Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214666 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Natarina Syahputri Sidharta
"Dengan semakin meningkatnya transaksi bisnis internasional, maka semakin meningkat pula kemungkinan terjadinya kepailitan lintas batas. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengaturan kepailitan lintas batas yang memadai. Suatu negara dapat mengadopsi salah satu instrumen hukum internasional, yaitu UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency, ke dalam hukum kepailitannya guna menghadapi kasus kepailitan lintas batas. Skripsi ini membahas mengenai langkah Singapura dan Jepang dalam menghadapi kasus-kasus kepailitan lintas batas dengan mengadopsi UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency dan bagaimana UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency tersebut diterapkan dalam pengaturan kepailitan lintas batas di masing-masing negara. Skripsi ini juga akan membahas mengenai kemungkinan penerapan UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency dalam hukum kepailitan di Indonesia sebagai solusi dalam menghadapi permasalahan kasus kepailitan lintas batas dengan melihat Singapura dan Jepang sebagai acuan.

With the ever-increasing number of international business transactions, the possibility of cross-border insolvency also increases. Therefore, an adequate cross-border insolvency regulation is needed. A country can adopt one of the international law instruments, namely the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency, into their insolvency law to deal with cross-border insolvency cases. The study will discuss about Singapore and Japan's steps in facing cross-border insolvency cases by adopting the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency and how the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency is applied in cross-border insolvency regulation in each country. This study will also discuss about the possibility of adopting the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency in Indonesia's insolvency law as the solution to facing cross-border insolvency cases by looking at Singapore and Japan as a reference."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilla Azzahra Jayputri
"Kegiatan ekonomi antar negara membukakan pintu para investor untuk dapat menanamkan investasinya di negara lain. Seiring dengan meningkatnya kegiatan transaksi ekonomi internasional, terbuka besar kemungkinan munculnya masalah kepailitan lintas negara. Maka dari itu, instrumen hukum kepailitan di sebuah negara harus ditingkatkan. Dalam menghadapi masalah kepailitan lintas negara, beberapa negara telah mencari jalan keluar seperti halnya Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah menciptakan UNCITRAL Model Law 1997, dan European Union yang telah menciptakan peraturan regional yang disebut dengan Council Regulation (EC) No. 1356/2000 of 29 May 2000 on insolvency proceedings. Permasalahan kepailitan lintas negara juga dapat diatasi dengan perjanjian bilateral seperti yang dilakukan Singapura dengan Malaysia dalam Mutual Recognition and Mutual Enforcement of Republic of Singapore and Malaysia on Cross-Border Insolvency. Indonesia merupakan salah satu negara yang belum memiliki satupun peraturan yang mengatur mengenai kepailitan lintas negara. Skripsi ini akan membahas mengenai kemungkinan diterapkannya pengaturan mengenai kepailitan lintas negara di Indonesia dengan meninjau pengaturan kepailitan lintas negara yang dilakukan Singapura dengan perjanjian bilateral bersama Malaysia, dan juga langkah Singapura dalam mengadopsi UNCITRAL Model Law melalui studi kasus. Selain itu, Skripsi ini juga membahas mengenai pengaturan regional kepailitan lintas negara yang diciptakan oleh European Union.
Economic activity between countries opens opportunities for investors to be able to invest in other countries. Along with the increase of international economic transactions, there is possibility of the emergence of Cross-Border Insolvency inssues. Therefore, bankruptcy instruments in a country must be improved. In dealing with Cross-Border Insolvency, several countries have sought solutions. The United Nations created the UNCITRAL Model Law on 1997, and the European Union created a regional regulation called Council Regulation (EC) No. 1356/2000 of 29 May 2000 on insolvency proceedings. The Cross-Border Insolvency issues can also be settled by bilateral agreements such Mutual Recognition and Mutual Enforcement of the Republic of Singapore and Malaysia on Cross-Border Insolvency which conducted by Singapore and Malaysia. Indonesia does not yet have a single regulation that governs Cross-Border Insolvency. This study will discuss the possibility of applying Cross-Border Insolvency instruments in Indonesia by reviewing the Cross-Border Insolvency Instruments undertaken by Singapore with bilateral agreements with Malaysia, and also Singapore's steps in adopting the UNCITRAL Model Law through case studies. In addition, this study also discusses regional regulation on Cross-Border Insolvency created by the European Union"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dicky Moallavi Asnil
"Kepailitan lintas merupakan konsekuensi dari perkembangan interaksi bisnis multinasional yang begitu pesat. Wilayah yurisdiksi suatu negara tidak lagi menjadi penghalang pelaku bisnis untuk menjalankan kegiatan bisnis nya. Kondisi tersebut membuat resiko bisnis, khusunya permasalahan kepailitan lintas batas. Kepailitan yang melibatkan unsur lintas batas didalamnya tidak bisa diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian biasa. Hukum Kepailitan Indonesia memalui UU Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayran Utang masih sangat jauh dari kata ideal dalam menghadapi fenomena ini. Undang-Undang ini hanya memuat tiga pasal berkaitan dengan ketentuan hukum internasional, namun sama sekali tidak memuat ketentuan terkait penyelesaian kepailitan lintas batas. Hal ini dikarenakan proses penegakan hukum akan berhadapan langsung dengan kedaulatan hukum negara lain. UNCITRAL Model Law On Cross-Border Insolvency With Guide To Enactment adalah suatu model hukum yang dibuat untuk menjadi rujukan bagi negara-negara dalam melakukan harmonisasi dan modernisasi hukum kepailitannya agar mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi iklim perdagangan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Indonesia sebagai negara berkembang yang berambisi meningkatkan perekenomiannya harus melakukan perubahan terhadap hukum kepailitan nasional. UNCITRAL Model Law yang bersifat fleksibel, dapat dimodifikasi sesuai nilai-nilai dan kepentingan nasional suatu negara dapat dijadikan rujukan untuk melahirkan hukum kepailitan yang memadai

Cross Border Insolvency/Bankcruptcy is a is a consequence of the rapid development of multinational business interactions. he jurisdiction of a country is no longer a barrier for businesses to carry out their business activities. These conditions create business risks, especially cross-border bankruptcy issues. Bankruptcy involving cross-border elements in it cannot be resolved by the usual settlement mechanism. Indonesia's Bankruptcy Law passed Law No. 37 of 2007 on Bankruptcy and Debt Relief Obligations is far from ideal in dealing with this phenomenon. This Law contains only three articles relating to the provisions of international law, but contains absolutely no provisions related to the settlement of cross-border bankruptcy. This is because the law enforcement process will be directly confronted with the legal sovereignty of other countries. UNCITRAL Model Law On Cross-Border Insolvency With Guide To Enactment is a legal model created to be a reference for countries in harmonizing and modernizing their bankruptcy laws in order to provide justice and legal certainty for the trading climate. The results of this study show that Indonesia as a developing country with the ambition to improve its economy must make changes to the national bankruptcy law. UNCITRAL Model Law that is flexible, can be modified according to the values and national interests of a country can be used as a reference to give birth to adequate bankruptcy law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Global Law and Business, 2012
346.2 CRO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arindra Maharany
"Dalam perkembangan ekonomi global dan transaksi bisnis internasional isu kepailitan lintas batas sering kali ditemukan dan menjadi masalah global. Berlakunya prinsip teritorialitas dan prinsip kedaulatan negara pada sebagian besar negara civil law maupun common law menyebabkan tidak dapatnya suatu putusan pailit diakui dan dieksekusi di negara lain sehingga aset debitor pailit yang terdapat di luar wilayah tempat putusan pailit ditetapkan tidak tercakup kedalam boedel pailit. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya jumlah harta pailit yang akan dipergunakan untuk membayar sejumlah utang kepada para kreditor, sehingga tidak terpenuhinya hak pembayaran kreditor. Begitu juga di Indonesia, berdasarkan Pasal 436 Rv suatu putusan asing tidak dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah Indonesia sehingga berlaku prinsip teritorialitas terhadap putusan pengadilan asing. Hal tersebut menyebabkan tidak dapat diakuinya putusan pailit asing di Indonesia dan juga sebaliknya terhadap putusan pailit Indonesia di negara asing.
Terjadinya krisis ekonomi global di Asia pada 1997, telah memacu berbagai negara di Asia untuk melakukan reformasi hukum kepailitannya terutama dalam kepailitan lintas batas. Dalam menghadapi isu kepailitan lintas batas tersebut, Singapura dan Malaysia mengadakan insolvency agreement secara resiprositas sedangkan Korea Selatan, Jepang, dan Thailand berupaya dengan memperbaiki instrumen hukum kepailitan negaranya dengan mengacu pada UNCITRAL Model Law On Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment yang dikeluarkan oleh United Nations. Maka dari itu penting juga bagi Indonesia untuk turut melakukan reformasi terhadap instrumen hukumnya dalam mengatasi masalah kepailitan lintas batas tersebut baik dengan mengadakan dan meratifikasi perjanjian internasional maupun memperbaiki insturmen hukum nasionalnya dengan mengacu pada Model Law, mengingat belum adanya pengaturan khusus mengenai kepailitan lintas batas di Indonesia baik dalam instrumen hukum nasional maupun internasional.

In the development of global economy and international business transactions, cross-border insolvency issues are often found and become a global problem. Applicability of the territoriality principle and the state sovereignty principle in most civil law and common law countries causes a bankruptcy judicial decision unable to be recognized and executed in another country, so that the assets of debtors located outside the region cannot be included into the set of the bankrupt's property. It'll cause reduction sum of the bankruptcy's property which will be used to pay a sum of debt to the creditors, so that, fulfillment of the rights of creditors payments won't be accomplished. Similarly in Indonesia, based on Article 436 Rv, a foreign judicial decision cannot be recognized and executed in Indonesia appropriate with territoriality principle. It'll cause a foreign bankruptcy judicial decision cannot be recognized in Indonesia and so does with Indonesia bankruptcy judicial decision in a foreign country.
The Asia global economic crisis in 1997 has spurred many countries in Asia to make bankruptcy law reform, especially in cross-border insolvency regulation. In order to face the cross-border insolvency issues, Singapore and Malaysia arranged a reciprocal insolvency agreement, while South Korea, Japan, and Thailand tried to fix the local bankruptcy law refer to the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment issued by the United Nations. Knowing that there aren't any local or international regulation about cross-border insolvency in Indonesia yet, it's also important for Indonesia to take part in reforming the legal instruments to deal with cross-border insolvency problems by conduct and ratify international treaties or arrange It's local bankruptcy law refers to the Model Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S317
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ammar
"ABSTRAK
Anggota direksi dalam melaksanakan tugasnya memiliki resiko bertanggung jawab secara pribadi. Saat ini terdapat kecenderungan anggota direksi melakukan perjanjian pisah harta untuk membatasi tanggung jawab pribadinya. Tesis ini mengkaji tentang keberadaan perjanjian pisah harta untuk membatasi pertanggung jawaban anggota direksi dalam hal perseroan terbatas merugi akibat kelalaian anggota direksi tersebut dan perlindungan hukum terhadap kreditur apabila anggota direksi tersebut memiliki perjanjian pisah harta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian pisah harta yang dilakukan anggota direksi yang bersalah atau lalai yang menyebabkan perseroan terbatas rugi dapat membatasi tanggung jawab anggota direksi tersebut apabila perjanjian pisah harta dibuat sebelum perkawinan dilakukan dan dalam bentuk akta notaries. Kreditur memang tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai dalam hal anggota direksi memiliki perjanjian pisah harta. Namun demikian kreditur tetap dapat melakukan upaya hukum lainnya agar kepentingannya terlindungi dengan meminta dibuatnya asuransi jabatan direksi atau melakukan gugatan Actio Pauliana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif, dengan bahan hukum sekunder sebagai bahan utama

ABSTRACT
Board of directors in carrying out their duties have personal responsibility risk. Currently, there is a tendency of the directors entered into a separation of property agreement to limit personal liability. This thesis examines the existence of separate property agreement to limit liability of the directors in terms of a limited liability company lost due to the negligence of the directors and the legal protection of creditors if the board member has a separate property agreement. The results showed that the separation of property agreement of the members of the board of directors at fault or negligence which causes loss of limited liability may limit the liability of directors when the separation of property agreement made ​​before marriage done and in a notary deed. The lender did not obtain adequate legal protection in the event a director has an agreement separate property. However, lenders can still make other remedies that protected its interests by requiring insurers made ​​the position of directors or making claims Actio Pauliana. The research was conducted by using normative juridical, with secondary materials as the main materials"
Universitas Indonesia, 2013
T33138
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Kusuma Wardani
"Skripsi ini membahas tentang cross border insolvency pada pelaksanaan putusan pailit perusahaan asing di Indonesia dan Malaysia. Seiring dengan perkembangan suatu negara, transaksi bisnis mulai merambah melewati batas-batas negara, salah satunya adalah pinjam meminjam uang untuk modal suatu perusahaan. Keadaan ketika debitur tidak mampu membayar utangnya dapat membuat debitur dinyatakan pailit. Kepailitan tersebut disebut cross border insolvency. Salah satu
kasus terkait cross border insolvency adalah kasus permohonan pailit Penaga Timur Sdn.Bhd yang diajukan oleh PT. Wijaya Artha Shipping dan PT. Ujung Medini Lestari. Permasalahan yang diangkat dalam kasus tersebut adalah unsurunsur cross border insolvency dan ketentuan UNCITRAL Model Law on Cross- Border Insolvency dapat diterapkan dalam Putusan Nomor 11/Pdt.Sus- PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn. Permasalahan lain yang diangkat pada skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan putusan pailit perusahaan asing di Indonesia dan Malaysia. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif. Analisis yang
dilakukan adalah untuk menjelaskan unsur-unsur cross border insolvency dan ketentuan UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency dapat diterapkan dalam Putusan Nomor 11/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn, dan pelaksanaan putusan pailit perusahaan asing di Indonesia dan Malaysia.
This paper discussed cross border insolvency in enforcement of bankruptcy judgment of foreign company in Indonesia and Malaysia. As a country developing, business transactions begin to penetrate cross border, one of the business transcations is loan agreement for capital. The condition of debtors can not pay their debts can make the debtors go bankrupt. This is called as cross border insolvency. One of the cases of cross border insolvency is a bankruptcy of Penaga Timur Sdn.Bhd case that was filed by PT. Wijaya Artha Shipping and PT. Ujung Medini Lestari. This paper examines the elements of cross border insolvency and the using of UNCITRAL model Law on Cross Border Insolvency
in the case Nomor 11/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn. This paper also examines the enforcement of bankruptcy judgment of foreign company in Indonesia and Malaysia. This study was conducted by using normative legal research method. The analysis presents the elements of cross border insolvency and the using of UNCITRAL model Law on Cross Border Insolvency in the case Nomor 11/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn, and the enforcement of
bankruptcy judgment of foreign company in Indonesia and Malaysia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Netherlands: Kluwer Law International, 2007
346.078 CRO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fariz Rizki N.
"Skripsi ini membahas mengenai kemungkinan penerapan pengaturan instrumen Cross Border Insolvency atau Kepailitan Lintas Batas dalam lingkup negara- negara anggota ASEAN terkait dengan keberlakuan ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN. Penelitian ini berbentuk yuridis- normatif dengan desain deskriptif preskriptif, yang bertujuan untuk pemahaman lebih lanjut mengenai konsep penerapan instrumen Cross Border Insolvency, terutama penerapannya pada ruang lingkup ASEAN. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan mengenai kemungkinan penerapan instrumen Cross Border Insolvency terkait keberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN, negara-negara ASEAN untuk saat dapat dikatakan masih belum siap dalam memberlakukan pengaturan ini, namun hal ini bukan berarti bahwa penerapan instrumen Cross Border Insolvency ini mustahil untuk diberlakukan dalam ruang lingkup ASEAN.

The focus of this study is about reviewing the possibility of applying Cross Border Insolvency instrument regarding the enforceability of ASEAN Economic Community. This normative juridicial with anaylitic prescriptive, is aimed for the further understanding of the implementation concept of Cross Border Insolvency instrument, specifically within the scope of ASEAN. Based on the analysis that had been done regarding the possibility of applying the Cross Border Insolvency instrument in the case of the ASEAN Economic Community, most of member states in ASEAN, for now, are still not capable of applying the Cross Border Insolvency. But, that does not mean that the implementation of the Cross Border Insolvency is impossible to be applied in the scope of ASEAN.;"
2016
S62435
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurelia Fanniabelle
"Uang elektronik merupakan instrumen pembayaran nontunai yang memiliki fungsi untuk mendukung ekonomi digital di Indonesia. Tidak hanya jenis uang elektronik dalam negeri saja yang beroperasi, uang elektronik asing dalam bentuk dompet eletkronik telah dapat digunakan di Indonesia. WeChat Pay yang telah bekerja sama dengan Bank CIMB Niaga dan Alipay yang bekerja sama dengan Bank BCA telah membuat dompet elektronik asing tersebut dapat digunakan oleh wisatawan asing bertransaksi domestik di Indonesia. Skripsi ini kemudian mengambil 2 (dua) pokok permasalahan yaitu bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur dompet elektronik lintas batas dan bagaimana implikasi dengan diberlakukannya dompet elektronik lintas batas. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menekankan pada penggunaan hukum secara tertulis dan didukung dengan hasil wawancara narasumber. Dengan demikian, dapat disimpulkan penerbit dompet elektronik asing harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti bekerja sama dengan BUKU 4 dan terhubung dengan Gerbang Pembayaran Nasional untuk menjamin kepastian penyelesaian transaksi. Adapun dampak diberlakukannya dompet elektronik lintas batas seperti pendanaan terorisme, pencucian uang, serta transparansi data diharapkan dapat diantisipasi. Dengan demikian, dibutuhkan tindakan tegas dari Bank Indonesia untuk mengawasi kegiatan dompet elektronik lintas batas untuk mewujudkan kepastian hukum dan penyelenggaraan kegiatan yang aman, efisien, dan lancar.

A non-cash payment instrument such as electronic money (e-money) has important factocs supporting the digital economy in Indonesia. Not only are domestic electronic money cross border electronic money has also been used in Indonesia. This thesis thesis then takes 2 (two) main issues, namely how the laws and regulations regulate cross border e-wallet and whar are the implications of implementing cross border e-wallets. The research method used is normative juridical, by emphasizing the use of the law in writing and supported by the results of interviewing informants. The conclusions obtained are WeChat Pay which has collaborated with CIMB Niaga and Alipay with BCA has mad this cross border e- wallet available for foreign wallet issuers must cooperate with BUKU 4 and connected to national payment gateways in order to guarantee the certainty of transaction settlement. This cross border transactions has the impact to terrorism financing, money laundering, and data transparency that should be anticipated. Thus, Bank Indonesia should supervise the activities to realize legal certainty and safe and effiecient cross border e-wallet."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>