Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66003 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dominicus Pandityasto
"Komik sebagai karya berfungsi sebagai alat komunikasi. Komik menempatkan penulis (author) sebagai pembuat pesan yang menyampaikan pesannya melalui media komunikasi kepada para pembaca komik yang berperan sebagai penerima. Penelitian ini membahas seri komik Batman dari DC Comics. Komik akan dilihat dalam dua wujud utama, yaitu sebagai suatu karya seni dan sebagai suatu komoditas. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian etnografi kemudian dilanjutkan dengan penelitian metodologi etnografi dan wawancara baik secara offline dan online dengan beberapa narasumber sebagai pembaca komik Batman. Para pembaca, khususnya fandom (penggemar) berperan sebagai agen aktif dalam proses mengartikan dan menginterpretasi komik. Para fandom yang sudah mendalami komik membentuk kebudayaan yang disebut sebagai fandom culture (budaya fandom). Dengan demikian, komik yang dibaca kemudian memiliki makna yang berbeda-beda sesuai dengan interpretasi dari para pembaca berdasarkan kondisi sosial mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan fandom culture komik Batman dan ekspresinya. Fandom culture Batman mengekspresikan berbagai polabudaya seperti: Konsumsi Komik, Fandom Gathering, dan Translasi terhadap narasi Batman. Salah satu bentuk Ekspresi fandom culture diwujudkan melalui proses translasi salah satu tema yang diangkat oleh Batman, yaitu vigilantisme. Proses interpretasi tersebut berlandaskan pada kehidupan sosial para fandom dari Indonesia yang berkaitan dengan permasalahan hukum di Indonesia

Comics as works function as communication tools. Comics place the author as a message maker who conveys his message through the medium of communication to comic readers who act as recipients. This research discusses the Batman comic series from DC Comics. Comics will be seen in two main forms, namely as a work of art and as a commodity. The research was conducted using ethnographic research methods and interviews with several sources as readers of Batman comics through offline and online meets. Readers, especially fandom (fans) play an active role in the process of interpreting and interpreting comics. The fandom that has been steeped in comic form so-called culture of fandom culture. Thus, the comics that are read then have different meanings according to the interpretations of the readers based on their social conditions. This study aims to explain fandom culture in Batman comics and its expressions. Batman fandom culture expresses various cultural patterns such as: Comic Consumption, Fandom Gathering, and Translation of Batman's narrative. One form of fandom cultural expression is manifested through the translation process of one of the themes raised by Batman, namely vigilantism. The interpretation process is based on the social life of Indonesian fandoms relating to legal issues in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alviansyah Hidayat
"Vigilantisme diartikan sebagai sebuah tindakan main hakim sendiri yang dilakukan untuk membela nilai yang dipercayai tanpa mempertimbangkan apakah tindakan tersebut berbasiskan keadilan. Perilaku vigilantisme bukanlah sesuatu yang baru dalam budaya penggemar, contohnya di kalangan fandom K-Pop yang berpusat di Twitter atau biasa disebut dengan Stan Twitter dimana sering ditemukan adanya bentuk vigilantisme digital, salah satunya kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus AG. Dengan menggunakan Media Construction of Reality, penelitian ini mencoba menjelaskan bagaimana fenomena vigilantisme muncul sebagai bentuk fanatisme penggemar terhadap idolanya, terutama dalam lingkungan Stan Twitter K-Pop. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana konstruksi media memengaruhi nilai-nilai budaya penggemar K-Pop yang ada di Twitter, termasuk budaya vigilantisme digital demi membela idola yang digemari. Dari 6 informan yang diwawancarai, ditemukan bahwa perilaku vigilantisme sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak disukai namun dianggap wajar karena nilai-nilai budaya penggemar lain yang sudah dikonstruksikan sebelumnya. Peran dan partisipasi dari penggemar K-Pop lain diperlukan dalam mencegah adanya normalisasi perilaku vigilantisme digital lebih lanjut di kalangan penggemar K-Pop.

Vigilantism is defined as an act to upheld the values an individual/community believes without considering whether the action is based on justice. Vigilantism is not something unusual in a fan culture, especially among K-Pop fandoms centered on Twitter or commonly referred to as Stan Twitter, like what happened to AG as one of the recent case. By using Media Construction of Reality, this study tries to explain how vigilantism emerges as a form of fan fanaticism towards their idols, especially in Stan K-Pop Twitter. Through a qualitative approach, this study aims to see how media construction affects the K-Pop fan culture on Twitter, including those of doing digital vigilantism in order to defend their idols. Based on the 6 informants interviewed, this research found that vigilantism is something that is actually frowned upon but still considered normal because of other values which have been constructed and established among the fandoms. The role and participation of other K-Pop fans is necessary in preventing further normalization of digital vigilantism among K-Pop fan community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zhafira Athifah Sandi
"Penelitian ini membahas mengenai bagaimana anggota fandom musik pop melakukan engagement dan berpartisipasi dalam komunitas fanbase di media sosial, khususnya pada Instagram, Twitter, dan LINE yang termasuk dalam jajaran platform paling populer di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan desain fenomenologi. Melalui wawancara dengan perwakilan dari lima komunitas fanbase, penelitian ini mengeksplor praktik-praktik yang dilakukan dalam fandom musik pop dari perspektif dan pengalaman penggemar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggemar aktif terlibat dalam beragam proses produksi dan konsumsi konten, mulai dari informatif, interpretif, karya transformatif, proyek bersama komunitas, hingga merchandise. Produktivitas penggemar dalam melakukan berbagai aktivitas engagement tersebut menunjukkan adanya kesetiaan dan dedikasi terhadap musisi favorit.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa komunitas fanbase beroperasi berdasarkan konsep reward industry, yang mana penggemar termotivasi oleh adanya keuntungan-keuntungan emosional yang didapat dari interaksi dengan komponen industri, antara lain musisi, label rekaman, rekan media, dan promotor konser.

This research discusses about how members of pop music fandoms engage and participate in fanbase communities on social media, specifically on Instagram, Twitter, and LINE which are among the most popular platforms in Indonesia. This research uses qualitative method with phenomenology design. Through interviews with representatives of five fanbase communities, this research explores practices in pop music fandom from the fans perspectives and experiences.
The result shows that fans are actively involved in various processes of content production and consumption, from informative, interpretive, transformative, community projects, to merchandise. Fans productivity in doing these engagement activities shows devotion and dedication to their favorite artists.
This research also finds that fanbase communities operate based on reward industry concept, in which fans are motivated by emotional rewards from interaction with industry components, such as the artist, record label, media partner, and concert promotor.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novrista Widiyanti
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana jaringan sosial dan framing terkait identitas kolektif yang diproduksi oleh aktor lokal mampu membentuk suatu aktivisme penggemar. Di Indonesia, popularitas grup idola K-Pop diiringi oleh banyaknya anak muda yang menjadi penggemar membentuk kekuatan baru di dalam fandom. Penggemar yang menjadi bagian dari suatu fandom dapat menggerakkan penggemar lain untuk berpartisipasi dalam aktivisme yang dilakukan. Studi terdahulu mengenai aktivisme penggemar menunjukkan bahwa aktivisme di dalam fandom dapat terwujud karena adanya budaya partisipatif (participatory culture) sebagai ruang yang dapat mendukung atau mendorong aktivisme. Akan tetapi, studi-studi terdahulu cenderung menyamakan aktivisme dengan budaya penggemar pada umumnya, seperti produksi teks atau konten yang mengekspresikan kecintaan mereka kepada idolanya. Oleh karena itu, bagaimana aktivisme penggemar dapat terjadi tidak terlihat dalam penjelasannya. Selain itu, dengan cara seperti apa penggemar menggunakan sumber daya yang ada untuk membentuk aktivisme belum nampak pembahasannya dalam studi-studi terdahulu. Peneliti berargumen bahwa aktivisme penggemar dapat terwujud karena kuatnya jaringan sosial dan adanya framing terkait identitas kolektif yang diproduksi oleh aktor lokal di media sosial. Metodologi kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan melalui wawancara mendalam terhadap aktor lokal dalam fandom grup idola K-Pop, serta observasi online di dalam platform Twitter.

This study aims to explain how social networks and collective identity framing produced by local actors are able to form fan activism. In Indonesia, K-Pop idol groups’ popularity followed by many young people who become fans is forming a new force in fandom. Fans who are part of a fandom can encourage other fans to participate in their activities. Previous studies on fan activism have shown that activism in fandom can be formed because of a participatory culture as a space that can support activism. However, previous studies tend to see activism as fan culture in general view, such as the production of texts or content that expresses their love for their idols. Therefore, how fan activism can occur is not seen in the explanation. In addition, the ways in which fans use existing resources to form activism have not been discussed in previous studies. The researcher argues that fan activism can be formed because of the strong social network and collective identity framing produced by local actors on social media. Qualitative methodology is used in this study. The data collection technique that is used through in-depth interviews with local actors in the K-Pop idol group fandom, and online observations on the Twitter.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachma Salsa Sifana
"Saat ini Hallyu telah berkembang menjadi New Hallyu atau Hallyu 2.0. Dalam Hallyu 2.0, salah satu fandom terbesar saat ini adalah fandom ARMY. ARMY merupakan fandom boyband BTS. Aktivitas ARMY dalam mendukung BTS juga menjadi media dalam penyebaran konten Hallyu 2.0. Penelitian ini menganalisis mengenai partisipasi fandom ARMY Indonesia dalam penyebaran konten Hallyu 2.0 melalui dukungan terhadap BTS. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan aktivitas fandom ARMY Indonesia dalam mendukung BTS yang berpengaruh terhadap penyebaran konten budaya Hallyu 2.0. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan teori budaya partisipatoris dan fandom. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas ARMY Indonesia dalam fandom mendukung penyebaran konten budaya Hallyu 2.0 yang meliputi makanan Korea (hansik), bahasa Korea, K-fashion, dan pariwisata. Media sosial (Twitter, WhatsApp, dan Instagram) digunakan sebagai sarana ARMY Indonesia untuk menyebarkan konten Hallyu 2.0. Penyebaran konten Hallyu 2.0 dilakukan secara tidak langsung melalui budaya partisipatoris ARMY Indonesia.

Currently, Hallyu has developed into Hallyu 2.0. BTS`s fandom, ARMY is one of the biggest fandoms in Hallyu 2.0. ARMY`s activities in supporting BTS also became an instrument in the spread of Hallyu 2.0 contents. This research analyzes the participation of Indonesian ARMY in the spread of Hallyu 2.0 contents through their support for BTS. This research aims to explain the fandom activity of Indonesian ARMY in supporting BTS that affects the spread of Hallyu 2.0 cultural contents. This research is using descriptive qualitative analysis methods with participatory cultural theory and fandom theory. The results of this study show that Indonesian ARMY`s activities in fandom support the spread of Hallyu 2.0 cultural contents that include Korean food (hansik), Korean language, K-Fashion, and tourism. Various social media (Twitter, WhatsApp, and Instagram) are used as an instrument by Indonesian ARMY to spread Hallyu 2.0 contents. The spread of Hallyu 2.0 contents by Indonesian ARMY is done indirectly through participatory culture in fandom.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Shandina Megarani
"Slang merupakan bahasa yang digunakan sehari-hari dan terus berkembang, khususnya dalam komunitas yang menggunakan bahasa slang untuk membedakan diri mereka dari komunitas-komunitas lainnya. Penelitian ini merupakan kajian morfologi yang membahas pembentukan kata slang yang ditemukan dalam komunitas penggemar K-Pop dengan menggunakan drama `Her Private Life` sebagai sumber data primer.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana proses pembentukan kata slang dalam drama `Her Private Life`  berdasarkan klasifikasi pembentukan kata baru oleh Nam (2014). Penelitian ini merupakan penelitian analisis deskriptif dengan metode simak catat. Data primer dianalisis dengan menggunakan klasifikasi pembentukan kata baru oleh Nam (2014) yang memaparkan 7 proses pembentukan kata.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 24 kata slang yang dianalisis dari drama `Her Private Life`, terdapat 3 kata slang berbentuk kata tunggal dan 21 kata slang berbentuk kata kompleks. Pada kata slang berbentuk kata tunggal, ketiganya terbentuk dari proses serapan, sedangkan kata slang yang berupa kata kompleks paling banyak terbentuk dari proses blending, yakni sebanyak 9 kata.

Slang is a language that is used daily and continues to grow, especially with the development of social media among fan communities. Each community has started to use slang which is specific to their interests, one of them being the K-Pop fandom. This study discusses the word formation of slang found in the K-Pop fan community by using the drama `Her Private Life` as the corpus.
This research aims to expound on how K-Pop fandom slang words found in the drama `Her Private Life` is formed according to the new word formation classification by Nam (2014). This study is a analytical descriptive research with dialog dictation method to collect slang words. The slang words are classified based on the new word formation classification by Nam (2014) that divides them into 7 different processes.
The result of the research indicates that out of the 24 slang words analyzed from the drama `Her Private Life`, there are 3 slang words in the form of single word and 21 slang words in the form of complex word. In the case of single word form slang words, all 3 are created through the borrowing process; while complex word form slang words are mostly created through the blending process, equating to 9 words in total.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Aminah Nur Habibah
"ABSTRAK
Pelanggaran terhadap prinsip kerja sama Grice 1975 dianggap menjadi penunjang kelucuan dalam wacana humor. Penelitian-penelitian terkait hal itu telah dilakukan, tetapi hanya didasari pada pandangan peneliti. Padahal, hal yang dianggap lucu oleh peneliti belum tentu dianggap lucu oleh pembaca. Skripsi ini membahas kelucuan menurut pembaca dalam kartun komik Tahilalats serta mengaitkannya dengan pelanggaran prinsip kerja sama dan konteks. Karena itu, sumber data yang digunakan adalah episode kartun yang memuat pelanggaran prinsip kerja sama. Penelitian ini menggabungkan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Data diperoleh dari kuesioner daring dan wawancara. Dari penelitian ini, didapatkan hasil bahwa Tahilalats dianggap tidak terlalu lucu oleh pembaca. Walaupun terdapat pelanggaran maksim kualitas dan kuantitas, menurut pembaca, dibutuhkan beberapa pembentuk kelucuan dan konteks yang sesuai. Pelanggaran maksim kuantitas dengan mengurangi kontribusi dinilai berpotensi untuk menghasilkan ketakterdugaan.

ABSTRACT
The violation of the cooperative principle Grice 1975 is considered to be a supporting element to create humor in discourse. Related studies is only based on the researchers rsquo point of views. In fact, things that are considered funny by researchers are not necessarily considered as funny by the readers. The present thesis discusses humor according to the readers in Tahilalats cartoon comic as well as links them with violations of cooperative principles and context. Therefore, the data source used is a cartoon episode that contains violations of the cooperative principle. This research combines quantitative and qualitative approach. The data are obtained from questionnaires and interviews. It is found that Tahilalats considered as ldquo not too funny rdquo by the readers. Although there are violations in principle of quality and quantity, some triggers and context are needed. The lack of information is considered potential to create unpredictability."
2017
S69723
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Shidiq Ramdani
"Reaksi sosial yang diberikan terhadap suatu kenakalan anak sangat menarik untuk dibahas. Adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang ada tidak hanya merubah bentuk dari kenakalan atau bahkan kejahatan itu sendiri, melainkan juga bentuk reaksi sosial yang diberikan kepadanya. Penelitian ini secara kualitatif membahas virtual moral panic dan digital vigilantism yang diberikan sebagai reaksi terhadap juvenile cyber delinquency yang dilakukan oleh seorang anak di dalam sosial media. Berdasarkan data yang telah diperoleh, penelitian ini menemukan bahwa (1) tindakan yang dilakukan ditujukan untuk memberikan efek jera kepada anak, (2) memberikan rasa aman terhadap komunitas, serta (3) terdapat penjelasan hubungan virtual moral panic yang dapat menyebabkan digital vigilantism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiskus Xaverius Pradhipta Surya
"Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Praktik fan culture tentunya banyak mengalami perkembangan akibat perkembangan teknologi komunikasi. Kajian ini memberikan gambaran tentang proses konsumsi dan produksi yang dilakukan oleh fandom Sepak Bola Jakarta yang merupakan pendukung Persija Jakarta di era digital. Peneliti menemukan bahwa Soccer Jakarta memiliki beragam produk yang ditunjukkan dengan berbagai jenis saluran media yang digunakan oleh fandom Sepak Bola Jakarta. Produk-produk Soccer Jakarta diidentifikasikan menjadi dua jenis besar, yaitu digital dan fisik dan beroperasi bukan berdasarkan keinginan mencari untung dan bergerak hanya berdasarkan kecintaan mereka pada Persija Jakarta sehingga dapat dikatakan telah melakukan praktik penggemar sebagai buruh.

This research is a research that uses a qualitative method using a case study approach. The practice of fan culture has certainly undergone many developments due to the development of communication technology. This study provides an overview of the consumption and production processes carried out by the Jakarta Football fandom who are supporters of Persija Jakarta in the digital era. Researchers found that Soccer Jakarta has a variety of products which are indicated by the various types of media channels used by the Jakarta Soccer fandom. Soccer Jakarta's products are identified into two major types, namely digital and physical and operate not based on the desire to make profit and move only based on their love for Persija Jakarta so that it can be said that they have practiced fans as laborers."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Medina Rachma Lea
"Artikel ini berusaha untuk menganalisa hubungan antara Batman dan Joker dalam film Christopher Nolan yang berjudul "The Dark Knight" (2008). "The Dark Knight", atau TDK, adalah film kedua dari trilogi Batman yang diproduksi oleh Nolan. FIlm ini bercerita tentang Kota Gotham yang dikacaukan oleh Joker, penjahat bertopeng badut, yang adalah musuh utama dari Batman, pahlawan Kota Gotham. This paper attempts to analyze the rivalry between Batman and Joker’s rivalry on Christopher Nolan’s The Dark Knight (2008). Film ini mengangkat isu-isu sosial yang menarik seperti kekacauan, moral, kepatihan pada peraturan, dan insting manusia untuk bertahan hidup. Artikel ini fokus kepada hubungan Batman dan Joker, yang dianalisis melalui pembahasan plot, analisa masing-masing karakter, dan dialog-dialog yang ada. Artikel ini menyimpulkan bahwa Batman dan Joker ternyata lebih dari sekedar musuh. Mereka adalah cerminan satu sama lain.

This paper attempts to analyze the rivalry between Batman and Joker’s rivalry on Christopher Nolan’s The Dark Knight (2008). The Dark Knight is the second movie of Nolan’s Batman trilogy. The movie is about Joker’s scheme to escalate chaos on Gotham City while at the same time, Joker tries to break Batman, This movie portrays a complicated societal issue like citizens’ morals, rules, and also the true nature of people in Gotham. This paper focuses on the characters Batman and Joker, and their rivalry throughout the movie with a little background information about their past from the whole story of Batman and Joker in the comic book. This paper discusses the plot, characterization of Batman and Joker, and the dialogues of the movie. Due to the problem’s limitation, this paper only discusses the scenes where Joker and Batman are having direct confrontation, aside from their own characterization’s discussion. This paper sees that Batman and Joker are more than just ordinary enemies, they are like mirror to each other.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>