Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103114 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Muslim Ansori
"Dua model tax treaty yang banyak digunakan sebagai acuan oleh berbagai negara (acceptable) adalah UN Model dan OECD Model. Kedua model tersebut selaju dikembangkan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Salah satu perkembangan OECD Model adalah asimilasi pasal 14 tentang independent personal Services ke dalam pasal 7 tentang business profit. Beberapa argumentasinya antara lain tidak ada perbedaan antara karakteristik penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana diatur dalam pasal 14 dengan penghasilan Wajib Pajak Badan yang diatur dalam pasal 7, pasal 14 tidak memberikan batasan yang jelas jenis kegiatan apa saja yang termasuk dalpjn pengertian pemberian jasa profesional, pasal 14 tidak jelas untuk individu atau juga dapat diberlakukan kepada badan, dan tidak ada perbedaan antara konsep permanent eslablishment yang digunakan sebagai kriteria pemajakan pada Pasal 7 dengan fixed base yan.% digunakan sebagai alat uji pemajakan pada Pasal 14.
Mengingat OECD Model merupakan salah satu acuan penting yang digunakan oleh banyak Negara dalam membuat tax treaty dengan negara lain, maka penulis meagangap perlu untuk melakukan kajian terhadap revisi OECD Model Tahun 2000 tersebut. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah apakah karakteristik penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai mana diatur dalam pasal 14 sama dengan penghasilan Wajib Pajak Badan yang diatur dalam pasal 7 OECD Model. Kemudian apa implikasinya terhadap hak pemajakan Indonesia jika tax treaty Indonesia mengikuti revisi OECD Model tersebut di atps. Metodologi yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah studi literatur. Berdasarkan hasil pembahasan, maka disimpulkan bahwa karakteristik penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dengan Penghasilan Wajib Pajak Badan seperti diatur dalam PasaJ 7 OECD Model memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya secara hakekat ekonomi merupakan peningkatan kemampuan ekonomi. Namun terminologi penghasilan digunakan untuk orang pribadi sedangkan terminologi laba digunakan untuk badan atau perusahaan. Dari aspek fax treaty, hak pemajakan negara sumber diuji melalui fixed place dan fixed base. Perbedaanya yang terjadi hanyalah perbedaan aspek teknis seperti atas nama pembayaran jasa, independensi pemberi jasa, dan lain-lain.
Pengaruh asimilasi Pasal 14 tentang independent personal Services ke dalam Pasal 7 tentang business profit menguntungkan bagi hak pemajakan Indonesia. Karena hak pemajakan menjadi lebih luas melalui alat uji BUT yang lebih variatif dan pemenuhan kewajiban perpajakan BUT di Indonesia yang disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri memberikan keuntungan bagi Indonesia dari aspek administratif dan dari aspek perluasan cakupan pajak yang dapat dikenakan. Alternatif lain, jika diterapkan dalam tax treaty Indonesia dapat dilihat berdasarkan ketentuan yang ada dalam Pasal independent personal Services dan Pasal furnishing of Services. Ketentuan tersebut dapat berbentuk time tesi, maupun persentase tertentu. Dampaknya bagi hak pemajakan Indonesia bisa menguntungkan, sama saja, dan merugikan.

Two tar treaty models, which various countries use as a reference, are the UN Model and OECD Model. Both models are always developed and improvedfrom time to time. One of the improvements is the assimilation of Article 14 op Independent Personal Service into Article 7 on Business Profit. Some arguments are as followings: there is no difference between the characteristics of “income” earns by a Person, as stated in Article 14, with “income” earns by Company, as stated in Article 7; Article 14 does not provide a clear limit on what type of activities included in the definition of professional Services; Article 14 is not clear to the individual or can it also be applied to Company, and there is no difference between the concept of Permanent Establishment, which is used as tar criteria in Article 7 with the Fixed Base concept which is used as a tarlool test in Article 14. Given the OECD Model is one of the important references used by many countries in making tax Treaty with other countries, the authors perceive the need to study the revision of the Year 2001 OECD Model. The objective is to find out whether the characteristic of Personal Income, stated in Article 14, is the same characteristic of Corporate Income, stated in Article 7. Then what would be the implication if Indonesia applied the tar treaty of revised OECD Model.
The methodology that will be used in this research is the study of literature. The result shows that there similarity and differences in the characteristics of Income. Both are essentially consideredas the increase of wealth. It use the terminology of Income for individual and Profit for corporate. From the tar Treaty aspect, the State has the rights to exercise through Fixed Place and Fixed Base. Other differences are more in to technical aspects such as differences in the name pf payment Services, independence of Service providers, etc.
The assimilation of Article 14 to the Article 7 gives Indonesia the advantages in exercising its rights, because it gives more rights and it does not recognize the tar-protected corporate income. If the tar treaty is applied in Indonesia, we have other alternatives stated in Independent Personal Services Article and Furnishing of Services Article. These provisions can be in the form of time test and percentage.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T25783
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Audriana
"Before 2000, income from professional services and other activities of an independent character was dealt under article 14. The provisions to that article were similar to those aplicable to business profits, but it used the concept of fixed base rather than that of Permanent Establishment, since it had originally been thought that the latter concept should be reserved to commercial and industrial activities. The elimination of Article 14, reflected the fact that there were no intended differences between the concepts of Permanent Establishment, as used in Article 7, and fixed base, as used in Article 14, or between how profits were computed and tax was calculated according to which of Article 7 or 14 applied. The elimination of Article 14 meant that the definition of Permanent Establishment became applicable to what previously constituted a fixed base.
The approach used in this research is qualitative approach. The goals are to try to find an understanding to the ramification of assimilation of article independent personal services into article Permanent Establishment if it apply to Indonesian tax treaties and determining Indonesian government policy when do negiation or renegotiation related to the application of assimilation into tax treaty. The research type is descriptive because the writer tries to give a detail description in taxing independent personal services after the assimilation has done in Indonesian tax treaties. The data collection technic used in this research are by reading the literature which focus on the research and interview. The interview was done with tax government institution and tax expert.
The result from this research is assimilation of Article 14 into Article 7 gives positive and negative impact to Indonesian taxing power. Hence, Indonesian government, in making tax policy must based on positive impact of assimilation. This policy must do, because it will increase Indonesian taxing power, which gives effect on Indonesian tax revenue."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Viega Lovianan Noor
"Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dalam menjalankan tugasnya Notaris mendapatkan penghasilan berupa honorarium, sehingga timbul suatu kewajiban lain bagi notaris yaitu membayar pajak atas penghasilan yang diperolehnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Dalam menghitung besamya Pajak Terutang Notaris sebagai Wajib Pajak dapat memilih untuk menggunakan metode Pembukuan atau menggunakan metode Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Bagaimana mekanisme penghitungan Pajak Penghasilan menurut keteniuan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan guna menentukan besamya Penghasilan Kena Pajak bagi Notaris. Dan apa saja permasalahan yang timbul di dalam praktek bagi Notaris tentang penghitungan Pajak Penghasilan, serta bagaimana penyelesaiannya.
Untuk menjawab permasalahan ini maka penulis menggunakan penelitian yang bersifat yuridis empiris dimana lebih menekankan kepada apa yang terjadi di lapang. Data yang digunakan adalah data sekunder dan analisis yang dilakukan secara kualitatif. Data yang dianalisa adalah Peraturan perundang-undangan dan data-data yang didapat dari para narasumber. Diperoleh gambaran bahwa penghasilan Notaris yang termasuk Objek Pajak adalah jasa yang dilakukan berkaitan dengan tugas dan wewenangnya. Notaris dalam menghitung pajak terutangnya lebih memilih untuk menggunakan metode Norma Penghitungan Penghasilan Neto karena dirasakan lebih mudah dan sederhana daripada metode Pembukuan yang dianggap lebih memberatkan karena biaya pengeluaran yang cukup tinggi tidak dapat dimasukkan dalam item (Biaya) pengurangan karena tidak memiliki bukti pengeluaran yang resmi
Notary is a public official who is authorized to make authentic deeds and other authorities as referred to in Law number 30 of 2004 concerning Notary Positions. In carrying out their duties, the Notary receives income in the form of an honorarium, so that another obligation arises for the Notary, namely paying taxes on the income he earns in accordance with the provisions of Law Number 36 of 2008 concerning Income Tax. In calculating the amount of Tax Payable, a Notary as a Taxpayer can choose to use the Bookkeeping method or use the Net Income Calculation Norm method. What is the mechanism for calculating Income Tax according to the provisions of the Income Tax Law Number 36 of 2008 concerning Income Tax in order to determine the amount of Taxable Income for Notaries. And what are the problems that arise in practice for Notaries regarding the calculation of Income Tax, and how to solve them.
To answer this problem, the author uses empirical juridical research which emphasizes what is happening in the field. The data used is secondary data and the analysis is done qualitatively. The data analyzed are statutory regulations and data obtained from sources. An illustration is obtained that the income of a Notary which is included in the Tax Object is a service performed in relation to his duties and authorities. Notaries in calculating their tax payable prefer to use the Norms for Calculation of Net Income because it is felt to be easier and simpler than the Bookkeeping method which is considered more burdensome because high expenditure costs cannot be included in the item (Cost) reduction because they do not have official proof of expenditure.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jita Shofiyani
"Sebagai negara yang terlibat dalam pembentukkan BEPS Action Plan 14, atas implementasi MAP di Indonesia dinilai sesuai standar dalam BEPS Action Plan 14. Agar semakin baik, Pemerintah juga mengatur MAP dalam Pasal 27C UU HPP. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis penerapan BEPS Action Plan 14 pada kebijakan MAP di Indonesia, menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi Wajib Pajak untuk mengajukan atau tidak mengajukan MAP di Indonesia, dan menganalisis dasar pertimbangan dicantumkannya klausul MAP dalam UU HPP. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi MAP di Indonesia menunjukkan hasil yang baik karena telah mengadopsi sebanyak 18 rekomendasi BEPS Action Plan 14. Adapun, faktor-faktor yang melatarbelakangi Wajib Pajak untuk mengajukan MAP diantaranya kesempatan menghilangkan double tax, pembaharuan MAP, dapat mengajukan MAP bersamaan dengan domestic remedies, dan lainnya. Sedangkan faktor yang melatarbelakangi untuk tidak mengajukan MAP antara lain hasil keputusan berupa agree to disagree, jangka waktu penyelesaian keberatan dan banding bisa lebih cepat dibandingkan MAP, mutasi pegawai DJP, transparansi DJP dalam proses perundingan, dan lainnya. Selanjutnya, pertimbangan dicantumkannya klausul MAP dalam UU HPP disebabkan terdapat tiga isu yaitu isu administratif, kedudukan MAP dalam hukum pajak di Indonesia, dan permasalahan apabila MAP diajukan bersamaan dengan upaya hukum domestik.

As a country involved in the formation of BEPS Action Plan 14, implementing MAP in Indonesia is assessed based on the BEPS 14 Action Plan standards. To improve the implementation of MAP, the Government also ratified Article 27C of the HPP Law. This research aims to analyze the implementation of BEPS Action Plan 14 on MAP policy in Indonesia, the factors behind taxpayers applying or not applying for MAP in Indonesia, and the reason the MAP clause regulates in the HPP Law. This research uses a qualitative approach with qualitative data collection techniques. The results show that the implementation of MAP in Indonesia has shown good results because it has adopted as many as 18 BEPS Action Plan 14 recommendations. Meanwhile, the factors behind taxpayers submitting a MAP are the opportunity to eliminate double taxation, renewal of MAP, MAP can be submitted together with judicial remedies, etc. Meanwhile, the factors behind not submitting the MAP are the results of the decision agreeing to disagree, the time for resolving objections and appeals can be faster than MAP, employee mutations in the DGT, DGT transparency in the negotiation process, etc. In addition, the basis for considering the inclusion of the MAP clause in the HPP Law is due to three issues: administrative issues, the position of MAP in tax law in Indonesia, and problems if the MAP is filed together with domestic legal remedies."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rachmadi Usman
Jakarta: Djambatan, 1999
346.04 RAC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Widy Kartika
"Zina atau yang sering kita bahas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah hubungan seksual di luar nikah, merupakan perbuatan yang melanggar norma, baik norma susila maupun norma agama. Di Indonesia pezina mendapatkan hukuman, baik secara adat, agama maupun hukum positif yang hidup dan berlaku di masyarakat. Zaman dulu, tidak begitu banyak orang berani berzina, apalagi terangterangan hidup serumah tanpa nikah.
Lain halnya pada saat ini, hubungan seksual di luar nikah bagi sebagian kalangan tertentu sudah dianggap wajar. Bahkan pelajar dan Mahasiswa diberitakan banyak yang sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah.
Pada sebagian kalangan artis-artis atau selebriti, kehidupan hidup bersama dengan seks diluar nikah sudah menjadi hal yang biasa dilakukan, karena itulah banyak remaja-remaja sekarang yang meniru untuk melakukan hal tersebut. Dikalangan remaja khususnya pelajar dan Mahasiswa, hubungan seks diluar nikah membawa ekses seperti putus sekolah karena hamil, terjangkit penyakit menular, keguguran hingga abortus, masa depan yang suram karena putusnya sekolah dan perlakuan buruk masyarakat terhadapnya maupun keluarganya. Sementara pada orang dewasa, selain mengakibatkan hal tersebut diatas, juga dapat mengakibatkan hancurnya perkawinan bagi pelaku yang sudah menikah.
Dalam norma agama Islam yang dianut oleh sekiagian besar bangsa Indonesia perzinahan merupakan dosa besar, sebagaimana terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Isra ayat 32: "Dan janganlah kamu mendekati Zinah, sesungguhnya zinah itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk".
Sedangkan menurut agama Kristen, yang tercantum dalam alkitab: "Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit.
Pelaku zina hanya dikenai hukuman oleh Tuhan diakhirat, tetapi secara duniawi diserahkan pada kebijaksanaan negara atau penguasa setempat apakah dipidana atau tidak.
Dalam Hukum Adat yang berlaku di beberapa daerah di Indonesia, pelaku zinah mendapat hukuman dari pemangku adat setempat. Hukuman tersebut, bisa berupa dibuang dan persekutuan (pengucilan) atau dihukum bunuh karena dianggap telah melanggar kehormatan keluarga dan kampung tempat tinggalnya, dipersembahkan sebagai budak pada raja, membayar denda pada pihak keluarga yang merasa dirugikan, mempersembahkan korban hewan pada Kepala Adat untuk melakukan upacara penyucian kampung dalam rangka memulihkan keseimbangan magic religius."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15462
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Khasan
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis jasa yang termasuk dalam kriteria jasa lain dalm Pajak Penghasilan Pasal 23 setelah adanya perubahan Kep- 70/PJ/2007. Pajak sebagai iuran kepada negara yang dapat dipaksakan untuk dibayar berdasarkan Undang-undang yang merupakan pengalihan sumber daya dari masyarakat ke sektor publik untuk digunakan melakukan kegiatan pemerintah guna mencapai sasaran sosial ekonomi dan ekonomi bangsa yang bersangkutan.
Sekalipun Pajak itu dapat dipaksakan , namun pajak itu bukan sebagai hukuman yang harus dipikul oleh anggota masyarakat yang bersalah , melainkan kewajiban bagi anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan membayar. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, terdapat beberapa jenis imbalan jasa yang pada Tahun 2006 tidak termasuk sebagai imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23, tetapi pada Tahun 2007 termasuk sebagai imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000 yaitu; a). Jasa penyelidikan dan keamanan; b). Jasa penyelenggara kegiatan atau event organiser; c). Jasa pengepakan;dan d). Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi.
Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan melakukan observasi dan wawancara dengan Direktur Peraturan Perpajakan II, Konsultan Pajak, Dosen/Akademisi, Pengamat Perpajakan dan wajib Pajak. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner kemudian hasil wawancara diterapkan dan dibandingkan dengan teori yang ada. Dalam penelitian ini sample yang diambil meliputi perusahaan jasa penyelidikan dan keamanan dan jasa pengepakan.
Hasil analisis menunjukan bahwa Witholding Tax adalah salah satu sistem yang diakukan untuk melengkapi sistem pemungutan pajak yang ada , yaitu sistem self assesment. Pemotongan PPh pasal 23 adalah salah sau sistem pemotongan dengan Witholding Tax, dimana witholding tax bertujuan untuk melengkapi sistem pemungutan pajak yang sudah ada self Assesment. Keputusan Dirjen Pajak adalah sah sebagai amanat pasal 23 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Hal ini supaya flekibel, untuk menjawab perkembangan situasi dan perkembangan usaha.
Sebagai contoh ada jasa-jasa yang sifatnya baru, sehinga memerlukan kecepatan dan tanggapan dari pemerintah atau dalam hal ini DJP untuk segera menetapkan dan menggalinya. Dari hasil wawacara tampak bahwa PPh pasal 23 menganut sistem riil, dimana Sistem nyata (riil), yaitu pengenaan pajak berdasarkan pada penghasilan yang sungguh-sungguh diperoleh dalam setiap tahun pajak, berapa besarnya penghasilan yang dimaksud dapat diketahui pada akhir tahun takwim/tahun buku. Oleh karena itu, pengenaan pajak dengan sistem nyata merupakan suatu penghasilan dalam satu tahun pajak kemudian baru dikenakan pajak penghasilan setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Berdasarkan temuan tersebut, maka Sistem self assessment system dalam penghitungan pajak. dipandang berat dan diragukan banyak pihak pelaksanaannya.. Wajib Pajak perlu memahami pelunasan-pelunasan atas pembayaran pajak yang mana yang dinyatakan sebagai pungutan final dan pungutan atau pembayaran mana yang diperbolehkan sebagai kredit pajak.
Sistem withholding Tax dilaksanakan untuk mendukung sistem self assessment. Sebagai salah satu implementasi pelaksanaan sistem withholding tax ditetapkan jenis lain dan perkiraan penghasilan neto jasa lain. Namun penetapan jenis jasa lain dan perkiraan penghasilan neto yang berlaku sekarang belum sepenuhnya mencerminkan keadaan dan kemampuan Wajib Pajak yang sesungguhnya, karena perkiraan penghasilan netto ini disusun dengan kondisi normal Wajib Pajak, tidak memperkirakan bila ada kerugian. Jadi karena sifatnya perkiraan belum sepenuhnya memenuhi asas keadilan, yaitu keadilan dari sisi kemampuan untuk membayar (ability to pay).

This research has the objective to know kinds of services that include in other criteria of other services in the Income Tax Article 23 after the existence of Kep/PJ/2007 changes. Taxes as payment to the State that may be forced to be paid based on the Law is the transfer of people resource to public sector to be used to carry out the government activities in obtaining the social economics target and the related State economics. Although the taxes can be forced, but the taxes are not as the sanction that must be bared by the guilty society members, but as the obligation of the member of the society that have the ability to pay. Income Tax (PPh) Article 23 is the tax collected from the income coming from capital, service rendering, or presents and appreciation (reward) other than that had been deducted as PPh (Income Tax) Article 21. Due to the in effect of Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Regulation of Director General of Taxes) Number PER -70/PJ/2007, subject Types of Other Services and the Assessment of Net Income as mentioned in Article 23 paragraph (1) letter c Undang Undang (Law) Number 7 Year of 1983 subject Income Tax that had been altered for several times, the latest is by Undang Undang Number 17 Year of 2000 there are some of recompenses that in 2006 was not include recompenses that deducted Income Tax Article 23, but in the year of 2007 was included as the recompenses that deducted of Income Tax Article 23 based on the Regulation of Direktur Jenderal Pajak Number PER-70/PJ/2007 subject Types of Other Services and the Assessment of Net Income as mentioned in Article 23 paragraph (1) letter c Undang Undang (Law) Number 7 Year of 1983 subject Income Tax that had been altered for several times the latest is by Undang Undang Number 17 Year of 2000, they are: a). Investigation and Security Services; b).
Event Organizer Service; c). Packaging Service; and d). Preparation of place and / or time in the public media, external room media, or other media for the information delivery. The research uses descriptive method by conducting the observation and interview with Diretur Peraturan Perpajakan (Director of Taxes Regulation) II, Taxes Consultants, Lecturers/Academics, taxation observers, and taxpayers. Data gathering carried out by using questioners then the result of the interview applied and compared with the exising theory. In this research the obtained samples covered the company of investigation and security, and packaging services.
The result of the analyses indicated that Withholding Tax is one of the System that is conducted to complete the existing taxes collection system, that is self assessment system. The deduction of PPh article 23 is one of the system of deduction with Withholding Tax, whereas the withholding tax has the objective to complete the existing self assessment tax collection system. The decision of Dirjen Pajak is legal as the messages of article 23 paragraph (2) Undang Undang Pajak Penghasilan (Income Tax Law). This case is to make flexible, to answer the development of the situation and the progress of the business. For example, there are still new services, that need speed and assumption of the government or in this matter DJP to stipulate and to dig immediately. From the result of the interview it showed that PPh article 23 follows the real system, whereas Real system, that is tax charges based on the real income obtained in every tax year, what is the amount of the aforesaid income can be known at the ending of the book year. Therefore, the charging of taxes with real system is an income in one tax year and then just imposed the income tax after the aforesaid tax year ended.
Based on the aforesaid finding, hence the self assessment system in the calculation of taxes seems heavy and is doubted by many of the executors party. Basically, the level of the people awareness as well as the level of the income of the people that is still low. Tax Payer need to understand the redemptions on the tax payment which is mentioned as final collection and the collection or which payment that allowed as credit of taxes."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24568
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesia is a state that had a criminal code named by KUHP. The regulation draft about adultery specially mentioned at paragraph 284. according to this paragraph, the definition of adultery is sexual intercourse conducted by a man/woman who was valid marriage with another woman/man who is not his/her wife/husband and it is conducted based on the wish of each of them. In criminal Code, it is stated that such deed may be imposed as a crime if there is a plea from the wife/husband who is harmed. Adultery crime is called as offense that warrants complaint, and punishment is 9 months. It's different with the meaning of adultery according to Islamic Law which has meaning a sexual intercourse conducted by a man and woman who are not a valid pair of marriage."
ELH 63:3 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>