Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101258 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raisa Fatnisary
"Penelitian ini membahas mengenai perjanjian kawin berdasarkan asas kebebasan berkontrak dengan pembanding negara Amerika Serikat. Pada dasarnya perjanjian perkawinan dapat merupakan sebuah solusi dari permasalahan yang mungkin dihadapi oleh suami atau isteri dalam menjalankan kehidupan perkawinan, terutama mengenai harta benda mereka. Kondisi masyarakat yang makin demokratis dan kritis membuat perjanjian kawin mengalami perkembangan. Isi yang diatur di dalam perjanjian kawin tidak hanya mengenai harta benda perkawinan, namun dapat juga seperti pembagian biaya keluarga, penyelesaian perselisihan dalam rumah tangga, kebiasaan mengoleksi barang langka yang tergolong mahal, hingga mengatur terhadap profesi masing-masing calon suami istri selama perkawinan berlangsung. Negara Amerika Serikat merupakan negara common law dengan yurisprudensi sebagai sumber hukumnya. Selain adanya ketentuan umum pemerintah federal, tiap-tiap negara bagian memiliki peraturan berbeda antar satu sama lain. Dalam kaitannya dengan perjanjian kawin, mayoritas negara bagian mengadopsi ketentuan Uniform Premarital Agreement Act (UPAA) sehingga peraturan tersebut berlaku sejalan dengan ketentuan masing-masing negara bagian.Perbedaan dari masing-masing negara bagian serta sistem yang tidak membedakan hukum keluarga dan hukum kontrak membuat negara Amerika Serikat menarik untuk dijadikan pembanding. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana pengaturan megenai perjanjian kawin di Negara Indonesia dan Amerika Serikat serta akibat hukum perjanjian kawin yang tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan namun berdasarkan asas kebebasan berkontrak baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum adalah yuridis-normatif, yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat. Hasil analisa adalah bahwa pembuatan perjanjian kawin yang tidak menyangkut mengenai harta benda suami atau istri pada umumnya dimungkinkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Walaupun isi dari perjanjian dapat dibebaskan, perjanjian tetap harus mengikuti ketentuan undang-undang, agama, kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

This research discusses the marriage agreement based on the principle of freedom of contract with the comparator of the United States. Basically, a marriage agreement can be a solution to the problems that a husband or wife may face in carrying out their married life, especially regarding their property. The more democratic and critical conditions of society make the marriage agreement develop. The contents stipulated in the marriage agreement are not only regarding marital property, but can also include the sharing of family expenses, settlement of disputes in the household, the habit of collecting expensive rare items, to regulating the profession of each prospective husband and wife during the marriage. The United States of America is a common law country with jurisprudence as its source of law. In addition to the general provisions of the federal government, different states have different regulations from one another. In relation to marriage agreements, the majority of states adopt the provisions of the Uniform Premarital Agreement Act (UPAA) so that these regulations apply in line with the provisions of each state. The United States is interesting for comparison. The problems raised in this study are about how to regulate marriage agreements in Indonesia and the United States and the consequences of marriage agreement law which not only regulates assets but is based on the principle of freedom of contract both in Indonesia and in the United States. To answer this problem, a legal research method is used that is juridical-normative, which refers to the legal norms contained in the laws and regulations as well as norms that apply and bind the community. The result of the analysis is that the making of a marriage agreement that does not involve the husband or wife's property is generally possible based on the principle of freedom of contract. However, even though the contents of the agreement can be exempted, the agreement must still comply with the provisions of law, religion, propriety, morals and public order."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Ramadhani
"Perjanjian perkawinan saat ini semakin dikenal oleh masyarakat. Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan hanya memberikan batasan bahwa isi perjanjian perkawinan tidak dapat melanggar hukum, agama, dan kesusilaan. Terdapat perbedaan pendapat apakah perjanjian perkawinan hanya dapat mengatur mengenai harta sesuai dengan ketentuan KUH Perdata atau dapat mengenai segala hal selama tidak melanggar batas yang disebutkan oleh Pasal 29 Ayat (2). Penelitian ini menganalisis mengenai pencantuman klausul kompensasi di dalam perjanjian perkawinan sebagai bentuk implementasi asas kebebasan berkontrak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan meneliti bahan kepustakaan. Hasil dari penelitian ini adalah asas kebebasan berkontrak di dalam perjanjian perkawinan dapat diimplementasikan hanya dalam hal menyangkut subjek atau diri pribadi pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Mengenai isi perjanjian perkawinan mengikuti aturan KUH Perdata bahwa perjanjian perkawinan hanya mengenai soal harta. Dibutuhkan aturan spesifik yang mengatur mengenai isi perjanjian perkawinan.

Marriage agreement is commonly recognized by the society nowadays. Article 29 Subsection (2) of Indonesian Marriage Act only regulate a limitation that the content of marriage agreement can not violate the law, religion, and ethics. There are different kind of opinions regarding whether marriage agreement can only regulate regarding matrimonial assets in accordance with Indonesian civil code or it can regulate in every aspect as long as it does not cross the limitation set by Article 29 Subsection (2). This research analyses about the inclusion of compensation clause in marriage agreement as an implementation of freedom of contract principle. Method that is used in this research is normative juridical by conducting library research. The result of this research is that freedom of contract principle in marriage agreement can be implemented only in terms of the subject or the parties that bind themselves in the agreement. Regarding the contents of the marriage agreement, it follows the regulation of the Indonesian Civil Code that the marriage agreement is only about marital assets. Thus, specific regulations regulating the contents of marriage agreement is needed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Purborini
"Tesis ini membahas mengenai pengaturan pembuatan perjanjian perkawinan yang berisi hal-hal lain yang diperjanjikan selain harta kekayaan yang dengan mengkaitkannya terhadap pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan implementasinya oleh Notaris. Permasalahan dalam penulisan ini ialah seperti apa batasan isi perjanjian perkawinan yang tidak hanya memuat tentang harta kekayaan saja dan praktek pembuatan akta perjanjian perkawinan oleh Notaris. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis dan dianalisa dengan metode kualitatif. Batasan perjanjian perkawinan menurut pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah tidak melanggar hukum, agama dan kesusilaan. Hasil penelitian ini bahwa perjanjian perkawinan harus tidak melanggar hukum positif yang ada di Indonesia, memenuhi prinsip religious married dan civil married sesuai dengan norma-norma yang ada didalam masyarakat. Selain itu, praktek pembuatan perjanjian perkawinan yang menambahkan klausul selain harta kekayaan oleh Notaris dapat dilakukan oleh Notaris sepanjang dalam praktek pembuatan perjanjian perkawinan tetap memuat pokok utama tentang harta kekayaan (harta benda). Notaris memiliki subjektivitasnya masing-masing dalam membuat perjanjian perkawinan, hal ini didasarkan atas pengetahuan, pengalaman, latar belakang dan perspektif notaris masing-masing.

This thesis discusses the arrangements for making a marriage agreement that contains other matters that are agreed to besides the assets that relate to article 29 paragraph 2 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and its implementation by Public Notary. The problem in this paper is what is the limitation of the contents of the marriage agreement that does not only contain assets and the practice of making a marriage agreement by a notary. This research is a normative juridical research with descriptive analytical research type and analyzed with qualitative methods. Limitation of marriage agreements according to article 29 paragraph 2 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage is not against the law, religion and morality. The results of this study that marriage agreements must be relate with the positive laws that exist in Indonesia, also relate with the principles of religious married and civil married in accordance with existing norms in society. In addition, the practice of making marriage agreements that add clauses other than assets by a notary can be carried out by a notary as long as in practice the marriage agreement is still made to contain the main points of assets (property). Notary public has their own subjectivity in making marriage agreements, this is based on their notary knowledge, experience, background and perspective.
"
2019
T54771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Mulyo Yanuar
"ABSTRAK Perkawinan campuran adalah suatu perkawinan antara dua warganegara yang berbeda, dimana satu pihak warga negara Indonesia dan pihak lain warga negara asing. Calon suami istri sebelum atau pada waktu perkawinan atau suami istri setelah perkawinan, dapat membuat perjanjian kawin mengenai harta benda dalam perkawinan. Perjanjian kawin dalam perkawinan campuran, yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan mengenai harta kawin berupa hak atas tanah, tidak dapat berlaku surut terhadap hak atas tanah yang diperoleh sebelum adanya perjanjian kawin. Status hak atas tanah berupa hak milik, hak guna bangunan dan hak guna, usaha, tidak dapat dipunyai atau dimiliki oleh warga negara asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagaimana jika hak atas tanah berupa hak guna bangunan yang diperoleh selama perkawinan campuran, dilakukan pemisahan harta berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam menjawab masalah tersebut, dipergunakan metode penelitian normatif, dengan mengkaji keabsahan perkawinan campuran,  subjek dan objek hak atas tanah dan waktu  hak atas tanah diperoleh, yaitu sejak atau sebelum  perkawinan campuran sah secara hukum. Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh sebelum perkawinan campuran sah, tetap merupakan milik pribadi masing masing suami istri, yang tidak dapat dijadikan objek pemisahan harta  Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh setelah perkawinan campuran sah, yang oleh undang-undang pokok agraria, dilarang dipunyai oleh warga negara asing melalui perkawinan campuran, tidak dapat dilakukan melalui pemisahan harta.

Kata Kunci: Harta Kawin, Perkawinan Campuran, Pemisahan Harta


ABSTRACT Mixed marriage is a marriage between two different citizens, where one party is an Indonesian citizen and the other is a foreign citizen. Prospective husband and wife before or at the time of marriage or husband and wife after marriage, can make a marriage agreement regarding property in marriage. Agreements for marriage in mixed marriages, which are made after the marriage takes place regarding the property of marriage in the form of land rights, cannot apply retroactively to the rights to land acquired prior to the marriage agreement. The status of land rights in the form of property rights, building use rights and usufructuary rights, business, cannot be owned or owned by foreign citizens either directly or indirectly. What if the land rights in the form of building usufructuary rights obtained during mixed marriages are carried out by the separation of assets based on court decisions. In answering the problem, normative research methods are used, by examining the validity of mixed marriages, the subject and object of land rights and when land rights are obtained, ie from or before a mixed marriage is legally legal. Marital assets in the form of land rights acquired before a mixed marriage are legal, still private property of each husband and wife, which cannot be the object of the separation of assets of married property in the form of land rights obtained after a legal mixed marriage, which is based on agrarian law, prohibited from being owned by foreign nationals through mixed marriages, cannot be done through the separation of property.

Keywords: Marriage Assets, Mixed Marriage, Property Separation

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Mulyo Yanuar
"Perkawinan campuran adalah suatu perkawinan antara dua warganegara yang berbeda, dimana satu pihak warga negara Indonesia dan pihak lain warga negara asing. Calon suami istri sebelum atau pada waktu perkawinan atau suami istri setelah perkawinan, dapat membuat perjanjian kawin mengenai harta benda dalam perkawinan. Perjanjian kawin dalam perkawinan campuran, yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan mengenai harta kawin berupa hak atas tanah, tidak dapat berlaku surut terhadap hak atas tanah yang diperoleh sebelum adanya perjanjian kawin. Status hak atas tanah berupa hak milik, hak guna bangunan dan hak guna, usaha, tidak dapat dipunyai atau dimiliki oleh warga negara asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagaimana jika hak atas tanah berupa hak guna bangunan yang diperoleh selama perkawinan campuran, dilakukan pemisahan harta berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam menjawab masalah tersebut, dipergunakan metode penelitian normatif, dengan mengkaji keabsahan perkawinan campuran,  subjek dan objek hak atas tanah dan waktu  hak atas tanah diperoleh, yaitu sejak atau sebelum  perkawinan campuran sah secara hukum. Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh sebelum perkawinan campuran sah, tetap merupakan milik pribadi masing masing suami istri, yang tidak dapat dijadikan objek pemisahan harta  Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh setelah perkawinan campuran sah, yang oleh undang-undang pokok agraria, dilarang dipunyai oleh warga negara asing melalui perkawinan campuran, tidak dapat dilakukan melalui pemisahan harta.

Mixed marriage is a marriage between two different citizens, where one party is an Indonesian citizen and the other is a foreign citizen. Prospective husband and wife before or at the time of marriage or husband and wife after marriage, can make a marriage agreement regarding property in marriage. Agreements for marriage in mixed marriages, which are made after the marriage takes place regarding the property of marriage in the form of land rights, cannot apply retroactively to the rights to land acquired prior to the marriage agreement. The status of land rights in the form of property rights, building use rights and usufructuary rights, business, cannot be owned or owned by foreign citizens either directly or indirectly. What if the land rights in the form of building usufructuary rights obtained during mixed marriages are carried out by the separation of assets based on court decisions. In answering the problem, normative research methods are used, by examining the validity of mixed marriages, the subject and object of land rights and when land rights are obtained, ie from or before a mixed marriage is legally legal. Marital assets in the form of land rights acquired before a mixed marriage are legal, still private property of each husband and wife, which cannot be the object of the separation of assets of married property in the form of land rights obtained after a legal mixed marriage, which is based on agrarian law, prohibited from being owned by foreign nationals through mixed marriages, cannot be done through the separation of property."
2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nataya Fariza
"Membina sebuah rumah tangga memang tidak semudah membalikkan tangan, pasti selalu ada konflik yang timbul terutama masalah harta kekayaan dalam perkawinan. Apabila sebelum melangsungkan perkawinan suami isteri tidak membuat perjanjian kawin, maka harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta persatuan bulat. Kemudian selama perkawinan berlangsung, terjadi sesuatu hal misal suami boros dan berkelakukan tidak baik yang mengakibatkan harta bersama akan habis, maka isteri dapat mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan ke Pengadilan Negeri, karena perjanjian kawin sudah tidak dapat lagi dibuat setelah perkawinan berlangsung. Dari keadaan tersebut di atas, maka yang jadi permasalahan penelitian ini yaitu bagaimanakah akibat hukum dari pemisahan harta kekayaan yang dilakukan berdasarkan perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dan bagaimana secara yuridis pertimbangan Hakim mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan sebagaimana ternyata dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2901 K/Pdt/2012 tanggal 9 Desember 2013. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis dalam meneliti mengacu pada aturanaturan hukum yang ada. Maka ditemukan jawabannya bahwa akibat hukum yang timbul sebagaimana ternyata dalam kasus yang diteliti yaitu tidak dapat diadakan pemisahan karena isteri tidak memenuhi Pasal 186 BW, sehingga objek sengketa tetap menjadi harta bersama suami dan isteri. Untuk perjanjian pisah harta yang telah dibuat dihadapan Notaris menjadi batal demi hukum karena mengandung cacat yuridis dan bertentangan dengan undang-undang. Dan Putusan Mahkamah Agung sudah tepat dan telah sesuai dengan Pasal 119 BW, karena antara suami dan isteri tersebut tetap terjadi persatuan harta bulat. Sedangkan penerapan Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perkawinan dalam pertimbangan Hakim dianggap kurang tepat karena tidak terjadi perubahan perjanjian kawin.

Fostering a household is not as easy as turning the hand, there is always a conflict triggered by wealth in marriage. If spouse did not make a prenuptial agreement, separation asset and any asset they acquire during the course of their marriage would be community asset. Furthermore, during the marriage takes place, if there is something happen e.g. the husband is extravagant and does not have good manner which is caused community asset would be lost, the wife could propose a claim for asset separation to District Court, because prenuptial agreement could no longer be made after marriage took place. According to that circumstances, the consent of this research is how the legal consequences of the assets separation that is performed by prenuptial agreement made after marriage and how the juridical considerations of the Judge regarding separation assets in marriage, as it turns out in the Supreme Court Verdict No. 2901 K / Pdt / 2012 dated December 9, 2013. By using a normative juridical research method, the author in researching refers to rules of existing law. Then found the answer that the legal consequences arising in this case study that the separation cannot be held because the wife does not comply with Article 186 BW, then the object of dispute remain the property of the husband and wife. And the prenuptial agreement that has been made before a Notary cancelled and void because of flawed juridical and contrary to law. And Supreme Court decisions were appropriate and in accordance with Article 119 of the BW, as between husband and wife are still having community assets. While the application of Article 29 paragraph (4) of the Law of Marriage in consideration of Judges considered less appropriate because there is no change in prenuptial agreement."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Pasca Julius
"Tesis ini membahas tentang keterkaitan antara ketentuan pasal 18 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perjanjian. Keterkaitan yang dimaksud adalah dalam hal pembatasan jangka waktu Perjanjian Pengalihan Hak Cipta yang berakibat pada posisi para pihak dalam perjanjian. Tesis ini membahas lebih lanjut mengenai prinsip keseimbangan dalam perjanjian dan bagaimana implementasinya dalam perjanjian pengalihan Hak Cipta. Penelitian ini adalah penelitian normatif-empiris dan bersifat deskriptif, karena kajiannya berfokus kepada ketentuan peraturan perundang-undangan.

This Thesis elaborates the correlation between the provisions of article 18 of Indonesia Copyright Law Number 28 of 2014 and the Principle of Freedom of Contract. The correlation refers to the term limitation of the Copyright Transfer Agreement which affect the position of the parties in the agreement. This thesis discusses further the principle of equilibrium in the agreement and how it is implemented in the Copyright transfer agreement. This research is a normative-empirical and descriptive, because the study focuses on the provisions of the legislation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54772
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana
"Tesis ini membahas tentang perlindungan konsumen serta penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian baku suatu perjanjian asuransi, di mana penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai perlindungan terhadap konsumen dan penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian baku suatu perjanjian asuransi, serta mengetahui dan memahami pelaksanaan Perjanjian Asuransi sehubungan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sebagai kasus Perjanjian Asuransi yang memuat klausul-klausul yang mengesampingkan Penanggung dari segala kewajiban dan tanggung jawab hukum, dimana asuransi tidak menjamin/mengcover kerusakan sendiri atau kerusakan karena sifat alamiah (Inherent Vice or Inherent Nature) dan kerugian kerusakan yang disebabkan oleh keterlambatan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif.
Penyimpangan atas asas kepatutan dan asas kebebasan berkontrak dalam Perjanjian Asuransi antara PT. E.K. Prima Ekspor Indonesia dan PT. Chartis Insurance Indonesia ditunjukkan dengan mencantumkan pengecualian-pengecualian yang menghapus sama sekali tanggung jawab pelaku usaha dalam hal ini PT. Chartis Insurance Indonesia juga dengan tidak dilibatkannya PT. E.K. Prima Ekspor Indonesia dalam menentukan klausul-klausul dalam perjanjian asuransi antara PT. E.K. Prima Ekspor Indonesia dengan PT. Chartis Insurance Indonesia.
Hasil penelitian menyarankan bahwa walaupun dalam membuat suatu perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi para pihak yang terlibat baik didalam proses membuat perjanjian maupun dalam pelaksanaan perjanjian tersebut tidak menerapkan asas kebebasan berkontrak. Dalam suatu perjanjian hendaknya memperhatikan asas kebebasan berkontrak karena bilamana perjanjian tersebut tidak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hal pelaksanaannya terdapat suatu masalah atau sengketa hukum karena klausul-klausul dalam perjanjian cenderung menghilangkan kewajiban penanggung dan dapat merugikan tertanggung, maka Hakim dengan pertimbangan hukum dapat menambah atau mengesampingkan isi perjanjian yang tidak didasarkan pada itikad baik tersebut. Para pihak yang terlibat di dalam suatu perjanjian hendaknya selalu bersikap hati-hati dalam tindakannya karena perikatan itu muncul tidak hanya dari perjanjian yang telah dibuat tetapi juga dari UU, sebagai contoh adanya wanprestasi.

This thesis discusses consumer protection as well as the application of the principle of freedom of contract in a standard insurance agreement contract. Furthermore, this research is intended to obtain a deeper understanding of the consumer protection and the application of the principle of freedom of contract in a standard contract of an insurance agreement and to know and understand the further implementation of the insurance agreement with respect to the rights and obligations of each party. As for example the case of an insurance agreement that contains clauses that overrides the insurer from any legal liabilities and responsibilities, where insurance does not guarantee nor cover damages caused by the insurance applicant and damage caused due to nature ( Inherent Vice or Inherent Nature ) and loss of damages caused by delay. The research method used is Juridical - Normative literal study.
Irregularities on merit and the principle of freedom of contract in the insurance agreement between PT. E.K. Prima Ekspor Indonesia and PT. Chartis Insurance Indonesia can be indicated by stating the exceptions which entirely removes the responsibilities of business operators, in this regard PT. Chartis Insurance Indonesia in exclusion of P.T. E.K. Prima Ekspor Indonesia in determining the clauses in the insurance agreement between PT. E.K. Prima Ekspor Indonesia and PT. Chartis Insurance Indonesia.
Research results have suggested that even in the drafting of a contract the principle of freedom of contract is known, however the parties involved in the drafting process of the implementation of the contract do not apply the principle of freedom of contract; A contract should observe the principle of freedom of contract because in its implementation if the agreement is not in accordance with the principle of freedom of contract then in terms of implementation there is a problem or a legal dispute because clauses in the contract t tend to eliminate the insurers duties and may be detrimental to the insured , then judges with legal considerations can add or override the contents of the agreement that are not based on the good faith; The parties involved in a contract must always be cautious in their actions because the engagement appears not only from the contract that has been made but also from the law, as an example of the existence of defaults."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradita Lanuansha Putri
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan asas itikad baik kaitannya dengan kebebasan berkontrak dalam sebuah perjanjian khusus yang dalam penulisan ini membahas mengenai perjanjian franchise. Perjanjian franchise merupakan bentuk dari kebebasan berkontrak, maka dalam pembuatannya harus mengandung unsur keadilan. Dengan adanya itikad baik maka diharapkan para pihak, pemberi dan penerima waralaba, memiliki kesadaran tinggi untuk memperhatikan kebutuhan pihak lain dan tidak bertindak sewenang- wenang demi keuntungan dirinya sendiri. Tipe penelitian ini adalah normatif yuridis, dengan melakukan pendekatan dari sisi perundang-undangan dan menganalisis putusan pengadilan menggunakan metode kepustakaan.
The present thesis will discuss the application of good faith principle according to freedom of contract in a special obligation, in this case, is franchise agreement. Franchise agreement is a form of freedom of contract, then it should be having a freedom on its making which fairness should be including. It is highly expected that by implementing good faith principle on a contract, both parties which are franchisor and franchisee will have a high awareness towards the needs of the other party and not to exploit the other party’s weakness in the name of his own interest. Type of the research is normative juridicial, by doing statue approach and analyzing court judgement altogether using the methods of library research."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S64837
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Wicaksono Saputra
"Sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum perjanjian Indonesia memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk dapat membuat atau menutup kontrak yang dikehendakinya secara bebas. Asas kebebasan berkontrak ini memiliki implikasi yang luas dalam aktivitas ekonomi masyarakat, sehingga apabila asas kebebasan berkontrak ini tidak dibatasi dan diawasi oleh pemerintah serta diterapkan tanpa mengakomodasi asas keseimbangan, maka akan menimbulkan dampak negatif. Hal tersebut disebabkan karena meskipun hukum memandang semua orang memiliki kedudukan yang sama, namun pada kenyataannya tidak semua orang memiliki kedudukan dan/atau kemampuan yang sama seperti misalnya secara sosiologis, psikologis dan/atau ekonomis. Oleh karena itu kebebasan berkontrak seharusnya memberikan kesempatan bagi para pihak untuk mengadakan tawar-menawar secara adil. Meskipun tidak terdapat ketentuan di dalam hukum perjanjian Indonesia yang secara tegas menyebutkan berlakunya asas keseimbangan di dalam pembuatan dan/atau pelaksanaan suatu Perjanjian, namun pada kenyataannya secara tidak langsung KUHPerdata Indonesia sesungguhnya telah mengadopsi asas keseimbangan di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini membuktikan bahwa asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum perjanjian Indonesia sesungguhnya memiliki keterkaitan yang erat dengan asas keseimbangan. Pengadopsian asas keseimbangan terlihat dari ketentuan-ketentuan Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata Indonesia yang secara tidak langsung menghendaki adanya keseimbangan kehendak, keseimbangan kecakapan, dan keseimbangan informasi di antara para pihak. Selain itu, ditekankannya 'kesepakatan kedua belah pihak', 'pelaksanaan dengan iktikad baik' serta terikatnya suatu Perjanjian dengan 'kepatutan, kebiasaan dan undang-undang' di dalam ketentuan Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata Indonesia dan pengaturan 'keadaan memaksa' di dalam ketentuan Pasal 1244, Pasal 1245, Pasal 1444 dan Pasal 1445 KUHPerdata Indonesia juga menunjukkan bahwa ketentuan KUHPerdata Indonesia sesungguhnya menekankan harus adanya suatu keseimbangan (keadilan) di antara para pihak di dalam Perjanjian. Perjanjian yang pembuatannya hanya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak telah menunjukkan bahwa Perjanjian tersebut berlangsung dalam suasana ketidakseimbangan. Oleh karena itu sesungguhnya suatu Perjanjian yang tidak seimbang tidak mempunyai kekuatan mengikat yang absolut sebab bertentangan dengan iktikad baik, rasa keadilan, dan kepatutan. Sehingga jika pelaksanaan Perjanjian menurut hurufnya justru akan menimbulkan ketidakadilan, maka demi memulihkan keseimbangan, hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi Perjanjian menurut hurufnya baik dengan mengadakan penyesuaian terhadap klausul atau syarat-syarat yang tercantum dalam Perjanjian tersebut atau bahkan membatalkan Perjanjian tersebut. Hal tersebut pun ternyata juga telah diterapkan oleh pengadilan di Indonesia di dalam beberapa putusannya dalam perkara-perkara yang terkait dengan Perjanjian.

The open system and the principle of freedom of contract that applied by Indonesian law on contract gives every person the freedom to draw up and conclude a contract. This principle of freedom of contract has large implications in the economic activities of the people that consequently if this principle of freedom to engage in contract is not restricted and supervised by the government and be applied without accommodating the principle of equality of contract, negative impacts arising therefrom may be unavoidable. It is because, even though every person is equal before the law, it is the fact is that people do not have the same position and competence compared with how they are sociologically, psychologically and/or economically. Hence, the freedom to engage in contract is supposed to gives people the freedom to negotiate fairly. While the Indonesian law system lacks the provision that firmly stipulates the applicability of the principle of equality of contract in the execution and delivery of a contract, the fact is that indirectly, the Indonesian Civil Code has actually adopted the principle of equality of contract in its articles. This proves the principle of freedom of contract that applied by the Indonesian law on contract actually has close relationship to the principle of equality of contract. The adoption of the principle of equality of contract is reflected in the provisions of Article 1320 until Article 1337 of the Indonesian Civil Code which indirectly requires equality in intention, equality in competence, and equality in information between the two parties. Besides with the emphasis on 'consent of both parties', 'performed in good faith' and the binding of an agreement with 'courteousness, customary and law' in the provisions of Article 1338 and Article 1339 of the Indonesian Civil Code and also the rule of 'force majeur' in the provisions of Article 1244, Article 1245, Article 1444 and Article 1445 of the Indonesian Civil Code which at the same time shows that the Indonesian Civil Code actually emphasize the need of equality (fairness) between the parties in an agreement. An agreement that made only based on the principle of freedom of contract has shown that such an agreement goes along with the atmosphere of inequality. Accordingly, an agreement without the basis of equality does not have an absolute binding effect because it is incompatible with good faith, justice and courteousness. Consequently, if the implementation of the agreement literally will actually produce injustice, than the judge has the authority to divert from the literal wording of an agreement by making adjustments of the clauses or terms and conditions contained therein and even cancel the entire agreement in order to restore the equality between the parties. It also shows that such practice has been applied by the court in Indonesia in a number of its decisions on cases relating to agreements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29261
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>