Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69864 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Monika Febiola
"Sebagai institusi supranasional terbesar di dunia, Uni Eropa telah mengalami enam gelombang perluasan sejak awal pendiriannya. Mulai dari perluasan ke Eropa Barat hingga perluasan ke Balkan Barat, perluasan telah menjadi agenda yang krusial dalam kebijakan Uni Eropa. Tulisan ini hanya mencakup perluasan ke Timur sebagai perluasan terbesar yang pernah terjadi di Uni Eropa, dan perluasan prospektif ke wilayah Turki dan wilayah Balkan Barat. Hal ini disebabkan karena sejak perluasan ke Timur mulai dibicarakan sebagai perluasan prospektif pada abad ke-21, literatur yang membicarakan mengenai dinamika perluasan secara komprehensif pun turut bermunculan. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau perkembangan literatur mengenai perluasan Uni Eropa pada abad ke-21. Tulisan ini meninjau 29 literatur yang terakreditasi secara internasional mengenai perluasan keanggotaan Uni Eropa pada abad ke-21. Berdasarkan metode taksonomi, literatur-literatur tersebut dibagi menjadi tiga kategori tematik yang terdiri atas: 1) Faktor Pendorong, 2) Dampak, dan 3) Karakteristik. Tulisan ini mengidentifikasi bahwa faktor pendorong rasional, dampak positif, dan karakteristik kepentingan Uni Eropa menjadi kombinasi tema yang paling dominan dan bersifat paling kuat. Terakhir, tulisan ini memberikan rekomendasi dan penekanan pada pentingnya perluasan untuk dijadikan agenda penelitian secara lebih lanjutan oleh penulis-penulis Eropa mau pun non-Eropa.

As the largest supranational institution in the world, European Union has experienced six waves of enlargement since its inception. Ranging from enlargement to Western Europe to Western Balkan, enlargement has always been a crucial part of the European Union agenda. This writing only comprises of enlargement to the East as the largest enlargement to have ever occured in European Union, and prospective enlargement to Turkey and Western Balkan. This is as Eastern Enlargement began to be discussed as a prospective enlargement in the 21st century, literatures discussing about the dynamics of enlargement in a comprehensive way also began to emerge. This writing aims to review the development of literatures regarding European Union enlargement in the 21st century. This writing reviews 29 internationally accredited literatures regarding European Union Enlargement in the 21st century. Using taxonomy method, the literature is divided into three thematic categories, which comprise of: 1) Push Factors, 2) Impact, and 3) Characteristic. This writing identifies that rational push factor, positive impact, and characteristic of European Union interest are the most dominant and strongest combination. Lastly, this writing recommends and emphasizes on the importance of enlargement to be a further research agenda by authors of Europe origins or non-European origins."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Mangaratua
"Skripsi ini membahas tentang perluasan keanggotaan suatu organisasi internasional, secara khusus mengenai proses perluasan keanggotaan Turki di dalam Uni Eropa. Uni Eropa, seperti kebanyakan organisasi internasional lainnya, memberikan persyaratan perluasan keanggotaan bagi negara-negara yang ingin bergabung menjadi negara anggota. Untuk dapat diterima menjadi negara anggota di Uni Eropa, sebuah negara harus memenuhi persyaratan yang terkandung di dalam Traktat Maastricht 1992 dan Kriteria Copenhagen 1993. Turki telah mengajukan aplikasi perluasan keanggotaan kepada Uni Eropa sejak tahun 1987 dan telah melakukan berbagai upaya untuk memenuhi persyaratan yang ada, namun hingga saat ini Turki masih harus puas dengan statusnya sebagai kandidat anggota di Uni Eropa. Berbagai hal dianggap menjadi kendala dalam proses bergabungnya Turki di Uni Eropa, misalnya adalah keadaan ekonomi Turki, hal tentang perlindungan hak minoritas, dan konflik Turki dengan Siprus yang telah menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 2004. Namun demikian, Turki hingga saat ini masih terus melakukan upaya-upaya dalam harapan Uni Eropa dapat segera menerima Turki sebagai negara anggota di Uni Eropa.

Every international organization has its own provision or requirement on its enlargement. The European Union, as any other international organizations, also requires the state that desires to join into it as a member state. In order to be accepted as a member state in the European Union, a state must fulfill all the requirements stipulated in Maastricht Treaty 1992 and Copenhagen Criteria 1993. Turkey had submitted its enlargement application in 1987 and it has done all its efforts since then to satisfy the requirements, but until now Turkey has to be content with its status as a candidate state. Several things are considered to be the constraints on the process of Turkey's application; the Turkey's economic condition, the protection of minority rights, and the conflict between Turkey and Cyprus, which had been an European Union's member state since 2004. However, Turkey still continues to make efforts to fulfill all the requirements in the hope of its acceptance in the European Union."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55924
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Fredi Susanto
"Penelitian ini membahas alasan Uni Eropa sebagai anggota tetap di dalam forum G20, terutama penekanan pada mamfaat yang diperoleh oleh Uni Eropa melalui G20. Teori yang digunakan untuk meneliti Keanggotaan Uni Eropa di G20 adalah teori interdependensi kompleks, teori efek domino dan konsep global governance. Penelitian ini menemukan bahwa pada saat berdirinya dan pada saat transformasi Uni Eropa di G20, adalah respon dari krisis keuangan yang dinilai ber-efek domino terhadap ekonomi global. Uni Eropa dengan anggota G20 lainnya dinilai mempunyai kemampuan dan memiliki interdependensi untuk berkerjasama menyelesaikan krisis dan mencegah efek domino. G20 dalam perkembangannya, berkembang menjadi global governance khususnya dalam tatanan ekonomi dunia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Uni Eropa semakin mendapat tempat sebagai aktor global melalui G20 untuk mewujudkan visi Effective Multilateralism berbasis nilai, berperan dalam mengembangkan manajemen keuangan dunia dan meningkatkan keuntungan perdagangannya.

This study analyses the permanent membership of European Union in G20, especially its benefit as a member of G20. Theory used in this study consists of interdependence complex and domino effect theories and global governance concept. This study finds out that the establishment and transformation of European Union within G20 are the response toward domino effect in global financial crisis. European Union and other member of G20 are considered having the ability and interdependence to cooperate solving the crisis and prevent the domino effect. G20 thrives to be a global governance, specifically in world economic order. Finally, this study concludes that by way of G20, European Union becomes one of the promising global actors that helps actualising value based Effective Multilateralism vision, develops world financial management and enhances its trading profit. "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Artanty
"Tesis ini secara khusus menyoroti tentang terjadinya perkembangan situasi politik di Hongaria pasca jatuhnya pemerintahan komunis. Seperti halnya negara-negara Eropa Tengah dan Timur lainnya, Hongaria tidak punya kesempatan untuk bergabung dalam skema Eropa yang muncul dan berkembang sejak perang dunia kedua. Alasannya adalah adanya pertentangan timur dan barat dalam hat ideologi, politik serta bidang ekonomi dan militer. Jatuhnya pemerintahan komunis di Eropa Tengah dan Timur pada tahun 1989 diikuti oleh permintaan bantuan dari kelompok negara tersebut untuk dapat melakukan transformasi politik dan ekonomi. Hongaria merupakan salah satu pemimpin demokrasi, menjadi pertama yang menurunkan tirai besi dan menandatangani Perjanjian Asosiasi (Assasiatrorr Treaty) dengan Uni Eropa.
Uni Eropa memutuskan untuk membuka kesempatan bagi negara Eropa Tengah dan Timur yang mampu memenuhi persyaratan politik dan ekonomi yang telah ditetapkan untuk bergabung dalam Uni Eropa. Persyaratan tersebut terangkum dalam sebuah kriteria yaitu kriteria Kopenhagen. Untuk memenuhi persyaratan yang terdiri dari kriteria politik, ekonomi dan hukum tersebut, terjadi perkembangan dari pemerintahan komunis menuju pemerintahan demokratis. Dalam usaha penyesuaian yang berlangsung mulai tahun 1989 hingga 2004 ini, Hongaria hams menghadapi kendala-kendala sebelum akhirnya dapat bergabung menjadi negara anggota Uni Eropa tahun 2004.
Tests ini memberikan gambaran perkembangan sebuah negara bekas pemerintahan komunis menuju suatu pemerintahan yang demokratis dengan berbagai kendala yang dihadapi dan diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi negara-negara demokrasi berkembang dalam memperbaiki keadaan politiknya pass sebuah pemerintahan yang otoriter termasuk Indonesia.
Kerangka pemikiran yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah pasal pertama dari kriteria Kopenhagen yaitu yang membahas tentang kriteria politik Selanjutnya penulis akan menganalisa penerimaan Uni Eropa mengenai usaha Hongaria Iewat laporan rutin (Regular Report) yang dikeluarkan Uni Eropa tentang perkembangan Hongaria dalam memenuhi kriteria Kopenhagen. Laporan ini mulai dibuat sejak terjadinya negosiasi pertama yaitu tahun 1998 dan diakhiri dengan laporan menyeluruh (Comprehensive Report) di akhir tahun 2003.
Walaupun pada dasarnya Hongaria dinilai berhasil memenuhi persyaratan politik dalam Kriteria Kopenhagen sejak tahun 1999, banyak permasalahan signifikan yang terus terjadi seiring penyesuaian. Masalah-masalah tersebut adalah yang berhubungan dengan korupsi, penghormatan hak asasi dan hak minoritas, yang merupakan masalah Iama yang semakin berkembang.
Masalah-masalah yang ada seperti korupsi dan prejudis terhadap Roma tersebut merupakan sebuah budaya yang mengakar, sehingga dapat dimaklumi jika tidak mullah untuk mencegah dan menguranginya. Di luar masalah itu, Hongaria memang patut menjadi inspirasi transisi politik di Eropa Tengah dan Timur karena konsisten dalam merevisi regulasi-regulasi yang dianggap kurang mengikat, demikian pula dalam usaha mengimplementasikannya. Bagi Uni Eropa, Hongaria akan menjadi partner dan anggota yang sangat penting untuk kemajuan integrasi Uni Eropa.

This Thesis is mainly explaining the political development that occurred in Hungary after the fall of the communism in Central and Eastern Europe in 1989. As was the case with the other Central and Eastern European states, Hungary had no opportunity for a long time to integrate into the European scheme that evolved and became unified after World War IL the reason for this was the opposition between the East and the West in the ideological, political, military and economic fields. The fall of Communism in Central and Eastern Europe in 1989 prompted a flood of requests to help the Central and East Europeans transform their economies and polities.
European Union decided to Iaunch Eastern Enlargement and to draft a list of criteria for EU membership (political, economic and implementing the acquis), which have come to be known as the Copenhagen Criteria. To meet the requirements, Hungary makes many efforts to develop a communism government (o democratic government. There were many obstacles coming in Hungary's way to reform from 1989 until finally joining the European Union in 2004.
This Thesis gives a view of political changes and development from authoritarian power to democratic power through many problems that occurring. Hopefully it can inspire other country to follow Hungary's way to succeed. The Political development is bordered with the first condition in Copenhagen Criteria which underlined the political criteria. Next, the regular report from EU that launch every years since 1998 until 2003 will help us analyze what is EU's opinion about Hungary's reformation.
Although basically Hungary had succeeded to fulfill the political criteria from Copenhagen Criteria in 1999, there were still significant problems such as corruption and violation of the human right which hard to handle. But since it has become a culture, it is easy to understand why Hungary could not prevent or reduce it right away. Outside of that, Hungary's continuous revision to laws and the will to implement it will inspire other country in Central and Eastern Europe. To European Union, Hungary will be important partner and member to European Integration.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nurul Aulia Rahmawati
"

TikTok awalnya dirilis sebagai jaringan untuk konten video musik, tetapi kini telah berkembang sebagai tempat untuk konten-konten bermuatan promosi, informasi hingga anjuran opini tertentu. Dengan durasi video yang terbatas, para kreator konten berlomba-lomba membuat konten yang tentu saja harus mengkonsiderasi efisiensi waktu. Oleh karenanya, banyak konten yang tersebar dan didukung oleh mudahnya pengunduhan, pengunggahan, serta pengaksesan konten-konten yang ada di TikTok. Melalui tulisan ini, kemudahan serta kemasifan akses terhadap TikTok akan dielaborasi dengan analisis institusional Noam Chomsky dan Edward S. Herman, yakni Model Propaganda, untuk menunjukkan peluangnya sebagai suatu media propaganda. Model Propaganda menunjukkan keterlibatan media massa dalam manufakturisasi konsen masyarakat. Di era buku Manufacturing Consent, media massa yang dimaksudkan adalah televisi, radio, serta media cetak. Namun sekarang ini, kita mengenal internet sebagai salah satu sarana media massa yang memungkinkan interaksi sosial dan artifisial yang muncul pada jaringan media sosial. Propaganda konvensional kini telah menjadi propaganda komputasional. Dibanding dengan media sosial lain, TikTok memiliki potensi menjanjikan untuk menjadi media propaganda masa kini sebagai propaganda komputasional mendapatkan ruangnya seiring dengan kepopuleran dan fitur-fitur yang mendukung di dalamnya.


TikTok was originally released for music video content’s platform, but currently has grown to become the plate for various promotions, informations and certain opinion’s triggers’ content. By its duration’s limitation, content creators compete to create content(s) with time efficiency’s consideration. Thus, a lot of shortcut content(s) spreaded and supported by the ease of content’s downloading, uploading and accessing on TikTok. This paper will elaborate TikTok’s ease and massiveness with Noam Chomsky and Edwarrd S. Herman’s institutional analysis, the Propaganda Model, to show its opportunities as a propaganda media. The Propaganda Model shows the involvement of mass media in the manufacturing consent. In the Manufacturing Consent’s book era, the mass media were television, radio, and printed media(s). Nowadays, internet is one of leading mass media that also allows social and artificial interaction on social media’s platform. The conventional propaganda now has become the computational propaganda. Compared to other’s social media(s), TikTok has promising potential to become a nowadays propaganda media which accommodates computational propaganda during its popularity and its supportive feature

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Yudhistira Henuhili
"Selama beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan perdebatan mengenai kedaulatan dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional. Salah satu titik krusial yang mendorong perdebatan ini adalah terbentuknya Uni Eropa melalui Maastricht Treaty pada tahun 1992. Setelah itu, terdapat beragam literatur yang membahas mengenai kedaulatan di Uni Eropa, sehingga diperlukan sebuah kajian kepustakaan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, studi ini memetakan perkembangan literatur mengenai kedaulatan di Uni Eropa pasca Maastricht Treaty. Dari tiga puluh artikel jurnal/buku/chapter edited volume yang dikaji, terdapat empat tema besar yaitu (1) karakteristik kedaulatan di Uni Eropa; (2) dinamika kedaulatan dalam kebijakan di Uni Eropa: antara intergovernmentalisme dan supranasionalisme (3) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan terhadap perubahan bentuk kedaulatan di Uni Eropa dan (4) kritik terhadap penerapan kedaulatan di Uni Eropa. Setelah melakukan pemetaan dan analisis literatur, kajian kepustakaan ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, karakter kedaulatan di Uni Eropa memiliki penafsiran yang berbeda-beda, mulai dari kedaulatan dipandang disatukan (pooled sovereignty), dibagi (shared sovereignty), hingga dianggap masih berada di negara. Kedua, penerapan kedaulatan dalam tatanan praktis dalam level kebijakan di Uni Eropa dapat bertahan maupun berubah, menyesuaikan preferensi negara-negara anggotanya. Ketiga, penerimaan negara terhadap beragam bentuk kedaulatan di Uni Eropa dipengaruhi oleh faktor ekonomi, faktor interdependensi, dan faktor keamanan. Keempat, dinamika serta cara pandang terhadap kedaulatan di Uni Eropa tampaknya dipengaruhi oleh fenomena-fenomena empirik atau perkembangan yang terjadi di Uni Eropa. Terakhir, dari keseluruhan literatur, studi ini mengindentifikasi celah literatur yang terdapat dalam sedikitnya analisis mengenai kedaulatan dalam kebijakan di Uni Eropa, serta kurangnya studi komparatif yang membandingkan kedaulatan di Uni Eropa dengan kedaulatan dalam entitas politik lainnya.

Over the last few decades, the topic of Sovereignty has been increasingly discussed in International Relations. One of the crucial factors leading to the debate was the establishment of the European Union through the enactment of Maastricht Treaty in 1992. As an effect, various literature discussing sovereignty in the European Union emerged and subsequently neccessitates a literature review on it. This study mapped various literature on sovereignty in the European Union after Maastricht Treaty. By taking into account thirty journal articles/books/chapters of edited volume, this study found four major themes in the literature: (1) the characteristics of sovereignty in the European Union; (2) the dynamics of sovereignty in the European Union policies: between intergovernmentalism and supranationalism; (3) the factors influencing the acceptance of the changing form of sovereignty in the European Union; and (4) the critiques on the implementation of sovereignty in the European Union. After mapping and analyzing the literature, this study found several important points. First, the characters of sovereignty in the European Union result in various interpretations such as pooled sovereignty, shared sovereignty, and sovereignty that are embedded within member states. Second, the implementation of sovereignty in the European Union policies could both be static or dynamic, depending on the member states' preferences. Third, member states’ acceptance of various sovereignty forms in the European Union are influenced by economic, interdependence, and security factors. Fourth, the dynamics of the sovereignty in the European Union are perceived to be influenced by events happening in the European Union. Lastly, this study identifies several literature gaps on the lack of literature analyzing sovereignty aspect of European Union’s policies and the minimum amount of comparative studies between sovereignty in the European Union and sovereignty in other political entities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"[Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan peran Nicolas Sarkozy semasa
menjadi Presiden Prancis (2007-2012) dalam proses negosiasi keanggotaan Turki
di Uni Eropa mengingat Sarkozy telah menyatakan sikapnya secara tegas dalam
proses keanggotaan Turki. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian sejarah dengan menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder
dianalisis dengan menggunakan teori ideologi dari Louis Althusser. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa Sarkozy berperan dalam menghambat proses negosiasi
keanggotaan Turki di Uni Eropa melalui sejumlah tindakan yang ia lakukan.
Dengan teori ideologi Althusser ditunjukkan bahwa alasan penolakan dan
tindakan Sarkozy dalam proses negosiasi keanggotaan Turki di Uni Eropa adalah
karena ideologi yang dimilikinya, This thesis has a purpose to show Sarkozy’s role as French President (2007-2012)
in Turkish accession negotiation process to European Union taking into
consideration that Sarkozy has emphasized his position related to this issue. This
thesis uses historical research method and secondary data. Seconday data were
analyzed by applying ideological theory of Louis Althusser. This thesis conclude
that Sarkozy has an important role to decelerate the process of Turkish accession
to European Union. Through ideological analysis by Althusser, it turns out that
the reasons and the acts reflecting Sarkozy’s rejection to Turkish accession were
due to political ideology.]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57928
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farandy Nurmeiga
"Proses integrasi yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap negara-negara yang dianggap berada di wilayah Eropa berawal dari integrasi ekonomi yang kemudian berubah menjadi integrasi politik. Salah satu negara yang ingin bergabung menjadi anggota Uni Eropa adalah Turki. Turki sudah mengajukan diri untuk mengikuti proses negosiasi keanggotaan Uni Eropa sejak tahun 1959, tetapi hingga tahun 2019 Turki masih belum mendapat status sebagai negara anggota Uni Eropa. Padahal, Turki telah memiliki pemimpin baru dari partai pro kebijakan Eropa. Pemimpin tersebut adalah Recep Tayyip Erdogan yang kemudian menjabat posisi Perdana Menteri dan Presiden Turki. Namun, terdapat pandangan di elit Uni Eropa yang menyebut bahwa Erdogan adalah penyebab memburuknya hubungan Turki dan Uni Eropa. Gaya kepimpinan milik Presiden Erdoğan dapat menjadi salah satu pengaruh tidak diterimanya Turki sebagai negara anggota Uni Eropa. Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam makalah ini adalah bagaimana gaya kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan dan mengapa hal tersebut dapat memengaruhi proses keanggotaan Turki di Uni Eropa Untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian tersebut maka teori yang digunakan adalah teori gaya kepemimpinan yang dikembangkan oleh Margaret G. Hermann. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang datanya diperoleh dari sumber data primer hasil dari kuesioner dan publikasi transkrip wawancara Erdogan dengan media serta sumber data sekunder hasil dari studi pustaka berupa buku biografi, artikel jurnal, berita, internet, dan statistika. Penelitian ini memiliki temuan bahwa Erdogan memiliki gaya kepemimpinan yang siap dalam mengahadapi hambatan politik, tertutup dalam proses pengolahan informasi, dan memiliki motivasi untuk membangun relasi. Gaya kepemimpinan tersebut berdampak pada sulit untuk diterimanya Turki sebagai negara anggota Uni Eropa.

The process of integration carried out by the European Union towards countries considered to be in European territory originated from economic integration which later turned into political integration. One country that wants to join as a member of the European Union is Turkey. Turkey has volunteered to take part in the process of negotiating European Union membership since 1959, but until 2019 Turkey still has not received the status of an EU member state. In fact, Turkey already has a new leader from the pro-European party. The leader was Recep Tayyip Erdogan who then held the position of Prime Minister and President of Turkey. However, there is a view in the European Union elite that Erdogan is the cause of deteriorating relations between Turkey and the European Union. President Erdogans leadership style can be one of the influences not accepted by Turkey as an EU member state. The research question raised in this paper is what is the leadership style of Recep Tayyip Erdogan And why does this affect Turkeys membership process in the European Union To help answer these research questions, the theory used is the theory of leadership style developed by Margaret G. Hermann. This study uses qualitative research methods whose data are obtained from primary data sources as a result of questionnaires and publication of transcripts of Erdogans interviews with media and secondary data sources resulting from literature studies in the form of biographies, journal articles, news, internet, and statistics. This study found that Erdogan has a leadership style that is ready to challenge political constraints, closed in the opensess to information, and has the motivation to build relationships. This leadership style has an impact on Turkeys acceptance as an EU member state."
2019
T54380
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armintaetania
"Meskipun Uni Eropa telah secara eksplisit menyatakan ambisinya untuk mencapai kedaulatan digital pada tahun 2020, pemahaman terhadap istilah tersebut masih minim dan belum familiar. Kajian literatur ini bertujuan untuk memahami perkembangan literatur tentang kedaulatan digital di Uni Eropa dan mengidenfikasi celah yang terdapat dalam berbagai literatur tersebut. Metode pengikutsertaan (inclusion) dan pengecualian (exclusion) digunakan untuk menelusuri literatur yang akan digunakan dalam kajian literatur ini, sedangkan metode taksonomi digunakan untuk mengorganisasikan literatur-literatur yang ditemukan dengan melakukan klasifikasi sesuai dengan tema-tema dominan. Dengan menggunakan 43 literatur, kajian literatur ini menunjukkan bahwa perkembangan literatur tentang kedaulatan digital di Uni Eropa berada dalam tiga kategori bahasan utama, yaitu: (1) konseptualisasi kedaulatan digital di Uni Eropa; (2) strategi kedaulatan digital di Uni Eropa; dan (3) aktor dalam kedaulatan digital di Uni Eropa. Setelah mengkaji berbagai literatur tersebut, kajian literatur ini menemukan bahwa kedaulatan digital merupakan manifestasi dari keinginan Uni Eropa untuk mengatur ruang siber agar selaras dengan nilai-nilai Uni Eropa di tengah persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta dominasi kedua negara tersebut dalam ranah digital. Temuan tersebut menunjukkan bahwa kajian tentang strategi konkret Uni Eropa untuk mencapai kedaulatan digital masih berhubungan erat dengan ranah keamanan dan pertahanan. Perkembangan literatur turut mengidentifikasi bahwa dalam konteks kedaulatan digital di Uni Eropa, kajian tentang hubungan Uni Eropa dengan aktor negara lain masih didominasi oleh hubungannya dengan Amerika Serikat dan Tiongkok. Fenomena tersebut menyingkap celah yang ditemukan dalam berbagai literatur tersebut, seperti minimnya literatur yang membahas tentang strategi konkret Uni Eropa untuk mencapai kedaulatan digital dalam ranah ekonomi, hubungan Uni Eropa dengan negara-negara lain selain Amerika Serikat dan Tiongkok, peran aktor non-negara lain selain perusahaan swasta, hingga siapa sesungguhnya yang berwenang untuk mengatur kedaulatan digital di Uni Eropa. Akhir kata, kajian literatur ini diharapkan dapat berkontribusi dalam memperkaya pemahaman terhadap kedaulatan digital di Uni Eropa sekaligus memberikan rekomendasi praktis terhadap pengimplementasian kedaulatan digital di Uni Eropa.

Although the European Union explicitly declared its ambition to achieve digital sovereignty in 2020, the understanding of this term is still limited and unfamiliar. This literature review aims to understand the development of literature on digital sovereignty in the European Union and identify gaps in the existing literatures. The inclusion and exclusion methods are employed to select relevant literatures for this review, while the taxonomy method is used to organize the identified literatures by classifying them according to dominant themes. Based on the analysis of 43 literature sources, this literature review reveals that the literatures on digital sovereignty in the European Union fall into three main categories of discussion: (1) the conceptualization of digital sovereignty in the European Union; (2) the digital sovereignty strategies in the European Union; and (3) actors in digital sovereignty in the European Union. After examining various literatures, this literature review argues that digital sovereignty is a manifestation of the European Union’s desire to regulate cyberspace in line with European values amidst the geopolitical competition between the United States and China, as well as the dominance of these two countries in the digital realm. These findings highlight the close relationship between concrete strategies for achieving digital sovereignty in the European Union and the domains of security and defense. The literature development also identifies that in the context of digital sovereignty in the European Union, studies on the European Union's relations with other countries are still dominated by its relationship with the United States and China. These occurrences reveal several gaps in these literatures, such as a limited number of literatures have addressed concrete strategies of the European Union to achieve digital sovereignty in the economic domain, the European Union’s relations with countries other than the United States and China, the role of non-state actors besides private enterprises, and the authority responsible for regulating digital sovereignty in the European Union. In conclusion, this literature review is expected to contribute to a better understanding of digital sovereignty in the European Union and provide practical recommendations for the implementation of digital sovereignty in the European Union."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>