Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148618 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panji Purnama
"Perkembangan teknologi informasi memberikan pengaruh yang sangat besar bagi upaya pembaharuan di bidang hukum. Pembaharuan hukum terhadap perkembangan teknologi informasi ini merupakan salah satu bentuk dari pembaharuan hukum yang futuristis. Dengan demikian, pembaharuan hukum ini tidak saja dilakukan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan baru (legal substance). Akan tetapi, pembaruan terhadap penegakan hukum atas berbagai peraturan perundang-undangan yang melingkupinya harus didukung juga dengan instrumentasi dalam penegakan hukum atau infrastruktur penegakan hukum, yang mana dalam hal ini adalah teknologi informasi. Penerapan teknologi informasi sebagai pendukung penegakan hukum pada sistem peradilan pidana ini, yaitu: Peradilan Elektronik (e-Court). Namun, penerapan e-Court sebagai salah satu cara mewujudkan integrated judiciary (peradilan terintegrasi) pada sistem peradilan pidana Indonesia tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti: Pertama, petugas yang melaksanakan panggilan harus bertemu sendiri (inperson) dengan orang yang dipanggil. Sedangkan di dalam praktik persidangan secara elektronik, pemanggilan dilakukan melalui domisili elektronik; dan Kedua, keharusan sidang pengadilan dilakukan di gedung pengadilan dalam ruang persidangan. Akan tetapi dalam persidangan elektronik, para pihak di ruang sidang yang berbeda-beda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan e-Court sebagai peradilan terintegrasi pada sistem peradilan pidana Indonesia merupakan bentuk peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Maka, e-Court perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP, Undang-Undang tentang Peradilan Umum, dan Undang-Undang Peradilan lainnya yang memerlukan mekanisme persidangan secara elektronik.

The development of information technology has had a huge impact on reform efforts in the legal field. Legal reform on the development of information technology is one form of futuristic legal reforms. Therefore, this legal reform is not only carried out by forming new laws and regulations (legal substance). However, the reform of law enforcement on various laws and regulations that cover it must also be supported by instrumentation in law enforcement or law enforcement infrastructure, which in this case is information technology. The application of information technology as a subsidiary for law enforcement in this criminal court system, is called Electronic Court (e-Court). However, the application of e-Court as a means of realizing an integrated judiciary in the Indonesia criminal court system is not known in the Criminal Procedure Code (KUHAP), such as: First, officers who carry out summons must meet in person (inperson) with the person on call. Meanwhile, in the practice of an electronic trial, summons are made through an electronic domicile; and Second, the requirement to carry out court proceedings at the court building in the courtroom. Nevertheless, in an electronic trial, the parties in the courtroom are different. The method used in this research is normative legal research with a conceptual approach, a statute approach and a comparative approach. The results showed that the application of e-Court as an integrated judiciary in the Indonesian criminal court system is a form of court that is simple, fast, and low cost. Thus, e-Court needs to be regulated in the Draft Criminal Procedure Code, the Law on General Courts, and other Judicial Laws that require an electronic trial mechanism."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Hidayat
"Sistem peradilan elektronik dengan E-Court diterapkan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) untuk meningkatkan penyelesaian perkara perdata. Pada tahap awal di tahun 2019, E-Court diterapkan pada pengadilan percontohan, termasuk di 6 pengadilan negeri. Dalam tahap uji coba diamati hasil E-Court belum maksimalnya pemanfaatan untuk menangani perkara, peningkatan penyelesaian perkara dan penggunaan aplikasi oleh advokat. Pada tahun 2020, E-Court diterapkan secara wajib ke seluruh pengadilan di Indonesia, termasuk di 382 pengadilan negeri. Adanya ketidaksesuaian (gap) harapan dengan hasil sistem peradilan dengan E-Court pada tahap uji coba menyebabkan perlunya sebuah evaluasi terhadap E-Court setelah sistem ini diterapkan ke seluruh pengadilan. Pada penelitian ini, evaluasi dilakukan dengan survei ke para pengguna E-Court dari kalangan hakim, panitera, dan advokat, berdasarkan kerangka Model Kesuksesan Sistem Informasi Delone-McLean, yang terdiri dari kualitas sistem (system quality), kualitas informasi (information quality), kualitas layanan (service quality), kepuasan pengguna (user satisfication), dan manfaat (net benefit) serta ditambahkan variabel tambahan nilai keadilan (E-Justice value). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan setelah penerapan ke seluruh pengadilan, para pengguna menilai bahwa penerapan E-Court berhasil mengurangi biaya perkara, serta memudahkan akses pada proses peradilan dan data perkara, namun, belum sepenuhnya meningkatkan produktivitas penanganan perkara dan produktivitas aparat pengadilan. Variabel persepsi kesuksesan E-Justice value dan net benefit memiliki pengaruh signifikan satu sama lain, serta variabel information quality memiliki perngaruh signifikan pada E-Justice value. Selain itu juga diamati bahwa advokat memiliki persepsi kesuksesan E-Court yang lebih rendah dari para aparat peradilan.

Electronic court system using E-Court application is implemented by the Supreme Court of Indonesia (MA RI) to improve civil cases processing. For the first stage, in 2019 several courts were selected as pilot project, including district courts in 6 regions. During this trial period, it was observed that E-Court usage was less than optimal in case handling, case completion and usage by advocates. In 2020, the system is mandated to be used in all courts in Indonesia, including 382 district courts. The presence of gap between target and result during trial period created a necessity for an evaluation of E-Court after the system is implemented nationally. In this research, evaluation is done by using survey to gather perception of success among judges, registrars and advocates as users of the E-Court system, according to DeLone-McLean Information System success model, that consists of the following categories: system quality, information quality, service quality, user satisfaction, net benefit, with the addition of value gained by using electronic court system (E-Justice value). According to the result of this research, it is found that users perceive E-Court as successful in lowering litigation cost, improving access to judicial process and case information, yet not entirely successful in improving case handling and increasing court productivity. Variables of success perception in E-Justice value and net benefit are found to highly correlate with each other, while information quality is found to highly influence E-Justice value success perception. Furthermore, advocates have lower perception of E-Court’s success compared to court officials."
Jakarta: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Romli Atmasasmita
Jakarta: Faculty of law University of Indonesia, 2002
345 Atm i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Indonesian Institute for Independent Judiciary, 2010
364.098 58 KON (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Adnan Buyung, 1934-
Jakarta: Faculty of Law University of Indonesia, 2002
345 NAS b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rafa Tabina Bakhiatushsholihat
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dan penerapan Judicial Pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian doktrinal yang menggunakan tipologi Funtional Comparative Legal dengan fokus Perbandingan Substantif yang berfokus pada perbandingan isi atau substansi dari norma-norma hukum yang ada dari berbagai negara dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan penerapan dari judicial pardon dari berbagai negara yang mengatur mengenai judicial pardon, antara lain Belanda, Yunani, Portugal, Uzbekistan, Perancis, Greenland, dan Somalia, untuk menyusun rekomendasi rencana pembaharuan hukum. Pada skripsi ini, pembahasan akan dibagi menjadi tiga. Pertama, pembahasan mengenai kualifikasi tindak pidana yang dapat diberikan judicial pardon dengan mengalisis hukum positif di Indonesia dan melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang mengatur mengenai judicial pardon dalam hukum positifnya. Kedua, pembahasan mengenai penerapan judicial pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan menganalisis peraturan hukum pidana formil dan praktiknya dalam peradilan di Indonesia serta melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang menerapkan judicial pardon. Ketiga, menganalisis pengaturan dan penerapan judicial pardon yang tepat apabila hendak diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penelitian ini mengemukakan bahwa kualifikasi tindak pidana terhadap pemberian judicial pardon diperlukan yang meliputi ringannya perbuatan mengacu pada ketentuan tindak pidana ringan atau dampak dari perbuatannya ringan, keadaan pribadi yang mengacu pada umur dan riwayat hidup pelaku, dan keadaan pada waktu dilakukannya tindak pidana dan setelahnya mengacu pada dampak tindak pidana terhadap korban dan terdakwa serta upaya pemulihannya. Lebih lanjut, perlu diatur mengenai mekanisme penjatuhan judicial pardon dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang meliputi bentuk putusan terhadap pemberian judicial pardon yang diatur sebagai putusan khusus dan upaya hukum terhadap putusan judicial pardon berupa upaya hukum kasasi.

This thesis discusses the regulation and application of Judicial Pardon in the criminal justice system in Indonesia with the legal basis of Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code (Criminal Code 2023). The research method used in writing this thesis is doctrinal research that uses Functional Comparative Legal typology with a focus on Substantive Comparison which focuses on comparing the content or substance of existing legal norms from various countries by comparing the regulation, mechanism, and application of judicial pardon from various countries that regulate judicial pardon, including the Netherlands, Greece, Portugal, Uzbekistan, France, Greenland, and Somalia, to develop recommendations for legal reform plans. In this thesis, the discussion will be divided into three. First, a discussion of the qualifications of criminal offenses that can be granted judicial pardon by analyzing positive law in Indonesia and making comparisons with several countries that regulate judicial pardon in their positive laws. Second, it discusses the application of judicial pardon in the criminal justice system in Indonesia by analyzing formal criminal law regulations and practices in the Indonesian judiciary as well as making comparisons with several countries that apply judicial pardon. Third, to analyze the appropriate regulation and application of judicial pardon in Indonesia's criminal justice system. This research argues that the qualifications of criminal offenses for the granting of judicial pardon are needed, which include the seriousness of the act referring to the provisions of minor crimes or the impact of minor acts, personal circumstances referring to the age and life history of the offender, and the circumstances at the time of the crime and afterwards referring to the impact of criminal acts on victims and defendants as well as efforts to recover. Furthermore, it is necessary to regulate the mechanism of judicial pardon in the Criminal Procedure Code (KUHAP) which includes the form of verdict on the granting of judicial pardon which is regulated as a special verdict and legal remedies against judicial pardon decisions in the form of cassation legal remedies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana Rosalita Kurniawaty
"Pelaksanaan eksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) yang diatur dalam ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut sebagai UU PERATUN 51/2009), masih sarat tantangan dan problematika yang tak kunjung tuntas. Perwujudan cita-cita sebagai Negara Hukum yang tertuang dalam konstitusi negara Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 saat ini tercermin dari pelaksanaan Peradilan TUN dimana putusannya seringkali diperhadapkan dengan ketidakpatuhan Pejabat TUN dalam melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrach van bewijsde). Pranata contempt of court dalam pemahaman sebagai civil contempt of court yang bersifat indirect of court sebagai salah satu peluang dalam mewujudkan kepatuhan Pejabat TUN terhadap putusan Peradilan TUN disamping diperlukan pengembangan mekanisme eksekusi yang hingga saat ini sebatas “eksekusi administratif” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 116 ayat (6) UU PERATUN 51/2009. Penelitian ini dilakukan studi kewenangan Judge Rapporteur pada Peradilan TUN Negara Thailand dikolaborasikan dengan kajian data registrasi perkara dari Sistim Informasi Pengendali Perkara (SIPP) Pengadilan Tata Usaha Negara (PERATUN) Jakarta dan data eksekusi perkara yang diperoleh dari Kantor Kepaniteraan PERATUN Jakarta, yang dibatasi pada rentang waktu tahun 2018 sampai dengan tahun 2023. Berikut dengan contoh-contoh eksekusi kasus yang disajikan berisi problematika peradilan yang berkembang bahwa putusan PERATUN seringkali diuji kembali melalui peradilan perdata oleh pihak yang merasa tidak puas dengan putusan khususnya dalam sengketa hak kepemilikan atas tanah. Penelitian ini diharapkan memberikan wacana baru terhadap perkembangan kondisi PERATUN di Indonesia saat ini dan menjadi sumbangsih terhadap perlembangan regulasi hukum terkait.

Implementation of the execution of decisions of the State Administrative Court (TUN) as regulated in the provisions of Article 116 of Law of the Republic of Indonesia Number 51 of 2009 concerning the Second Amendment to Law Number 5 of 1986 concerning State Administrative Courts (hereinafter referred to as PERATUN Law 51/2009), is still full of unresolved challenges and problems. The realization of the ideals of a rule of law as stated in the state constitution, the 1945 Constitution, is currently reflected in the implementation of the TUN Judiciary, where decisions are often faced with non-compliance by TUN officials in implementing decisions that have permanent legal force (inkrach van bewijsde). The institution of contempt of court is understood as civil contempt of court which is indirect of court as an opportunity to realize the compliance of TUN Officials with TUN Judicial decisions in addition to the need to develop an execution mechanism which until now is limited to "administrative execution" as regulated in the provisions of Article 116 paragraph (6) PERATUN Law 51/2009.
This research was conducted through a study of the authority of the Judge Rapporteur at the Thai State Administrative Court in collaboration with a study of case registration data from the Case Control Information System (SIPP) of the Jakarta State Administrative Court (PERATUN) and case execution data obtained from the Jakarta Administrative Court Registrar's Office, which was limited to time span from 2018 to 2023. Following are examples of case executions presented which contain growing judicial problems, where PERATUN decisions are often re-examined through civil court by parties. who are dissatisfied with the decision, especially regarding land disputes. It is hoped that this research will provide new discourse on the current development of PERATUN conditions in Indonesia and contribute to the development of related legal regulations.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pelayanan publik adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Permasalahan yang terdapat pada masyarakat mengenai pelayanan publik terutama pada permintaan dan penyampaian informasi kepada masyarakat yang telah disampaikan di atas memberikan ide kepada penulis responsibilitas berupa sebuah gagasan inovatif yang dapat meningkatkan dari kinerja pemerintah. Gagasan inovatif yang dimaksud adalah Integrated Information Service System Gagasan tersebut merupakan perpaduan antara dua sistem pelayanan yaitu One Call Center dan Integrated Website. Kedua sistem pelayanan tersebut saling melengkapi satu sama lain guna memberi kan pelayanan publik kepada masyarakat secara maksimal. One Call Center merupakan layanan balas segera dengan menggunakan satu national line number. Sehingga akan menimbulkan insentif pemerintah daerah untuk selalu meningkatkan pelayanan informasi publik guna memaksimalkan kepuasan masyarakat untuk mendapatinformasi yang dibutuhkan. Penerapan One Call Center dan Integrated Website dalam Integrated Service System diharapkan masyarakat dapat memperoleh infomasi dengan cepat, tepat dan efisien, serta sebagai suatu sananakontrol terhadap kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang lebih maksimal dan responsif."
JPAN 4:4 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>