Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166022 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dessy Eko Prayitno
"Reforma agraria yang dilaksanakan saat ini, masih difokuskan pada penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah, yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang mata pencaharian utamanya bergantung pada tanah, sedangkan perlindungan lingkungan hidup belum secara optimal dijadikan pertimbangan dan/atau tujuan dalam desain program dan kebijakannya. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis bagaimana pelaksanaan reforma agraria di Indonesia dikaitkan dengan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup, kemudian berdasarkan analisis tersebut akan dirumuskan redesain reforma agraria dalam rangka menyeimbangkan kepentingan kesejahteraan dan perlindungan lingkungan hidup. Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual, normatif, historis, dan komparatif untuk menjawab permasalahan yang diajukan. Hasil Penelitian ini menunjukkan, meskipun UUPA sudah mengakomodasi perlindungan lingkungan hidup, tetapi dalam pelaksanaannya masih difokuskan untuk kepentingan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, sedangkan perlindungan lingkungan hidup belum menjadi pertimbangan dan tujuan pelaksanaan reforma agraria. Secara dampak, reforma agraria memiliki dampak positif dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, terhadap perlindungan lingkungan hidup, reforma agraria dapat berpotensi merusak ekosistem hutan, jika tidak dilakukan secara cermat dan hati-hati. Hal ini mengingat, saat ini, objek reforma agraria bertumpu pada kawasan hutan, baik yang dilakukan melalui TORA maupun perhutanan sosial, mencapai 16,8 juta hektar atau 77,4% dari total 21,7 juta hektar. Untuk itu, untuk menyeimbangkan kepentingan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup, reforma agraria harus diredesain dengan: (a) mengintegrasikan nilai-nilai dan semangat UUPA dan Pancasila dalam perencanaan kebijakan dan programnya; (b) mengintegrasikan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup sebagaimana mandat TAP MPR IX/2001 dan UUPPLH dalam perencanaan kebijakan dan programnya; (c) memperkuat penataan ruang dalam reforma agraria dengan mengaplikasikan LUCIS; (d) memperkuat kelembagaan reforma agraria yang dipimpin langsung oleh presiden; dan (e) mengintegrasikan pendanaan reforma agraria melalui BPDLH untuk sinergi dalam perlindungan lingkungan hidup, sekaligus menjamin keberlanjutan pendanaannya.

The current agrarian reform is still focused on structuring land ownership, which is aimed to improve the standard of living of people whose main livelihoods depend on land, while environmental protection has not been optimally taken into consideration and/or objective in its design of programs and policies. This study aims to analyze the implementation of agrarian reform in Indonesia, and its impact on community welfare and environmental protection. Based on those analysis, this study will formulate agrarian reform redesign in order to balance the interests of community welfare and environmental protection. This study uses a conceptual, normative, historical, and comparative approach to answer the problems posed. The results of this study indicate that although the UUPA/Agrarian Act has accommodated environmental protection, but in its implementation is still focused on the interests of the economy and community welfare, while environmental protection has not become a consideration and/or objective of the agrarian reform. In terms of impact, agrarian reform has a positive impact in realizing community's welfare. However, with regard to environmental protection, agrarian reform can potentially damage forest ecosystems, if not carried out carefully. This is because, currently, the object of agrarian reform relies on forest areas, both through TORA and social forestry, reaching 16.8 million hectares or 77.4% of the total target of 21.7 million hectares. Therefore, to balance the interests of community welfare and environmental protection, agrarian reform must be redesigned by: (a) integrating the values and spirit of the UUPA and Pancasila in its policy and program; (b) integrating the principles of environmental protection as mandated by TAP MPR IX/2001 and UUPPLH in its policy and program; (c) strengthening spatial planning in agrarian reform by applying LUCIS; (d) strengthening agrarian reform institutions led directly by the president; and (e) integrating agrarian reform’ funding through BPDLH to synergies in environmental protection, as well as ensuring the sustainability of its funding."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvira
"Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada praktiknya banyak menimbulkan permasalahan, salah satunya disebabkan oleh muatan Klausul Hak Membeli Kembali yang memberikan hak kepada Penjual untuk dapat membeli kembali objek tanah dan bangunan yang telah dijualnya kepada Pembeli. Beberapa Yurisprudensi terkait pencantuman Hak Membeli Kembali dalam jual beli tanah memutuskan untuk melarang penggunaannya sebab berpotensi menimbulkan penyelundupan hukum. Namun sampai dengan saat ini tidak ada peraturan yang mengatur kebolehan atau larangan penggunaan hak tersebut, oleh karenanya banyak menimbulkan permasalahan, salah satunya adalah kasus pada Putusan Peninjauan Kembali Nomor 539 PK/Pdt/2020 di mana hakim justru menyatakan sah dan mengikat atas Akta PPJB yang memuat Klausul Hak Membeli Kembali. Berangkat dari hal tersebut maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai alasan dikategorikannya PPJB dengan Hak Membeli Kembali sebagai penyelundupan hukum serta analisis Putusan PK tersebut yang memperbolehkan penggunaan Hak Membeli Kembali dalam PPJB. Untuk menjawab permasalahan digunakan bentuk metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipologi penelitian preskriptif. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa PPJB dengan Hak Membeli Kembali merupakan bentuk penyelundupan hukum kepemilikan tanah karena memenuhi unsur-unsurnya yaitu adanya perbuatan hukum penundukan kepada lembaga PPJB dengan Hak Membeli Kembali dengan cara menghindari lembaga utang- piutang dengan jaminan kebendaan dan ada niat untuk mencapai tujuan tertentu untuk memperoleh keuntungan. Selanjutnya terkait analisis putusan didapatkan hasil bahwa putusan tersebut tidak tepat karena melanggar Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Iktikad Baik, Asas Keadilan, dan Asas Kesesuaian dengan Hukum Adat. Oleh karenanya untuk mencegah permasalahan serupa terjadi kembali diharapkan adanya pengaturan mengenai PPJB secara khusus serta kejelasan atas penggunaan Hak Membeli Kembali pada transaksi tanah.

The Deed of Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB Deed) has already caused many problems, one of which is caused by the content of The Right of Buy Back Clause that gives the Seller right to buy back the land and building objects that he has been sold to the Buyer. Several precedents related to the use of The Right of Buy Back in the Sale and Purchase agreement decided to prohibit its use because it may lead to legal smuggling. However, there has not been a single regulation to permit or prohibit the use of these right yet. As a result it causes many problems, for example is the case on the Judicial Review Decision Number 539 PK/Pdt/2020. The judge of such Decision declared that the PPJB Deed with The Right of Buy Back Clause was valid and binding. Based on that situation, the problems in this study are the reasons why PPJB Deed with The Right of Buy Back Clause can be categorized as a legal smuggling of land ownership and the analysis of Judicial Review Decision which permit the use of The Right of Buy Back. In term of answering the problem, a normative juridical legal research method is used with a prescriptive research typology. The research’s analysis show that PPJB Deed with Buyback Right is a form of legal smuggling of land ownership because the parties deliberately use PPJB with Buyback Right instead of using debt agreement with material guarantees, and also there is an intention party to achieve certain goals to make a profit. Furthermore, regarding the analysis of the Judicial Review Decision was found that it is not correct because it is against the principles of freedom of contract, the principle of good faith, the principle of justice, and the principle of conformity with customary law. Therefore, to prevent similar problems from happening again, it is hoped that there will be regulations regarding PPJB Deed specifically and clarity on the use of the Buyback Right in term of land transaction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Avissa
"Salah satu bentuk peralihan hak atas tanah yaitu melalui perbuatan jual beli, dalam pelaksanaannya diperlukan adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum sehingga perjanjian jual beli dilakukan di hadapan PPAT. Banyaknya kasus mengenai jual beli tanah yang melanggar hukum, menunjukan pentingnya pembahasan mengenai perbuatan PPAT yang mengalihkan hak atas tanah menggunakan akta jual beli yang didasari perikatan jual beli cacat hukum yang termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri No 150/Pdt.G/2019/PN.JKT.TIM. Adapun permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai keabsahan akta jual beli yang dibuat dengan dasar perikatan jual beli cacat hukum, dan pertimbangan hakim terkait keabsahan akta jual beli tersebut. Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif dan dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif. Hasil analisis menunjukan bahwa keabsahan akta jual beli yang pembuatannya didasari perikatan jual beli cacat hukum yang disebabkan tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian mengenai kesepakatan, kecakapan, dan kausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata, tidak terpenuhinya sifat tunai dan terang jual beli menurut hukum adat, serta tidak terpenuhinya syarat materil dan formil jual beli yang diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No 123K/Sip/1970, mengakibatkan akta jual beli tersebut batal demi hukum, sedangkan perbuatan PPAT tersebut dinilai lalai dalam menjalankan tugas. Kemudian majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan batal akta jual beli tersebut dan menyatakan PPAT R melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, PPAT dalam melakukan peralihan hak atas tanah sebelum dibuatkannya akta jual beli seharusnya lebih hati-hati, teliti dan mempelajari keabsahan dokumen, keabsahan perbuatan hukum, untuk menghindari adanya pembatalan akta dikemudian hari.

This research discusses the validity of the Sales and Purchase Deed. One of the cases that became the issues in this research is the act of the Land Titles Registrar (PPAT)’s who transfers land rights using a sales and purchase deed which was based on a legally flawed sales and purchase agreement listed in the District Court Decision No.150/Pdt.G/2019/PN.JKT.TIM. The issues in this research are regarding the validity of the sales and purchase deed which was made based on the basis of a legally flawed sales, and purchase agreement and regarding the judge's consideration regarding the validity of the sales and purchase deed. To answer those issues, this research used normative juridical research methods and analyzed using the qualitative data analysis. The results of the analysis are that the validity of the Sales and Purchase Deed, which is made based on a legally flawed sales and purchase agreement caused by the non-fulfillment of the subjective elements of the validity of the agreement and the material requirements of the sales and purchase resulted in the cancellation of the sale and purchase deed, while the the Land Titles Registrar/PPAT’s action was considered negligent in carrying out its duties. Then the judges in their consideration, declared that the Sales and Purchase Deed is canceled and declared that Land Titles Registrar/PPAT R had committed an act against the law. Therefore, in transferring the land rights before the sale and purchase deed is drawn up, the Land Titles Registrar/PPAT should be more careful, thorough and study the validity of documents, the validity of legal acts, to avoid any claims for cancellation of the deeds that have been made."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Abdoel Aziz
"Tesis ini membahas setoran pajak dalam pembuatan akta otentik. Berdasarkan Putusan
Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 158/Pid.Sus/2019, TL divonis bersalah karena
terbukti melakukan tindak pidana perpajakan berupa pemalsuan surat setoran PPh dan
BPHTB. Tindak pidana tersebut dapat dilakukan dikarenakan ia mengetahui bahwa
PPAT yang mempekerjakan dirinya yakni PPAT MS lalai mengecek surat setoran PPh
dan BPHTB yang diserahkan olehnya. Terkhusus untuk PPh, PPAT MS juga lalai
mengecek surat setoran PPh yang ia terima telah dilakukan penelitian terhadapnya atau
belum. Untuk itu, dalam tesis ini akan dibahas mengenai tanggung jawab PPAT terhadap
setoran pajak dalam pembuatan akta otentik dan juga tanggung jawabnya dalam hal
tersebut berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 158/Pid.Sus/2019.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan
studi dokumen melalui penelusuran literatur atas data sekunder. Metode pendekatan
analisis yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Dari penelitian yang dilakukan
diketahui bahwa tanggung jawab PPAT terhadap setoran pajak dalam pembuatan akta
otentik adalah dalam hal BPHTB PPAT wajib menerima surat setoran pajak sebelum
membuatkan akta otentik. Sedangkan untuk PPh, PPAT juga wajib memastikan
bahwasanya telah dilakukan penelitian terlebih dahulu terhadap surat setoran PPh yang
diserahkan kepadanya. Apabila seorang PPAT mengabaikannya, maka ia dapat
dikenakan sanksi administratif dan dimungkinkan juga untuk dituntut kerugian atas
kelalaiannya. Atas kelalaian PPAT MS tidak mengecek apakah surat setoran PPh yang
diterima olehnya telah diteliti terlebih dahulu atau belum, maka PPAT MS dapat dimintai
pertanggungjawaban secara administratif dan perdata. Pertanggungjawaban secara
administratif adalah dengan dikenakan sanksi administratif. Sedangkan
pertanggungjawaban secara perdata dalam hal ini dituntut ganti kerugian melalui gugatan
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Penelitian ini kemudian memberikan saran
agar PPAT senantiasa menjalankan ketentuan yang mengikat dirinya dalam hal menerima
surat setoran PPh dan BPHTB dan mengecek surat setoran PPh sudah dilakukan
penelitian atau belum. Pengecekan tersebut harus dilakukan karena merupakan tanggung
jawabnya dan apabila diabaikan maka ia dapat dikenakan sanks

This thesis discusses tax payments in making authentic deeds. Based on the Decision of
the Cibinong District Court Number 158 / Pid.Sus / 2019, TL was convicted of being
convicted of a tax crime in the form of forgery of income tax and BPHTB deposits. The
criminal act could be committed because he knew that the PPAT who employed him,
namely PPAT MS, failed to check the PPh and BPHTB deposit letters that were submitted
by him. Particularly for PPh, PPAT MS also neglected to check the income tax deposit
that he received had researched on it or not. For this reason, this thesis will discuss the
PPAT's responsibility for tax payments in making authentic deeds and also its
responsibilities in this regard based on the Cibinong District Court Decision Number 158
/ Pid.Sus / 2019.. The research method used in this research is normative juridical, with
study through literature for searching secondary data. The analytical approach method
that used in this research is qualitative approach. From the research conducted, it is
known that the PPAT responsibility for tax payments in making authentic deeds is in the
case that BPHTB PPAT is obliged to receive a tax payment letter before making an
authentic deed. As for PPh, PPAT is also obliged to ensure that an examination has been
made of the PPh deposit letter submitted to him. If a PPAT ignores it, then he can be
subject to administrative sanctions and it is also possible to sue for losses for his
negligence. For the negligence of PPAT MS not to check whether the PPh deposit letter
received by him has been examined or not, then PPAT MS can be held accountable
administratively and civil. Administrative responsibility is subject to administrative
sanctions. Meanwhile, civil liability, in this case, requires compensation through a claim
for default and actions against the law. This research then provides suggestions for PPAT
to always carry out the provisions that bind itself in terms of receiving PPh and BPHTB
deposit letters and checking the PPh deposit documents whether research has been
carried out or not. This check must be carried out because it is his responsibility and if it
is ignored, he will be subject to sanctions
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jelian Isra Risandy
"Pelaksanaan Perjanjian Gadai secara Adat biasanya dilakukan oleh kelompok masyarakat Adat di beberapa daerah pelosok di Indonesia. Salah contoh Gadai Adat yang masih ada saat ini ialah Gadai adat yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pukdale Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang. Perjanjian Gadai Tanah tersebut harusnya bisa menjadi alternatif lain dalam hal mencari Pinjaman Tunai atau Kredit selain malalui lembaga Perbankan Maupun Pegadaian Konvensional. Apalagi dimasa Pandemi Covid-19 yang masih terjadi saat ini, banyak masyarakat yang memerlukan Pinjaman cepat dan Tanpa Proses Administrasi yang Rumit Layaknya Lembaga Perbankan. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai Implementasi Perjanjian Gadai Tanah Sebagai Alternatif Kredit Non Perbankan Dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan di Desa Pukdale Kabupaten Kupang Provinsi NTT dan Keabsahan dan Kekuatan Hukum Gadai Tanah di Desa Pukdale Kabupaten Kupang Provinsi NTT menurut Ketentuan Perundang-undangan. Tipologi Penelitian yang digunakan adalah Penelitian dalam bentuk Eksploratoris, dan bentuk penelitian ialah Non Dokrinal. Sedangkan Metode Analisis Data yang digunakan adalah Metode Pendekatan Kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa adanya gadai tanah ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam hal memperoleh suatu pinjaman secara langsung dan tunai tanpa harus melalui kredit di Perbankan serta diharapkan mampu menjadi salah satu penggerak ekonomi yang bagi masyarakat sekitar. Eksistensi dari Pelaksanaan Perjanjian Gadai Tanah masih tetap berjalan sampai dengan saat ini di beberapa daerah di Indonesia. Masih berjalannya Perjanjian tersebut dapat ditinjau dari peraturan Perundang-undangan yang tetap berlaku serta memiliki keabsahan dan Kekuatan Hukum yang mengikat bagi Para pihak yang terlibat dalam Perjanjian Gadai Tanah tersebut. Diharapkan para pihak melibatkan juga peran Notaris dalam Perjanjian Gadai, dimana Akta Notaris sebagai Akta Otentik memiliki sifat dan Kekuatan Pembuktian Lahiriah, Kekuatan Pembuktian Formal serta Kekuatan pembuktian Materiil.

The implementation of Customary Pawn Agreements is usually carried out by Indigenous community groups in several remote areas in Indonesia. One example of traditional pawning that still exists today is the traditional pawning done by the community in Pukdale Village, East Kupang District, Kupang Regency. The Land Pawn Agreement should be another alternative in terms of seeking cash or credit loans other than through conventional banking or pawnshop institutions. Especially during the Covid-19 Pandemic which is still happening today, many people need fast loans and without complicated administrative processes like banking institutions. The problems studied in this study are regarding the Implementation of Land Pledge Agreements as Alternatives to Non-Banking Credit in the People's Economy System in Pukdale Village, Kupang Regency, NTT Province and the Legitimacy and Legal Strength of Land Pawning in Pukdale Village, Kupang Regency, NTT Province according to statutory provisions. The research typology used is research in an exploratory form, and the research form is non-docryral. While the Data Analysis Method used is a Qualitative Approach Method. The research results show that the existence of a land pawn is expected to be able to help the community in obtaining a loan directly and in cash without having to go through banking credit and is expected to be one of the economic drivers for the surrounding community. The existence of the implementation of the Land Pledge Agreement is still ongoing today in several regions in Indonesia. The ongoing operation of the Agreement can be reviewed from the laws and regulations that are still in effect and have validity and binding legal force for the parties involved in the Land Pawn Agreement. It is hoped that the parties also involve the role of the Notary in the Pawn Agreement, where the Notary Deed as an Authentic Deed has the nature and strength of outward proof, formal strength of evidence and material strength of evidence."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulida Larasati
"Pemerintah menerapkan pembatasan terhadap
kepemilikan tanah di Indonesia. Pemerintah melarang badan
hukum, kecuali badan hukum tertentu yang dinyatakan oleh
peraturan perundang-undangan, untuk memiliki tanah dengan
status Hak milik yang merupakan status hak tertinggi
dalam kepemilikan tanah di Indonesia. Dalam transaksi yang
terkait dengan pertanahan, tidak jarang dijumpai badan
hukum (yang tidak ditunjuk Pemerintah) yang mengupayakan
agar dapat memperoleh tanah dengan status Hak Milik.
Mekanisme yang digunakan biasanya adalah dengan cara
melakukan perjanjian nominee. Status Hak Milik atas tanah
ini lebih disukai badan hukum ketimbang status Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, ataupun Hak Pakai, mengingat
bahwa status Hak Milik atas tanah adalah turun-temurun,
terkuat, dan terpenuh. Perjanjian nominee dimungkinkan
berdasarkan ketentuan pada Buku III KUHPerdata, sepanjang
memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Penelitian
ini bersifat deskriptis analitis dengan metode pendekatan
yuridis normatif berdasarkan data sekunder yang diperoleh
dari hasil penelitian kepustakaan dan data primer. Pada
kasus yang dibahas, Putusan Majelis Hakim MA menyatakan
bahwa pemilik sesungguhnya dari tanah dan bangunan adalah
pihak yayasan dan bukan karyawan, karena terdapatnya
perjanjian nominee yang berkaitan/melatarbelakangi
pembelian tanah dan bangunan tersebut. Namun demikian,
berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa Majelis Hakim
salah dalam menerapkan hukum, karena Majelis Hakim tidak
memperhatikan bahwa perjanjian nominee tersebut merupakan
upaya penyelundupan hukum sehubungan dengan keinginan
yayasan tersebut untuk memperoleh tanah dengan status hak
milik. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, yayasan
sebagai badan hukum (yang tidak ditunjuk Pemerintah) tidak
diperkenankan untuk memperoleh hak milik. Oleh karenanya,
mengingat perjanjian nomineenya batal demi hukum (yaitu
melanggar Pasal 21 ayat (2) jo Pasal 26 ayat (2) UUPA) maka jual beli atas tanah dan bangunan tersebut juga batal
demi hukum, kemudian tanah tersebut jatuh kepada Negara."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21387
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Audry Zefanya
"Pada praktiknya, peralihan hak atas tanah tersebut mengalami konvergensi antara keberlakuan hukum agraria nasional dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) serta peraturan-peraturan pelaksananya. Salah satu problem yang muncul ialah berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang didapatkan melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan terjadi pada kurun waktu sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”). Dengan demikian, tesis ini hendak meneliti berkaitan dengan: (a) bagaimana hukum agraria Indonesia mengatur mengenai peralihan hak atas tanah melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta PPAT dan (b) bagaimana perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang didapatkan melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta PPAT dan terjadi pada kurun waktu sebelum berlakunya PP Pendaftaran Tanah. Adapun terhadap penelitian yang ada berikut menggunakan pendekatan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Limboto Nomor 2/Pdt.G/2021/PN.Lbo. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa UUPA memuat hibah atau penghibahan sebagai salah satu perbuatan yang ditempuh untuk memindahkan hak milik. Kebiasaan ini dikristalisasi sebagai hukum yang hidup dan, melalui sinkretisme hukum, dipadukan oleh hakim kepada konteks UUPA mengenai hibah (yang seharusnya harus dengan akta PPAT, tetapi menjadi tidak perlu dalam konteks sengketa Putusan Pengadilan Negeri (PN) Limboto No. 2/2021). Berlandaskan hal ini, surat penyerahan hibah tanpa akta PPAT pun dianggap oleh hakim sebagai persetujuan yang kemudian mengikat bagi pihak yang membuatnya dan sah di mata hukum.

In practice, the transfer of land rights experienced a convergence between the application of national agrarian law in Law (UU) Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Regulations (“UUPA”) and its implementing regulations. One of the problems that arise is related to legal protection for holders of land rights obtained through a grant process which is carried out without a certificate of land certificate maker (Land Deed Official or Pejabat Pembuat Akta Tanah-“PPAT”) and occurred in the period before the enactment of Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration (“Government Regulation on Registration land"). Thus, this thesis aims to examine: (a) how Indonesian agrarian law regulates the transfer of land rights through a grant process carried out without a PPAT deed and (b) how legal protection for land rights holders is obtained through a grant process carried out without PPAT deed and occurred in the period before the enactment of the PP on Land Registration. As for the existing research, the following will use a case study approach to the Limboto District Court Decision Number 2/Pdt.G/2021/PN.Lbo. From this research, it was found that UUPA contains grants or grants as one of the actions taken to transfer property rights. This custom was crystallized as a living law and, through legal syncretism, was integrated by judges into the context of UUPA regarding grants (which should have been with the PPAT deed, but became unnecessary in the context of the disputed Limboto District Court Decision No. 2/2021). Based on this, the grant submission letter without the PPAT deed is also considered by the judge as an agreement which is then binding on the party who made it and is legal in the eyes of the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanungkalit, Jessica Priscilla
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi akibat hukum yang timbul ketika klien menandatangani akta tanah, seperti akta jual beli tanah, dalam bentuk blangko yang kosong. Dengan membaca artikel ini, maka masyarakat Indonesia tidak akan menjadi korban penipuan PPAT dan akan menolak bila ditawari untuk menandatangani akta tanah berupa blangko yang kosong. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada PPAT mengenai akibat hukum apa yang akan timbul dan apa tanggung jawab mereka apabila PPAT membuat akta tanah yang ditandatangani dalam bentuk blangko kosong. Jika akta tanah yang ditandatangani berupa blangko kosong, berarti PPAT tidak membacanya terlebih dahulu sebelum para pihak menandatangani akta tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Merupakan penelitian yang dilakukan dengan menganalisis dan menelaah norma hukum yang relevan. Hasil penelitian ini adalah bahwa akta tanah berupa blangko yang dibuat oleh PPAT menjadi batal demi hukum, dan PPAT akan diberhentikan dengan tidak hormat dan wajib mengganti kerugian atas perbuatan melawan hukum PPAT.

This study aims to identify the legal consequences that arise when a client signs a land deed, such as a sale and purchase land deed, in the form of an empty blank. By reading this article, the Indonesian people will not become victims of any fraud of PPAT and will refuse when being offered to sign a land deed in the form of an empty blank. This study also aims to provide information to PPAT regarding what legal consequences will arise and what their responsibilities will be when a PPAT produces a signed land deed in the form of an empty blank. If a signed land deed is in the form of an empty blank, it means that PPAT does not read it first before the parties sign the deed. The research method used in this research is a normative juridical method. It is research conducted by analyzing and examining relevant legal norms. The results of this study are that the land deed in the form of an empty blank made by PPAT will be null and void, and PPAT will be dishonorably dismissed and obliged to compensate for PPAT's illegal actions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vicky Caesar Elang Palar
"Salah satu tujuan dari peralihan hak atas tanah yang dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang sepakat. Permasalahan yang kerap terjadi adalah ketika tidak terpenuhinya syarat dari asas terang dan tunai, yaitu jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT. Hal ini seperti yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 464 K/Pdt/2022, yang di mana pihak pembeli tanah yang tidak dapat melakukan proses peralihan hak atas tanah. Pihak Penjual menolak untuk dilakukannya proses peralihan hak atas tanah, padahal Pihak Pembeli sudah membayarkan secara tunai dan sudah dibuatkan kuitansi pembayaran. Pihak Pembeli yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, dan meminta kepada Majelis Hakim dalam putusannya untuk menetapkan Pihak Pembeli sebagai Pihak pemilik sah dari obyek sengketa tanah. Metode penelitian menggunakan yuridis normatif dan dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitan menunjukan bahwa perbuatan hukum jual beli tersebut dinyatakan sah dikarenakan walaupun jual beli belum dilakukan di hadapan PPAT, statusnya sudah mengikat antara pihak penjual dan pihak pembeli. Hal ini dikarenakan jual beli yang belum dilakukan di hadapan PPAT tersebut sudah memenuhi syarat materiil dari suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Para Pihak mengakui benar adanya bukti kuitansi yang menyatakan pembayaran atas obyek sengketa telah terjadi.

One of the objectives of the transfer of land rights carried out before an authorized official, namely the Land Deed Officials (PPAT) is to provide legal protection to the parties who agree. The problem that often occurs is when the requirements of the clear and cash principle are not fulfilled, namely buying and selling is not carried out before the PPAT. This is similar to what happened in the Supreme Court Decision Number 464 K/Pdt/2022, where the land buyer cannot carry out the process of transferring land rights. The seller refuses to carry out the process of transferring land rights, even though the buyer has paid in cash and a receipt for payment has been made. The Buyer Party who feels aggrieved submits a lawsuit to the District Court, and asks the Panel of Judges in its decision to determine the Buyer Party as the legal owner of the object of the land dispute. The research method used normative juridical and analyzed using qualitative data analysis. The results of the research show that the legal act of buying and selling is declared valid because even though the sale and purchase has not been carried out before the PPAT, its status is binding between the seller and the buyer. This is because the sale and purchase that has not been carried out before the PPAT has fulfilled the material requirements of an agreement contained in Article 1320 of the Civil Code and the Parties acknowledge that there is proof of receipt stating that payment for the object of the dispute has occurred."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Alexandra
"Peralihan hak atas tanah, salah satunya melalui jual beli harus dilakukan sesuai prosedur dan peraturan yang berlaku. Hal ini untuk mencegah terjadinya sengketa kepemilikan tanah dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam jual beli. Salah satu syarat formil dalam jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus menerima sertipikat asli dan memeriksa kesesuaian data pada sertipikat tanah dengan data pada Kantor Pertanahan. Salah satu sengketa dalam jual beli tanah terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3081 K/Pdt/2021. Penelitian ini menganalisis kedudukan hukum pihak yang menguasai secara fisik hak atas tanah berdasarkan akta jual beli tanpa kepemilikan sertipikat dan tanggung jawab PPAT yang membuat akta jual beli yang bersangkutan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3081 K/Pdt/2021. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris yang menggunakan studi dokumen. Hasil penelitian ini adalah pihak yang menguasai secara fisik hak atas tanah berdasarkan akta jual beli tanpa kepemilikan sertipikat tidak memiliki kedudukan sebagai pihak yang berhak atau pemilik yang sah atas hak atas tanah yang bersangkutan karena jual beli tidak sah sesuai peraturan yang berlaku. PPAT yang membuat akta jual beli tanpa melakukan pengecekan sertipikat dapat dimintakan tanggung jawab secara administratif, perdata, dan pidana. PPAT seharusnya menolak untuk membuat akta jual beli apabila tidak diserahkan sertipikat asli.

The transfer of land rights, such as through buying and selling, should be done according to the procedure and prevailing regulations. This must be fulfilled to prevent conflict of land rights ownership and to give legal certainty for the parties. One of the formal requirements in the buying and selling of land rights is The Land Deed Official (PPAT) must receive the authentic land certificate and verify the data in the certificate with the data in the National Land Agency. An example of this issue happens in Supreme Court Decision Number 3081 K/Pdt/2021. This research analyses the legal standing of a party who physically own land right based on sale and purchase deed without owning the certificate and the responsibility of The Land Deed Official who makes the sale and purchase deed in the Supreme Court Decision Number 3081 K/Pdt/2021. This research uses juridical normative method with explanatory typology using document studies. As the result of this research, the party who physically own land right based on sale and purchase deed without owning the certificate does not have the legal standing as the rightful owner of the land right because the sale and purchase deed does not fulfil the formal requirements and regulations. The Land Deed Official who made the sale and purchase agreement without verifying the certificate can be held responsible either administrative, civil, or criminal. The Land Deed Official should refuse to make the sale and purchase deed if there is no authentic certificate provided."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>