Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 224794 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harry Prawiro Tantry
"Latar belakang: Hysterosalpingo-foam sonography (HyFoSy), yang merupakan teknologi pemeriksaan patensi tuba yang baru dan bersifat bedside dengan nilai diagnostik yang lebih superior dan tingkat kenyamanan pasien yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan HSG, telah diperkenalkan dan diuji untuk pertama kalinya di Indonesia pada penelitian ini. Sekitar 15% pasangan suami istri mengalami subfertilitas dan masalah tuba berkontribusi pada 40 % subfertilitas di negara-negara Asia yang sedang berkembang. Alhasil, dibutuhkan modalitas evaluasi patensi tuba yang feasible dan ditoleransi dengan baik yang dapat disebar secara merata di daerah geografis Indonesia yang luas demi akses yang dini dan mudah terhadap penanganan subfertilitas. Hal ini dapat diwujudkan oleh utilisasi HyFoSy yang merupakan prosedur bedside selama sekitar 10 menit yang hanya membutuhkan mesin USG transvaginal dan kit busa ExEm yang mengandung hidroksietilselulosa-gliserol.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah HyFoSy dapat menggantikan HSG sebagai lini pertama evaluasi patensi tuba pada pasien subfertilitas di RSCM dengan meneliti tingkat kesesuaian dan efek samping antara kedua prosedur tersebut.
Metode: Dua puluh pasien subfertilitas di RSCM telah direkrut secara convenience dari bulan Januari 2018 hingga Januari 2019 yang menjalani kedua prosedur HSG dan HyFoSy dengan interval minimal 48 jam. Data terkait patensi tuba dan efek samping yang ditimbulkan dalam 24 jam pasca prosedur dikumpulkan dan dibandingkan.
Hasil: Pada penelitian ini telah direkrut 20 sampel pasien subfertilitas (40 tuba fallopi). Pada 2 subjek, stenosis ostium uteri interna diidentifikasi pada prosedur HyFoSy. Dari 36 tuba falopi yang tersisa yang menjalani evaluasi patensi tuba yang adekuat dengan HSG dan HyFoSy, kesesuaian terlihat pada 81% kasus dengan nilai kappa 0,42 yang merupakan kesesuaian moderat. Rasa nyeri yang diukur dengan menggunakan skor VAS menunjukkan rasa nyeri yang lebih rendah secara signifikan (p <0,001) pada prosedur HyFoSy dengan nilai VAS 1,8 ± 1,4 bila dibandingkan dengan rasa nyeri pada prosedur HSG dengan nilai VAS 5,4 ± 2,4. Tujuh dari 20 pasien mengalami efek samping akibat HSG, seperti kram perut, bercak dari jalan lahir, sakit punggung, dan kembung, dibandingkan dengan hanya satu subjek yang mengeluhkan bercak dari jalan lahir akibat HyFoSy. Tidak ada reaksi hipersensitifitas yang diamati pada semua subjek selama prosedur HSG dan HyFoSy.
Kesimpulan: Dengan tingkat kesesuaian moderat sebesar 81% (nilai kappa 0,42) serta tingkat nyeri yang secara signifikan lebih rendah (p < 0,001), maka HyFoSy dapat menjadi alternatif pengganti HSG sebagai lini pertama pemeriksaan patensi tuba pada pasien subfertilitas di RSCM maupun di daerah-daerah lain di Indonesia yang tidak memiliki fasilitas HSG.

Background: Hysterosalpingo-foam sonography (HyFoSy), a recent bedside tubal patency evaluation technology with superior diagnostic value and patinet:s acceptability as compared to HSG had been introduced and tested for the first time in Indonesia in this study. Subfertility was found in approximately 15% of couples and 40% of cases was attributed to tubal factor in developing Asian countries. Therefore, there is a need in the geographically scattered Indonesia to possess a feasible and well tolerated tubal patency examination modality for earlier and easier access to subfertility management. This need can be addressed by utilizing HyFoSy that was a 10 minute bedside procedure that only requires transvaginal ultrasonography machine and ExEm foam kit containing hydroxyethylcellulose-glycerol.
Aim: To evaluate whether hysterosalpingo-foam sonography (HyFoSy) can replace HSG as first-line evaluation for tubal patency in subfertile Indonesian patients by evaluating agreement level and comparing patients’ subjective complaints.
Methods: Twenty subfertile female patients at Ciptomangunkusumo Central General Referral Hospital (RSCM) from January 2018 to January 2019 were recruited conveniently to undergo both HSG and subsequent two-dimensional transvaginal HyFoSy after a minimum interval of 48 hours. Data on tubal patency and side effects inflicted by each examination within 24 hour was collected.
Results: There were 20 subjects enrolled in this study. In 2 subjects, stenosis of internal uterine ostium was identified on HyFoSy procedure. Out of 36 remaining tubes undergoing adequate tubal patency evaluation by HSG and HyFoSy, agreement was seen in 81% cases (kappa value 0.42). Less pain (p<0.01) was experienced in HyFoSy as compared to HSG, with mean VAS of 1.8±1.4 cm and 5.4±2.4 cm, respectively. Seven of 20 patients experienced side effects due to HSG, such as abdominal cramp, spotting, backache, and bloating, in contrast to only one subject experiencing spotting due to HyFoSy. There was no hypersensitivity reaction observed in all subjects during HSG and HyFoSy procedure.
Conclusions: In terms of evaluating tubal patency, HyFoSy had an moderate agreement with HSG with agreement in 81% cases with kappa value of 0.42. HyFoSy was shown to cause significantly less pain (p < 0.001) and cause less side effects compared to HSG. Therefore, HyFoSy may be an alternative to replace HSG as the first line tubal patency examination for subfertility patients in RSCM or other areas in Indonesia with difficult access to HSG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nessyah Fatahan
"Latar Belakang : Karena rumitnya etiologinya, infertilitas merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi yang paling sering diabaikan. Menurut penelitian epidemiologi, penyakit tuba fallopi menyumbang 40% dari kasus infertilitas, sehingga pemeriksaan tuba fallopi menjadi langkah wajib dalam pemeriksaan subfertilitas. Karena kemampuannya untuk melihat dan menangani patologi intrakaviter, histeroskopi di klinik menjadi kebutuhan dalam pemeriksaan subfertilitas tingkat lanjut. Beberapa penelitian telah menunjukkan bukti bahwa prosedur ini mampu menilai patensi tuba dengan akurasi yang tidak konsisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan histeroskopi di klinik dalam penilaian patensi tuba dibandingkan dengan histerosalpingografi.
Tujuan: Untuk mengevaluasi akurasi office histeroskopi dalam penilaian patensi tuba
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan dari Januari 2021 hingga Mei 2023, melibatkan 26 subjek yang menjalani prosedur histeroskopi untuk pemeriksaan subfertilitas. Patensi tuba dievaluasi dengan uji gelembung (uji Parryscope) dan pengukuran perubahan jumlah cairan di kavum Douglas setelah histeroskopi. Pada semua subjek, histerosalpingografi selanjutnya dilakukan sebagai metode standar. Hasil penilaian patensi tuba dengan histeroskopi dan histerosalpingografi dievaluasi untuk nilai kesesuaian dan kappa, sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif. Perbandingan tingkat nyeri selama prosedur dan gejala pasca prosedur juga dianalisis.
Hasil : Kesesuaian antara dua modalitas dalam menilai patensi tuba adalah 67% (sedang) dengan nilai kappa 0,28 (cukup). Office histeroskopi menghasilkan lebih sedikit rasa sakit dan insiden nyeri punggung bawah dan perut kembung pasca-prosedur yang lebih kecil.
Kesimpulan: Office Histeroskopi memiliki akurasi yang cukup untuk menilai patensi tuba dibandingkan dengan histerosalpingografi dengan rasa sakit minimal dan tidak ada efek samping yang serius.

Background: Due to the intricacy of its etiology, infertility is one of the most overlooked reproductive health problems. According to an epidemiological research, tubal diseases account for 40% of infertility cases, prompting examination of the fallopian tubes as a mandatory step in subfertility work up. Due to its capacity to see and treat intracavitary pathologies, office hysteroscopy has become a necessity in advanced subfertility work up. Several studies have shown evidence that this procedure is able to assess tubal patency with inconsistence accuracy. This study is aimed to evaluate the use of office hysteroscopy in tubal patency assessment in comparison to hysterosalpingography.
Objective: To evaluate the accuracy of office hysteroscopy in tubal patency assessment
Method: This study is a cross-sectional study that was conducted from January 2021 to May 2023, involving 26 subjects who underwent office hysteroscopy procedure for subfertility work up. Tubal patency was evaluated by bubble test (Parryscope test) and measuring changes in fluid amount in pouch of Douglas after office hysteroscopy. In all subjects, hysterosalpingography was subsequently performed as a standard method. The result of tubal patency assessment by office hysteroscopy and hysterosalpingography was evaluated for their agreement and kappa values, sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value. A comparison of pain level during procedure and post-procedure symptoms was also analyzed.
Results: The concordance between two modalities in assessing tubal patency was 67% (moderate) with a kappa value of 0.28 (sufficient). Office hysteroscopy generated less pain and smaller incidence of post procedure lower back pain and abdominal bloating.
Conclusion: Office hysteroscopy has a sufficient accuracy for assessing tubal patency compared to hysterosalpingography with minimal pain and no serious side effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sheby Tesya Deanira
"Latar belakang: Kejadian subfertil di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi pasangan subfertil mencapai 15-25% dari seluruh pasangan. Kondisi ini berpengaruh pada kondisi psikis (gejala psikopatologi) seseorang dimana diperlukan tata laksana yang sesuai agar kesehatan mental pasien subfertil dapat ditingkatkan.
Tujuan: Mengetahui kecenderungan gejala psikopatologi pada pasien subfertil di
RSCM beserta faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.
Metode: Studi ini menggunakan uji potong lintang dengan kuesioner Symptom
Checklist-90 (SCL-90) secara daring dan luring di Poli Endokrin RSCM sejak 5-
18 Oktober 2020. Data yang didapat kemudian diolah menggunakan SPSS versi
20 dan dilakukan uji analisis memakai Fisher’s Exact Test. Skor kasar yang
didapat dari kuesioner diubah menjadi t-score dan kemudian dikelompokan sesuai
gejala psikopatologinya.
Hasil: Setiap pasien dapat memiliki gejala psikopatologi lebih dari satu. Diantara 60 responden terdapat 7 pasien yang mempunyai gejala psikopatologi, dengan 5 orang mengalami somatisasi, 4 orang mendapati obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal, depresi, dan ide paranoid, 3 orang mengalami kecemasan, kecemasan fobia, psikotik, dan tambahan, serta hanya 2 orang yang mempunyai hostilitas. Didapatkan hubungan gejala psikopatologi dengan usia (OR=1.081; IK95%=0.189-6.169), status pekerjaan (OR=0.448; IK95%=0.080-2.518), dan status gizi (OR=0.815; IK95%=0.087-7.617) tidak signifikan secara statistik (nilai p >0.05).
Simpulan: Prevalensi gejala psikopatologi terbesar adalah somatisasi (71.4%)
dengan usia >30 tahun sebagai faktor risiko, serta bekerja dan IMT ≥ 30 sebagai
faktor protektif.

Background: The incidence of subfertility in Indonesia continues to increase
every year. Based on Riskesdas 2013, the prevalence of subfertile couples reached
15-25% of all couples. This condition affects the psychological condition
(psychopathological symptoms) of a person where appropriate management is
needed so that the mental health of subfertile patients can be improved.
Objectives: To determine the profile of subfertile patients’ psychopathological
symptoms in RSCM and its predispose factors.
Methods: This is a cross-sectional study with the Symptom Checklist-90 (SCL-90)
questionnaire that was given online and offline at the RSCM Endocrine Clinic
from 5-18 October 2020. The data obtained were processed using SPSS version
20 and analyzed using Fisher's Exact Test. The obtained score from the
questionnaire were converted into t-scores and then classified according to their
psychopathological symptoms.
Results: Each patient can have more than one psychopathological symptom.
Among the 60 respondents there were 7 patients who had psychopathological
symptoms, with 5 people experiencing somatization, 4 people experiencing
obsessive-compulsivity, interpersonal sensitivity, depression, and paranoid
ideation, 3 people experiencing anxiety, phobic anxiety, psychotic, and additional
items, and only 2 people which have hostility. It was found that the relationship
between psychopathological symptoms and age (OR=1.081; CI95%=0.189-6.169),
occupation status (OR=0.448; CI95%=0.080-2.518), and nutritional status
(OR=0.815; CI95%=0.087-7.617) was not statistically significant (p value > 0.05).
Conclusion: The biggest prevalence of psychopathological symptoms was
somatization (71.4%) which age >30 years old affect as a risk factor, while working and BMI ≥ 30 as protective factors.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Stephanus
"Glaukoma primer merupakan glaukoma yang paling sering muncul, dan trabekulektomi merupakan tatalaksana operatif lini pertamanya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbandingan bagaimana trabekulektomi menurunkan tekanan intraokular pada kedua bentuk glaukoma primer dalam jangka waktu antara 1-6 bulan. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang, yaitu dengan mengambil data sekunder dari rekam medik pasien berupa data pra-intervensi dan pasca intervensi dalam waktu yang sama. Intervensi adalah trabekulektomi. Waktu antara pasca trabekulektomi dengan trabekulektomi dilaksanakan minimal 1 bulan dan maksimal 6 bulan. Peneliti mengambil 90 pasien sebagai sampel, 38 di antaranya adalah pasien POAG dan 52 lainnya pasien PACG. Melalui trabekulektomi, penurunan tekanan intraokular pada PACG lebih besar dibandingkan pada POAG. Namun penurunan tekanan intraokular hasil trabekulektomi pada pasien POAG dibandingkan dengan pasien PACG tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Penelitian selanjutnya membutuhkan tekanan intraokular pra-operasi yang cenderung sama untuk mengetahui hasil yang lebih objektif.

Primary glaucoma is the most common form of glaucoma, and trabeculectomy is the first line for operative management for it. This research is intended to find out the comparison between how trabeculectomy lower intraocular pressure in both kinds of primary glaucoma patients within a short period 1 6 months . This research uses cross sectional design by taking secondary data from glaucoma patients rsquo medical record and seeing the intraocular pressure before and after trabeculectomy at the same time. The time between the post operation data and the operation is a month at minimum and six months at most. Researcher took 90 patients as samples, 38 are POAG patients and the other 52 are PACG patients. The result shows that the intraocular pressure lowering effect trabeculectomy in PACG patients is bigger than in POAG patients. The difference of intraocular pressure lowering effect by trabeculectomy among PACG patients is not significant compared to POAG patients. The upcoming research will need the same pra operation intraocular pressure patients to objectify the results more.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anne Suwan Djaja
"Latar Belakang : Akumulasi cairan yang telah terjadi pasien sepsis dan diperberat oleh resusitasi cairan memiliki dampak buruk terhadap organ ginjal (sepsis related kidney injury). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini ingin menilai efektivitas deresusitasi dini menggunakan furosemide terhadap kejadian AKI pada pasien sepsis dengan menggunakan pNGAL sebagai parameter AKI. Metode : Penelitian ini menggunakan desain uji klinis acak tersamar ganda, yang dilakukan pada pasien sepsis di ICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada periode Juli – Desember 2023. Kadar pNGAL diperiksa pada jam ke-0 dan ke-48 jam perawatan ICU. Sebanyak 40 subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 20 pasien pada kelompok perlakuan diberikan injeksi furosemide kontinyu 2 mg/jam, dan 20 pasien pada kelompok kontrol diberikan injeksi placebo 2 mL/jam. Hasil : Ditemukan kadar pNGAL telah meningkat sejak awal perawatan di ICU pada semua subjek. Tidak terdapat perbedaan bermakna selisih kadar pNGAL jam ke-0 dan ke-48 (p=0,146). Ditemukan penurunan kadar pNGAL yang cukup besar pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kadar laktat, TVS, lama perawatan ICU, lama penggunaan ventilator pada kedua kelompok tidak ditemukan berbeda bermakna. Rerata balans cairan pada jam ke-24 ditemukan lebih rendah pada kelompok intervensi (-391,01 ± 871,59 mL vs. 586,90 ± 1382 mL, p=0,016). Proporsi subjek yang menerima terapi pengganti ginjal dan mengalami kematian dalam 28 hari juga tidak berbeda signifikan. Simpulan : Penggunaan furosemide bermanfaat untuk mengurangi akumulasi cairan dalam 24 jam pertama perawatan sehingga menghambat progresifitas kerusakan tubulus ginjal pada pasien SAKI.

Background: Fluid accumulation occurs in septic patients and is increased by fluid resuscitation, causing kidney damage. This study aimed to determine the effectiveness of early deresuscitation with furosemide on the incidence of AKI in sepsis patients using pNGAL as an AKI parameter. Methods: This study used a double-blind, randomized clinical trial design conducted on sepsis patients in the ICU at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) in July – December 2023. pNGAL levels were measured at the first and 48th hours of ICU care. A total of 40 participants were divided into two groups: 20 patients in the treatment group were given continuous furosemide injections at a rate of 2 mg/hour, while 20 patients in the control group were given placebo injections of 2 mL/hour. Results: pNGAL levels had increased since all subjects started treatment in the ICU. There was no difference in changes of pNGAL levels at 0 and 48 hours (p=0.146). A trend of reduction in pNGAL levels was found in the intervention group compared to the control group. Lactate levels, TVS, length of ICU stay, and length of ventilator use in the two groups were not found to be significantly different. Fluid at 24 hours was lower in the intervention group (-391.01 ± 871.59 mL vs. 586.90 ± 1382 mL, p=0.016). The proportion of participants who underwent renal replacement therapy and died within 28 days showed no significant difference. Conclusion: Furosemide effectively lowers fluid accumulation in the first 24 hours of therapy, slowing the course of renal tubular injury in SAKI patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif Mustika Harinurdi
"ABSTRAK
Latar Belakang : penggunaan trauma skor dapat menentukan penanganan pasien trauma
dengan cepat dan tepat sehingga menurunkan mortalitas hingga 25%. Tujuan : untuk
mengetahui perbandingan performa skoring GAP dengan TRISS dalam memprediksi
mortalitas pasien trauma IGD RSCM Januari-Desember 2013. Desain Penelitian : studi
cross sectional dengan sampel Rekam Medik pasien trauma IGD RSCM. Hasil penelitian :
skor GAP memiliki nilai sensitifitas 80% dan spesitifitas 98,8% Kesimpulan : skor
GAP sangat baik untuk prediksi pasien trauma yang hidup tetapi kurang baik untuk
menentukan prediksi mortalitas pasien trauma di IGD RSCM

ABSTRACT
Title: The comparison of performance between GAP and TRISS Scoring in the
prediction of mortality of trauma patients in the Emergency Room of RSCM from
January until December 2013
Background: The use of trauma scoring can speed up the handling of trauma patients
in order to reduce mortality of patients by up to 25%
Objective: to know how the result of the performance between GAP and TRISS
scoring in the prediction of mortality of trauma patients.
Study design: cross sectional study which the sample was taken from Medical
Records. of trauma patiens for 1 year. Result: showed that the sensitivity GAP value
of 80% and 99,8% for specificity. Conclution: the GAP is very goog for determining
the prediction of life but not good enough for the prediction of mortality of trauma
patients in emergency room of RSCM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikrar Syahmar
"Latar belakang: Derajat inflamasi dikaitkan dengan progresivitas kanker payudara metastasis berdasarkan subtipenya terutama Triple Negatif (TN). NLR yang menunjukkan derajat inflamasi dan subtipe kanker payudara metastasis juga dikaitkan dengan kesintasan pasien. Data yang ada saat ini terkait hubungan NLR dan subtipe kanker payudara metastasis masih terbatas.
Tujuan: Mengetahui perbedaan nilai NLR pasien kanker payudara metastasis triple negatif dan non triple.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien kanker payudara metastasis yang berobat di RSCM pada 2017-2023. Pasien yang memiliki kanker ganda, penyakit akut, dan pansitopenia yang berhubungan dengan sebaran tulang luas diekslusi pada penelitian ini. Data sekunder diambil dari rekam medis secara konsekutif. Uji non parametrik Kruskal-Wallis dilakukan untuk melihat hubungan nilai NLR saat terdiagnosis kanker payudara metastasis dengan subtipe molekular TN dan non TN.
Hasil: Dari 242 subjek penelitian, terdapat 14,5% pasien kanker payudara metastasis yang memiliki subtipe TN, sedangkan subtipe non-TN secara berturut HER2 dan luminal sebesar 11,2% dan 74,4%. Perbandingan NLR antara subtipe TN dan non-TN tidak berbeda secara bermakna pada pasien kanker payudara metastasis (p = 0,457). Faktor klinikopatologi yang ditemukan berhubungan dengan nilai NLR adalah metastasis otak (p <0,001) dan status performa (p = 0,001).
Kesimpulan: Nilai NLR tidak berbeda antar subtipe TN dan non-TN pada kanker payudara metastasis.

Background: The degree of inflammation was associated with the progressivity of metastatic breast cancer based on its subtypes especially triple-negative breast cancer (TNBC). NLR indicating the degree of inflammation and subtype of metastatic breast cancer is also associated with patient survival. Current data on the relationship between NLR and metastatic breast cancer subtypes is limited.
Objective: To investriplete the difference in NLR between triple-negative and non-triple-negative metastatic breast cancer patients.
Method: A cross-sectional study was conducted on metastatic breast cancer patients who received treatment at RSCM from 2017 to 2023. Patients who had multiple cancers, acute illness, and pancytopenia associated with extensive bone distribution were excluded from this study. Secondary data were consecutively taken from medical records. A non-parametric (Kruskal-Wallis) test was performed to see the association of NLR value at diagnosis of metastatic breast cancer with molecular subtype TN and non-TN.
Results: Of the 242 study subjects, 14.5% of patients had TN subtypes, while non-TN subtypes were HER2 and luminal at 11.2% and 74.4%, respectively. NLR was not significantly associated with the molecular subtype (p = 0.457). Clinicopathologic factors found to be associated with NLR values were brain metastasis (p < 0.001), and performance status (p = 0.001).

Conclusion: NLR was not associated with the molecular subtype of metastatic breast cancer.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Adhiguna
"Kondisi multipatologi pada pasien geriatri dapat mengakibatkan polifarmasi, interaksi obat, dan peresepan yang tidak sesuai. Penghambat pompa proton adalah salah satu obat yang sering diresepkan pada pasien geriatri. Evaluasi penggunaan obat diperlukan untuk meningkatkan ketepatan dan keefektifan peresepan penghambat pompa proton terutama pada pasien geriatri. Penelitian ini merupakan studi retrospektif deskriptif. Sampel yang digunakan adalah data rekam medik pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat inap geriatri RSCM dalam periode Januari hingga Juni 2015. Penelitian ini menganalisa besar penggunaan penghambat pompa proton menggunakan sistem Anatomical Therapeutic Chemical Defined Daily Dose (ATC/DDD) dan perbandingannya dengan penelitian lain. Hasil penelitian menunjukkan 60,2% pasien menggunakan penghambat pompa proton yang 96,4% diantaranya adalah omeprazol. Rute pemberian yang paling dominan adalah intra vena (89,3%). Besar penggunaan penghambat pompa proton 33,79 DDD/100 bed-days. Dibandingkan dengan prevalensi GERD sebagai indikasi obat ini, nilai DDD/100 bed-days penghambat pompa proton lebih tinggi. Hal ini memperlihatkan penggunaan penghambat pompa proton yang berlebihan pada pasien geriatri.

Multipathologic conditions in geriatric patients can lead to polypharmacy, drug interactions, and irrational prescribing. Proton pump inhibitors are one of the most prescribed drug in geriatric patients. Evaluation of the use of the drug is needed to improve the provision and effectiveness of proton pump inhibitors prescription, especially in geriatric patients. This study is a retrospective descriptive study. The samples were taken from geriatric patient medical records during the period of January to June 2015 in inpatient geriatric ward RSCM. This study analyzes quantitatively the use of proton pump inhibitors using the Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose system (ATC / DDD) and compare it with other studies. The results showed that 60.2% of patients used proton pump inhibitors, 96.4% of which was omeprazole. The most dominant route of administration was IV (89.3%). The total use of proton pump inhibitors is 33.79 DDD / 100 bed-days. Compared with the prevalence of GERD as an indication of this drug , the value of proton pump inhibitors DDD / 100 bed ?days is higher. This shows the utilization of a proton pump inhibitor was excessive in geriatric patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meliana Siswanto
"Latar Belakang: Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan salah satu komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Salah satu terapi yang penting pada KAD ialah resusitasi cairan. Protokol KAD yang ada selama ini menggunakan parameter makrosirkulasi, sedangkan pada KAD juga dapat terjadi disfungsi mikrosirkulasi. Protokol Early Goal Directed Therapy (EGDT) menggunakan parameter mikrosirkulasi untuk menggambarkan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen jaringan. Penelitian kali ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan resusitasi cairan antara kelompok KAD yang menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT dengan skor MSOFA sebagai parameter keberhasilan tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar tunggal dengan randomisasi pada pasien KAD di IGD RSCM pada bulan Desember 2013 sampai Maret 2014. Pasien dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok EGDT berdasarkan tabel randomisasi, kemudian masing-masing kelompok diresusitasi cairan menggunakan protokol konvensional dan protokol EGDT. Kedua kelompok mendapatkan terapi KAD lainnya yang sama. Skor MSOFA dihitung pada jam ke-0, jam ke-6 dan jam ke-72 perawatan.
Hasil: Sebanyak 26 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini, dengan 13 subjek di masing-masing kelompok. Tidak didapatkan perbedaan skor MSOFA yang bermakna diantara kedua kelompok pada jam ke-6 dan jam ke-72, namun berdasarkan sebarannya, skor MSOFA di kelompok EGDT lebih menurun dibandingkan kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan tingkat mortalitas selama 28 hari di kedua kelompok (RR 0,333; IK 95% 0,04-2,801; p = 0,593).

Background: Diabetic ketoacidosis (DKA) is one of the serious complication of diabetes mellitus (DM) with high mortality rate . One important therapy in DKA is fluid resuscitation. DKA protocol that recently used, is guided by macrocirculation parameters, whereas microcirculation dysfunction can occur in DKA. Early Goal Directed Therapy Protocol (EGDT) uses microcirculation parameters to describe the balance of tissue oxygen supply and demand. The aim of this study aimed to compare the success of DKA fluid resuscitation between the groups using conventional protocols and EGDT protocol with MSOFA score as the parameter.
Methods: This study was a single-blind randomized clinical trial of DKA patients in the Emergency Room of Ciptomangunkusumo Hospital from December 2013 to March 2014. Patients were divided into control and EGDT group based on computerized randomization, then each group was resuscitated using a conventional and EGDT protocol. Both groups received the same other DKA treatment. MSOFA score is calculated at the beginning of this study, 6th hour and 72nd hour.
Results: A total of 26 subjects enrolled in this study, with 13 subjects in each group. There were no significant differences between the two groups in the 6th and 72nd hour, but based on the distribution, MSOFA score in EGDT group was more decreased compared to the control group. There were no significant differences of the mortality within 28 days between two groups (RR 0.333; 95 % CI 0.04- 2.801, p = 0.593).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Anindya Tyagitha
"Latar belakang : Angka kejadian infertilitas di Indonesia diperkirakan kurang lebih mencapai 6% atau terdapat kurang lebih 3-4,5 juta pasangan yang mengalami kesulitan mempunyai keturunan. Pada tahun 2012 dilaporkan bahwa 28,4% siklus merupakan transfer embrio beku dibandingkan pada tahun 2003 dimana dilaporkan siklus embrio beku dilakukan hanya 16,1% pada program Fertilisasi In Vitro (FIV). Walaupun transfer embrio beku telah semakin sering dilakukan, tetapi metode untuk persiapan endometrium yang paling efektif, antara alamiah atau artifisial, masih belum diketahui secara jelas. Tahap persiapan endometrium sebelum transfer embrio merupakan tahap yang sangat penting dalammencapai reseptivitas endometrium dan keberhasilan kehamilan. Tujuan : Mengetahui luaran program FIV pada transfer embrio beku dengan metode alamiah dan artifisial di Klinik Yasmin, RSCM Kencana. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan menggunakan metode uji potong lintang, periode 1 Januari 2011-31 Desember 2018. Pengambilan sampel dengan cara total sampling. Subjek penelitian ini merupakan seluruh wanita yang mengikuti FIV dengan tranfer embrio beku yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang dilakukan di RSCM. Data yang didapatkan dianalisis secara bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahui angka implantasi dan kehamilan pada transfer embrio beku dengan metode alamiah dan artifisial. Hasil : Dari 147 subyek yang memenuhi kriteria penelitian, didapatkan 19 subyek menjalani persiapan endometrium dengan metode alamiah dan 128 menjalani persiapan endometrium dengan metode artifisial. Angka implantasi metode alamiah vs metode artifisial (32 % vs 29%); angka kehamilan biokimiawi (89,5% vs 53,1%; p < 0,05); angka kehamilan klinis (42,1% vs 34,4%; p > 0,05); serta angka kehamilan lanjutan (36,8% vs  28,9%; p > 0,05). Kesimpulan :  Persiapan endometrium secara alamiah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terjadinya implantasi dan kehamilan biokimiawi dibandingkan persiapan secara artifisial. Sedangkan angka kehamilan klinis dan kehamilan lanjutan tidak berbeda bermakna. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menambah besar sampel, terutama pada kelompok persiapan endometrium secara alamiah.

Background : Infertility incidence in Indonesia is estimated to reach approximately 6% or approximately 34.5 million couples who have difficulty having children. In 2012 it was reported that 28.4% of cycles were frozen embryo transfers compared to 2003 where it was reported that only frozen embryo cycles performed only 16.1% in the In Vitro Fertilization (FIV) program. Although frozen embryo transfers have increasingly been done, the most effective method for endometrium, between natural or artificial, is still not clearly known. The endometrial preparation stage before embryo transfer is a very important stage in achieving endometrial receptivity and the success of pregnancy. Objective : Knowing the outcome of the FIV program on frozen embryo transfer using natural and artificial methods at the Yasmin Clinic RSCM Kencana. Methods : This research was an restropective analytical study using a cross-sectional test method for the period of January 1, 2011-December 31, 2018. Sampling by total sampling. The subjects of this study were all women who took part in FIV with frozen embryo transfer that met the inclusion and exclusion criteria performed at RSCM. The data obtained were analyzed bivariately using the chi-square test to determine implantation and pregnancy rates in frozen embryo transfer using natural and artificial methods. Results : 1 47 subjects who met the study criteria, 19 subjects underwent endometrial preparation by natural methods and 128 were subjects who underwent endometrial preparation by artificial methods. The rate of implantation of natural methods vs. artificial methods (32% vs 29 %); biochemical pregnancy rates (89,5% vs 53,1%; p < 0,05); clinical pregnancy rate (42,1% vs 34,4%; p > 0,05) and on going  pregnancy rates (36.8% vs 2 8,9%; p > 0,05). Conclusion : Natural endometrial preparations have a higher tendency for implantation and biochemical pregnancy, while  clinical pregnancy rate and on going pregnancies not significantly difference. Further research is needed to increase sample size, especially in natural preparation group."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>