Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199722 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bianti Ayu Dwiputri
"Pelaksanaan hemodialisis anak, utamanya remaja dapat menyebabkan munculnya
kecemasan pada remaja pelaksana dan orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi perbedaan skor kecemasan pasien dan orang tua pasien terhadap
pelaksanaan hemodialisis anak pada remaja di salah satu rumah sakit nasional di
Jakarta. Sampel penelitian ini adalah 24 orang tua dan 24 orang remaja pelaksana
hemodialisis, dengan teknik pengambilan sampel non probabilitas dengan desain
penelitian studi cross sectional dan analisis bivariat independent t-test. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skor kecemasan antara orang tua pasien dan
pasien remaja terhadap pelaksanaan hemodialisis (0,032<0,05). Kesimpulan dari hasil
penelitian adalah terdapat perbedaan skor kecemasan antara orang tua pasien dan pasien
remaja terhadap pelaksanaan hemodialisis.

The implementation of pediatric haemodialysis, especially in teenagers can cause
anxiety in teenagers and their parents. This study aims to identify the score of anxiety in
patient and patient’s parents on the implementation of pediatric hemodialysis in
teenagers at one of national hospital in Jakarta. The samples of this study were 24
parents and 24 teenagers who undergo hemodialysis, using a non-probability sampling
technique with cross sectional study and independent t-test bivariate analysis. The
result of the study shows that there is difference in the score of anxiety between the
patient's parents and teenage patients on the implementation of hemodialysis (0.032
<0.05). Thus, the conclusion is there are differences in the anxiety score between
patients’ parents and adolescent patients regarding the implementation of hemodialysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Syamsiah
"Kepatuhan merupakan salah satu permasalahan pada pasien hemodialisa yang mengalami penyakit ginjal kronis. Ketidakpatuhan dapat menyebabkan kegagalan terapi sehingga menurunkan kualitas hidup pasien, meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Tujuan penelitian adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien CKD dengan hemodialisa di RSPAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta. Desain penelitian adalah Cross Sectional dengan jumlah sampel 157 responden, yang didapat dengan consecutive sampling. Metode pengumpulan data dengan cara pengisian kuesioner. Analisis hasil penelitian menggunakan Chi-Square (bivariat) dengan α=0,05, didapatkan hubungan yang bermakna antara kepatuhan dengan usia (p=0,006), pendidikan (p=0,003), lamanya HD (p=0,015), motivasi (p=0,039) dan dukungan keluarga (p=0,014).

Adherence is one of the problems in hemodialysis patients who have chronic kidney disease. Poor adherence could lead to treatment failure resulting in lower quality of life for patients, increase morbidity and mortality. The research objective was to determine the factors associated with CKD patient adherence with hemodialysis in RSPAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta. The study design is the Cross Sectional with 157 respondents, obtained by consecutive sampling. Methods of data collection by filling the questionnaire. Analysis of the results of research using the Chi-Square (bivariate) with α = 0.05, obtained a significant association between adherence with age (p = 0.006), education (p = 0.003), duration of HD (p = 0.015), motivation (p = 0.039) and family support (p = 0.014)."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ade Junaidi
"Status indeks masa tubuh pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis menjadi suatu penentuan tingkat morbiditas dan mortalitas. Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dapat mengalami penurunan atau peningkatan indeks masa tubuh. Kami menggunakan metode potong lintang pada studi ini. Penelitian dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di bangsal hemodialisis Subbagian Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM pada bulan Februari 2009. Kemudian diambil data dari status pasien mengenai berat badan kering dan tinggi badan pasien saat pertama kali menjalani hemodialisis dan bulan februari 2009. Berdasarkan perubahan indeks massa tubuh maka data ini dibagi atas 2 kelompok yaitu kelompok dengan peningkatan indeks masa tubuh dan penurunan indeks masa tubuh. Pasien berumur rerata 50,4 ± 13,4 tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita, dan lama menjalani hemodialisis rerata 2.3 tahun (0.3-17.5). Dengan uji Pearson didapatkan korelasi positif yang bermakna antara lama menjalani hemodialisis dengan peningkatan indeks masa tubuh (p<0.001, r = 0.727) maupun penurunan indeks masa tubuh (p<0.001, r = 0.709). Disimpulkan bahwa lama menjalani hemodialisis mempengaruhi peningkatan maupun penurunan indeks massa tubuh pasien hemodialisis.

Status of body mass index on chronic kidney disease patients who undergo hemodialysis is a determinant factor for morbidity and mortality. Hemodialysis patients can increase or decrease their body mass indexes. In this study, we used cross sectional method. We selected 108 patients that has already undergone hemodialysis twice a week for at least three months in hemodialysis ward of Cipto Mangunkusumo Hospital in February 2009. Data are taken from dry weight and body height in medical records at the initial hemodialysis and on February 2009. We categorized patients into increased body mass index category and decreased body mass index category. The patients have mean age of 50,4 ± 13,4 years and a mean duration of hemodialysis of 2.3 (0.3-17.5) years, 57% were male and 43% were female. By Pearson analysis, there was significant positive correlation between increased body mass index (p<0.001, r = 0.727) and decreased body mass index (p<0.001, r = 0.709) with hemodialysis duration. It was concluded that duration of hemodialysis significantly influenced body mass index in hemodialysis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pywedont Mesakh Todingan
"Latar Belakang: Penyakit ginjal tahap akhir masih menjadi permasalahan nasional dan internasional, di Indonesia pada 2019 terdapat 185.901 pasien yang menjalani hemodialisis. Sampai saat ini hemodialisis menjadi pilihan terbanyak terapi pengganti ginjal bagi para pasien penyakit ginjal tahap akhir. Untuk dapat menjalankan hemodialisis dibutuhkan akses vaskular. Akses vaskular terbaik hingga saat ini adalah fistula arteriovenosa, namun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk maturasi. Kateter dua lumen menjadi pilihan bagi pasien saat menunggu maturasi fistula arteriovenosa atau jika membutuhkan hemodialisis segera. Terdapat dua jenis kateter dua lumen yaitu temporer dan tunneling. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan frekuensi pergantian, komplikasi, serta analisa biaya antara kateter dua lumen temporer dan kateter dua lumen tunneling.
Metode: Penelitian ini merupakan kohort retrospektif menggunakan rekam medis di RS Cipto Mangunkusumo. Variabel bebas yang dilihat ada jenis kateter dua lumen sedangan variabel terikatnya adalah frekuensi pergantian, infeksi, perdarahan, serta analisa biaya. Analisa statistic menggunakan SPSS versi 25, nilai p<0.05 menunjukkan terdapat hubungan bermakna secara statistik.
Hasil: 67 pasien masuk dalam penelitian, didapatkan pasien dengan kateter dua lumen tunneling sebanyak 36 pasien (53,7%) dan pasien dengan kateter dua lumen temporer sebanyak 31 pasien (46,2%). Kateter dua lumen tunneling secara bermakna memiliki angka perdarahan, infeksi, serta disfungsi kateter yang lebih rendah daripada kateter dua lumen temporer (p<0,001). Kateter dua lumen tunneling memiliki angka pergantian kateter dalam 6 bulan yang lebih kecil secara bermakna dibandingkan kateter dua lumen temporer (p<0,001). Dalam 6 bulan kateter dua lumen tunneling memiliki rerata biaya perorangan yang lebih besar dari kateter dua lumen temporer.
Simpulan: Kateter dua lumen tunneling memiliki frekuensi pergantian dan komplikasi yang lebih rendah dari kateter dua lumen temporer, namun memiliki rerata total biaya perorangan yang lebih besar disbanding kateter dua lumen temporer.

Background: End-stage kidney disease is still a national and global health problem, in Indonesia there were 185,901 patients undergoing hemodialisis in 2019. Hemodialisis is the most chosen renal replacement therapy for End-stage kidney disease patients. To be able to carry out hemodialisis, vascular access is needed. The best vascular access to date is an arteriovenous fistula (AVF), but it needed time to reach maturation. Double lumen catheter is used as an option for patients waiting for AVF maturation or when urgent hemodialisis is required. There are two types of double lumen catheters, namely temporary and tunneled. This study aims to compare the frequency of replacement frequency, complications, and cost analysis between a temporary double lumen catheter and tunneled double lumen catheter.
Method: This is a retrospective cohort study using medical records at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The independent variable seen was the type of double lumen catheter, while the dependent variables were replacement frequency, infection, bleeding, and cost analysis. Statistical analysis using SPSS version 25, p value <0.05 indicates that there is a statistically significant difference between both groups.
Results: 67 patients were included in the study, there were 36 patients with tunneled double lumen catheter (53.7%) and 31 patients with temporary double lumen catheter (46.2%). tunneled double lumen catheter had significantly lower rates of bleeding, infection, and catheter dysfunction than temporary double lumen catheter (p <0.001). Tunneled double lumen catheter had a significantly lower 6-month catheter replacement rate than temporary double lumen catheter (p <0.001). At 6 months tunneled double lumen catheter had a greater average individual cost than temporary double lumen catheter.
Conclusion: Tunneled double lumen catheter have a lower replacement frequency and complications than temporary double lumen catheter temporary two-lumen catheters, but have a greater mean total individual cost than temporary double lumen catheter.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Mela Yunita Sari
"Latar Belakang: Penurunan kapasitas latihan dan kekuatan otot merupakan gambaran yang umum dijumpai pada pasien hemodialisis (HD) kronik. Perbaikan kadar hemoglobin (Hb) tidak memperbaiki secara optimal kapasitas latihan. Prevalensi kalsifikasi arteri tinggi pada pasien HD. Hal ini menyebabkan berkurangnya elastisitas pembuluh darah sehingga meningkatkan kekakuan arteri. Terdapat bukti klinis bahwa kekakuan arteri sentral memengaruhi kapasitas latihan pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK). Kapasitas latihan dapat diprediksi dengan menilai kekuatan otot perifer.
Tujuan: Mengetahui korelasi kekakuan arteri sentral dengan kekuatan genggam tangan pada pasien yang menjalani HD kronik.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan subyek pasien HD kronik yang diambil dengan teknik consecutive sampling dengan rentang usia 18 – 59 tahun.  Analisis bivariat dilakukan untuk menilai korelasi kekakuan arteri sentral (dengan menilai central pulse wave velocity/cPWV) dengan kekuatan genggam tangan (KGT), kemudian dilakukan korelasi parsial terhadap variabel perancu (usia, dialysis vintage, Hb, dan aktivitas fisik).
Hasil: Terdapat 45 pria dan 40 wanita dengan median usia masing-masing 47 (19-59) dan 47 (18-59) tahun. Kedua kelompok mempunyai tingkat aktivitas fisik sedang. Tidak terdapat korelasi antara cPWV dengan KGT baik pada  pria (r = -0,046, p = 0,763) maupun wanita (r = -0,285, p = 0,113). Analisis stratifikasi pada wanita yang memiliki tinggi badan (TB) >150 cm menunjukkan korelasi negatif derajat sedang antara cPWV dengan KGT (r = -0,466; r2 = 0,217; p = 0,016). Nilai cPWV berperan sebesar 21,7% terhadap KGT, dan 78,3% diduga dipengaruhi oleh faktor perancu. Kelompok KGT rendah memiliki nilai cPWV yang meningkat pada semua kategori usia.
Simpulan: Kekakuan arteri sentral tidak berhubungan dengan kekuatan genggam tangan pada pasien yang menjalani HD kronik. Terdapat kecenderungan peningkatan nilai cPWV pada subjek yang memiliki KGT rendah.

Background: Exercise intolerance and muscle weakness are the common features in hemodialysis patients. However, correction of renal anemia by eritropoetin does not optimize the exercise capacity. The prevalence of arterial calcification among the hemodialysis patient is high. It thereby decreased the elasticity of the vessels and increased the arterial stiffness. Clinical evidence showed that central arterial stiffness affects the exercise capacity in chronic kidney disease (CKD). Exercise capacity can be predicted by assessing peripheral muscle strength.
Objective: To investigate the correlation between central arterial stiffness and handgrip strength in chronic hemodialysis patients.
Methods: This study use cross-sectional design which perform in chronic HD patients aged between 18 and 59 years old by consecutive sampling. Bivariate analysis was done to determine the correlation between central arterial stiffness (assessed using central pulse wave velocity /cPWV) and handgrip strength (HGS). Afterwards, partial correlation of confounding variables (age, dialysis vintage, Hb and physical activity) were also be analyzed.
Results: There were 45 men and 40 women with the median age of 47 (19-59) and 47 (18-59) years old, respectively. Both groups have moderate level of physical activity. There was no correlation between cPWV and HGS in men (r = -0.046, p = 0.763) and women (r = -0.285, p = 0.113). Stratified analysis in women with height over 150 cm showed a moderate negative correlation between cPWV and HGS (r = -0,466; r2 = 0,217; p = 0,016). cPWV accounted for 21.7% of HGS, while 78.3% were suggested to be influenced by the confounding factors. The group with low HGS had an increased cPWV in all age categories.
Conclusion: Central artery stiffness was not associated with HGS in chronic HD patient. There was a tendency of increased central arterial stiffness in the group of subjects who had low HGS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lulu Hardianti
"Kepatuhan manajemen terapi hemodialisis berpengaruh terhadap kejadian komplikasi yang mungkin dapat muncul, kualitas hidup dan angka mortalitas pada pasien. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan tersebut adalah persepsi penyakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi penyakit dengan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik korelatif dengan jumlah sampel 103 responden yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling pada pasien hemodialisis. Data dikumpulkan melalui Brief Illness Perception Questionnaire B-IPQ untuk persepsi penyakit dan modifikasi End-Stage Renal Disease Adherence Questionnaire ESRD-AQ untuk kepatuhan manajemen terapi hemodialisis. Data tersebut diolah dengan menggunakan SPSS versi 23. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara persepsi penyakit dengan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis r= -0.244; p value= 0.007 . Akan tetapi, jika ditinjau per-dimensi maka hanya kontrol personal r= 0.329; p value= 0.000 dan respon emosi r= -0.292; p value= 0.001 yang berhubungan dengan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis. Dengan sebab itu, tenaga kesehatan perlu memperhatikan persepsi penyakit pada pasien untuk meningkatkan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis pada pasien.

The adherence of hemodialysis therapy management influenced occurence rate of complication that might be appear, quality of life, and mortality rate in patient. One of the factors that affect adherence of hemodialysis therapy management is illness perception. This research aimed to identify the relation between illness perception and adherence of hemodialysis therapy management in patient with chronic kidney disease. Correlation analytic with purposive sampling technique was used for this research with 103 patients in hemodialysis as a sample. Data were collected by Brief Illness Perception Questionnaire B IPQ for illness perception and End Stage Renal Disease Adherence Questionnaire ESRD AQ for adherence of management hemodialysis therapy. Data were analyzed by SPSS ver. 23. Result shows that illness perception affect adherence to therapy management r 0.244 p value 0.007 . Yet, only control personal r 0.329 p value 0.000 and emotional response r 0.292 p value 0.001 that influence adherence to therapy management. Therefore, it is recommend to assess patient view of their illness to increase adherence rate to hemodialysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giri Susanto
"Hemodialisis (HD) merupakan metode terapi yang banyak digunakan oleh pasien gagal ginjal kronik. Hemodialisis membutuhkan waktu jangka panjang sehingga dapat menimbulkan munculnya berbagai komplikasi yang dapat menimbulkan penurunan kualitas tidur. Fatigue dan depresi diduga berpengaruh terhadap penurunan kualitas tidur pasien yang menjalani hemodialisis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara fatigue dan depresi dengan kualitas tidur pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis di RSUD Pringsewu Lampung. Desain pada penelitian ini adalah cross sectional, dengan jumlah sampel sebanyak 103 pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Analisa data menggunakan uji korelasi Chi square dan regresi logistik berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara fatigue (p value 0.002), dan depresi (p value 0.034) dengan kualitas tidur. Variabel konfonding: usia, pekerjaan, jadwal HD dan lama tidur siang berhubungan signifikan dengan kualitas tidur (p = 0.022, p = 0.041, p = 0.024 dan p = 0.041), namun jenis kelamin, pendidikan, lama HD, hemoglobin, status nutrisi, dan komorbid tidak signifikan berhubungan dengan kualitas tidur (p > 0.05). Hasil analisis regresi logistik berganda menunjukkan fatigue, depresi, pekerjaan, lama HD dan lama tidur siang berkontribusi terhadap kualitas tidur (OR: 5.911, 5.382, 0.142, 0.401 dan 0.164). Dalam satu model ketika diregresikan secara bersamaan, kelima variabel ini berkontribusi sebesar 44,4% terhadap kualitas tidur. Fatigue merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas tidur. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian terhadap fatigue dan pengembangan intervensi keperawatan untuk meningkatkan kualitas tidur pasien hemodialisis

Hemodialysis (HD) is a method of treatment that is widely used by chronic kidney failure patients. Hemodialysis takes a long time so that it can cause various complications, which one of them is a decrease in sleep quality. Fatigue and depression are considered affecting the quality of sleep in patients undergoing hemodialysis. This study aims to determine the relationship between fatigue and depression with sleep quality in end-stage renal failure patients undergoing hemodialysis in RSUD Pringsewu Lampung. The design in this study was cross sectional, recruited a total sample of 103 patients with end-stage renal failure undergoing hemodialysis. Data analysis used Chi square correlation test and multiple logistic regression. The results of this study indicated that there was a significant relationship between fatigue (p value 0.002) and depression (p value 0.034) with sleep quality. In addition, age, occupation, HD schedule and length of nap were significantly correlated with sleep quality (p = 0.022, p = 0.041, p = 0.024 and p = 0.041, respectively). However, there were not significantly correlated between gender, education, duration of HD, hemoglobin, nutritional status, and comorbidities with sleep quality (p > 0.05). The result of multiple logistic regression analysis showed that fatigue, depression, occupation, duration of HD and length of nap contributed to sleep quality (OR: 5.911, 5.382, 0.142, 0.401 and 0.164 respectively). In the same model, these variables when regressed together could explain 44.4% to sleep quality. The fatigue became the most influential factor on sleep quality. Therefore, the assessment of fatigue and develop nursing interventions to improve sleep quality hemodialysis patients is pivotal to be conducted in taking care of haemodialysis patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Salwani
"Latar Belakang: Pasien hemodialisis (HD) kronik memiliki peningkatan risiko kematian. Penyakit kardiovaskular seperti aritmia merupakan penyebab kematian utama pasien HD kronik. Kidney Disease Outcome Quality Initiative merekomendasikan HD 3 kali per minggu, tetapi sebagian besar pasien di Indonesia menjalani HD dengan frekuensi 2 kali per minggu. Hal ini menyebabkan interdialytic weight gain, volume ultrafiltrasi, dan laju ultrafiltrasi menjadi lebih besar dan perubahan kadar elektrolit yang mendadak dapat mencetuskan arritmia.
Tujuan: Mengetahui pengaruh volume ultrafiltrasi, kadar kalsium ion pre HD, penurunan kadar kalium dan magnesium serum terhadap pemanjangan dispersi QTc pasien yang menjalani HD 2 kali seminggu.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif di lakukan di ruang Hemodialisis RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebanyak 128 pasien memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan kalium, magnesium dan elektrokardiogram untuk menilai dispersi QTc dilakukan sebelum dan sesudah HD serta kalsium ion sebelum HD. Analisis data dihitung menggunakan perangkat SPSS. Perbandingan antara pasien dengan atau tanpa pemanjangan dispersi QTc dilakukan dengan uji Chi-square dan uji Fisher exact untuk data kategorik dan uji T tidak berpasangan untuk data kontinu distribusi normal atau uji Mann whitney bila distribusi tidak normal. Analisis multivariat regresi logistik multivariabel digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemanjangan dispersi QTc.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 112 pasien. Terdapat pemanjangan dispersi QTc sebanyak 51 %. Pengaruh volume ultrafiltrasitehadap pemanjangan dispersi QTc tidak bermakna secara statistik (risiko relatif 1,069 dan IK (95%) 0,742-1,530 serta p=0,715). Pengaruh perubahan kadar kalium dan kadar kalsium ion pre HD terhadap pemanjangan dispersi QTc tidak bermakna secara statistik (p=0,943 dan p=0,842). Perubahan kadar magnesium terhadap pemanjangan dispersi QTc didapatkan berbeda bermakna secara statistik (p=0,023). Tidak dilakukan analisis multivariat karena hanya terdapat satu variabel dengan p < 0,02.
Simpulan: Pengaruh volume ultrafiltrasi, perubahan kadar kalium dan kadar kalsium ion pre HD terhadap pemanjangan dispersi QTc  tidak bermakna secara statistik. Perubahan kadar magnesium terhadap pemanjangan dispersi QTc berbeda bermakna secara statistik.

Introduction: Patients with end-stage renal disease (ESRD) requiring hemodialysis have a high mortality rate. Cardiovascular mortality is usually occurs suddenly. Kidney Disease Outcome Quality Initiative recommended three time a week HD but in Indonesia only two time a week HD. Two time a week HD increase the risk of higher interdialytic weight gain and  ultrafiltration volume (UFV) contributing to high serum electrolyte changes that cause arrhytmia. 
Objective: The aim of this study is to find effect of ultrafiltration volume, serum potassium changes, pre hemodialysis serum ionic calsium, serum magnesium changes on increased QTc dispersion in chronic hemodialysis patients twice a week.
Methode: This study is a prospective cohort study. A total 112 patient underwent twice-weekly regimens of HD in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Blood samples were Drawn for measurement of serum electrolytes, and a 12-lead ECG were performed to measure the QTc interval and QTc dispersion, immediately before and just after dialysis sessions. Analyzes were performed with SPSS. Chi-square or Fisher exact was used to compare QTc dispersion changes before and after dialysis and ultrafiltration volume. Paired t test was used to compare QTc dispersion changes and serum electrolytes before and after dialysis within the study group. Mann Whitney test was used for abnormal distribution. Multivariate analysis was used to find effect of ultrafiltration volume, serum potassium changes, pre HD serum ionic calsium, serum magnesium changes on increased QTc dispersion in chronic hemodialysis patients twice a week. 
Result: One hunDred twelve patients underwent twice weekly HD  were analyzed. Proportion of patients with prolong of QTc dispersion was 51 %.  The effect of ultrafiltration volume with the prolong of QTc dispersion was not statistically significant (relative risk 1,069, CI (95%) 0,742-1,530, p=0,715). The effect of serum potassium changes and pre HD serum ionic calsiumon increased QTc dispersion were not statistically significant (p=0,943 and p=0,842). The effect of serum magnesium changes with the elevated of QTc dispersion was statistically significant (p=0,023). Multivariate analysis was not done.
Conclusion: The effect of ultrafiltration volume, serum potassium changes and Pre HD serum ionic calsium on increased QTc dispersion was not statistically significant. The effect of serum magnesium changes with the elevated of QTc dispersion was statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidhia Umami
"Latar Belakang: Pasien hemodialisis HD memiliki tingkat aktivitas yang rendah sehingga menurunkan kualitas hidup dan meningkatkan kematian. Inaktivitas pada pasien HD dipengaruhi inflamasi kronik dan malnutrisi. Latihan fisik intradialitik adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas fisik, menurunkan tingkat inflamasi, dan memperbaiki status nutrisi. Belum diketahui peran latihan fisik intradialitik pada pasien HD dua kali seminggu.Tujuan: Mengetahui peran latihan fisik intradialitik dua kali seminggu terhadap kapasitas fisik, inflamasi, dan status nutrisi serta mengetahui jenis latihan fisik yang lebih baik untuk pasien HD dua kali seminggu.Metode: Penelitian uji klinis terbuka terhadap pasien HD rutin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta berusia lebih dari 18 tahun dan menjalani HD minimal 3 bulan. Subjek dikelompokkan secara acak menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol, latihan aerobik, dan latihan kombinasi aerobik dan resistensi. Latihan fisik intradialitik dilakukan selama 12 minggu. Luaran yang dinilai adalah massa otot, kekuatan otot, performa fisik, hsCRP, skor malnutrisi inflamasi dan indeks kualitas hidup. Analisis data menggunakan uji T tidak berpasangan untuk data yang terdistribusi normal dan Mann-Whitney untuk data terdistribusi tidak normal.Hasil: Randomisasi dilakukan terhadap 123 pasien yang memenuhi kriteria. Sebesar 55 laki-laki dengan rerata durasi HD 48 4-240 bulan. Rerata IMT laki-laki 22.53 SB 4.43 kg/m2 dan perempuan 24.34 SB 4.91 kg/m2. Status nutrisi 63.4 subjek kategori baik dengan 56.9 termasuk kategori inaktif. Terdapat peningkatan signifikan p
Background Hemodialysis HD patient has low physical activity. This contributes to decreased quality of life and increased mortality. Inactivity is also associated with chronic inflammation and malnutrition. Intradialytic exercise is an effort to prevent these conditions. There is still lack of evidence about the role of intradialytic exercise of twice a week dialysis patientsObjective To determine the role of intradialytic exercise in physical capacity, inflammation, and nutritional status of dialysis patients, as well as to determine which type of physical activity is more appropriate for twice a week HD patients.Methods This is a randomized clinical trial of maintenance HD patients aged over 18 years who have undergone routine dialysis for over 3 months in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjects were randomly assigned into 3 groups, namely control, aerobic exercise, and combination of aerobic and resistance exercise. After 12 weeks, the measured outcomes were muscle mass, muscle strength, physical performance, hsCRP, Malnutrition Inflammation Score MIS , and quality of life. Data were analyzed using independent t test for normally distributed data or Mann Whitney for abnormally distributed data. Results One hundred and twenty three patients who fulfil study criteria were randomized. About 55 subjects were men and mean of dialysis vintage was 48 4 240 months. Mean of BMI was 22.53 SD 4.43 kg m2 for men and 24.34 SD 4.91 kg m2 for women. About 63.4 patients were categorized as well nourished and 56.9 patients were inactive. There was significant increase p"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Khumaeroh
"Pasien dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) membutuhkan terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis (HD). Untuk mencapai keberhasilan HD diperlukan kepatuhan pasien terhadap pembatasan cairan. Kepatuhan cairan dapat tercapai saat pasien mampu melakukan penyesuaian diri dengan penyakit GGT dan terapi HD. Penyesuaian diri pasien HD terhadap penyakit GGT dan pembatasan cairan dapat berhubungan dengan penerimaan diri. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui hubungan penerimaan diri dengan kepatuhan pembatasan cairan pasien HD. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan consecutive sampling pada 121 responden. Pengumpulan data dengan kuesioner kepatuhan cairan dan self acceptance scale serta studi dokumentasi. Analisis yang digunakan yaitu Chi-Square dan regresi logistic. Hasil penelitian didapatkan responden yang patuh terhadap pembatasan cairan sebanyak 79,3% dan penerimaan diri sebanyak 78,5%. Hasil analisis didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan kepatuhan cairan (p=0,024) namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan IDWG (p=0,154). Ada hubungan variabel konfonding lama menjalani HD dengan kepatuhan cairan (p=0,033), variabel konfonding adekuasi HD dengan IDWG (P= 0,011). Namun, pada variabel konfonding lainnya tidak terdapat hubungan signifikan dengan kepatuhan cairan, diantaranya adalah: usia, jenis kelamin, pendidikan dan komorbiditas. Selanjutnya pada analisis multivariat variabel yang paling dominan mempengaruhi kepatuhan cairan adalah penerimaan diri (p=0,006) setelah dikontrol variabel jenis kelamin dan lama menjalani HD serta mampu memprediksi sebesar 21% terhadap kepatuhan pembatasan cairan. Rekomendasi penelitian ini adalah perawat perlu mengidentifikasi serta melakukan upaya meningkatkan penerimaan diri pasien untuk meningkatkan kepatuhan cairan dengan intervensi seperti therapy reality dan terapi berpikir positif. Perawat harus lebih memperhatikan adekuasi HD dan berat badan kering pasien untuk menghindari peningkatan IDWG. Selain itu, rekomendasi untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan instrumen penelitian yang mampu melihat waktu yang dibutuhkan pasien HD untuk mencapai tahap acceptance serta melakukan analisis lanjutan pada hasil penelitian ini tentang kesenjangan hasil antara kepatuhan cairan yang tinggi berdasarkan kuesioner namun mayoritas responden pada IDWG berat.

Patients with End Stage Renal Disease (ESRD) requires a renal replacement therapy in the form of hemodialysis (HD). To achieve success of HD requires patient compliance with fluid restrictions. Fluid adherence can be achieved when the patients is able to adjust to ESRD and HD therapy. Adjustment of patients HD to ESRD and fluid restriction can be related to self acceptance. This study aimed to identify the relationship between self acceptance and fluid adherence in ESRD patients undergoing HD. This study used cross sectional design with consecutive sampling of 121 respondents. Data collection used fluid adherence questionnaires, self acceptance scale and documentation studies. The analysis used chi square and logistic regression. The result showed that 79,3% of respondents had adherence to fluid restriction and 78,5% of them had self acceptance. The analysis result also showed there was a significant relationship between self acceptance and fluid adherence (p=0,024), but no significant relationship between self-acceptance and IDWG (p=0.154). There was significant relationship between confounding variable of the length of time undergoing HD and fluid adherence (p=0.033), adequacy HD and IDWG (p=0,011). However, other confounding variables were not significant relationship with fluid adherence, which were: age, gender, education, and comorbidities. Furthermore, the multivariat analysis found that self acceptance was the most dominant variable affecting fluid adherence (p=0.006) after controlling by variables of the sex and the length of time undergoing HD, which can predicted 21% to fluid adherence. Recommendations for this study are nurses need to identify and make efforts to increase patient self-acceptance to improve fluid compliance with interventions such as reality therapy and positive thinking therapy. Nurses should more attention to HD adequacy and dry weight of the patient to avoid an increase in IDWG. In addition, recommendations for further researchers are expected to use research instruments that are able to see the time needed for HD patients to reach the acceptance stage and carry out further analysis on the results of this study regarding the gap in results between high fluid adherence based on the questionnaire but the majority of respondents on the IDWG severe."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>