Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98996 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Miwa Patnani
"Setiap pasangan menikah biasanya menginginkan untuk memiliki anak sebagai keturunan. Namun tidak semua pasangan memiliki anak meskipun telah menikah bertahun-tahun dengan berbagai penyebab. Ketidakhadiran anak dalam perkawinan menimbulkan berbagai dampak baik dampak positif maupun negatif. Riset empiris menunjukkan bahwa pasangan yang tidak memiliki anak memiliki kualitas perkawinan yang rendah, namun sebagian riset lain menunjukkan kebalikannya. Perbedaan tersebut diasumsikan karena adanya perbedaan individu dalam memaknai pengalamannya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam
bagaimana pengalaman pasangan tanpa anak dalam menjalani perkawinannya, dan bagaimana peranan konteks dalam mempengaruhi pengalamannya tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi fenomenologi yang menekankan pada pengalaman partisipan. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 11 orang yang telah menikah minimal selama 3 tahun dan belum pernah memiliki anak. Metode pengambilan data dilakukan dengan
wawancara mendalam. Hasil wawancara kemudian dianalisis dengan menggunakan Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) yang menghasilkan 8 tema pengalaman partisipan, yaitu pengalaman positif, pengalaman negatif, penerimaan, relasi dengan pasangan, relasi dengan lingkungan, relasi dengan Tuhan, konflik, dan penilaian pada perkawinan.
Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa pasangan tanpa anak merasakan pengalaman positif maupun negatif terkait dengan kondisinya. Dengan interaksi yang positif dan dukungan sosial dari lingkungan terdekat memudahkan penerimaan terhadap ketidakhadiran anak dalam perkawinan yang pada akhirnya mempengaruhi penilaian yang positif terhadap kualitas perkawinannya.

It is such a common thought to every married couple to have children as heirs, especially in pro natalist country. Unfortunately, not every married couple could have children due to some condition, mainly infertility related. The absence of children causing both positive and negative impact to the couple. Some empirical studies showed that childless couple have a high quality married, but some studies showed the opposite result. The contradictive result assumed to be caused by the individual differences in their experiences. This study aimed to explore how involuntary childless’ experience and how these experiences affected by context. Qualitative
approached using phenomenological study is considered to be the best approach to answer these research questions. Participants of this study were 11 individuals who considered as involuntary childless, have been married for at least 3 years and never have biological children. Data was gathered by in depth interview, and analyzed using Interpretative Phenomenological Analysis.
Result showed 8 themes including positive experience, negative experience, acceptance, spousal relation, external relation, religious relation, conflict and marital evaluation. As a conclusion, this study suggest that involuntary childless have both positive and negative
experience due to their condition. Along with positive interaction and social support, involuntary childless develop a good coping strategies to cope and lead to an acceptance to the absence of children. Furthermore, it will affect to the evaluation of the high quality of marriage.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldus Ardhito Yudapratama
"ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk melihat hubungan antara kualitas alternatif pasangan dan kepuasan perkawinan, serta keberadaan efek moderasi cinta di antara keduanya pada pasangan perkawinan campur. Partisipan dalam penelitian ini adalah para individu yang berusia minimal 21 tahun, dan menjalani hubungan perkawinan campur (WNI dengan WNA). Dari hasil uji korelasi pearson correlation dan teknik analisis moderasi PROCESS yang dilakukan kepada 90 partisipan (76 WNI dan 14 WNA), ditemukan bahwa kualitas alternatif terbukti memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap kepuasan perkawinan individu dalam perkawinan campur, r(90) = -0.38, p < .01. Dengan kata lain, individu akan merasa lebih puas dengan perkawinannya ketika ia tidak melihat bahwa orang lain sebagai alternatif cukup berkualitas. Selain itu, terdapat efek interaksi yang signifikan antara kualitas alternatif dan cinta terhadap kepuasan perkawinan (t = 2.63, p < .05). Artinya, dalam penelitian ini cinta terbukti memoderasi hubungan antara kualitas alternatif pasangan dan kepuasan perkawinan pada pasangan perkawinan campur.

ABSTRACT
This research is a correlational study that aims to look at the relationship between the quality of alternatives and marital satisfaction, and the moderating effect of love between the two in international marriages. Participants in this study were individuals who were at least 21 years old, and currently in an international marital relationship (Indonesian citizens with foreigners). From the results of the Pearson correlation test and the PROCESS moderation analysis technique conducted on 90 participants (76 Indonesian citizens and 14 foreigners), it was found that the quality of alternatives has a significant negative correlation on individual marital satisfaction in international marriages, r (90) = -0.38, p <.01. In other words, the individual will be more satisfied with their marriage when they do not see that the alternative has a suffiecient quality. In addition, there was a significant interaction effect between alternative quality and love on marital satisfaction (t = 2.63, p <.05). That is, in this study love is proven to moderate the relationship between the quality of alternatives and marital satisfaction in international marriage couples."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Amelia
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan korelasi antara sikap mengenai perkawinan dengan kualitas perkawinan orang tua pada kaum muda. Studi-studi terdahulu yang membahas sikap mengenai perkawinan menemukan korelasi yang signifikan, tetapi hanya berfokus satu aspek dalam perkawinan orang tua (seperti kebahagiaan atau konflik) yang dapat memengaruhi sikap tersebut. Dengan demikian, penelitian ini hendak mengembangkan studi sebelumnya dengan menggunakan konsep kualitas perkawinan orang tua yang mencakup beberapa aspek, yaitu happiness, interaction, conflict, dan divorce proneness. Sikap mengenai perkawinan juga dianalisis, serta dilihat korelasi antara sikap tersebut dengan kualitas perkawinan orang tua berdasarkan jenis kelamin. Penelitian terdahulu menemukan kecenderungan perempuan untuk menyikapi perkawinan secara lebih positif. Namun, jika dikaitkan dengan perkawinan orang tua, sikap mengenai perkawinan pada laki-laki cenderung lebih positif yang mengindikasikan bahwa laki-laki tidak terlalu terpengaruh sikapnya. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner secara daring pada kaum muda berstatus belum menikah yang berusia 18-30 tahun, di area Jabodetabek. Selain itu, dilakukan wawancara mendalam kepada lima responden yang dipilih berdasarkan positif atau negatifnya sikap mengenai perkawinan dan tinggi atau rendahnya kualitas perkawinan orang tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kualitas perkawinan orang tua dan sikap kaum muda mengenai perkawinan dengan arah korelasi yang positif, tetapi dengan kekuatan korelasi yang lemah. Kemudian, ditemukan bahwa korelasi positif antara kualitas perkawinan orang tua dan sikap mengenai perkawinan lebih signifikan pada perempuan.

This research aimed to explain the correlation between parental marital quality and marital attitudes among youth. Previous studies on marital attitudes found significant correlation, yet only focused on one aspect of parents’ marriage which could affect the marital attitudes, such as happiness or interparental conflict. Thus, this study took a step further by using parental marital quality concept which encompasses multiple aspects, namely happiness, interaction, conflict, and divorce proneness. The marital attitudes and its correlation to parental marital quality were also analyzed by gender. Earlier studies found that females tend to have a more positive outlook on marriage than males. However, if marital attitudes are linked with parents’ marriage, males tend to have a more positive marital attitude, indicating that males are barely affected by it. This study used a quantitative approach through an online survey to youth aged 18-30, not yet married, and were living in Jabodetabek area. Furthermore, in-depth interviews were conducted with five respondents who were selected based on their positive or negative marital attitudes and the degree of their parental marital quality. This study found a positive correlation between parents’ marital quality and marital attitude amongst youth, but the strength of correlation between the two variables was weak. However, this study showed that the correlation between the two variables was more significant among women."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Khori Imami
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara komitmen perkawinan dengan kualitas perkawinan. Komitmen perkawinan didasarkan pada teori menurut Johnson dkk. (1999), bahwa komitmen perkawinan terbagi atas tiga tipe yaitu personal, moral dan struktural. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen perkawinan dengan kualitas perkawinan.
Subyek penelitian adalah individu yang telah menikah dengan melalui proses ta'aruf. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner komitmen perkawinan yang diadaptasi dari Johnson dkk. (1999) dan juga Quality Marriage index (QMI) yang diadaptasi dari Norton (1983). Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah uji korelasi Pearson Product Moment.
Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan dari ketiga tipe komitmen dengan kualitas perkawinan, sehingga hipotesis yang diajukan diterima. Selain itu, ditemukan juga bahwa hasil uji korelasi antara ketiga tipe komitmen tersebut memiliki kekuatan korelasi yang berbeda, dimana kekuatan korelasi komitmen personal adalah kuat, komitmen moral adalah sedang dan komitmen struktural adalah lemah.

This study aims to determine whether there is a relationship between the marital commitment with marital quality in individuals who were married through ta'aruf process. The marital commitment is based on theory according to Johnson et al. (1999), that marital commitment is devided into three types, namely personal, moral and structural. Researcher hypothesized that there is a significant positive relationship between marital commitment with marital quality.
Research subject in this study were individual who had married through ta'aruf process. Instrument that used in this study was a questionnaire, adapted from marital commitment of Johnson et al. (1999) and also the Quality of marriage Index (QMI), which was adapted from Norton (1983). The analytical methods used to test the hypothesis using Pearson Product Moment Correlation test.
Result of the analysis showed that there was a significant positive correlation of the three types of commitment are correlated with the quality of the marriage, so the hypothesis is accepted. In addition, it was found also that the result of correlations between the three types of commitment have different correlation force, which the type of personal commitment is strong, moral commitment is moderate and structural commitment is weak.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60223
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jelsy Triwidya Cristiar
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara kualitas perkawinan dengan usia perkawinan pada individu yang menikah melalui proses ta?aruf. Variabel kualitas perkawinan diukur menggunakan Quality Of Marriage Index (Norton, 1983), sedangkan usia perkawinan diukur secara kontinuum dalam urutan tahun. Penelitian ini melibatkan 99 responden (laki-laki 26 orang dan perempuan 73 orang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor total kualitas perkawinan dengan lamanya usia perkawinan r(99)= -0,109, p> 0,05. Namun terdapat perbedaan skor kualitas perkawinan yang signifikan antara individu yang mengenal pasangannya sebelum ta?aruf dengan individu yang tidak mengenal. Penelitian ini juga menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas perkawinan dengan jenis kelamin, dan antara kualitas perkawinan dengan tingkat pendidikan.

The objective of this research was to investigate the relationship between marital quality and marital duration with arranged (ta?aruf) married individuals. Marital quality was measured using Quality of Marriage Index by Norton (1983). Marital duration was obtained continuumly based on years of marriage. The respondents of this research were 99 married individuals (26 male and 73 female). The result of this research shows that total score of marital quality and marital duration toward arranged (ta?aruf) married inividuals were not significantly correlated, r(99)= -0,109, p> 0,05. While there was difference score of marital quality between individual who had known their spouse before ta?aruf and who had not. This research also shows that between total score of marital quality and educational level, also total score of marital quality and gender were not significantly correlated.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S60020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Hendrawan
"Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan yang terjalln dengan orang lain tersebut dapat berbentuk hubungan pertemanan, persahabatan, pacaran dan hubungan perkawinan sebagai suami dan istri. Berbeda dengan hubungan lainnya, hubungan perkawinan diawali dengan perjanjian antara suami dan istri yang disaksikan oleh orang tua, penghulu, saudara dan kerabat serta diketahui oleh masyarakat. Dalam hubungan perkawinan biasanya pasangan suami-istri berharap agar dapat menjalani kehidupan perkawinan dengan bahagia dan dapat membentuk keluarga yang damal, penuh ketulusan cinta dan kasih sayang {sakinah, mawaddah wa rahmah).
Kebahagiaan perkawinan merupakan dambaan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan (Roberts, 1968). Akan tetapl, untuk mendapatkan kebahagiaan perkawinan tidaklah mudah. Harus ada usaha dari pasangan suami-istri dalam menyelesaikan segala permasalahan yang muncul selama masa kehidupan perkawinan mereka. Selain adanya masalah-masalah baru yang harus mereka hadapi selama kehidupan perkawinan, pasangan suami-istri juga harus menghadapi masalah yang disebabkan adanya kebiasaan-kebiasaan dasar dan kepribadian yang dibawa oleh masing-masing individu. yang telah berkembang selama bertahun-tahun dalam dirinya (Hurlock, 1980). Atwater & Duffy (1999) menyatakan bahwa kebahagiaan perkawinan tergantung pada apa yang terjadi saat pasangan memasuki kehidupan perkawinan yaitu seberapa baik mereka mengalami kesesuaian atau kecocokan. Hal yang paling penting dalam meraih kebahagiaan perkawinan menurut Atwater & Duffy (1999) yaitu fleksibilitas dan keinginan untuk berubah dari setiap pasangan atau yang biasa disebut dengan istilah penyesuaian perkawinan {marital adjustment).
Kesiapan seseorang untuk memasuki kehidupan perkawinan merupakan aspek yang menentukan keberhasilan seseorang daiam melakukan penyesuaian perkawinan (Hurlock, 1980; Spanier dalam Miranda, 1995). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Blood (1969) menyatakan bahwa kematangan sosial merupakan salah satu bagian dari kesiapan seseorang dalam memasuki kehidupan perkawinan. Salah satu faktor dari kematangan sosial seseorang yaitu enough dating. Dating merupakan kesempatan bagi pasangan untuk saling mengenal dan untuk mengembangkan keterampiian-keterampilan interpersonal yang sangat berguna bagi kehidupan perkawinan. Ditinjau dari gambarannya, di Indonesia dating dapat disamakan dengan pacaran karena dating dan pacaran mempunyai kesamaan dalam beberapa hal. Biasanya pacaran merupakan proses awai menuju perkawinan atau dengan kata lain pacaran merupakan sarana dalam memilih pasangan yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup (Benokraitis, 1996).
Perkawinan dalam pandangan agama Islam merupakan suatu peristiwa yang fitrah karena perkawinan merupakan salah satu sarana mengekspresikan sifat-sifat dasar (fitrah) manusia. Dalam proses menuju perkawinan, pacaran merupakan cara yang biasa dilakukan masyarakat di Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat yang beragama Islam dalam mengenal dan memilih calon pasangan. Namun, ada juga masyarakat muslim di Indonesia yang tidak melalul pacaran dalam memilih dan mengenal calon pasangannya karena mereka menganggap bahwa pacaran adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Akan tetapi, agama Islam memperbolehkan calon pasangan untuk saling mengenal satu sama lain dengan tujuan yang jelas yaitu untuk melangsungkan perkawinan.
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada sebagian masyarakat muslim di Indonesia yang peneliti anggap unik dalam proses mendapatkan pasangan hidup, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pacaran terlebih dahulu. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus untuk menjawab permasalahan dalam penelitian.
Peneliti menggunakan teori-teori tentang perkawinan dan menggunakan teori penyesuaian perkawinan pada pasangan yang dikemukakan oleh Spanier (1976) yang terdiri dari beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut yaitu dyadic consensus (kesepakatan dalam hubungan), dyadic cohesion (kedekatan dalam hubungan), dyadic satisfaction (kepuasan dalam hubungan) dan affectlonal expression (ekspresi kasih sayang dalam hubungan).
Gambaran penyesuaian perkawinan yang di dapat dari hasil penelitian ini yaitu pada dimensi dyadic consensus: secara umum semua pasangan melakukan kesepakatan dalam kehidupan perkawinan mereka. Pada dimensi dyadic cohesion: secara umum semua pasangan merasa dekat dengan pasangannya, terutama kedekatan secara emosi. Pada dimensi dyadic satisfaction: secara umum semua pasangan merasa puas dan bahagia dengan perkawinan yang mereka lakukan. Pada dimensi affectlonal expression: secara umum semua pasangan mengungkapkan rasa sayang terhadap pasangannya dengan lisan, tulisan dan perbuatan. Masalah-masalah yang dihadapi oleh masing-masing pasangan. Pasangan 1, masalah yang sama-sama mereka rasakan yaitu peran yang sedang Indah sandang yaitu sebagai mahasiswa pasca sarjana. Pasangan 2 masalah yang sama-sama mereka rasakan yaitu masalah ekonomi. Pasangan 3 masalah yang sama-sama mereka rasakan yaitu masalah ekonomi dan penerimaan orang tua Anisa."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S2824
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudiana Ratnasari
"ABSTRAK
Salah satu cara memasuki gerbang pernikahan dalam agama Islam dikenal dengan istilah ta rsquo;aruf. Ta rsquo;aruf merupakan proses perkenalan yang dilakukan oleh pria dan wanita muslim yang siap untuk menikah dan tidak melalui masa pacaran. Landasan agama menjadi dasar pernikahan. Fenomena taaruf menjadi kajian utama dalam disertasi ini khususnya bagaimana pasangan ta rsquo;aruf memasuki perkawinan dan mampu mempertahankan komitmen perkawinan mereka. Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dipilih untuk bisa menjelaskan fenomena ta rsquo;aruf. Wawancara dan observasi menjadi cara untuk mengumpulkan data dari partisipan penelitian. Partisipan utama dalam penelitian ini adalah pasangan ta rsquo;aruf. Selain sumber data utama untuk triangulasi data peneliti juga mewawancarai empat pelaku ta rsquo;aruf yang bercerai, mediator ta rsquo;aruf sebanyak 2 orang, 1 orang psikolog yang memahami gerakan ta rsquo;aruf dan satu orang tokoh gerakan Tarbiyah yang memahami ta rsquo;aruf. Partisipan dalam peneltian ini berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi. Data yang diperoleh diolah menggunakan N-Vivo 11 dengan menemukan tema-tema utama dari hasil wawancara dan dikaitkan konsep Social Exchange Theory yang digunakan. Hasil studi menunjukkan dinamika komitmen pada pasangan ta rsquo;aruf didominasi oleh komitmen moral dan struktural, sementara komitmen personal bukan menjadi prioritas. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian-penelitian yang sudah ada bahwa bertahannya komitmen perkawinan harusnya didahului oleh komitmen personal, moral baru kemudian struktural. Agama sebagai landasan ternyata mampu mengubah dinamika komitmen ini. Komitmen pada Tuhan menjadi hal utama sehingga pasangan nampaknya tidak terlalu memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan personal seperti pekerjaan atau karir, kesetaraan gender, intimacy dan passion. Perkawinan merupakan bagian dari dakwah dan bertahannya komitmen karena mereka meyakini selama menjalankan syariah agama dalam perkawinan maka perkawinan dapat lebih stabil sakinah

ABSTRACT
One way to enter the marriage in Islam is known as ta 39;aruf. Ta 39;aruf is an introductory process conducted by muslims rsquo; men and women, who are ready to get married but do not through courtship. The foundation of marriage is religion. The phenomenon of taaruf became the main study in this dissertation, especially how ta 39;aruf couples maintain their marriage commitment. Qualitative research method with case study approach chosen to be able explain ta 39;aruf phenomenon. Interviews and observations are methods of collecting data from participants. The main participants in this study were ta 39;aruf couples, and for triangulation of data the researchers also interviewed four divorced ta rsquo;arufs, 2 ta 39;aruf mediators, 1 psychologist who understood ta 39;aruf movement and one person who is involved in Tarbiyah movement. Participants in this research are coming from Jakarta, Bogor, Depok and Bekasi areas. The data obtained is processed using N-Vivo 11 by finding the main themes of the interview and analyze with the concept of "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
D2532
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniati Fajriyani
"Kawin lari merupakan kejadian dimana laki-laki melarikan perempuan yang akan dikawininya dengan persetujuan si perempuan, untuk menghindarkan diri dari tata cara adat yang dianggap memakan biaya terlalu mahal. Khusus Lampung, kawin lari disebut sebambangan. Berdasarkan fenomena sebambangan, peneliti tertarik melihat bagaimana penyesuaian perkawinan pasangan yang melakukan sebambangan. Penyesuaian perkawinan berarti penyesuaian satu sama lain di antara dua individu terhadap kebutuhan, keinginan dan harapan pasangan. Dalam melihat gambaran penyesuaian perkawinan, didasarkan pada dimensi penyesuaian perkawinan yang dikemukakan Spanier (1976) yaitu dyadic consensus - dyadic cohession - dyadic satisfaction - affectional expression. Dilihat pula proses sebambangan yang dilakukan pasangan, faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan, konflik yang dialami, serta proses dan kriteria penyesuaian perkawinan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, yaitu wawancara dan observasi terhadap 3 pasangan yang melakukan sebambangan. Pemilihan partisipan dilakukan dengan accidental sampling.
Dari penelitian ditemukan bahwa bentuk dan kualitas dari masing-masing dimensi penyesuaian perkawinan pada ketiga pasangan sangat tergantung dengan bentuk dan kemampuan yang dimiliki oleh partisipan, proses sebambangan yang dialami pasangan tidak semua atas dasar saling suka, konflik yang dialami bisa berupa konflik internal (pada diri individu sendiri) maupun konflik eksternal (dengan pasangan atau orangtua). Kemudian, faktor yang biasanya mempengaruhi penyesuaian perkawinan adalah kesamaan di antara pasangan.

Elopement is a case where a man abducted a woman to marry her. Elopement obviate from custom procedures which assumed need overvalued cost. In Lampung, elopement is called as sebambangan. Based on phenomenon sebambangan, researcher was interested to know about marital adjustment on couple who got married through sebambangan. Marital adjustment means adjustment between two individuals in their need, desire, and hope. Marital adjustment is seen based on adjustment dimension told by Spanier (1976); dyadic consensus - dyadic cohession - dyadic satisfaction - affectional expression, also seen by sebambangan process that have done by couple, factor that influence marital adjustment, conflicts which happen on couple, and process and criterion of marital adjustment.
This research is done with qualitative method; interview and observation to 3 couples who did sebambangan. Election of the participants is done with accidental sampling.
Research found that in doing marital adjustment, the quality from each dimensions are very dependent on the form and the ability of each participants. Sebambangan process on each couples are not all based on loving each other. Conflicts which happened are internal conflict and also external conflict (which happened between couple or with their parents). Then, the common factor that influences marital adjustment is equality among couple."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ismail Salahudin
"ABSTRAK
Penyakit HIV/AIDS telah menimbulkan masalah fisik, sosial, dan emosional terhadap individu yang terinfeksi dan pasangannya. Pasangan ODHA memiliki prevalensi mengalami gejala depresi dengan keluhan fisik, yaitu sebesar 12,7%. Terdapat hubungan antara cinta, komunikasi, dan keintiman fisik terhadap kepuasan dalam perkawinan. Depresi pada pasangan ODHA berhubungan dengan kepuasaan terhadap perkawinan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis adanya perbedaan kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif yang mengalami gejala depresi dengan pasangan ODHA yang tidak mengalami gejala depresi.
Metode. Desain penelitian adalah cross-sectional. Sampel adalah 52 orang pasangan sah ODHA usia 18-60 tahun yang menjalani rawat jalan di Poli Infeksi Tropis RSUP. DR. Kariadi Semarang dan memenuhi kriteria inklusi penelitian. Teknik pemilihan sampel menggunakan metode consecutive sampling. Status depresi diukur dengan instrumen beck depression inventory (BDI) dan kepuasan perkawinan diukur dengan ENRICH marital satisfaction scale (EMS). Pengolahan dan analisis data menggunakan program SPSS. Uji analisis hubungan menggunakan uji chi-square.
Hasil. Subjek penelitian yang tidak mengalami depresi 78,8% dan yang mengalami depresi 21,2% terdiri dari ringan 9,6%, sedang 11,6%, dan berat 0%. Tidak didapatkan subjek penelitian yang tidak puas terhadap perkawinannya, 55,8% sangat puas dan 44,2% puas. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi (p=0,595). Terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi dalam komunikasi (p = 0,021), resolusi konflik (p = 0,025), penggunaan aktivitas santai/luang (p = 0,025), dan hubungan seks (p = 0,007).
Simpulan. Tidak terdapat perbedaan antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi. Namun demikian, terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi dalam komunikasi, resolusi konflik, penggunaan aktivitas santai/luang, dan hubungan seks."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Shaquilla Adynta Maulana
"Perkawinan beda budaya merupakan perkawinan yang cenderung menguntungkan,
karena perbedaan antara suami dan istri dapat menumbuhkan komitmen, penerimaan,
dan mutual understanding yang kemudian dapat menghasilkan kepuasan perkawinan.
Namun, wabah virus COVID-19 menghadirkan ancaman terhadap kepuasan
perkawinan. Situasi pandemik yang menakutkan dan tidak menentu mungkin
menimbulkan konflik dalam perkawinan, yang dapat diatasi jika pasangan memiliki trait
kepribadian agreeableness. Selain itu, motif berkorban mendekat juga ditemukan
berdampak positif bagi kepuasan perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
peran dari agreeableness dan motif berkorban mendekat terhadap kepuasan perkawinan
beda budaya di masa pandemik. Penelitian ini dilakukan terhadap 151 partisipan perkawinan beda budaya. Agreeableness diukur menggunakan instrumen Big Five Inventory-10 (BFI-10; Rammstedt & John, 2007), motif berkorban mendekat diukur menggunakan Motives of Sacrifice (MoS; Impett, Gable, & Peplau, 2005), dan kepuasan perkawinan diukur menggunakan Couple Satisfaction Index (CSI; Funk & Rogge, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa agreeableness dan motif berkorban mendekat secara simultan memprediksi kepuasan perkawinan dengan hubungan linear yang positif dan signifikan, namun kontribusi motif berkorban mendekat lebih besar daripada kontribusi agreeableness

Cross-cultur marriage is a marriage that tend to be profitable, because the cultural
difference between husband and wife can foster commitment, acceptance, and mutual
understanding which in turn can result in marital satisfaction. However, the COVID-19
virus outbreak presents a threat to marital satisfaction. The current pandemic situation
that is frightening and uncertain may lead to conflict in the marriage, which can be
resolved if the couple shows agreeableness personality trait. In addition, the approach
motives of sacrifice has also shown positive impacts on marital satisfaction. This study
aims to see the role of agreeableness and approach motives of sacrifice on marital
satisfaction of cross-cultural couples during the pandemic. This study was conducted on
151 participants of cross-cultural marriage. Agreeableness was measured using the Big
Five Inventory-10 (BFI-10; Rammstedt & John, 2007), approach motives of sacrifice
was measured using Motives of Sacrifice (MoS; Impett, Gable, & Peplau, 2005), and
marital satisfaction was measured using the Couple Satisfaction Index. (CSI; Funk &
Rogge, 2007). The results showed that agreeableness and approach motives of sacrifice
simultaneously predicted marital satisfaction with a positive and significant linear
correlation, however, the contribution of approach motives of sacrifice is bigger than the
contribution of agreeableness.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>