Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162961 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Glenn Allen
"Perilaku eksploitatif atas alam seringkali berkaitan dengan kegiatan ekonomi ekstraktif. Untuk memperoleh lebih banyak produksi dan pertumbuhan berarti bahan baku dari alam harus diubah menjadi komoditas. Dalam tesis ini saya mengemukakan bahwa aktivitas eksploitatif atas alam juga bisa merupakan akibat diskontinuitas dalam kosmologi dengan sepenuhnya mengadopsi nilai-nilai baru, moralitas dan rasionalitas budaya baru yang kemudian menjadi dominan. Agama (dalam hal ini Kristen) berperan besar dalam mengubah ontologi animistik yang tidak melihat status hierarkis antara manusia dan alam menjadi ontologi dualistik yang menampilkan manusia sebagai makhluk istimewa di antara yang lain. Namun demikian, sebagai upaya untuk ikut serta dalam pelestarian alam, ontologi baru yang dominan ini melalui konsep penatagunaan, menempatkan manusia sebagai peran sentral dalam menjaga keseimbangan alam.

Exploitative behavior over nature often relates to the extractive economic activities. To gain more production and growth means raw materials from nature must be converted into a commodity. In this thesis I argued that exploitative activity over nature could also be a result of discontinuity in cosmology by fully adopting new values, morality and rationality of a new culture that later became dominant. Religion (in this case Christianity) plays a big role in changing animistic ontology that sees no hierarchical status between human and nature into dualistic ontology that presents human as special beings among the others. Nevertheless, as an attempt to participate in nature conservation, this new dominant ontology through the concept of stewardship, places human as a central role in keeping the balance of nature."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
L.G. Saraswati Putri
"Tujuan utama dari penulisan disertasi ini adalah menunjukkan problem disekuilibrium di antara manusia dan alam. Kondisi ini terjadi dikarenakan kurangnya kepekaan manusia untuk melestarikan alam. Manusia menganggap secara dangkal keberadaan dan kekayaan alam. Sikap ini menyebabkan kerusakan berkepanjangan, hingga pada titik dimana tidak adanya lagi alam liar. Pendekatan etis terhadap problem disekuilibrium dianggap tidak lagi cukup. Harus ada langkah baru dan metode yang lebih akurat untuk mengatasi inti dari permasalahan. Fenomenologi Lingkungan menawarkan ontologi baru terhadap relasi manusia dan alam. Melalui Edmund Husserl, Maurice Merleau-Ponty dan Martin Heidegger, fenomenologi lingkungan bertujuan untuk membangun argument yang rigoris dalam mengupayakan investigasi terhadap problem relasi manusia dan alam. Melalui perspektif Husserlian, alam bukan semata-mata perpanjangan dari kesadaran subjek. Alam memiliki kualitas dan properti yang independen dari asumsi subjek. Lebih lanjutnya, Merleau-Ponty berargumen bahwa alam lebih dari sebatas latar belakang kehidupan manusia, alam adalah bagian mendasar dari bagaimana manusia merekognisi eksistensinya. Kita hidup terinspirasi dari alam, tanpa alam kita kehilangan daya untuk membentuk makna. Menurut Heidegger manusia mendapatkan makna kehidupannya melalui keterlibatannya dengan alam. Alam memberikan kita ilustrasi tentang ruang dan waktu. Maka, keterlibatan dengan alam adalah bagian terpenting dari Dasein, yakni melalui kehidupan berdampingan dengan alam ia dapat memahami otentisitasnya. Perjalanan menuju ekuilibrium adalah tugas yang penuh tantangan, yang membutuhkan sikap dan pandangan filosofis. Fenomenologi Lingkungan memungkinkan kita untuk berpikir secara radikal problem disekuilibrium dan memulihkan relasi ontologis di antara manusia dan alam.

The prime objective of this dissertation is to point the matter of disequilibrium between human and nature. This condition is due to our lack of sensibility to preserve nature. Human beings take for granted the bountiful of nature. This attitude causes further destruction to the point of losing Nature?s wilderness. Ethical approach to the problem of disequilibrium is no longer sufficient. There must be a new and vigorous method to solve the crux of the matter. Eco-Phenomenology proposes new ontology towards human and nature. Through Edmund Husserl, Maurice Merleau-Ponty and Martin Heidegger, eco-phenomenology aims to a more rigorous argument to investigate the relation between human and nature. From Husserlian perspective, nature is not merely an extension of the subject consciousness. Nature has its qualities and properties independent from the subject?s assumption. Furthermore, Merleau-Ponty argues that nature is more than just the backdrop of our lives, it is the essential part of our recognition to our existence. We live inspired through nature, in the absence of it, we would have lost our ability to constitute meaning. According to Heidegger human derived its meaning through their involvement with nature. Nature provides us with the illustration of space and time. Hence, nature is a fundamental part of Dasein, through dwelling alongside nature, Dasein is discovering its authenticity. The journey to equilibrium is an arduous task, one that requires new philosophical ways of perceiving. Eco-phenomenology enables us to think a more radical problem of disequilibrium, and that is to restore the ontological relation between human and nature."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
D1413
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994
306.598 4 CON
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rompas, J.
"The author explains how social change occurred in Minahasa due to education. Traditional education in Minahasa was strongly influenced by traditional belief (malesung) in which the teachers were adat leaders called walian. The impacts of Western education were felt with the arrival of the Spanish and Portuguese in the 16th century. In the middle of the 17th century both of them were expelled by the Dutch. VOC and NZG intensively disseminated Protestantism with the founding of schools for teachers, assistant preachers, and elementary schools. Those schools resulted into the decline of agricultural skills and handicraft of the youth which had been the primary way of earning a livelihood. They tend to look for work outside their villages. After independence, education grew rapidly with the increase of the number of schools. However, the awareness of the importance of education in some rural areas was not accompanied with the increase of social welfare."
1995
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adriaan Johannes Lonan
"Prinsip-prinsip yang menjaga kelestarian lingkungan hidup seperti yang diatur dalam perundang-undangan tingkat nasional maupun internasional, telah lama ada pada masyarakat lokal di Minahasa, khususnya di desa Tombasian Atas dan Duasudara. Tujuan penulisan disertasi ini adalah 1) untuk meneliti apakah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam hayati yang ada sekarang, lebih maju dari peraturan perundang-undangan di zaman kolonial, 2) apakah ada prinsip-prinsip kepercayaan tradisional dalam masyarakat pedesaan di Tombasian-Atas dan Duasudara di daerah Minahasa yang menunjang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 3) Faktor-faktor apakah yang menghambat kelangsungan prinsip-prinsip kepercayaan tradisional tersebut, 4) untuk mengungkapkan dengan teori Leopold Pospisil dan teori Talcott Parsons, ada makna di dalam prinsip-prinsip kepercayaan tradisional pada masyarakat di desa Tombasian-Atas dan Duasudara yang tidak jau beda dengan makna yang terkandung di dalam undang-undang nasional. Disertasi ini menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan (observasi, wawancara, dan partisipasi terbatas)."
Depok: Universitas Indonesia, 1992
D1086
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriaan Johannes Lonan
"Prinsip-prinsip yang menjaga kelestarian lingkungan hidup seperti yang diatur dalam perundang-undangan tingkat nasional maupun internasional, telah lama ada pada masyarakat lokal di Minahasa, khususnya di desa Tombasian Atas dan Dua sudara. Tujuan penulisan disertasi ini adalah 1) untuk meneliti apakah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam hayati yang ada sekarang, lebih maju dari peraturan perundang-undangan di zaman kolonial, 2) apakah ada prinsip-prinsip kepercayaan tradisional dalam masya- rakat pedesaan di Tombasian-Atas dan Duasudara di daerah Minahasa yang menunjang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 3) Faktor-faktor apakah yang menghambat kelangsungan prinsip-prinsip kepercayaan tradisional tersebut, 4) untuk mengungkapkan dengan teori Leopold Pospisil dan teori Talcott Parsons, ada makna di dalam prinsip-prinsip kepercayaan tradisional pada masyarakat di desa Tombasian-Atas dan Duasudara yang tidak jau beda dengan makna yang terkandung di dalam undang-undang nasional. Disertasi ini menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan (observasi, wawancara, dan partisipasi terbatas)."
Depok: Universitas Indonesia, 1992
D191
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Wahyono
"ABSTRAK
Kopra merupakan produksi rakyat Minahasa dan menjadi mata pencarian utama masyarakat petani daerah tersebut selama periode 1870-1942.
Penelitian tentang pembudidayaan dan perdagangan kopra di Minahasa dalam kurun waktu 1870-1942 ini secara khusus menyoroti struktur pertanian dan pola pembudidayaan serta sistem perdagangan kopra, dengan menggunakan bahan-bahan arsip, laporan-laporan sezaman baik yang diterbitkan maupun tidak, serta literatur yang berkaitan dengan tema tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan pola pertanian di Minahasa karena adanya tuntutan pasar. Minahasa pada abad ke-17 sampai ke-18 merupakan lumbung padi bagi daerah Sulawesi dan Maluku. Adanya tanaman wajib kopi pada pertengahan abad ke-19 membuat sebagian petani Minahasa beralih menjadi penanam kopi. Kemudian setelah terjadi boom kopra sejak akhir abad ke-19 sebagian petani Minahasa beralih menanam kelapa.
Pola perdagangan kopra dilakukan melalui tiga golongan,yaitu produsen, perdagang perantara, dan pedagang besar/ekspor. Pola jual-belinya tidak dilakukan di dalam pasar (dalam arti fisik) secara terbuka tetapi melalui sistem kontrak.
Jual beli dengan sistem kontrak ini lebih merugikan petani. Untuk melindungi petani dari jeratan pedagang perantara yang sebagian besar dikuasai pedagang Cina, berbagai upaya dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, misalnya dengan mendirikan volksbauk Taa rsea Producferr Verkoop Central,dan yayasan Kopra.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T10190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Fathi Royyani
"ABSTRAK
Nama : Mohammad Fathi RoyyaniProgram Studi : Antropologi Judul : Cagar Biosfer: Perubahan Status Kawasan, Relasi Sosial dan Relasi Manusia-Alam dalam Isu KonservasiDalam disertasi ini, gagasan yang akan saya kemukakan adalah bahwa dalam isyu konservasi keanekaragaman menjadi berperan penting dalam kehidupan sosial-budaya. Keanekaragaman hayati adalah penghubung dan membentuk relasi sosial dan relasi sosial dan alam, selain membentuk konstruksi dan konsepsi tentang ruang, bahkan dapat ??menghilangkan lsquo; ruang.Kehadiran keanekaragaman hayati dalam isyu konservasi, terutama dalam pengelolaan kawasan konservasi yang bernama cagar biosfer terlihat dari berbagai peristiwa yang melibatkan keanekaragaman hayati dan dimaknai secara berbeda. Tumbuhan obat, hutan, dan harimau tidak saja peristiwa biasa tetapi juga terkait dengan konstruksi kealamiahan, konsepsi tentang ruang, dan berdampak pada relasi-relasi baru yang dilakukan.Melalui sudut pandang etnografi, saya melihat bahwa perubahan status kawasan adalah peristiwa penting yang menjadi titik mula berbagai peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perubahan status adalah peristiwa yang menjalin dan menyulam berbagai kejadian yang terdapat di kawasan tersebut. Dari kawasan yang dikelola secara komersil menjadi kawasan yang harus dilindungi. Dengan demikian, konservasi itu sendiri adalah konstruksi yang dibangun oleh para aktor manusia yang terlibat dalam pengelolaan cagar biosfer. Saya menganggap pembahasan ini penting untuk menggambarkan alam pikiran pengelola supaya kita mendapatkan pemahaman utuh terhadap praktek-praktek yang melibatkan keanekaragaman hayati sebagai ekspresi yang menandakan ikatan orang dengan keanekaragaman hayati.Dalam konteks di Riau, konstruksi tentang alam dibangun oleh para aktor dengan menggunakan keanekaragaman hayati. Alasannya karena keanekaragaman hayati sejak zaman dulu sudah menghubungkan orang yang berada di ruang yang sangat jauh dengan ruang yang ada di Indonesia. Keterhubungan antar ruang yang berbeda jauh dan relasi sosial yang terbangun menimbulkan ide-ide untuk membangun ruang-ruang baru dan konstruksi baru yang terdapat pada para aktor. Hal tersebut berdampak pada relasi sosial maupun relasi orang dengan alam, dalam konteks pelestarian lingkungan. Dari kepentingan global, upaya negara dalam meng-lokal-kan isyu konservasi, dan dampaknya terhadap program-program yang dilakukan oleh badan pengelola di kawasan tersebut.Kata Kunci : Cagar biosfer, Konservasi, keanekaragaman hayati, Riau, relasi sosial, relasi alam

ABSTRACT
Name : Mohammad Fathi RoyyaniStudi Program : Antropologi Title : Cagar Biosfer: Perubahan Status Kawasan, Relasi Sosial dan Relasi Manusia-Alam dalam Isu KonservasiIn this dissertation, the idea I would like to point out is that in the issue of conservation, diversity provides an important role in socio-cultural life. Biodiversity links and establishes social relation and social relation as well as nature. In addition to forming construction and conception of space, it even can get rid of the space. The existence of biodiversity in the issue of conservation, mainly in the management of conservation area namely biosphere reserve can be seen from various phenomena involving biodiversity and it is differently interpreted. Medical plant, forest and tiger are not only ordinary phenomena but also the phenomena related to nature construction, space conception and it affects on new relation carried out. Through the point of view of ethnography, the researcher found that the change of status of the area was the significant phenomena becoming starting point of various phenomena never previously occured. The change of the status was the phenomena interweaving and linking various phenomena in the area. The area commercially managed became the area to preserve. Conservation, therefore, was the construction created by human involved in the management biosphere reserve. I considered this discussion being important to illustrate manager lsquo;s thought in order to gain intact understanding to the practices involving biodiversity as the expression bringing up the relation between human and biodiversity. In Riau the nature construction was built by the actors using biodiversity. The reason was that since ancient time biodiversity had linked the people in very distant place with the space in Indonesia. The interconnection of tremendously different space and built social relation resulted in ideas to create new space and construction in actors lsquo; area. It affected on the social relation or human relation with nature in the context of environmental conservation. From global interest, state strived to localize the issue of conservation and its impact on the programs carried out by the managers in that area.Key Words : , conservation, biodiversity, Riau, social relation, natur-culture relation"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riwanto Tirtosudarmo
"The article is a preliminary study on the social impact of development in Minahasa. The authors try to identify, development problems as exhaustable as possible. The factors that have influenced the development in Minahasa are originated from the Minahasa community themselves and from government policies. The central government has exercised a strong influence on local condition. Local government which functions on behalf of the central government exhibit such characteristics a bureaucratic, hierarchic, and paternalistic. On the other hand, the Minahasa people are democratic and egalitarian in their social relationship. The difference between both value systems does not come into conflict, because the Minahasans channel their aspirations through the church and are able to make adjustment."
1995
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wenas, Jessy
Jakarta: Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, 2007
959.8 JES s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>