Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92354 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Camar Lanang Maulana
"Manusia sebagai makhluk sosial dalam berinteraksi dengan manusia lain tidak bisa lepas dari tindakan menolong, namun seringkali perbuatan ini merupakan hal yang dianggap remeh, terlalu keseharian dan dianggap bukan hal yang filosofis. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau pengaruh dari gagasan etika kepedulian terkait kegiatan menolong. Etika kepedulian menganggap prinsip kepedulian merupakan hal dasar dalam penalaran moral, begitu juga dalam hal menolong. Oleh sebab itu tulisan ini akan berargumen mengenai pentingnya prinsip kepedulian dalam menolong dibanding hanya berfokus pada prinsip keadilan. Untuk sampai pada tujuan tersebut, tulisan ini akan menggunakan metode distingsi konseptual serta analisis kritis. Dalam tulisan ini akan mendeskripsikan teori dasar etika kepedulian terutama menurut Carol Gilligan, kemudian membandingkannya dengan etika keadilan. Setelah itu barulah dilakukan analisis kritis terhadap konteks menolong dan menjawab kritik yang relevan. Hasilnya ditemukan prinsip kepedulian merupakan unsur penting dalam menolong supaya tindakan menolong tidak menjadi kering dan kehilangan arti.

Humans as social beings in interacting with other humans cannot be separated from helping, but often this action is something that is underestimated, are too unpretentious, and is considered not a philosophical thing. This paper aims to examine the influence of ethics of care related to helping activities. Ethics of care considers the principle of caring to be a basic thing in moral reasoning, as well as in terms of helping. This paper will argue about the importance of the principle of caring in helping rather than just focusing on the principle of justice. To achieve this goal, this paper will use conceptual distinction and critical analysis methods. In this paper, we will describe the basic theory of ethics of care, especially according to Carol Gilligan, then compare it with the ethics of justice. After that, a critical analysis is carried out in the context of helping and answers relevant criticism. As a result, it was found that the principle of caring is an important element in helping so that helping actions do not become dry and lose meaning."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Dinortu S.
"Dilatarbelakangi oleh besarnya antusiasme penonton terhadap kepopuleran permainan sepak bola. Penelitian ini merupakan analisa kritis tentang fenomena kesadaran dan perilaku penonton sepak bola. Pemikiran filsafat yang digunakan adalah konsep seni hidup (the art of life) menurut pemikiran Epictetus. Penelitian ini menggunakan metode kritis reflektif dan fenomenologis. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan fenomena kesadaran dan perilaku penonton sepak bola dalam realitas persepakbolaan ditinjau melalui konsep seni hidup menurut Epictetus. Hasil dari penelitian ini menjelaskan pemahaman konsep seni hidup sebagai bentuk penghayatan bagi penonton sepak bola dalam memaknai kesadaran dan perilakunya untuk bersikap layaknya fans sejati dalam realitas persepakbolaan.

This research is based on the high enthusiasm of football game spectators, it is a critical analysis about football game spectators" consciousness and behavioral phenomenon. The philosophical thinking that is used in this study is "art of life concept" by Epictetus. The methods used in this study are critically reflective and phenomenological methods. The purpose of this study is to explain the consciousness and behavioral phenomenon of football spectators in a football reality, is reviewed through the concept of the art of living according to Epictetus. The results of this study explains the understanding of the art of life concept as a form of appreciation for the football spectators in interpreting their consciousness and behavior to act like a true fans in the football reality.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S64731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Musfi Romdoni
"ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk membantah pembagian adanya dua Wittgenstein karena TLP dan PI sama- sama menggunakan bahasa fenomenalis. Menurut John W. Cook, Ludwig Wittgenstein adalah filsuf yang paling banyak disalahpahami di abad ke-20 karena tidak dipahaminya neutral monism yang menjadi asumsi fundamental dalam seluruh pekerjaannya yang membuatnya menerapkan bahasa fenomenalis. Tractatus Logico-Philosophicus (TLP) dan Philosophical Investigation (PI) adalah karya yang paling monumental dari Ludwig Wittgenstein. TLP disebut Wittgenstein I karena berisi prosedur logika simbolik yang ketat, yang disebut picture theory ; dan PI sebagai Wittgenstein II karena berisi cara kerja bahasa, yang disebut language game atau permainan bahasa. Keduanya kemudian dipahami sebagai karya yang bertentangan. Untuk sampai ke tujuan tersebut, terlebih dahulu dipaparkan mengenai 2 kesalahan utama dalam membaca TLP : (1) memahami picture theory menyalin realitas secara denotatif, dan (2) memahami TLP berusaha untuk mengganti bahasa sehari-hari dengan logika ; dan 2 kesalahan utama dalam membaca PI : (1) memahami tidak lagi terdapat pembahasan logika di PI, dan (2) memahami PI sebagai legitimasi relativitas bahasa dan budaya. Penulis menemukan bahwa TLP dan PI tidak dapat dipertentangkan karena keduanya memiliki asumsi filosofis yang sama yaitu penggunaan bahasa fenomenalis. Menggunakan metode analisis kritis, teks TLP dan PI dianalisis secara kritis dan rinci untuk memperlihatkan bagaimana keduanya memiliki cara kerja yang sama. Elaborasi kritis juga dilakukan untuk memperlihatkan relasi temuan penulis dengan temuan dalam penelitian-penelitian sebelumnya mengenai Wittgenstein.

ABSTRACT
This paper aims to refute the division of the two Wittgenstein because TLP and PI are both using phenomenal language. According to John W. Cook, Ludwig Wittgenstein was the most misunderstood philosopher of the 20th century because neutral monism which was a fundamental assumption in all his work that made him apply phenomenal language is can not be understood. Tractatus Logico-Philosophicus (TLP) and Philosophical Investigation (PI) are the most monumental works of Ludwig Wittgenstein. TLP is called Wittgenstein I because it contains strict symbolic logic procedures, called picture theory ; and PI as Wittgenstein II because it contains the workings of language, which is called a language game. Both of them are then understood as contradictory works. To reach aim of this paper,first it is explained about two main errors in reading TLP : (1) understanding picture theory copying reality denotatively, and (2) understanding TLP trying to replace daily language with logic ; and 2 main errors in reading PI : (1) understanding there is no longer any discussion of logic in PI, and (2) understanding PI as the legitimacy of language and cultural relativity. The author finds that TLP and PI cannot be disputed because both have the same philosophical assumption, namely the use of phenomenal language. Using the critical analysis method, TLP and PI texts are analyzed critically and specifically to show how both have the same way of working. Critical elaboration was also carried out to show the relationship of the writers invention with the invention in previous studies concerning about Wittgenstein."
2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Burke, Edmund, 1729-1797
"By the eighteenth century, the term 'sublime' was used to communicate a sense of unfathomable and awe-inspiring greatness, whether in nature or thought. The relationship of sublimity to classical definitions of beauty was much debated, but the first philosopher to portray them as opposing forces was Edmund Burke (1729–97). Originally published in 1757 and reissued here in the revised second edition of 1759, this influential treatise explores the psychological origins of both ideas. Presented as distinct consequences of very separate emotional lineages, beauty and sublimity are traced back through a web of human feelings, from self-preservation instincts to lust. Burke's doctrine of the sublime was to have far-reaching effects. In Britain, it informed perceptions of landscape in art and literature for years to come. Meanwhile, on the continent, Kant regarded Burke as 'the foremost author' in 'the empirical exposition of aesthetic judgments'."
Britain: Cambridge University Press, 2014
e20519407
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Sonia Tinshe
"ABSTRAK
Imigrasi telah menjadi salah satu permasalahan penting di dalam politik Amerika Serikat sejak negara tersebut masih menulis konstitusi. Berkenaan dengan peran imigran dalam membentuk masyarakat Amerika, penting untuk melihat bagaimana mereka, sebagai minoritas, digambarkan oleh tokoh-tokoh politik yang sangat berpengaruh, seperti presiden. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami ideologi di balik pidato politik Obama dan Trump tentang imigrasi, serta relevansinya dengan wacana politik dan konteks sosial di Amerika. Lima pidato politik dari Obama (2009-2014), serta dua pidato politik dari Trump (2016-2017) dianalisis sebagai data primer menggunakan Analisis Wacana Kritis three-dimensional framework Fairclough (1993). Hasil analisis menunjukkan bahwa ideologi dari pidato Obama dan Trump berkaitan dengan pandangan mereka mengenai identitas imigran di dalam masyarakat Amerika. Hal tersebut tergambarkan dari penggunaan kata sifat yang merendahkan, serta topik yang dihubungkan dengan imigrasi. Dilihat dari wacana politik, hal ini menunjukkan superioritas dan kekuasaan kedua presiden atas imigran. Sedangkan jika dilihat dari segi sosial, hal tersebut merendahkan kemanusiaan dan mengurangi identitas para imigran."
2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail
"Pergeseran makna yang terjadi didalam cinta menimbulkan urgensi tersendiri bagi umat manusia. Setelah dipahami secara bahasa dan biologis makna cinta secara umum, cinta memiliki kaitan yang sangat erat dengan kasih sayang. Walaupun begitu, sebagian manusia bahkan filsuf menganggap bahwa cinta merupakan tameng atas hasrat manusia. Oleh sebab itu cinta perlu diciptakan kembali agar makna dari cinta tidak bergeser untuk atribut praktik di dalam kehidupan manusia seperti seks, religi dan sebagainya. Penemuan kembali cinta sebagai ungkapan kasih sayang dengan dasar atribut paling netral manusia yaitu rasio memberikan sebuah pencerahan di dalam memahami cinta agar ditemukan kebenaran dan alasan yang rasional untuk mencintai seseorang dengan tujuan kesadaran manusia.

The shifting of meaning of love creates an urgency for humanity. When we try understand the meaning of love from the biology and the fields of language we found out that love relates a lot with affection. Nevertheless, some people even philoshophers assumes that love is a shield of human?s desire. So that is why love needs to be recreate once again so the meaning of love does not become a practical attribute in human?s life such as sex, religion, etc. Love as an affection from human?s neutral attribute that is reason that gives an enlightenment in the understanding of love so the truth and rational reason to love someone with human?s consiousness could be achieved."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S57523
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yofan Gamaliel Siara
"Artikel ini merupakan kajian filosofis yang menjelaskan akar dari permasalahan relasi cinta melalui teori abjeksi Julia Kristeva. Beragam relasi cinta antar manusia tidak terlepas dari hasrat manusia sehingga selalu memunculkan rasa berkekurangan. Jarak dan rasa berkekurangan dengan hasrat ini yang menjadi akar berbagai kesedihan dan penderitaan dalam relasi cinta antar manusia. Artikel ini mencari jawaban dari pertanyaan mengapa selalu adanya rasa berkekurangan hasrat dalam relasi cinta dan bagaimana seharusnya manusia merespon abjeksi dari hal tersebut. Data dalam artikel ini terkumpul melalui metode kepustakaan yang ditelaah secara filosofis dengan metode psikoanalisis estetis, Upaya ini dilakukan untuk mengkaji akar dari problem relasi dan cinta dengan berangkat dari fenomena abjeksi dan mencari jawaban memberi respon yang argumentatif. Pemikiran abjeksi Kristeva digunakan sebagai pendekatan yang membuka perspektif atas cinta. Artikel ini membuktikan bahwa perlu ada perebutan makna atas cinta dalam memahami kesedihan dan penderitaan tersebut sebagai proses pembentukan diri.

This article is a philosophical study that explains the root of the problem of love relationships through Julia Kristeva's theory of abject. Various love relationships between humans are inseparable from human desires so that it always creates a feeling of lack. Distance and a sense of lack with this desire are the roots of various sorrows and suffering in love relationships between people. This article seeks answers to the question why there is always a lack of desire in love relationships and how humans should respond to the objection of it. The data in this article were collected through the literary method which was examined philosophically using the aesthetic psychoanalysis method. This effort was made to examine the roots of the problem of relationships and love by departing from the phenomenon of abjection and seeking answers and giving argumentative responses. Kristeva's abjection of thought is used as an approach that opens perspectives on love. This article proves that there needs to be a struggle for the meaning of love in understanding sadness and suffering as a process of self-formation."
Depok: 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lessing, Gotthold Ephraim, 1729-1781
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2005
193 LES p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Naupal
"ABSTRAK
Konsep mengenai Tuhan bersifat fluktuasi atau mengalir. Makna kata "Tuhan" terus menerus mengalami pengayaan semantis dan sosio-pragmatis. Perjalanan konsep Tuhan berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran manusia. Sejarah perkembangan manusia memperlihatkan adanya aliran-aliran dalam konsep ketuhanan, misalnya dikenal konsep teisme, deisme, panteisme dan lain sebagainya. Aliran-aliran itu muncul sebagai keragaman cara pandang terhadap realitas yang tertinggi dari fenomena. di balik dunia yang tampak.
Kekayaan makna konseptual Tuhan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelisahkan penulis. Apa yang menyebabkan keragaman tersebut muncul dan apakah ada suatu landasan dasariah atas keragaman tersebut. Pertanyaan tersebut muncul sebagai akibat dari realistis empiris yang memperlihatkan bahwa konsep tentang Tuhan semakin terpragmentasi dan multiperspektif, bahkan dalam suatu agama pun orang mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhannya. Hal ini dapat terjadi karena konsep Tuhan tidak lahir dari ruang hampa budaya, melainkan dari interpretasi dan penalaran manusia yang terbungkus dalam konteks.
Cara pandang manusia tentang Tuhan dalam perjalanan selanjutnya dilandasi oleh dua sumber:
1. Akal budi (rasio), yang menghasilkan argumen filosofis mengenai keberadaan Tuhan.
2. Pengungkapan (revelation) yang tertuang dalam teks-teks suci (wahyu) dengan argumen teologisnya.
Kedua sumber itu yang kemudian sering kali menjadi dua klub yang saling bertubrukan dan bergesekan, yaitu kebenaran wahyu dan kebenaran akal budi. Kedua legitimasi kebenaran tersebut bagaikan pendulum selalu berayun dari suatu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Sehingga, ada kelompok yang menafikan kebenaran akal budi dan hanya man menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam akan hanya mau menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam atau yang terlihat pada masa dark ages sebagai umat Kristiani di Eropa pada abad pertengahan. Sedang sisi ekstrim kebenaran akal terlihat pada para filsuf positivistic yang menafikan segala yang berbau metafisik Tuhan.
Sikap berlebih-lebihan dari dua kelompok tersebut mendapat perhatian yang cukup mendalam dari para filsuf ketuhanan. Tesis ini akan menunjukan bagaimana Al-Ghazali dan Thomas Aquinas sebagai tokoh filsuf ketuhanan dalam Islam dan Kristen berusaha mendamaikan kedua paham ekstrim tersebut dengan argumen-argumen yang kokoh

Baik A1-Ghazali maupun Thomas Aquinas berusaha menempatkan kedudukan akal dan wahyu secara proporsional sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pandangan kedua filsuf tentang kedudukan akal dan wahyu sangat panting untuk dipahami, karena akan mengantarkan kita kepada pemalraman akan pemikiran filsafat ketuhanan mereka, seperti tentang konsep keesaan, transendensi dan imanensi, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Walaupun ada beberapa hal yang berada tentang konsep ketuhanan dari kedua tokoh tersebut, karena perbedaan agama, budaya, dan latar belakang kehidupan dan gagasan dasar ide ketuhanan, tapi keduanya telah berusaha memurnikan ajaran agama masing-masing dari segala bidaah, baik dari kaum filosofis bagi eksistensi Allah dengan tetap menaruh perhatian yang besar terhadap kebenaran wahyu sebagai argumen tekstual yang bersifat adi kodrati.
Pemikiran-pemikiran filosofis tentang konsep ketuhanan dari A1-Ghazali dan Thomas Aquinas masih perlu untuk diteliti, bahkan tetap relevan hingga kini, walaupun keduanya hidup pada abad pertengahan, sebab ajaran-ajaran mereka hingga kini masih tetap dilestarikan dan terus dikaji. Di hampir seluruh Pondok Pesantren di Indonesia, karya-karya Al-Ghazali masih menjadi bacaan wajib, demikian juga ajaran Thomas Aquinas masih terns dipelajari, bahkan Para mahasiswa di Sekolah Tinggi Driyarkara begitu akrab dengan Thomisme. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>