Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178581 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astri Dewina Pratiwi
"Latar belakang: Status Epilepticus Severity Score (STESS) merupakan instrumen untuk memprediksi luaran pasien status epileptikus (SE) sebelum dilakukan tata laksana. Status Epilepticus Severity Score sudah divalidasi sebelumnya di Swiss dengan nilai cut-off > 4. Instrumen ini adalah instrumen sederhana, dan dapat digunakan dengan cepat, pada pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang perawatan intensif. Tujuan utama penelitian ini untuk menilai validitas dan reliabilitas STESS yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Tujuan tambahan adalah untuk melihat hubungan antara nilai STESS dengan luaran pada 24 jam, 48 jam, hari ke 7, hari ke 30, dan akhir perawatan pasca-SE ditegakan.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Juni 2020 hingga November 2020. Penelitian ini menggunakan disain potong-lintang prospektif dan dilakukan penilaian secara serial untuk melihat luaran pada 24 dan 48 jam pertama, hari ke-7, 30 dan akhir perawatan. Luaran yang dinilai adalah hidup dan mati. Kriteria inklusi adalah pasien SE konvulsivus yang belum mendapatkan tata laksana kejang. Kuesioner STESS telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas STESS Bahasa Indonesia (STESS-INA). Selanjutnya ditentukan nilai titik potong STESS dengan menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) dan menilai Area Under Curve (AUC) terhadap titik potong yang ditentukan. Setelah itu dilakukan analisa statistik berdasarkan titik potong tersebut terhadap luaran pasien pada 24 dan 48 jam, hari ke-7 dan 30, serta akhir perawatan. Luaran yang dinilai dalam bentuk pasien hidup atau meninggal.
Hasil: Didapatkan 17 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil uji validitas interna STESS-INA untuk tiap item didapatkan koefisien korelasi 0,484 hingga 0,702 dengan nilai Cronbach’s Alpha 0,71. Pada studi ini didapatkan mortalitas adalah sebesar 23%. Berdasarkan kurva ROC, didapatkan nilai titik potong 4. Nilai AUC STESS-INA pada akhir perawatan 96,2% dengan menggunakan nilai titik potong STESS > 4. Nilai STESS-INA > 4 berhubungan bermakna dengan luaran kematian pada akhir perawatan (p=0,006).
Kesimpulan: STESS-INA merupakan instrumen valid dan reliabel. Nilai STESS-INA > 4 berhubungan bermakna terhadap luaran kematian pada akhir perawatan.

Background: STESS in an instrument to predict the outcome of a status epilepticus (SE) patient before being managed. STESS has been validated before in Swiss with a cut-off point of ≥4. This simple instrument can be used quickly for patients in the ER and ICU. The goal of this research is to assess the validity, reliability of STESS Indonesia version (STESS-INA) and to evaluate the association of score of STESS-INA and outcome on 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day, and at the last day of hospitalization.
Method: Research was being done at RSUPN Cipto Mangunkusumo on June 2020 to November 2020. STESS was translated to Indonesia version (STESS-INA) followed by validity and reliability evaluation. STESS-INA was assessed when patient is being diagnosed with SE before being managed, then being observed on the first 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day and the last day of hospitalization. Predictive value of STESS-INA was being assessed by Receiver Operating Character (ROC) with the cut-off point at the most optimal sensitivity and specificity followed by assess the correlation between STESS-INA cut-off point and the outcome on 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day, and at the last day of hospitalization. The outcome was live/deceased.
Result: There were 17 patients in this study. The results of the internal validity test obtained a correlation coefficient of STESS-INA was 0.484 to 0.702. Internal consistency reliability test with Cronbach’s Alpha was 0.71. The mortality rate of these study was 23%. The AUC value of STESS-INA at the end of hospitalization was 96.2 with cut-off point >4. In this study, STESS-INA with cut-off point 4 has significantly associated with outcome at the last day of hospitalization (p = 0.006).
Conclusion: STESS-INA is a valid and reliable instrument in predicting outcome at the end of hospitalazation. STESS with a cut-off >4 was associated with mortality at the last day of hospitalization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andriani Putri Bestari
"ABSTRAK
Latar belakang: Status epileptikus non konvulsivus SENK merupakan salah satu diagnosis banding pasien dengan penurunan kesadaran termasuk pada ensefalopati metabolik EM . Luaran pasien EM dengan SENK masih belum banyak diteliti.Metode penelitian: Penelitian ini bersifat observasional dengan disain potong lintang terhadap pasien EM dengan gambaran elektroensefalogram EEG SENK berdasarkan kriteria Salzburg yang dirawat di ruang emergensi, ruang rawat intensif, dan ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunksumo pada bulan Juli 2016-Juli 2017. Pasien dilakukan pencatatan, pemeriksaan EEG, dan observasi hingga akhir perawatan atau 30 hari perawatan. Luaran dinilai dalam mortalitas dan status fungsional dalam modified Rankin scale mRS yang dibagi menjadi baik mRS 0-2 dan buruk 3-5 . Analisa bivariat dilakukan untuk mencari faktor demografis, klinis, dan elektrografis yang berpotensi mempengaruhi luaran.Hasil: Dari total 32 subjek penelitian, didapatkan mortalitas sebesar 40,6 . Dari 19 subjek hidup, 84,2 memiliki status fungsional buruk. Pada subjek yang meninggal, 84,6 memiliki latar belakang teta, 100 tidak responsif terhadap suara, 92,3 tidak responsif terhadap nyeri, dan 76,9 memiliki gambaran aktivitas delta/teta ritmik dengan frekuensi >0,5Hz. Sepsis dan jumlah etiologi penurunan kesadaran memiliki berpotensi mempengaruhi luaran subjek p0,5Hz. Sepsis dan jumlah etiologi berpotensi mempengaruhi luaran.Kata kunci: luaran; mortalitas; status fungsional; ensefalopati metabolik; status epileptikus non konvulsivus

ABSTRACT
Background Nonconvulsive status epilepticus NCSE is one of the important differential diagnoses in patients with altered consciousness including metabolic encephalopathy ME . The outcome of ME patients with NCSE has not been studied extensively.Method This is an observational cross sectional study in ME patients with NCSE based on EEG findings that fulfilled the Salzburg criteria treated in the emergency, intensive care, and inpatient units of Cipto Mangunkusumo hospital in July 2016 July 2017. Subjects underwent documentation, EEG recording, and observation until discharge or 30 days of treatment. Outcome was measured in mortality and functional status in modified Rankin scale divided into favorable mRS 0 2 and poor mRS 3 5 . Bivariate analysis was done to find the potential demographic, clinical, and electrographic factors to influence outcome.Result Out of total 32 subjects, the mortality rate was 40.6 . From 19 survivors, 84,2 had poor functional status. In fatal subjects, 84.6 had theta background rhythm, 100 unresponsive to sound, 92.3 unresponsive to pain, and 76.9 had rhythmic delta theta activity 0.5Hz. Sepsis and the number of etiologies causing altered consciousness had the potential to influence outcome p0.5Hz. Sepsis and the number of etiologies had the potential to influence outcome.Keywords mortality functional status metabolic encephalopathy nonconvulsive status epilepticus"
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Liestyaningsih Dwi Wuryani
"Latar Belakang: Status epileptikus (SE) merupakan salah satu kedaruratan neurologis dengan mortalitas yang tinggi. SE dengan gejala motorik yang menonjol dan gangguan kesadaran disebut sebagai status epileptikus konvulsivus (SEK). Tujuan tatalaksana SEK adalah menghentikan bangkitan secara cepat dan efektif karena pada SEK yang berkepanjangan akan menyebabkan kerusakan neuron dan gangguan sistemik yang luas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tatalaksana farmakologis dan faktor-faktor yang mempengaruhi waktu terminasi SEK di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Desain penelitian dengan potong lintang pada 22 pasien SEK secara retrospektif. Data yang didapatkan merupakan data dari penelurusan rekam medik. Dilakukan pencatatan usia, jenis kelamin, komorbid, riwayat epilepsi, etiologi, bentuk kejang, kelainan metabolik, onset kejang, jenis, lini, dosis, dan jumlah obat anti kejang yang didapat. Kemudian dilakukan pencatatan waktu dari tatalaksana SEK hingga terminasi SEK.
Hasil: Dari 22 subjek, 16 subjek dapat diterminasi <60 menit (72,7%). Kelompok terminasi <60 menit memiliki rerata usia lebih muda, memiliki riwayat epilepsi, dan sebagian besar tidak memiliki komorbid. Pada kedua kelompok terminasi etiologi tersering adalah etiologi akut. Seluruh subjek dengan semiologi SEK kejang konvulsif umum tonik klonik dan kejang umum tonik termasuk dalam kelompok terminasi <60 menit. Sedangkan bentuk kejang lainnya terdapat sebagian kecil subjek termasuk dalam kelompok terminasi >60 menit. Median onset kejang pada penelitian ini didapat lebih lama pada kelompok terminasi <60 menit. Kelainan metabolik hipoalbumin dan gangguan hepar didapatkan sedikit lebih banyak pada kelompok terminasi <60 menit. Sedangkan subjek dengan kelainan ginjal didapat persentase yang sama. Sebagian besar subjek cukup mendapat lini I, diazepam IV, dan 1 jumlah obat anti kejang dalam terminasi SEK. Pada subjek kelompok terminasi >60 menit mendapat dosis diazepam IV dan fenitoin IV lebih besar. Pada subjek yang mendapat levetiracetam oral dan midazolam IV seluruhnya terdapat dalam kelompok terminasi >60 menit.
Kesimpulan: Tatalaksana farmakologis SEK di RSCM sesuai dengan alogaritme SE dan sebagian besar dapat diterminasi <60 menit. Distribusi demografis dan klinis subjek penelitian seperti usia muda, riwayat epilepsi, dan tidak adanya komorbid serta kelainan metabolik hipoalbumin dan kelainan hepar distribusinya lebih banyak pada kelompok terminasi <60 menit.

Background: Status epilepticus (SE) is one of the neurological emergencies with high mortality. SE with prominent motor symptoms and impaired consciousness is called a convulsive status epilepticus (CSE). The goal of treatment for CSE is to stop seizures quickly and effectively because prolonged CSE will cause extensive neuronal damage and systemic disturbances. The purpose of this study was to determine the description of pharmacological management and the factors that influence the termination of CSE in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: It was a retrospective cross-sectional study design in 22 CSE patients. The data was retrieved from medical records including age, sex, comorbid, history of epilepsy, etiology, form and onset of seizures, metabolic disorders, type, line, dose and amount of anti-seizure drugs were carried out. The duration from time-point of CSE management up to the CSE termination was recorded.
Result: Among 22 subjects, there were 16 subjects who had CSE termination <60 minutes (72.7%). The <60 minutes termination group had a younger age, had a history of epilepsy and most of them had no comorbidities. All three subjects with a history of epilepsy were also included in the <60 minutes termination group. In both groups the most common etiology of termination was acute. All subjects with the semiology convulsive generalized tonic-clonic seizures and generalized tonic seizures were included in the <60 minutes termination group. While other forms of semiology, a small proportion of subjects were included in the group termination >60 minutes. Median seizure onset in this study was longer in the termination group <60 minutes. Hypoalbumin metabolic and hepatic disorders were slightly more in the <60 minutes termination group. Among <60 minutes termination group, the most common anti-convulsant was first line drug which was Diazepam IV, wherease the most common one in >60 minutes termination group was second line drug which was Phenytoin IV. Subjects in the group terminated> 60 minutes received larger doses of IV diazepam and IV phenytoin. Subjects receiving oral levetiracetam and IV midazolam were all in the> 60 minutes termination group.
Conclusion: CSE management in Cipto Mangunkusumo Hospital was already in accordance with the SE management algorithm. Demographic and clinical distribution of study subjects such as younger age, history of epilepsy, absence of co-morbids and metabolic disorders of hypoalbumin and liver disorders were common in the <60 minutes termination group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Aulia Qurotaayun
"Latar Belakang Status epileptikus adalah kondisi kegawatdaruratan Neurologi yang dapat terjadi pada anak. UKK Neurologi IDAI menerbitkan Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus IDAI 2016 agar terdapat keseragaman tata laksana serta menghindari over dan underteatment. Tujuan Mengkaji dan mengevaluasi penerapan Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus UKK Neurologi IDAI 2016 dan variabel yang memengaruhi tata laksana status epileptikus oleh dokter spesialis anak di Indonesia. Metode Metode penelitian menggunakan studi potong lintang dengan instrumen penelitian berupa kuesioener daring yang berisi 16 pertanyaan kesesuaian tata laksana, dengan total skor 21. Penelitian dilakukan selama bulan Oktober 2023. Respondens merupakan dokter spesialis anak di Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Hasil Rerata skor kesuaian tata laksana status epileptikus dari 129 subjek adalah 11,68 dari 21,00. Rentang skor subjek adalah 2,00 hingga 19,00. Proporsi dokter spesialis anak yang mengetahui rekomendasi adalah 97,3% dan yang pernah mendapatkan sosialisasi adalah 82,9%. Signifikansi uji komparatif rerata skor kesesuaian kategori usia <41 tahun, 41-60 tahun, >60 tahun adalah p=0,071, kategori tahun kelulusan ≤10 tahun dan >10 tahun p=0,04, kategori tempat kerja klinik/praktik pribadi, rumah sakit tipe B/A dan rumah sakit tipe C/D adalah 0,309, kategori lokasi kerja kota madya dan kabupaten adalah p=0.279, serta kategori riwayat sosialisasi dan tidak p=0,139. Terdapat perbedaan kemampulaksanaan rekomendasi tata laksana antara lokasi kerja praktik/klinik pribadi dan rumah sakit sebesar p=0,287 dan rumah sakit tipe B/A dan rumah sakit tipe C/D sebesar p=0,013, serta berdasarkan tempat kerja sebesar p=0,798. Kesimpulan Terdapat perbedaan rerata skor kesesuaian rekomendasi tata laksana yang secara statistik bermakna pada kategori tahun kelulusan ≤10 tahun dan >10 (p=0,04), serta perbedaan kemampulaksanaan rekomendasi di rumah sakit tipe B/A dan rumah sakit tipe C/D (p=0,013).

Introduction Status epilepticus is a neurological emergency condition that can occur in children. Indonesian Pediatric Society (UKK Neurologi IDAI) issued the IDAI 2016 Recommendations for the Management of Status Epilepticus to ensure consistent management of status epilepticus. Objective To assess and evaluate the implementation of the UKK Neurologi IDAI 2016 Recommendations for the Management of Status Epilepticus and the variables influencing the management of status epilepticus by pediatric specialists in Indonesia. Method The research methodology used a cross-sectional study design with an online questionnaire as the research instrument, consisting of 16 questions on the appropriateness of management, with a total score of 21. The research was conducted in October 2023. The respondents were pediatric specialists in Indonesia who are members of the Indonesian Pediatric Society (IDAI). Results The mean score of compliance with the managementguuidelines recommendations based on workplace in hospital type B/A and hospital type C/D (p=0.013). guidelines for status epilepticus from 129 subjects is 11.68 out of 21.00. The range of subject scores is from 2.00 to 19.00. The proportion of pediatric specialists who are aware of the recommendations is 97.3%, and those who have received training is 82.9%. The significance of the comparative test for the mean scores of compliance in the age categories <41 years, 41-60 years, and >60 years is p=0.071. p=0.04 For the categories of years since graduation ≤10 years and >10 years, p=0.309. for the categories of workplace in clinics/private practice, hospital type B/A, and hospital type C/D, p=0.795 for the categories of working location in rural and urban area, and p=0.139 for the categories of history of training and no training. The difference in the implementation of management guideline recommendations based on working location with a significance of p=0.287 in clinic/private practice and hospitals, and p=0.013 in hospital type B/A and hospital type C/D. The difference in the implementation of management guideline recommendations based on workplace with a significance of p=0.798 in rural and urban area. Conclusion There is a statistically significant difference in the mean scores of compliance with the management guideline recommendations in the categories of years since graduation ≤10 years and >10 years (p=0.04), and difference in the implementations of management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti Prafica Putri
"Latar belakang: Status epileptikus non-konvulsivus (SENK) dapat terjadi setelah status epileptikus konvulsivus (SEK). SENK yang terjadi pasca-SEK memiliki mortalitas sebesar 34,9%. Sehingga, pada keadaan penurunan kesadaran pasca-SEK harus dicurigai suatu SENK yang dibuktikan dengan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) untuk menegakkan diagnosis agar luaran pasien menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insiden SENK pasca-SEK dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang menggunakan data sekunder. Sampel di ambil dengan metode total sampling yaitu pada subjek yang mengalami penurunan kesadaran pasca-SEK dari bulan Maret 2019-Oktober 2020 di Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo) Jakarta. Penegakan diagnosis SENK menggunakan EEG dengan kriteria modified salzburg consensus criteria for non-convulsive status epilepticus (mSCNC)
Hasil Penelitian: Sebanyak 74 subjek mengalami penurunan kesadaran pasca-SEK. Median usia 46 (18-80) tahun dengan dominasi perempuan. Median frekuensi bangkitan epileptik saat SEK sebanyak 4(1-30) kali, SEK terjadi selama 1-5 menit pada 73% subjek. Median derajat kesadaran pasca SEK skala koma Glasgow (SKG) 11(5-14). Etiologi tersering adalah intrakranial (66,2%) yang terjadi akut (71,6%) akibat iskemia otak (20,3%). Riwayat epilepsi didapatkan pada 36,5% subjek. Insiden SENK dari Maret 2019 – Oktober 2020 sebesar 33,8%. Berdasarkan kriteria mSCNC, SENK definit 24%, sebesar 12% masing-masing berupa bangkitan epileptiform > 2,5Hz dan aktivitas ritmik disertai evolusi spasiotemporal. Sementara possible SENK 56% dengan gambaran tersering berupa aktivitas ritmik tanpa fluktuasi. Pada subjek yang tidak SENK didapatkan gambaran EEG abnormal sebanyak 87,3% dengan gambaran nonepileptiform berupa perlambatan (71,4%). Tidak terdapat perbedaan demogarafi dan klinis bermakna pada kedua kelompok, namun pada kelompok SENK didapatkan median usia lebih tua (52 vs 44 tahun). Sedangkan pada kelompok tidak SENK, lebih banyak didapatkan riwayat epilepsi (44,9%) dibandingkan kelompok SENK (20%) (p = 0,035). Analisa multivariat menunjukkan risiko mengalami SENK saat tidak memiliki riwayat epilepsi adalah sebesar 3.259 kali (p = 0,040; IK95% 1,053-10,091).
Kesimpulan: Insiden SENK didapatkan sebesar 33,8%. Berdasarkan kriteria mSCNC, definit 24%, sebesar 12% masing-masing berupa bangkitan epileptiform > 2,5Hz dan aktivitas ritmik disertai evolusi spasiotemporal. Sementara possible SENK 56% dengan gambaran tersering berupa aktivitas ritmik tanpa fluktuasi. Pasien tanpa riwayat epilepsi, memiliki resiko sebesar 3,259 kali mengalami SENK pasca-SEK.

Background: Nonconvulsive status epilepticus (NCSE) may occur following convulsive status epilepticus (CSE), with the mortality rate of 34.9%. Therefore, in persistent loss of consciousness following CSE, NCSE must be considered and electroencephalography (EEG) should be performed to ensure the diagnosis and improve the outcome. This study aimed to describe the incidence of NCSE following CSE and its associated factors.
Methods: This was a cross-sectional study using secondary data of every subjects with loss of consciousness following CSE from March 2019 to October 2020 in Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta. The diagnosis of NCSE was performed using modified Salzburg consensus criteria for non-convulsive status epilepticus (mSCNC).
Results: There were 74 subjects with loss of consciousness following CSE. The median age of 46 (18-80) years predominantly female. The median frequency of seizure at CSE was 4 (1-30) times and occurred for 1-5 minutes in 73% of subject. The median degree of consciousness following CSE Glasgow Coma Scale (GCS) 11 (5-14). The most common etiology was related to intracranial etiology (66.2%) that occurs in acute (71,6%) due to cerebral ischemia (20.3%). A history of epilepsy was found in 36.5% subject The incidence of NCSE from March 2019 to October 2020 was 33.8%. Based on mSCNC criteria, the definite NCSE was 24%, 12% respectively was epileptiform discharge >2.5 Hz and rhythmic activity with spasiotemporal evolution. The possible NCSE was 56 % with the most common EEG finding was rhythmic activity without fluctuation. In group NCSE, there was abnormal EEG 87.3% with non-epileptiform in form of slowing. There were no significant demographic and clinical differences in two group, but in NCSE group the median age was older (52 vs 44 years). Meanwhile, in the non NSCE group, there was more history of epilepsy (44.9) than NCSE group (20%) (p=0.035). Multivariate analysis showed the risk of NCSE when no history of epilepsy was 3.259 times (p = 0,040; IK95% 1,053-10,091).
Conclusion: The incidence of NCSE following CSE was 33.8%. Based on mSCNC criteria, the definite NCSE was 24%, 12% respectively was epileptiform discharge >2.5 Hz and rhythmic activity with spasiotemporal evolution. The possible NCSE was 56 % with the most common EEG finding was rhythmic activity without fluctuation. Subjects without history of epilepsy had 3.259 higher risk to develop NCSE following CSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Ridski Harsono
"Latar belakang: Status epileptikus konvulsivus (SEK) merupakan kegawatdaruratan epilepsi dengan angka mortalitas yang tinggi dengan berbagai faktor yang memengaruhi. Keluaran pasien dengan SEK di Indonesia belum banyak diteliti, namun berdasarkan studi pendahuluan, didapatkan angka mortalitas yang cukup tinggi dibandingkan studi lainnya.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan disain kohort prospektif untuk mengentahui keluaran kesintasan pasien SEK selama 30 hari yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada bulan Januari 2019-Oktober 2020. Penyajian data kesintasan dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-meier dan dilanjutkan dengan analisis kesintasan menggunakan analisis cox-regression baik univariat maupun multivariat.
Hasil: Terdapat 196 pasien dengan 200 episode SEK, dengan 61,5% disebabkan oleh etiologi intrakranial, 28,5% oleh etiologi ekstrakranial, dan 10% oleh putus/kurang dosis OAE. Tingkat kesintasan 30 hari pasien SEK di RSCM secara umum adalah 56%. Kesintasan pada kelompok etiologi ekstrakranial (43,8%) lebih buruk dibandingkan etiologi intrakranial (55,3%) (p=0,220; HR=1,303(0,843 – 2,016)). Berdasarkan analisis univariat, faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan adalah jenis kelamin, frekuensi bangkitan kejang, tingkat kesadaran dan SKG selama periode SEK, perubahan dari SEK menjadi SENK, riwayat epilepsi, jumlah komorbid, jumlah obat anti epilepsi (OAE) yang diberikan, penggunaan agen anestesi, terjadinya SER dan SESR, adanya komplikasi dan jumlah komplikasi, terjadinya komplikasi hipotensi dan/atau gagal nafas, serta lama perawatan di rumah sakit. Sedangkan berdasarkan analisis multivariat, faktor yang memengaruhi kesintasan adalah riwayat epilepsi, jumlah komorbid, ada tidaknya komplikasi, dan adanya komplikasi gagal nafas atau penggunaan ventilator.
Kesimpulan: Tingkat keisntasan 30 hari pasien SEK pada penelitian ini rendah. Etiologi ekstrakranial memiliki tingkat kesintasan yang lebih buruk. terdapat 15 faktor lain yang memengaruhi kesintasan pasien dengan SEK.

Background: Covulsive status epilepticus (CSE) is an epileptic emergency with high mortality rate and has various influencing factors. The outcome of patient with CSE in indonesia has not been widely studied, and based on pre-eliminary study, the mortality rate was quite high compared to previous studies.
Methods: This prospective cohort study determine 30 days outcome of CSE patients that admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital in January 2019–October 2020. Overall survival rates for CSE and between 2 groups are presented by Kaplan-meier curve, then continued with a survival analysis using univariate and multivariate cox-regression analysis.
Results: A total of 196 patient with 200 episode of CSE, with 61,5% due to intracranial etiology, 28,5% by extracranial etiology, and 10% by OAE withdrawal. Overall 30 days survival rate for CSE patients at RSCM are 56%. The survival rate in extracranial etiology group (43,8%) was worse than intracranial etiology group (55,3%) (p=0,220; HR=1,303(0,843 – 2,016)). In univariate analysis, factors that influence survival are gender, seizure frequency, level of consciousness and GCS, evolution from CSE to NCSE, epilepsy history, number of comorbids and anti-epileptic drugs (AED), use of anesthetics agents, the occurrence of refractory status epilepticus and super refractory status epilepticus, the presence and number of complications, the occurrence of hypotension and/or respiratory failure, and the hospital length of stay. Whereas in multivariate analysis, factors that influenced survival rate were history of epilepsy, number of comorbidities, the presence of complications, and the presence of respiratory failure or ventilator use.
Conclusion: Thirty days survival rates of CSE patients in this study was low. Extraxranial etiology has lower survival rates. There are 15 factors that influence survival rates in patient with CSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shiela Stefani
"Tindakan bedah pankreatektomi dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pascabedah. Terapi medik gizi pra dan pasca-pankreatektomi dapat mempertahankan status gizi, mempercepat pemulihan kapasitas fungsional, dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Empat pasien, yang terdiri atas tiga perempuan dan satu laki-laki dengan rentang usia 30‒65 tahun, menjalani pankreatikoduodenektomi sebagai terapi kanker ampula Vateri. Nutrisi prabedah diberikan secara oral dalam bentuk makanan biasa dengan atau tanpa oral nutrition supplement (ONS). Delapan jam prabedah semua pasien mendapat ONS yang mengandung 30 g karbohidrat dan tiga pasien diberikan nutrisi enteral dini <48 jam pascabedah. Dua pasien mengalami komplikasi postoperative pancreatic fistula grade A dan satu pasien dengan obes morbid mengalami delayed gastric emptying pascabedah. Terapi medik gizi pascabedah berupa pemberian energi, makronutrien, mikronutrien, dan edukasi nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis dan toleransi asupan pasien. Asupan energi keempat pasien saat pulang mencapai 76‒109% kebutuhan energi total. Semua pasien mengalami perbaikan keluhan klinis, komplikasi, toleransi asupan, kontrol glukosa darah, dan kapasitas fungsional, serta dapat mempertahankan bahkan meningkatkan berat badan perioperatif. Lama rawat menjadi lebih singkat dan semua pasien diizinkan rawat jalan. Terapi medik gizi yang adekuat pada pasien pankreatektomi dapat meningkatkan status gizi dan kapasitas fungsional, memperbaiki luaran klinis, menurunkan morbiditas, dan mempersingkat lama rawat.

Pancreatectomy surgery can cause escalation in post-surgical morbidity and mortality. Nutrition therapy before and after pancreatectomy can help preserve nutritional status, accelerate recovery of functional capacity, and improve patient’s quality of life. Four patients, consisting of three women and one man whose age ranged between 30 – 65 years old, underwent pancreaticoduodenectomy as a therapy for ampulla of Vateri cancer. Pre-surgical nutrition was given through oral route in the form of normal food with or without oral nutritional supplement (ONS). Eight hours before surgery all patients received ONS containing 30 g of carbohydrate and three patients were given early enteral nutrition <48 hours post-surgery. Two patients experienced postoperative pancreatic fistula grade A and one patient with morbid obesity experienced delayed gastric emptying postoperatively. Post-surgical nutritional therapy includes supply of energy, macronutrients, micronutrients, and nutrition education adjusted to the patient’s clinical condition and intake tolerance. Energy intake of the four patients attained 76-109% of the total energy requirement. All patients experience improvement of clinical symptoms, complications, intake tolerance, glycemic control and functional capacity, and able to preserve and even increase their perioperative body weight. Length of stay was shorter and all patients were allowed to be discharged and treated in the outpatient clinic. Adequate medical nutrition therapy in pancreatectomy patients can enhance nutritional status and functional capacity, improve clinical outcome, reduce morbidity, and shorten length of stay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Maria Loho
"ABSTRAK
Latar belakang : Status epileptikus non konvulsif SENK dapat disebabkan oleh kelainan metabolik akut dan ditandai dengan penurunan kesadaran dengan atau tanpa bangkitan konvulsif motorik. Abnormalitas gambaran elektroenesfalografi EEG dapat menggambarkan derajat kerusakan otak. Pemeriksaan EEG pada ensefalopati metabolik secara umum di Indonesia belum rutin dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran EEG, angka kejadian abnormalitas EEG, gambaran klinis, dan prevalensi SENK pada ensefalopati metabolicMetode penelitian: Desain penelitian potong lintang deskriptif pada pasien ensefalopati metabolik di Instalasi Gawat Darurat, ruang rawat intensif, dan ruang rawat biasa RSUPN Cipto Mangunkusumo selama bulan Agustus-November 2016 Pemeriksaan EEG menggunakan EEG portable. Pasien dimasukan sebagai sampel apabila berusia >18tahun, didiagnosis ensefalopati metabolik oleh TS penyakit dalam, dapat dilakukan perekaman EEG. Pasien dieksklusi apabila terdapat defisit fokal neurologis pada pemeriksaan fisik dan terdapat riwayat epilepsi sebelumnya. Diagnosis SENK ditegakan dengan menggunakan kriteria Salzburg.Hasil: Di antara 34 orang subjek ensefalopati metabolik, didapatkan angka kejadian abnormalitas EEG 100 . Gambaran epileptiform ditemukan 41,2 dan gambaran non epileptiform 91,2 . Gambaran non epileptiform yang didapat meliputi: 28 subjek dengan perlambatan fokal, 3 subjek perlambatan umum, 5 subjek dengan gelombang trifasik, dan 1 subjek dengan gambaran burst suppression. Prevalensi SENK pada ensefalopati metabolik sebesar 61,8 . Mayoritas subjek dengan diagnosis SENK memiliki derajat SKG 3-8 dan dengan etiologi ensefalopati metabolik multipel.Kesimpulan: Seluruh pasien ensefalopati metabolik ditemukan kelainan EEG. Mayoritas abnormalitas EEG berupa pelambatan fokal. Prevalensi SENK pada ensefalopati metabolik cukup tinggi. Ensefalopati metabolik dengan SENK memiliki SKG yang lebih rendah dan memiliki etiologi lebih dari satu.

ABSTRACT
Background Non Convulsive Status Epileptic NCSE could caused by acute metabolic disorder that indicated by unconsciousness with or without motoric convulsive seizure. EEG abnormality could reflect the severity of brain injury. NCSE among metabolic encephalopathy has not been reported in Indonesia. This study was aimed to find the rate and pattern of EEG abnormality, clinical signs, and prevalence of NCSE in metabolic encephalopathy. Method Cross sectional descriptive study was applied in metabolic encephalopathy patient at emergency room, intensive care unit, and ward Cipto Mangunkusumo National Hospital during August November 2016. Inclusion criteria were 18 years old, diagnosed as encephalopathy metabolic by internist, and underwent the EEG examination. Patient excluded if they had neurologic focal deficit or history of seizure. NCSE was diagnosed by Salzburg criteria.Result Among 34 metabolic encephalpathy subject, the rate of EEG abnormality was 100 . The pattern of abnormality including 41,2 epileptiform and 91,2 non epileptiform pattern. The non epileptiform patten including 28 subject with focal slowing pattern and 3 with general slowing pattern, 5 subject had triphasic wave, and 1 subject had burst suppression. Prevalence of NCSE in metabolic encephalopathy was 61,8 . Majority of NCSE group had Glasgow Coma Scale between 3 8 and caused by multiple metabolic causes. Conclusion Rate of abnormality found in metabolic encephalopathy was 100 . Majority of the abnormality was focal slowing pattern. Prevalence of NCSE in metabolic encephalopathy was high. NCSE group tends to have lower GCS and caused by more than one etiology of encephalopathy. Keywords electroencephalography metabolic encephalopathy non convulsive status epilepticus"
2016
T55594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Rossa Atika
"Latar belakang: Pada tahun 2018, Indonesia memiliki 3,55% kasus pneumonia pada balita. Proporsi status nutrisi pada balita juga beragam meliputi sangat kurus (3,5%), kurus (6,7%), dan gemuk (8,0%). Belum adanya suatu instrumen prediktor luaran klinis pada pneumonia anak menjadi alasan dilakukannya penelitian ini. Hubungan status nutrisi dengan luaran klinis juga perlu diketahui lebih jauh. Hal ini bertujuan untuk membantu klinisi agar tata laksana dapat dilakukan lebih cepat dan tepat.
Metode: Penelitian dilakukan pada pasien anak dibawah dua tahun dengan pneumonia komunitas di RS Pasar Rebo, Jakarta. Desain penelitian adalah studi potong lintang
dengan sumber data primer yang diambil sejak Maret 2020 hingga September 2020. Skor RISC diperoleh dengan metode kuesioner. Status nutrisi didapatkan berdasarkan hasil
antropometri dan dikategorikan berdasarkan kurva BB/TB WHO. Hasil luaran yang diteliti adalah mortalitas, kebutuhan ICU, dan lama rawat.
Hasil: Sampel terdiri dari 25 pasien. Sebagian besar pasien memiliki Skor RISC 1 dan status nutrisi baik. Empat dari dua puluh lima pasien meninggal. Sebagian besar pasien dirawat <7 hari dan membutuhkan ICU. Hasil uji hipotesis menunjukan tidak adanya hubungan Skor RISC dan status nutrisi terhadap mortalitas, kebutuhan ICU, dan lama rawat. Uji Skor RISC untuk mortalitas menghasilkan cutoff Skor RISC 3 (AUC = 0,702).
Kesimpulan: Skor RISC dan status nutrisi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan luaran klinis pasien. Skor RISC untuk mortalitas memiliki nilai diagnostik yang
rendah pada pasien anak dibawah dua tahun dengan pneumonia komunitas di RS Pasar Rebo.

Background: In 2018, Indonesia has 3.55% pneumonia cases in children under 5 years old. There was also variance in nutritional status including severely wasted (3.5%), wasted (6.7%), and overweight (8.0%). This research was conducted because instrument for predicting outcomes in children with pneumonia is not yet available. It is also necessary to know the association between nutritional status and outcomes in children with pneumonia. Predicting outcomes of pneumonia in children will be helpful for clinicians to choose the effective treatment.
Methods: Patients were children under 2 years old with community acquired pneumonia in Pasar Rebo Hospital, Jakarta. This is a cross-sectional study with primary data that obtained from March 2020 until September 2020. RISC score were taken with questionnaire methods. Nutritional status are anthopometry results that is categorized by WHZ chart from WHO. Outcomes include mortality, ICU admission, and length of stay.
Results: There were 25 patients. Most patients had RISC score of 1 and normal nutritional status. Four out of twenty five patients died. Majority of the patients stayed in the hospital for <7 days and needed ICU admission. From our study, we found no association between RISC score and nutritional status with the outcomes. Three in RISC Score is the cutoff
for mortality (AUC = 0,702).
Conclusion: There is no significant association between RISC score and nutritional status with clinical outcomes. RISC score for mortality has low diagnostic value in children under 2 years old with community acquired pneumonia in Pasar Rebo Hospital.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurchajatie
"Nama : NurchajatieProgram Studi : Ilmu Kesehatan MasyarakatJudul :Model Prediksi Perubahan Status Gizi Pasien Diabetes MelitusTipe 2 Di Ruang Rawat Inap RSUP Fatmawati Tahun 2018.Pembimbing : Ir. Ahmad Syafiq, M.Sc, Ph.dStatus gizi kurang akibat malnutrisi rumah sakit merupakan penurunan statusgizi karena kurangnya asupan atau daya terima makanan selama perawatan, danmenjadi masalah gizi pasien di rawat inap dan sering mendapat sorotan. Statusgizi kurang seringkali dijadikan prediksi lama rawat pasien di rumah sakit.Malnutrisi rumah sakit atau penurunan status gizi selain akibat dari kekuranganasupan makanan, peningkatan kebutuhan sehubungan dengan kondisipenyakitnya dan juga kepuasan terhadap pelayanan gizi, umur, jenis kelamin,selera makan, dan kepatuhan diet. Tujuan penelitian adalah mengetahui modelprediksi perubahan status gizi pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian iniadalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.Hasil penelitian perubahan status gizi berdasarkan IMT rata-rata -0,2 0,3kg/m2. Dari hasil analisis regresi linier multivariate diperoleh model prediksiperubahan status gizi = - 0,764 0,004 Asupan Makan - 0,01 Kepatuhan diet ndash;0,014 Kepuasan terhadap pelayanan gizi 0,011 Selera makan. Kesimpulan:Apabila asupan makan , nilai skor kepatuhan diet, nilai skor kepuasan terhadappelayanan gizi serta nilai skor selera makan menurun, maka perubahan statusgizi akan semakin negatif menurun dan asupan makan merupakan variabelyang berpengaruh dalam perubahan status gizi pasien DM tipe 2.Kata kunci: perubahan status gizi, diabetes melitus , malnutrisi rumah sakit.
ABSTRACTName NurchajatieStudy Program Public HealthTitle Prediction Model of the Change in Nutritional Status ofHospitalized Diabetes Melitus type 2 Patients inFatmawati General Hospital in 2018.Counsellor Ir. Ahmad Syafiq, M.Sc, Ph.dLack of nutrition caused by malnutrition during hospitalization is a decreasingnutritional status which is caused by lack of intake or the decreasing ability toaccept food intake during hospitalization and become a nutrition problem for apatient of which often becomes focus of attention. Patient 39 s lack of nutrition isoften used to predict the length of treatment in the hospital. Malnutrition ordecreasing nutrition status caused by lack of food intake, moreover caused byincreasing need related to the condition of the sickness and also the satisfactiontoward the services in nutrition provision, age, sex, appetite, and diet obedience.The main research objective is to know the model of prediction in the change ofnutritional status of diabetes mellitus type 2. This research is an analyticalobservational research using cross sectional approach. The research result in thechange of nutritional status is based on average IMT 0.2 0.3 kg m2. From theresult of multivariate linear regression, it is obtained the prediction model of thechange in nutritional status 0.764 0.004 Food intake 0.01 Diet obedience 0.014 Satisfaction towards services in nutrition provision 0.011 Appetite.Conclusion if the food intake, the score of satisfaction towards services innutrition provision, and the score of eating appetite are decreasing, then thechange in nutritional status tends to be more negative decreasing and the foodintake is an influential variable in the change of DM type 2 patient 39 s nutritionalstatus.Key words change in nutritional status, diabetes mellitus, hospital malnutrition"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50341
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>