Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156723 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Wardhana
"Konversi luka bakar merupakan perubahan zona kedalaman dari dangkal menjadi dalam pada 3–7 hari pasca luka bakar. Saat ini, proses autofagi, inflamasi, iskemia, infeksi, dan reactive oxygen species dianggap berperan dalam patogenesis konversi luka bakar. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor risiko terjadinya konversi luka bakar pada pasien dewasa dan mengembangkan sistem skor untuk memprediksi kejadian konversi luka bakar sebagai acuan tatalaksana konservatif dan operatif.
Penelitian dilaksanakan dengan metode nested case control pada pasien luka bakar dewasa yang dirawat di Unit Luka Bakar RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Islam Jakarta Cempaka Putih. Subjek direkrut dengan metode consecutive sampling pada Februari 2019–Agustus 2020. Faktor risiko yang diteliti adalah karakteristik klinis, pemeriksaan klinis lokal, dan pemeriksaan klinis sistemik. Faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat regresi logistik.
Terdapat 40 subjek kelompok kasus dan 20 subjek kelompok kontrol. Luka bakar di regio trunkus (OR = 3,67; p = 0,028), regio tungkai (OR = 6,93; p = 0,001), luas luka bakar yang dihitung dengan ImageJ ³ 9,49 %TBSA (OR = 32,11 p < 0,001), suhu permukaan luka yang diukur dengan termografi FLIR ONE® ≤ -1,55 oC (OR = 13,78; p < 0,001), kadar prokalsitonin ≥ 0,075 ng/mL (OR = 12; p < 0,001), dan kadar laktat darah ≥ 1,75 mmol/L (OR = 7; p = 0,001) memiliki hubungan bermakna dengan konversi luka bakar. Dikembangkan 3 model konversi luka bakar dari variabel bermakna. Model 1 diterapkan di fasilitas kesehatan tersier dengan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 92,5% dan 85% (IK95% 0,835–1,00; p < 0,001). Model 2 dan 3 dapat diterapkan di fasilitas kesehatan primer dan sekunder dengan model 2 memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 95% dan 70% (IK95% 0,830– 1,00; p < 0,001) dan model 3 memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 92,5% dan 85% (IK95% 0,832–1,00; p < 0,001).
Model skor yang dibuat dapat dipertimbangkan digunakan dalam praktek seharihari terutama sebagai acuan tatalaksana konservatif dan operatif.

Burns are a global public health problem with high morbidity and mortality rates. Burn wound conversion describes the process by which superficial-partial thickness burns convert into deeper burns within 3–7 days after the burn. Currently, autophagy, inflammation, ischemia, infection, and reactive oxygen species are thought to play a role in the pathogenesis of burn wound conversion. This study aims to assess risk factors for burn wound conversion and develop a scoring system to predict burn conversion as a reference for burn wound management.
The study was conducted using the nested case control method, in adult burn patients who were treated at Dr. Cipto Mangunkusumo and Jakarta Islamic Hospital Cempaka Putih. Subjects were recruited by consecutive sampling method in February 2019–August 2020. The role of clinical characteristics, local clinical examination, and systemic examination as predictors of burn wound conversion were assessed. The risk factors were analyzed using bivariate and logistic regression multivariate analysis.
There were 40 subjects in case group and 20 subjects in control group. Involvement of trunk (OR = 3.67; p = 0.028), limbs (OR = 6.93; p = 0.001), burn extent measured using ImageJ ³ 9.49 %TBSA (OR = 32.11 p < 0.001), wound surface temperature measured using FLIR ONE® thermography ≤ -1.55 oC (OR = 13.78; p < 0.001), procalsitonin level ≥ 0.075 ng/mL (OR = 12; p < 0.001), dan blood lactate level ≥ 1.75 mmol/L (OR = 7; p = 0.001) had significant relationship with burn wound conversion. Three scoring models were developed based on the significant variables with model 1 to be applied in tertiary health facilities and model 2 and 3 to be applied in primary and secondary health facilities with sensitivity and specificity of 92.5% and 85% (95% CI 0.835–1,00; p < 0.001)), 95% and 70% (95% CI 0.830–1.00; p < 0.001) and 92,5% and 85% (95% CI 0.832–1.00; p < 0.001), respectively).
The scoring models can be considered to be used in daily practice, especially as a reference for conservative and operative management.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ro Shinta Christina Solin
"Luka bakar merupakan salah satu bentuk trauma tersering dan infeksi luka bakar merupakan masalah serius yang menyebabkan hambatan pada maturasi epidermal dan penambahan pembentukan jaringan parut. Pada tahun terkahir berbagai penelitian menemukan patogen yang resisten terhadap terapi antibiotik. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran profil bakteri dan antibiogram pada infeksi luka bakar serta mortalitas di Unit Luka Bakar ULB Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo RSUPNCM periode Januari-Desember 2015. Penelitian ini dilaksanakan secara retrospektif dan didapatkan 214 isolat dari spesimen pus, swab, dan jaringan luka bakar yang berasal dari 89 pasien yang dirawat di ULB RSUPNCM. Isolat bakteri terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, dan Acinetobacter baumannii. Proporsi mortalitas didapatkan sebesar 32.5

Burns is one of the most common forms of trauma and burn wound infection is a serious problem that causes a drag on epidermal maturation and addition of scar tissue formation. In recent years various studies finding pathogens that are resistant to antibiotic therapy. This study aims to get an overview of bacteria and antibiogram profile in infections and mortality burns in the Burn Unit dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital in the period from January to December 2015. In this study, 214 isolates from pus specimens, swabs, and tissue burns derived from 89 patients treated at Burn Unit dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. Most bacterial isolates is Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, and Acinetobacter baumannii. The proportion of mortality obtained amounted to 32.5.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55643
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anwar Lewa
"Latar belakang: Pada tahun 2018, diperkirakan tercatat 265.00 kematian yang disebabkan oleh luka bakar. Sekitar 96% kasus kematian terjadi di negara berkembang, dimana dua per tiga-nya terjadi di Afrika dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Metode:Subjek dibagi ke dalam dua grup yang diidentifikasi secara retrospektif dari rekam medis, dan dibandingkan secara prospektif. Studi ini membandingkan mortalitas, insiden sepsis, dan lama rawat inap pada pasien yang menjalani eksisi tangensial dini (n=23) yang dibandingkan dengan pasien yang menjalani eksisi tangensial tertunda (n=23). Data dianalisa dengan Fisher Exact Test dan Mann-Whitney.
Hasil: Dari Januari 2016 sampai Agustus 2018, terkumpul 46 pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Kejadian sepsis pada pasien yang menjalani eksisi tangensial dini berbeda secara bermakna (p<0.001) dengan kejadian sepsis pada pasien yang menjalani eksisi tangensial tertunda dengan risiko relatif 0.233 (CI 95% 0.122-0.446). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada mortalitas dan lama rawat inap pada kedua grup tersebut (p>0.05).
Kesimpulan: Eksisi tangensial dini bermanfaat untuk mencegah kejadian sepsis pada pasien luka bakar deep dermal dan luka bakar full thickness. Namun begitu, penilaian kedalaman luka bakar bersifat subjektif terhadap pengalaman klinis seorang dokter bedah. Eksisi tangensial dini harus dilakukan tidak lebih dari 96 jam setelah kejadian luka bakar.

Background: In the year 2018, it is estimated that 265.000 deaths are associated with burn injury annually. Approximately 96% of these cases occur in developing countries, out of which two-thirds are in the Africa and Southeast Asia regions, including Indonesia
Methods: There were two groups which are retrospectively identified from the medical records, and then prospectively compared. We compare mortality, sepsis incidence and hospital length of stay in patients underwent early tangential excision (n=23) to those who underwent delayed tangential excision (n=23) using Fisher Exact Test and Mann-Whitney.
Result: From January 2016 to August 2018, 46 patients met the inclusion criteria of this study. The incidence of sepsis was statistically significant with all sepsis incidence occurs only delayed tangential excision group (p<0.001) with relative risk 0.233 (CI 95% 0.122-0.446). There were no differences on the mortality as well as hospital length of stay between early and delayed tangential excision groups (p>0.05).
Conclusion: Early tangential excision is beneficial to prevent sepsis in patients with deep dermal and full thickness burn. Although burn depth assessment can be subjective to surgeon's clinical experience. Early tangential excision should be done no longer than 96 hours after burn injury.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Merlinda Veronica
"Latar belakang. Kerentanan terhadap infeksi dan peningkatan resistensi antibiotik menempatkan pasien luka bakar pada risiko infeksi yang disebabkan oleh multidrug-resistant organism (MDRO), kondisi ini dapat berlanjut menjadi sepsis yang dapat meningkatkan tingginya morbiditas dan mortalitas.
Metode. Penelitian kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien yang di rawat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2020 sampai Juni 2022.
Hasil. Total 160 subjek dalam kurun waktu penelitian dengan usia < 60tahun sebanyak 82,5%, memiliki komorbid 16,88%, penyebab terbanyak luka bakar adalah api  86,25%, penggunaan alat medis sebanyak 90,63% dengan median lama rawat 14 hari. Patogen MDRO tersering Gram negatif adalah K. pneumoniae, 91%), Enterobacter sp (22,32%) dan Acinetobacter (20,54%), pasien infeksi MDRO yang meninggal sebanyak 45%. Pada analisis bivariat ditemukan pengaruh infeksi MDRO terhadap mortaltas pasien luka bakar (RR1,103; IK 95% 1,004-1, 211,; p=0,046). Setelah di-adjusted dengan variabel perancu yaitu: usia, komorbid, TBSA, penggunaan alat medis, lama rawat dan dianalisis multivariat ditemukan variabel yang berpengaruh terhadap mortalitas infeksi MDRO adalah lama rawat dan usia.
Simpulan. Terdapat pengaruh infeksi MDRO pada angka mortalitas pasien luka bakar. Mortalitas pasien luka bakar akibat infeksi MDRO lebih besar (45%) dibandingkan dengan Non MDRO (21,43 Patogen MDRO Gram negatif tersering adalah K.pneumonia e.

Background. Susceptibility to infection and increased antibiotic resistance place burn patients at risk of infection caused by multidrug-resistant organisms (MDRO), this condition can progress to sepsis which can increase morbidity and mortality.
Method. Retrospective cohort study using medical record data of patients treated at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in the period January 2020 to June 2022.
Results. Total of 160 subjects in the study period with age < 60 years were 82,5%, had comorbidities 16.88%, the most common cause of burns was fire 86.25%, the use of medical devices was 90.63% with a median length of stay of 14 days . The most common Gram-negative MDRO pathogens were K. pneumoniae Enterobacter sp (22.32%) and Acinetobacter (20.54%), MDRO infected patients who died were 45%. Bivariate analysis found increased risk of mortality on MDRO infection among burn patient (RR 1,103; 95% CI 1,004-1,211, p=0.046). After adjusting for the role variables, namely: age, comorbidities, TBSA, use of medical devices, length of stay and multivariate analysis, it was found that the MDRO infection mortality were length of stay and age.
Conclusion. MDRO infection increases mortality in of burn patients. Mortality of burn patients due to MDRO infection is greater (45%) compared to Non MDRO (21.43%). The most common Gram-negative MDRO pathogen is K.pneumoniae.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mufida Muzakkie
"Latar Belakang: Luka bakar memerlukan penutupan luka segera setelah eksisi. Terbatasnya donor tandur kulit STSG merupakan permasalahannya. Meshed merupakan metode ekspansi yang sering dipakai. Namun di Indonesia, tidak semua rumah sakit mempunyai mesin Mesher. Metode ekpansi lainnya yaitu Postage-stamp. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan perambatan kulit baru marginal epithelial creeping antara kedua metode tersebut untuk memprediksi lamanya waktu penyembuhan.
Metode: Subjek adalah pasien di Unit Luka Bakar RS. Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi. Setiap kelompok menerima 2 metode STSG; Meshed grup kontrol dan Postage-stamp grup perlakuan pada bagian tubuh yang berbeda, 32 sampel setiap grup. Perambatan kulit baru dinilai pada hari ke-5, 10 dan 14.
Hasil: Juli ndash;Oktober 2016, dilakukan operasi pada 10 pasien 20 sampel sebagai data preliminary. Dari analisa statistik didapatkan tidak ada perbedaan bermakna perambatan kulit baru pada kedua kelompok pada hari ke-5, 10 dan 14. Walaupun didapatkan rerata perambatan kulit pada hari ke-5 dan 10 Meshed lebih tinggi daripada Postage-stamp, dan pada hari ke-14 Postage-stamp lebih tinggi daripada Meshed.
Kesimpulan: Kedua metode tersebut memberikan hasil perambatan kulit baru yang serupa. Walaupun pada hari ke-14 didapakan nilai rerata pada Meshed 61,9 cm2 SD 2.9 dan Postage-stamp 62.11 cm2 SD 3.9 dari total luas luka 64 cm2.

Background: Extensive burn injuries are challenging due to limitation of split thickness skin graft STSG. Meshed has been an accepted method for expansion. But in Indonesia, not every hospital has Mesher machine. Another method is Postage stamp. The purpose of this study is to analyze marginal epithelial creeping MEC between both methods, so we can predict the wound healing time.
Materials and Methods: Subjects are patients in Burn Unit, Cipto Mangunkusumo Hospital who fulfills inclusion criteria. Each patient received two methods Meshed control group and Postage stamp treatment group on different body region. MEC was measured on Day 5, Day 10 and Day 14.
Results: From July October 2016, 10 patients 20 samples performed surgery as preliminary data, showed that there is no statistically difference of MEC between both groups on Day 5, Day 10 and Day 14. Although, we found that both on Day 5 and Day 10 mean of Meshed STSG higher than Postage stamp STSG, and on Day 14 mean of Postage stamp STSG higher than Meshed STSG.
Conclusion: Meshed and Postage stamp STSG giving similar result of MEC as the aim to predict wound healing time. On day 14, Meshed giving 61.9 cm2 SD 2.9 of epithelialization and Postage stamp STSG giving 62.11 cm2 SD 3.9 from total of raw surface 64 cm2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Friscilla Hakim
"Pendahuluan: Perhitungan luas area luka bakar/total burn surface area (TBSA) tidak mungkin dilakukan secara eksak. Perbedaan estimasi TBSA sering dijumpai, bahkan di antara para ahli luka bakar. Namun, perhitungan ini merupakan langkah yang sangat penting untuk menentukan jumlah cairan resusitasi yang akan diberikan. Kebutuhan akan bantuan computer dalam proses perhitungan ini dirasakan perlu, walaupun penggunaan grafik Lund-Browder telah lama digunakan dalam praktik klinis. Burn Case 3DTM adalah sebuah aplikasi peranti lunak baru yang dapat digunakan untuk membantu perhitungan TBSA. Tujuan dari studi ini adalah untuk membandingkan validitas dan reliabilitas di antara kedua metode ini untuk menghitung TBSA dalam praktik klinis.
Metode: Dua orang evaluator menghitung TBSA dari 20 set foto digital pasien Unit Luka Bakar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang didapatkan dari bank data Divisi Bedah Plastik. Metode perhitungan yang digunakan adalah grafik Lund-Browder dan Burn Case 3DTM. Validitas dan reliabilitas kedua metode ini akan diukur menggunakan grafik Bland Altman. Rata-rata perbedaan pengukuran dapat diterima bila berada di bawah 5%.
Hasil. Validitas BurnCase 3DTM dibandingkan dengan grafik Lund-Browder dalam menghitung total luas luka bakar adalah sangat baik (Beda Rerata -0,96 (IK95% -0,36 sd 2,28); limit kesesuaian -4,69 sd 6,61; ICC=0,997 (IK95% 0,992 sd 0,999). Reliabilitas perhitungan luas luka bakar dengan grafik Lund-Browder menurut beberapa parameter adalah sebagai berikut: beda rerata -0,025 (IK95% -1,47 hingga 1,42); limit kesesuaian -6,22 hingga 6,17; ICC = 0,996 (IK95% 0,990 hingga 0,998). Reliabilitas penghitungan luka bakar dengan BurnCase 3DTM adalah sebagai berikut: beda rerata -0,71 (IK95% -1,59 hingga 0,18); limit kesesuaian -4,48 hingga 3,07; ICC = 0,999 (IK95% 0,996 hingga 0,999).
Kesimpulan. Validitas BurnCase 3DTM dalam menghitung luas luka bakar dibandingkan dengan grafik Lund- chart sebagai alat referensi adalah sangat baik dengan nilai ICC sebesar 0,997. BurnCase 3DTM terbukti reliabel secara klinis dan statistik sebagai alat untuk menghitung luas luka bakar.

Introduction. Calculating the total burn surface area (TBSA) is never an exact measure. High deviation of TBSA estimation is common even among the burn specialist. However, this is a very critical step in determining the amount of initial fluid resuscitation to be administered. The need for computer assisted calculation is consider even the Lund-Browder chart has long been used in the clinical setting as a guide to estimate TBSA. A more recent software application is available to aid this estimation, the BurnCase 3DTM. This study aims to compare the validity and reliability of the two tools in calculating TBSA in the clinical setting.
Methods. The TBSA of twenty set of digital pictures of Burn Unit Cipto Mangunkusumo Hospital patients, extracted from the Plastic Surgery division database, covering the patients’ whole body is assessed by 2 assessors using (1) The Lund-Browder chart as the reference, and (2) The BurnCase 3DTM as a new measurement tools. The validity and reliability of each estimated values from both device will be measured using Bland Altman test. The mean difference assumed acceptable if less than 5 percent.
Results. The validity of the BurnCase 3DTM compared to the Lund-Browder chart to calculate total burn surface area (TBSA) according to various parameters is as follow: mean difference -0,96 (CI95% -0,36 to 2,28); limit of agreement -4,69 to 6,61; ICC = 0,997 (CI95% 0,992 to 0,999). The inter-rater reliability of TBSA calculation using the Lund Browder chart is as follow: mean difference -0,025 (CI95% -1,47 to 1,42); limit of agreement -6,22 to 6,17; ICC = 0,996 (CI95% 0,990 to 0,998). The inter-rater reliability of TBSA calculation using The BurnCase 3DTM is as follow: mean difference -0,71 (CI95% -1,59 to 0,18); limit of agreement -4,48 to 3,07; ICC = 0,999 (CI95% 0,996 to 0,999).
Conclusion. The BurnCase 3DTM is a valid tool to calculate TBSA when compared to the Lund Browder chart as the reference measurement tool to calculate total burn surface area (TBSA) with an ICC value of 0,997. The BurnCase 3DTM is proved clinically and statistically reliable as a measurements tool to calculate TBSA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Oetoro
"Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian nutrisi enteral dini (NED) terhadap stres metabolisme pada penderita luka bakar, dalam rangka mencari alternafif penatalaksanaan nutrisi pada penderita luka bakar.
Tempat: Unit Luka Bakar RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Bahan dan cara: Penelitian ini merupakan uji klinik pada penderita luka bakar berusia 18 - 60 tahun dengan luka bakar derajat dua seluas 20 - 60% luas permukaan tubuh (LPT). Sepuluh subyek perlakuan diberi Nutrisi Enteral Dini/NED mulai ≤8 jam pasca trauma, sedangkan 10 subyek kontrol diberi nutsisi enteral/oral 24 jam pasca trauma. Stres metabolisme dideteksi dengan pemeriksaan kadar hormon kortisol serum, glukosa darah dan nitrogen urea urin (NUU). Sampel darah untuk pemeriksaan kortisol dan glukosa diambil pada hari ke 1, 7 dan 12. Urin untuk pemeriksaan NUU di kumpulkan selama 24 jam pada hari ke 3, 7 dan 12. Uji statistik yang digunakan adalah uji Mann Whitney U untuk kadar kortisol, NUU dan glukosa darah. Batas kemaknaan yang digunakan 0,05.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar kotisol dan NUU, namun demikian pada hari ke 12 tampak penurunan kadar NUU lebih tajam pada kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol justru meningkat Kadar glukosa darah pada hari 12 menunjukkan perbedaan bermakna (p = 0, 04).
Kesimpulan: Pemberian NED berhasil menekan stres metabolisme yang terjadi pada penderita luka bakar derajat dua berdasarkan parameter glukosa darah.

Objective: To investigate the effect of early enteral nutrition (EEN) on the metabolic stress in burned patients, in respect to looking for the alternative of nutrition management in burned patients.
Place: Burn Unit RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Materials and methods: This study was randomized clinical trial was conducted on 18 - 60 years subjects with 20 - 60% total body surface area (FBSA) of second degree burned. Ten subjects were given enteral nutrition started g 8 hours post burn, while 10 control subjects were given enteral/oral nutrition 24 hours post burn. Metabolic stress was detected by measuring of serum cortisol, blood glucose level, and urinary urea nitrogen (UUN) level. Blood samples for cortisol and glucose level were taken on day 1, 7 and 12 Twenty four hours collected urine for UUN level were taken on day 3, 7 and 12. Statistical analysis was performed with Mann Whitney U test for cortisol level, NUU and glucose level. The level of significance was 0, 05.
Results: There were no significant differences between the two groups based on serum cortisol and UUN levels, however, the level o UUN of the day 12 decreased in the study group, while it increased in the control group. A significant difference was found of blood glucose between these two groups (p = 0, 04) on day 12.
Conclusion: The administration of EEN reduced the metabolic stress of second degree burned patients express by blood glucose parameter.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5321
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dalima Ari Wahono Astrawinata
"LATAR BELAKANG: Banyak faktor mempengaruhi prognosis luka bakar, data di Indonesia belum ada yang rinci. Dengan mengetahui faktor prognostik terpenting, akan dimungkinkan menetapkan penatalaksanaan yang tepat_ Perbaikan standar penatalaksana an membawa perbaikan nyata untuk menekan mortalitas.
METODE: Penelitian kohort historikal menggunakan subyek penderita luka bakar rawat inap di RSCM Januari I998-Mei 2001. Semua yang memenuhi kriteria inklusi diambil. Analisis data dengan survival analysis menggunakan Cox proportional hazard untuk mencari perhitungan ketahanan hidup.
HASIL: Dari 156 penderita didapat angka mortalitas 27,6%. Penderita terbanyak berusia 19 tahun, laki-laki lebih banyak 1,6 x dari perempuan. Penyebab tersering api (55,1%) dan terjadi dirurnah (72,4%). Ditemukan luka bakar terbanyak derajat 2° (76,9%) dengan Iuas terbanyak 27%, interquartile range 19-43%. Faktor prognostik terpenting dengan nilai hazard ratio (HR) dan 95% confidence interval (CI) masing-masing adalah syok-SIRS 12,05 (2,36;60,95), trombositopeni 10,78 (2,23;52,05), trauma inhalasi 5,20 (2,77;9,77), syok 4,87 (1,25;18,98) dan luas>50% 4,35 (1,22;15,59)
KESIMPULAN: Penatalaksanaan resusitasi cairan yang tepat dan resusitasi jalan napas dapat menekan angka mortalitas penderita luka bakar. Trombositopeni merupakan salah satu petanda awal kemungkinan sepsis/SIRS.

Prognostic factors in moderate and severe burn patients at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital Jakarta 1998-May 2001. BACKGROUND: Several factors influence the outcome of burn injuries. Knowing the most important factors influencing the outcome of burn might be helpfull in developing new strategies for patient care. Improvement of burn patients management can reduce mortality rate.
METHODS: Data from historical cohort were analyzed using Cox proportional hazard. One hundred fifty six burn patients hospitalized at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital from January 1998-May 2001 were selected consecutively according to inclusion criteria.
RESULTS: From the 156 patients studied, mortality rate was 27,6%. Median patient age was 19 years , male : female ratio 1,6:1. The most common cause of thermal injury was flame (55,1%) and the majority occured at home (72,4%). Second degree burns were dominant (76,9%) with median burn size 27% Total Body Surface Area ( interquartile 19-43). The most important prognostic factors, hazard ratios and 95% confidence interval were shock with SIRS 12,05 (2,36;60,95), thrombocytopenia 10,78 (2,23;52,05), inhalation injury 5,20 (2,77;9,77), shock 4,87 (1,25;18,98) and burn size >50% 4,35 (1,22;15,59).
CONCLUSIONS: Adequate fluid rescusitation and respiratory rescusitation can overcome important factors influencing burn patients outcome in order to reduce mortality rate. Thrombocytopenia can be use as an early sign of impending sepsis/SIRS.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Yusuf Bertua
"Latar Belakang: Kematian akibat luka bakar di RSCM masih tinggi yaitu berkisar 34%. Data menunjukkan sebagian besar pasien yang dirawat di unit luka bakar (ULB) mengalami disfungsi organ. Skor SOFA merupakan salah satu skor yang menilai disfungsi organ, namun hingga saat ini belum ada penelitian tentang kesahihan skor SOFA pada pasien kritis luka bakar di Indonesia. Penelitian ini ingin menguji kesahihan skor SOFA untuk memprediksi mortalitas pada pasien kritis akibat luka bakar di HCU dan ICU ULB RSCM. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan total subjek yang dianalisis sebanyak 169 subjek. Kesahihan skor SOFA dinilai menggunakan Area Under Curve, Hosmer Lemeshow goodness of fit dan regresi logistik multivariat. Hasil: Mortalitas pasien luka bakar pada penelitian ini adalah 32,5%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa skor SOFA memiliki diskriminasi yang sangat baik (AUC 96,4%, IK 95% 0,933-0,995) dan kalibrasi yang baik (Hosmer-Lemeshow p=0,561). Variabel SOFA yang secara statistik mempunyai pengaruh signifikan terhadap mortalitas 30 hari di ULB adalah rasio PaO2/FiO2< 400, PaO2/FiO2 < 300, PaO2/FiO2 < 200 dengan ventilasi mekanik dan jumlah trombosit < 150,000/mm3. Simpulan: Skor SOFA sahih dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien kritis luka bakar di HCU dan ICU ULB RSCM.

Background: Mortality rate of burn in Ciptomangunkusumo Hospital is around 34%. Data shows that most patient in burn units experience organ dysfunction. SOFA score assesses organ dysfunction and frequently used in ICU, but there is no research about this score in burn unit especially in Indonesia. This study wants to assess validity of SOFA score in predicting mortality of critical burn patients in HCU and ICU Ciptomangunkusumo Hospital. Methods: This study was a retrospective cohort study and analized 169 total subjects. SOFA score validity was assessed using Area Under Curve, Hosmer-Lemeshow goodness of fit and multivariate logistic regression. Result: The mortality rate of burn patients is 32,5%. SOFA score had very good discrimination (AUC 96.4%, CI 95% 0.933-0.995) and good calibration (Hosmer-Lemeshow p=0.561). SOFA variables which statistically have significant effect on 30-day mortality in Burn Unit is ratio of PaO2/FiO2 < 400, PaO2/FiO2 < 300, PaO2/FiO2 < 200 with mechanical ventilation and platelet count < 150,000/mm3. Conclusion: SOFA score is valid in predicting 30 days mortality of critically ill burn patients in HCU and ICU RSCM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herndon, David N.
New York: Saunders Elsevier, 2012
617.11 HER t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>