Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180333 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christianto
"Pendahuluan Fascioliasis merupakan infeksi parasit Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica yang tergolong infeksi tropis yang terabaikan, tetapi mulai mendapatkan perhatian di seluruh dunia. Data prevalensi fascioliasis manusia di Indonesia masih minim dan hubungannya dengan usia maupun jenis kelamin masih belum jelas. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia dan jenis kelamin terhadap seroprevalensi fascioliasis manusia di Desa Karang Indah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Metode Seratus sepuluh sampel plasma yang dipilih secara acak, berasal dari penduduk Desa Karang Indah. Antibodi IgG anti-FhSAP2 dideteksi pada sampel plasma menggunakan ELISA. Usia dan jenis kelamin merupakan data sekunder. Usia dikelompokkan berdasarkan 2 kategori (anak dan dewasa) dan 4 kategori (5- 10, 11-20, 21-35, dan >35 tahun).
Hasil Studi ini menunjukkan bahwa seroprevalensi fascioliasis manusia di Desa Karang Indah sebesar 10,9%. Seroprevalensi fascioliasis tertinggi pada kelompok anak (14%) terutama pada usia 11-20 tahun (14,3%) dan terendah pada usia di atas 35 tahun (4,3%) walaupun tidak ditemukan perbedaan signifikan antar kelompok usia. Kelompok laki-laki (14,9%) memiliki seroprevalensi fascioliasis lebih tinggi, tetapi tidak berbeda bermakna dengan kelompok perempuan (7,9%). Kesimpulan Temuan pada studi ini menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak berhubungan secara signifikan dengan seroprevalensi fascioliasis di Desa Karang Indah. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencari faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap seroprevalensi fascioliasis seperti perilaku, budaya, sanitasi, dan diet.

Introduction Fascioliasis is a parasitic infection caused by Fasciola hepatica and Fasciola gigantica which is classified as a neglected tropical disease, but it has recently gained significant attention all over the world. Data on the prevalence of human fascioliasis in Indonesiais lacking and its association with age and gender is still unclear. This study aims to determine the association between age and gender with the seroprevalence of human fascioliasis in Karang Indah Village, Southwest Sumba District, East Nusa Tenggara
Methods One hundred and ten plasma samples were randomly selected from villagers of Karang Indah. Anti-FhSAP2 IgG antibodies in plasma samples were detected with ELISA. Age and gender were obtained as secondary data. Age was grouped into 2 categories (children and adult) and 4 categories (5-10, 11-20, 21- 35, and >35 years).
Results This study demonstrated that the seroprevalence of human fascioliasis in Karang Indah Village was 10.9%. The highest seroprevalence was in children (14%) especially in the age group of 11-20 years old (14.3%), and lowest in the age group above 35 years old (4,3%); however no significant differences were found between the age groups. The males (14,9%) had a higher seroprevalence, but it was not significantly different from the females (7.9%).
Conclusion The findings in this study suggested that age and sex were not significantly related to the seroprevalence of human fascioliasis in Karang Indah Village. Further study is needed to find other factors that may affect seroprevalence of fascioliasis such as behaviour, culture, sanitation, and diet.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davin Nathan Wijaya
"Pendahuluan: Toksokariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit Toxocara canis dan Toxocara cati dengan inang definitif anjing dan kucing domestik. Infeksi pada manusia terjadi melalui ingesti telur matang. Manifestasi klinis toksokariasis meliputi visceral larva migrans dan ocular larva migrans. Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang berisiko terhadap infeksi Toxocara karena populasi anjing yang cukup tinggi. Namun, belum terdapat penelitian mengenai seroprevalensi toksokariasis di daerah ini. Selain itu, penelitian mengenai hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan seroprevalensi toksokariasis juga menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui seroprevalensi toksokariasis dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin di Desa Karang Indah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Metode: Sebanyak 110 sampel plasma dipilih secara acak dari sampel darah penduduk Desa Karang Indah yang dikumpulkan pada bulan Oktober 2016 – Desember 2016. Sampel plasma yang terpilih diuji menggunakan ELISA untuk mendeteksi antibodi IgG anti rTc-CTL-1 dengan hasil berupa nilai absorbansi (OD). Data sekunder, berupa usia dan jenis kelamin, didapat dari Tim Peneliti Departemen Parasitologi FKUI. Data usia dikelompokkan ke dalam dua kategori (anak-anak dan dewasa) dan empat kategori (5-10, 11-20, 21-35, dan >35 tahun).
Hasil: Penelitian ini menunjukkan seroprevalensi toksokariasis di Desa Karang Indah sebesar 80,91%. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan jenis kelamin dengan seroprevalensi toksokariasis (p>0,05). Seroprevalensi toksokariasis tertinggi terdapat pada kelompok usia >35 tahun (91,3%) dan terendah pada kelompok 11-20 tahun (52,4%). Kelompok jenis kelamin laki-laki memiliki seroprevalensi toksokariasis yang lebih tinggi (85,1%) daripada perempuan (77,8%).
Kesimpulan: Seroprevalensi toksokariasis di Desa Karang Indah tergolong tinggi. Usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap seroprevalensi toksokariasis. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko selain usia dan jenis kelamin.

Introduction: Toxocariasis is a disease caused by parasitic worms, Toxocara canis and Toxocara cati, with domestic dogs and cats as the definitive hosts. Human infections occur through ingestion of mature eggs. Clinical manifestations of toxocariasis include visceral larva migrans and ocular larva migrans. East Nusa Tenggara is an area that is at risk of Toxocara infection because the dog population is quite high. However, there has been no study regarding the seroprevalence of toxocariasis in this area. In addition, the researches on the association between age and gender with the seroprevalence of toxocariasis also showed inconsistent results. Therefore, this study aimed to determine the seroprevalence of toxocariasis and its association with age and gender in Karang Indah Village, Southwest Sumba Regency, East Nusa Tenggara.
Method: A total of 110 plasma samples were randomly selected from blood samples of people in Karang Indah Village collected between October 2016 – December 2016. Selected plasma samples were tested using ELISA to detect anti- rTc-CTL-1 IgG antibodies with the results in the form of absorbance values (OD). Age and gender as secondary data were obtained from the Research Team of the Parasitology Department of FMUI. Age data are grouped into two categories (children and adults) and four categories (5-10, 11-20, 21-35, and >35 years of age).
Result: This study showed that the seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah Village was 80.91%. There was no significant association between age and gender with the seroprevalence of toxocariasis (p>0.05). The highest seroprevalence of toxocariasis was found in the age group of >35 years (91.3%) and the lowest in the 11-20 years group (52.4%). The males had a higher seroprevalence of toxocariasis (85.1%) than women (77.8%).
Conclusion: The seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah Village was high. Age and gender had no effect on the seroprevalence of toxocariasis. Further research needs to be done to identify risk factors besides age and gender.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony William Brian Iskandar
"Pendahuluan: Taeniasis, infeksi cacing pita Taenia spp., merupakan penyakit yang masih endemik di beberapa daerah di Indonesia. Data prevalensi taeniasis Taenia solium di Kabupaten Sumba Barat Daya, Propinsi Nusa Tenggara Timur belum tersedia, sedangkan masyarakatnya diketahui memiliki ternak babi dan mempunyai kebiasaan mengonsumsi daging yang tidak matang, yang dapat meningkatkan risiko paparan terhadap larva T. solium. Uji serologi menggunakan metode ELISA diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan pemeriksaan mikroskopis, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosis taeniasis T. solium. Studi ini bertujuan mendapatkan seroprevalensi taeniasis T. solium di sebuah desa di Kabupaten Sumba Barat Daya, beserta hubungan usia dan jenis kelamin terhadap positivitas IgG anti-rES33.
Metode: Sebanyak 110 sampel plasma diperiksa menggunakan metode ELISA untuk mendeteksi kadar antibodi IgG anti-rES33, yang dinyatakan dalam satuan absorbansi densitas optik (OD). Data usia dikelompokkan ke dalam 2 kategori (anak dan dewasa) dan 4 kategori (5-10, 11-20, 21-35, dan >35 tahun). Hasil: Seroprevalensi taeniasis T. solium pada sampel Desa Karang Indah ditemukan sebesar 17,3%. Hasil IgG anti-rE33 positif ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada kelompok anak-anak (26,4%) dibandingkan dewasa (8,8%) (p=0,014), dengan seroprevalensi tertinggi (25,6%) pada kelompok usia 5-10 tahun. Kelompok perempuan secara signifikan memiliki seroprevalensi yang lebih tinggi (23,8%) dibandingkan laki-laki (8,5%) (p=0,036).
Kesimpulan: Usia dan jenis kelamin berhubungan signifikan dengan seroprevalensi taeniasis T. solium pada sampel Desa Karang Indah. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme terkait usia dan jenis kelamin yang menyebabkan perbedaan tersebut.

Introduction: Taeniasis, a tapeworm infection caused by adult Taenia species, can be found endemic in several regions in Indonesia. Data on prevalence of Taenia solium taeniasis in Southwest Sumba Regency, East Nusa Tenggara is not available, even though most of its residents work as pig farmers and consume undercooked pork, which may increase exposure to T. solium larvae. Serologic test using ELISA method was found to be more sensitive and specific than miroscopic examination, thus useful for diagnosing T. solium taeniasis. The purpose of this study was to determine the seroprevalence of T. solium taeniasis in one of the villages in Southwest Sumba Regency, as well as its association with age and gender.
Methods: A total of 110 plasma samples were examined using ELISA method to detect the concentration of anti-rES33 IgG, expressed in optical density (OD). Subjects were divided into age groups of 2 (children and adults) and 4 categories (5-10, 11-20, 21-35, and >35 years old).
Results: Seroprevalence of T. solium taeniasis was found to be 17.3%. Seroprevalence was significantly higher among children (26.4%) compared to adults (8.8%) (p=0.014), the highest being in the 5-10 year-old category (25.6%). Seroprevalence was also higher among females (23.8%) compared to males (8.5%) (p=0.036).
Conclusion: Age and gender were significantly associated with the seroprevalence of T. solium taeniasis in the samples from Karang Indah Village. Further research is needed to determine mechanisms related to age and gender which cause this association.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vira Nur Arifa
"Introduksi: Toksokariasis dilaporkan dengan prevalensi tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Mengingat kurangnya sistem surveilans yang memadai, beban toksokariasis yang sebenarnya di Indonesia mungkin diabaikan. Sumba Barat Daya sebagai salah satu daerah endemis filariasis limfatik (LF), telah memulai pemberian obat massal (MDA) sejak tahun 2014. Namun, dampak regimen obat ini terhadap toksokariasis belum diketahui.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, sebagai bagian dari penelitian yang lebih besar “Studi Berbasis Komunitas Terapi 2 Obat versus 3 Obat untuk Limfatik Filariasis di Indonesia Bagian Timur”. MDA diberikan kepada masyarakat dengan kombinasi dosis tunggal albendazol (400 mg) dan dietilkarbamazin sitrat (6 mg/kgBB). Sampel diambil sebelum dan sesudah MDA masing-masing pada tahun 2016 dan 2017. Antigen protein rekombinan rTc-CTL-1 IgG spesifik diukur dengan ELISA sebelum dan sesudah MDA.
Hasil: Sebanyak 70 partisipan terlibat, terdiri dari 35 subjek perempuan dan 35 subjek laki-laki dengan median usia 26 (jangkauan interkuartil:11-40) tahun. Rentang median dan IQR IgG spesifik rTc-CTL-1 terhadap toksokariasis yang diukur pada awal dan setelah MDA masing-masing adalah 0,94 (0,57 – 1,59) dan 1,11 (0,43 - 1,67). Tidak ada perubahan signifikan dalam kadar IgG spesifik rTc-CTL-1 setelah MDA. Tingkat seropositivitas IgG spesifik rTc-CTL-1 tidak mengalami penurunan yang signifikan; penurunannya hanya 1,4%, dari 94,3% sebelum MDA menjadi 92,9% setelah MDA. Analisis tambahan menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak memiliki efek perancu pada perbedaan positif IgG antara dua titik waktu.
Konklusi: Regimen MDA untuk LF yang terdiri dari albendazol dan DEC tampaknya tidak berpengaruh signifikan terhadap seroprevalensi toksokariasis di desa Karang Indah, kabupaten Sumba Barat Daya. Di masa depan, disarankan untuk melakukan penelitian yang lebih besar dengan ukuran sampel yang lebih besar dan durasi penelitian yang lebih lama.

Introduction: Toxocariasis has been reported at high prevalences in low to middle-income countries. Given the lack of adequate surveillance systems, the actual burden of toxocariasis in Indonesia is likely to be overlooked. Sumba Barat Daya as one of endemic areas for lymphatic filariasis (LF), has started mass drug administration (MDA) since 2014. However, the impact of this drug regimen on toxocariasis is not known.
Methods: This research was a prospective study, as a part of the larger study “Community Based Study of 2-Drugs versus 3-Drugs Therapy for Lymphatic Filariasis in Eastern Indonesia”. MDA was given to the community with combination of a single dose of albendazole (400 mg) and DEC (6 mg/kgBW). Samples were taken before and after MDA in 2016 and 2017, respectively. Recombinant protein antigen rTc-CTL-1 specific IgG was measured by ELISA before and after MDA.
Results:  A total of 70 participants were involved, consisting of 35 female and 35 male subjects with median age of 26 (interquartile range: 11 – 40) years old. The median and IQR of rTc-CTL-1 specific IgG against toxocariasis measured at baseline and after MDA was 0.94 (0.57 – 1.59) and 1.11 (0.43 – 1.67), respectively. There was no significant change in levels of rTc-CTL-1 specific IgG after MDA. The seropositivity rate of rTc-CTL-1 specific IgG had no significant decrease; the decrease was only 1.4%, from 94.3% before MDA to 92.9% after MDA. Additional analysis showed that age and gender had no confounding effect on the difference of IgG positivity between the two time points.
Conclusion: The MDA regimen for LF consisting of albendazole and DEC seemed to have no significant impact on the seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah village, Sumba Barat Daya district. In the future, it is recommended to conduct a larger study involving extended sample size and longer duration of the study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Damayanti
"Di Indonesia, masalah gizi buruk masih sangat memprihatinkan dan salah satu daerah dengan status gizi buruk terbanyak adalah Nusa Tenggara Timur NTT. Salah satu desa di NTT yang juga merupakan desa miskin dan sulit air adalah Desa Pero Konda di Sumba Barat Daya. Oleh karena itu, diduga banyak kejadian kekurangan gizi pada daerah tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan asupan protein pada anak usia 2-12 tahun di Desa Pero Konda. Desain penelitian ini adalah potong lintang analitik. Data yang digunakan adalah data primer. Data diambil melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan, serta dengan bantuan instrumen kuesioner food recall 24 jam. Status gizi ditentukan berdasarkan Kurva CDC-2000 dengan indeks berat badan menurut usia BB/U, tinggi badan menurut usia TB/U, dan berat badan menurut tinggi badan BB/TB. Setelah itu, data diolah dengan SPSS versi 20 dan dianalisis dengan uji chi-square. Terdapat 99 responden pada penelitian ini. Hasilnya menunjukkan terdapat 52 orang responden perempuan 52,5 dan 47 orang responden laki-laki 47,5. Dari hasil pengukuran status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB didapatkan 57 responden 57,6 berperawakan kurus, 33 responden 33,3 berperawakan pendek, dan 34 responden 34,3 memiliki status gizi kurang. Sebanyak 34 responden 34,3 memiliki asupan protein yang cukup dan 65 responden 65,7 memiliki asupan protein kurang. Berdasarkan anamnesis food recall, asupan protein terbanyak didapat dari protein hewani cumi dan ikan. Pada uji chi-square, tidak terdapat perbedaan bermakna antara kecukupan asupan protein dengan status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Disimpulkan, status gizi pada anak di Desa Pero Konda tergolong kurang dan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan asupan protein.

In Indonesia, undernourished is still become a concern problem and province which has the most undernourished children is Nusa Tenggara Timur NTT. One of its village where poverty and lack of water are common is Pero Konda at Sumba Barat Daya. Based on the data, a study needs to be done. This study aims to evaluate the association between protein intake with the nutritional status of children age 2-12 years old in Pero Konda. Analytic cross sectional studies using primary data was used in this study. The weight and height of the children were measured, and the 24 hour food recall was gathered through questionnaire. Nutritional statuses were assessed using curve of CDC 2000 grow chart with weighth for age index W/A, height for age index H/A, and weight for height index W/H. After that, the data processed using SPSS version 20 and analyzed with chi square test. There were 99 respondent in this study. The results showed there were 52 girl respondents 52,5 and 47 boy respondents 47,5. Based on the results of nutritional statusses rsquo measures using W/A, H/A, and W/H index, there were 57 respondent 57,6 wasting, 33 respondent 33,3 stunting, and 34 respondent 34,3 undernourished. A total of 34 respondents 34,3 had adequate protein intake and 65 respondents 65,7 have poor protein intake. Based on the anamnesis food recall, the highest protein sources were from animal protein squid and fish. In the chi square test, there are no significant differences between the protein intake and nutritional status based on W/A, H/A, and W/H index. In conclusion, the nutritional status of children in Pero Konda was considered undernourished and there was no statistically significant association with protein intake."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Erika Efitreswari
"Literasi gizi merupakan kapasitas kemampuan seseorang untuk mendapatkan, memproses, dan memahami informasi dasar mengenai gizi serta kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang tepat terkait informasi yang didapat. Penelitian terkait literasi gizi sudah mulai banyak dikembangkan untuk meningkatkan kualitas pengetahuan gizi yang dimiliki. Namun di Indonesia, penelitian terkait literasi gizi masih sangat terbatas, terutama pada remaja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat literasi gizi dan faktor terkait yang mempengaruhinya. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif pada 231 siswa/i menggunakan desain studi cross-sectional menggunakan data primer dari penelitian Literasi Kesehatan Masyarakat di Indonesia yang dilakukan bersama dengan Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan PKGK FKM UI. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan pengisian kuesioner yang bersifat self-administered. Hasil penelitian menunjukkan tingkat literasi gizi pada remaja di Indonesia masih tergolong terbatas dan terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara tingkat literasi gizi fungsional dengan jenis kelamin, tingkat pendidikan orang tua, dan tingkat pendapatan keluarga.

Nutrition Literacy is the degree to which individu has the capacity to obtain, process and understand basic nutrition information and the ability needed in decision making about nutrition. Researches on nutrition literacy have been widely established to improve quality of nutrition knowledge. Nevertheless, Nutrition literacy studies are still limited in Indonesia. The purpose of this study was to determine the nutrition literacy status and related factors of adolescent students in Southwest Sumba, East Nusa Tenggara. This quantitative studies was cross sectional in nature and conducted to 231 respondents with baseline data collected with Public Health Literacy Study in Indonesia which was done together with Center for Nutrition and Health Studies, Faculty of Public Health University of Indonesia.The result suggests that the adolescents most likely have inadequate nutrition literacy and there are significant differences in proportion between functional nutrition literacy and gender, parent rsquo s educational level, and household income of adolescent student."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Alfian Zainuddin
"Indonesia masih menjadi negara yang belum terbebas dari malaria. Terdapat kesenjangan kasus malaria di Indonesia dengan prevalensi tertinggi di Provinsi Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model manajemen malaria berbasis wilayah yang nantinya dikembangkan menjadi algoritma manajemen malaria berbasis wilayah. Desain penelitian ini adalah desain penelitian analitik yang menggabungkan studi ekologi dan studi potong lintang. Sampel diambil dari empat desa yang berdekatan di Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki perbedaan prevalensi malaria dan perbedaan ekosistem yaitu Desa Mata Kapore, Desa Waikarara, Desa Kahale dan Desa Karang Indah.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat variabilitas dinamika transmisi di antara keempat desa tersebut yaitu jenis parasit, densitas parasit, kepadatan nyamuk, perilaku pemajanan, jarak rumah dari tempat perindukan nyamuk. Terdapat variabilitas respons imun di antara keempat desa yaitu kadar IgG dan alel gen MSP2. Pola persebaran kasus dan alel gen MSP2 di masing-masing desa memiliki karakteristik tertentu. Ada hubungan antara jarak rumah dari tempat perindukan nyamuk (p=0,041) dan alel gen MSP2 (p=0,032) dengan densitas parasit. Model akhir menunjukkan alel gen MSP2 memiliki hubungan dengan densitas parasit.
Penelitian ini menyarankan algoritma manajemen malaria berbasis wilayah yang memuat manajemen kasus, manajemen faktor risiko, integrasi dan keterlibatan lintas sektor.

Indonesia is not malaria-free country. There is a gap of malaria cases in Indonesia with the highest prevalence in the province of Papua, West Papua and East Nusa Tenggara.
This study aims to obtain spatial management of malaria model which will be developed into an spatial management of malaria algorithms. This study design is an analytic study designs that combines ecological study and cross-sectional study. Samples taken from four adjacent villages in the district of Kodi Balaghar Southwest Sumba Regency East Nusa Tenggara Province which have differences in prevalence of malaria and ecosystem diversity. They are Mata Kapore Village, Waikarara Village, Kahale Village and Karang Indah Village.
The results showed there are variabilities in the transmission dynamics among the four villages. The variabilities are the type of parasite, parasite density, density of mosquitoes, behavioral exposure, the distance of house from breeding places. There are variabilities in immune response among the four villages. They are IgG level and MSP2 gene alleles. Distribution patterns of cases distributif and MSP2 gene alleles in each village have certain characteristics. There is a association between the distance of house from breeding place (p=0,041) and MSP2 gene alleles (p=0,032) with parasite density. The final model shows MSP2 gene alleles have a relationship with parasit density.
This study suggested spatial management of malaria algorithm that includes case management, risk factor management, integration and cross-sector involvement.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
D2101
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Farida Rachmat
"ABSTRAK
Desa Kalena Rongo merupakan daerah dengan keadaan sanitasi yang buruk dan kurangnya ketersediaan air bersih. Penelitian ini ditujukan untuk dapat mengetahui prevalensi cacingan dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin pada warga desa Kalena Rongo, Sumba Barat Daya. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dan dilakukan di salah satu dusun (dusun 1) yang dipilih secara acak. Sebanyak 424 warga desa Kalena Rongo menjadi subjek penelitian dan diminta untuk mengumpulkan feses pada bulan Juni 2014. Sampel feses yang telah terkumpul diperiksa secara mikroskopis di laboratorium Parasitologi, hasil yang diperoleh diolah dengan program SPSS 20.0 for windows, dan dianalisis menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan dari 424 warga desa Kalena Rongo yang mengumpulkan pot feses didapatkan 391 (92,2%) warga positif mengalami cacingan, dengan rincian A. lumbricoides 279 (65,8%), T. trichiura 257 (60,6%), cacing tambang 227 (53,8%), dan warga yang mengalami infeksi campuran sebanyak 264 (67,5%). Seluruh warga desa Kalena Rongo kemudian diberikan pengobatan massal antihemintik. Pada prevalensi cacingan dengan kelompok usia didapatkan adanya perbedaan bermakna (chi square p=0,002), sedangkan pada prevalensi cacingan dengan jenis kelamin tidak didapatkan adanya perbedaan bermakna (chi square p=0,164). Dapat disimpulkan bahwa prevalensi cacingan pada warga desa Kalena Rongo berhubungan dengan usia, dan tidak berhubungan dengan jenis kelamin

ABSTRACT
Kalena Rongo village is an area with the state of poor sanitation and lack of clean water availability. This research aimed to determine the prevalence of worm disease and its relation to age and gender of villagers in Kalena Rongo Village, Southwest Sumba. We use cross-sectional design and performed in one village (hamlet 1) randomly selected with 424 people as the subject. Subjects are asked to collect their feces in June 2014. The collected feces was then microscopicly examined in the Parasitology laboratory. The final result is processed with a computer programme SPSS 20.0 for windows and analyzed with chi-square techniques. The result of this research show that among 424 people in the Kalena Rongo village who has collected their feces container, 391 (92.2%) shows positive result on worm disease. With 279 (65.8%) people among them are infected by A. Lumbricoides, 257 (60.6%) people are infected by T. trichiura, 227 (53.8%) people are infected by hookworm, and 264 (67.5%) have mix infection. The whole population is then treated with antihelminth medication. On the prevalence of worm disease with specific age groups, there is a significant difference (chi square p= 0.002), whereas on the prevalence of worm disease with gender, there is no significant difference (chi square p=0.164). It can be concluded that the prevalence of worm disease in the population of Kalena Rongo village is related to age, and have no relation with gender"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Panji Wiratama Natsir
"Masalah gizi buruk di Indonesia merupakan masalah yang belum terselesaikan
dan salah satu daerah dengan status gizi buruk tertinggi adalab NTT. Salah satu desa di NTT adalah Desa Pero Konda di Sumba Barat Daya yang terletak di tepi pantai. Desa ini merupakan desa yang miskin dan sulit air. Berdasarkan data dari BPS, rata-rata jumlah anggota kelarga di NTT pada tabun 2014 adalah 4,7 sehingga dianggap setiap keluarga memiliki dua orangtua dan tiga anak.
Berdasarkan hal tersebut dipikirkan adakah hubungan antara kejadian gizi kurang maupun gizi buruk dengan jumlab anak dalam keluarga. Penelitian iill bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan jumlab anak dalam keluarga pada anak dengan usia 2-12 tahun di Desa Pero Konda. Desain penelitian adalab potong lintang analitik menggunakan data primer. Pengambilan data dilakukan melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan dan wawancara orangtua melalui kuesioner. Status gizi ditentukan dengan indeks berat badan menurut usia (BBIU), tinggi badan menurut usia (TBIU), dan be rat badan menurut tinggi badan (BBfTB) yang dihitung berdasarkan kurva Staturefor-age and weight for-age percentiles CDC-2000. Data diolah dengan SPSS versi 20 dan dianalisis dengan uji chi-square. Besar sampel adalah III responden. Hasil didapatkan dalam satu keluarga sebagian besar memiliki anak 3-4 orang pada masing-masing 13 keluarga. Pada uji chi-square, tidak terdapat perbedaan berrnakna antara jumlah anak dalam satu keluarga dengan status gizi berdasarkan indeks BBIU, TBIU, dan BBfTB. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa status gizi anak di Desa Pero Konda kurang dan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan jumlab anak dalam keluarga."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70309
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond Bona Tua
"Paradigma pembangunan sekadar berbasis materialistis dan hanya berfokus pada capaian pertumbuhan ekonomi telah meminggirkan manusia sebagai subjek khususnya perempuan. Pembangunan infrastruktur energi dan kelistrikan yang buta gender bukan memberikan manfaat kepada perempuan melainkan menghasilkan tekanan tambahan. Penelitian ini bertujuan mengungkap implikasi pembangunan fasilitas listrik berbasis komunitas terhadap kapabilitas perempuan di kampung adat, utamanya persoalan akses dan partisipasi dalam pembangunan, pemaknaan perubahan dari listrik dan pembentukan kapabilitas perempuan. Penelitian ini menggunakan teori kapabilitas yang disandingkan dengan teori interseksionalitas dan pemikiran feminisme postkolonial untuk menganalisis temuan-temuan empirik. Metodologi penelitian kualitatif dilakukan melalui analisis data sekunder, observasi, dan wawancara mendalam terhadap lima perempuan subjek utama serta dua orang subjek pendukung. Lokasi penelitian dilakukan di kampung adat Ubu Oleta, desa Weetana, kecamatan Laboya Barat, Sumba, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menemukan bahwa akses dan prasarana masih buruk dan minim partisipasi perempuan dalam proses pembangunan. Perempuan di kampung adat masih belum dapat memanfaatkan kehadiran listrik secara optimal. Aturan adat berupa belis merupakan hambatan dalam pertisipasi, akses, dan pemanfaatan listrik bagi perempuan. Perempuan di kampung adat selain mengalami diskriminasi akibat aturan adat, sebagai individu dengan beragam identitas, juga mengalami tekanan secara interseksionalitas struktural, politik, dan representasional. Temuan yang juga penting adalah perempuan tetap mampu mengaktifkan faktor-faktor konversi lingkungan, sosial, dan personal dalam mencapai fungsi kapabilitas mereka sebagai perwujudan penggunaan listrik. Kendala struktural aturan adat dan belis menjadi hambatan utama dalam mencapai fungsi kapabilitas mereka, karena berbagai diskriminasi yang muncul dari praktik adat tersebut, menyebabkan beban ekonomi yang menjurus ke pemiskinan terstruktur. Rekomendasi utama adalah mengupayakan revitalisasi aturan adat terkait belis dan meningkatkan peran partisipasi perempuan yang hakiki dalam proses pembangunan energi.

The development paradigm that based on materialism is only focuses on achieving economic growth, which has tendency to marginalize people especially women. Gender- blind development of energy and electricity infrastructure does not provide benefits to women but creates additional pressure. This study aims to reveal the implications of the development of community-based electricity facilities on women's capabilities in traditional villages, especially the issues of access and participation in development, the significant of changes from electricity and the development of women's capabilities. This study utilize capability theory alongside intersectionality theory and postcolonial feminist thinking to analyze empirical findings. The qualitative research methodology was carried out through secondary data analysis, observation, and in-depth interviews with five women as the main subjects and two informants as supporting subjects. The research location was carried out in the Kampung Adat Ubu Oleta, Desa Weetana, kecamatan Laboya Barat, kabupaten Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. This research found that access and infrastructure were poor and women's participation in the development process was insignificant. Women in kampung adat are still unable to optimized utilization of electricity. The customary rule in the form of belis is an obstacle in the participation, access and utilization of electricity for women. In addition women are experiencing discrimination due to customary rules, women in kampung adat, as individuals with various identities, also experience pressure from structural, political and representational intersectionality. An important finding is that women are still able to activate environmental, social and personal conversion factors in achieving their capability function as a result utilization of electricity. Structural constraints on customary rules and belis are the main obstacles in achieving their capability function, because various discriminations that arise from these customary practices cause an economic burden that leads to structured impoverishment. The main recommendations are seeking to revitalize customary rules regarding belis and increase the role of women's participation in the energy development process."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>