengamatan 4 tahun pasien pascabedah katup mitral. Masalah pasien pascabedah thoraks adalah menurunnya fisiologi dan mekanik paru yang menyebabkan gangguan ventilasi perfusi dan hypoxia induced pulmonary vasoconstriction sehingga perbaikan HP pascabedah menjadi lambat.
Tujuan Penelitian : Menilai efek latihan pernapasan sebagai adjuvan latihan fisik yang terstruktur terhadap penurunan tekanan sistolik arteri pulmoner (TSAP) pada pasien pascabedah katup mitral dengan hipertensi pulmoner.
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda dan prospektif. Kelompok perlakuan diberikan latihan pernapasan 50% volume inspirasi maksimal (VIM) sebagai adjuvan latihan fisik atau plasebo pada kelompok kontrol selama rehabilitasi fase 2. Sampel diambil secara konsekutif dari populasi terjangkau pascaoperasi katup mitral yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 43 subyek yang terbagi dalam 2 kelompok yakni 21 orang kelompok perlakuan dan 22 orang kelompok kontrol. TSAP dinilai dengan ekokardiografi sebelum dan sesudah program latihan.
Hasil Penelitian : Didapatkan nilai TSAP sesudah latihan pada kelompok kontrol lebih rendah secara signifikan (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg;P<0.001) dan ∆TSAP kelompok perlakuan lebih besar secara signifikan (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg;P<0.001) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan : Terdapat penurunan TSAP yang lebih besar pada kelompok yang mendapatkan latihan pernapasan 50% VIM dibanding kelompok plasebo.

Background: Pulmonary hypertension is an independent factor for mortality, cardiovascular mortality, and heart failure in four years observation of patients underwent mitral valve operation. In patient with open chest surgery, lung physiology and mechanic function deteriorates. This leads to ventilation perfusion mismatch and hypoxia induced pulmonary vasoconstriction, causing problems in recovery post operatively.
Objectives: To study the effect of respiratory training as an adjuvant to structured physical exercise in the decrease of pulmonary artery systolic pressure in patient with pulmonary hypertension post mitral valve surgery.
Methods: a double blind randomized trial was done, dividing 2 groups of subjects. It company the effect of respiratory training of 50% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant intervention to the current phase 2 rehabilitation program in intervention group vs control group. Sample was taken consecutively in patient underwent mitral valve operation and fulfilled inclusion criteria. 43 subjects were divided in 2 groups. 21 patients were given respiratory training and 22 patients were in the placebo group. Systolic pulmonary artery pressure (sPAP) was measured by echocardiography before and after intervention was performed.
Result: sPAP and ∆sPAP in the intervention group were significantly lower compare to the placebo group; (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg; p<0.001) and (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg; p<0.001).
Conclusion: The decrease of sPAP was found to be significantly higher in the intervention group than placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Siane
"Latar belakang dan tujuan: diabetes termasuk dalam 8 faktor risiko tertinggi berkembangnya tuberkulosis (TB). Diabetes melitus (DM) meningkatkan risiko TB 3 kali, sedangkan infeksi TB memperburuk kontrol glikemik pasien DM dengan risiko kegagalan terapi TB 69% dan relaps 4 kali. Strategi pengobatan optimal untuk pasien TB-DM belum ditemukan, pengelolaan TB-DM sama dengan pasien TB non-DM. Sejak 2017, WHO tidak lagi merekomendasikan pemberian obat intermiten pada fase lanjutan karena risiko kegagalan terapi, kekambuhan, dan resistensi obat yang lebih tinggi dibandingkan pemberian harian. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping pengobatan TB-DM fase lanjutan antara pemberian setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu.
Metode: penelitian retrospektif menggunakan rekam medik pasien TB-DM dengan desain potong lintang. Sampel penelitian adalah seluruh pasien TB-DM yang sudah memasuki fase lanjutan dan memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien TB-DM tanpa HIV, tanpa gangguan fungsi ginjal atau hati, berusia ≥18 tahun yang mendapat pengobatan TB yang diberikan setiap hari dan tiga kali seminggu di RSUP Persahabatan periode 1 januari 2015-31 desember 2018.
Hasil: 64 subyek pada kelompok pengobatan setiap hari dan 69 subyek pada kelompok pengobatan intermiten tiga kali seminggu memenuhi kriteria inklusi. Tidak didapatkan perbedaan antara kelompok pengobatan setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu dalam hal kesembuhan (41,4% vs 44,2%, p=0,814, IP=1,122; IK95%:0,432-2,909), pengobatan lengkap (45,7% vs 50%, p=1,0, IP=1,188; IK95%: 0,430-3,282), gagal (3,4% vs 2,3%, p=0,888, IP=0,667; IK95%: 0,040-11,104), dan putus obat (54,7% vs 49,3%, p=0,533, IP=0,805; IK95%:0,407-1,592). Hanya 1 subyek (3,1%) yang mengalami kekambuhan pada kelompok pengobatan intermiten (p=1,0, IP=0,910; IK95%: 0,910-1,031). Satu subyek (1,6%) pada kelompok pengobatan setiap hari dan 9 subyek (13%) pada kelompok intermiten mengeluhkan efek samping ringan (p=0,018, IP=0,106, IK95%: 0,013-0,861). Sebagian besar pasien pada kedua kelompok menjalani pengobatan selama lebih dari 6 bulan hingga 9 bulan.
Kesimpulan: tidak terdapat perbedaan hasil pengobatan antara pemberian obat setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus. Terdapat perbedaan dalam hal efek samping, yang sifatnya ringan, antara kedua kelompok pengobatan. Sebagian besar pasien pada kedua kelompok menjalani pengobatan selama lebih dari 6 bulan hingga 9 bulan.

Background and aim: diabetes is the 8th highest risk factor for tuberculosis. Patients with diabetes mellitus (DM) have three times higher risk of active TB. Tuberculosis disturbs glycemic control in DM patients and 69% TB-DM patients would have failed and the risk for relapse is 4 times higher. The optimal treatments strategy for TB-DM patients is not found yet. Management of TB-DM patients is similar with TB without DM. Since 2017, WHO no longer recommends intermittent drug regiment in advanced phase therapy due to the higher risk of treatment failure, TB recurrence, and drug resistance. This study aims to compare treatment outcomes and safety of advanced phase treatment between daily and intermittent treatment in TB-DM patients.
Methods: this is a retrospective study with cross sectional design using medical record at Persahabatan Hospital from 1 January 2015 to 31 December 2018. The study sample are all TB-DM patient who have entered the advanced phase that met inclusion criteria, which are TB-DM patients without HIV/ impaired kidney or liver function, aged ≥18 years who had tuberculosis treatment.
Results: 64 subjects in daily treatment group and 69 subjects in intermittent group met the inclusion criteria. There are no difference between daily and intermittent group in term of cured (41,4% vs 44,2%, p=0,814, IP=1,122; IK95%:0,432-2,909), completed treatment (45,7% vs 50%, p=1,0, IP=1,188; IK95%: 0,430-3,282), failed (3,4% vs 2,3%, p=0,888, IP=0,667; IK95%: 0,040-11,104), and dropouts (54,7% vs 49,3%, p=0,533, IP=0,805; IK95%:0,407-1,592). Only 1 subject (3,1%) in intermittent group had recurrence (p=1,0, IP=0,910; IK95%: 0,910-1,031). One subject (1,6%) in daily treatment group and 9 subjects (13%) in intermittent group had minor side effects (p=0,018, IP=0,106, IK95%: 0,013-0,861). Most subjects in both groups underwent treatment for more than 6 months up to 9 months.
Conclusion: there were no differences in cure rate, complete treatment, failure and dropouts between daily and intermittent treatment in diabetic pulmonary tuberculosis patient. There is difference in side effects, which mostly are mild, between the two group. Most patients in both groups underwent treatment for more than 6 months up to 9 months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>