Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5343 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Keliat, Budi Anna
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, [Date of publication not identified]
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Jusuf Panglaykim, 1922-1986
Yogyakarta: Andi, 1984
332.743 JUS b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Abdulkadir Muhammad
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998
346.015 ABD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Mega
"Polisi wanita (polwan) yang sudah menikah memiliki tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, pendamping dan pendorong suami serta ibu bagi anak-anaknya. Semangat untuk berprestasi dan kesuksesan untuk mencapai karir di Kepolisian, hendaknya harus pula diikuti dengan keberhasilan dalam membina kehidupan rumah tangga. Polwan merupakan bagian integral dari Polri hingga tidak dapat terlepas dalam dinamika organisasi Polri guna mewujudkan profesionalismenya. Menjadi seorang polwan dihadapkan kepada dua hal yang sama penting dan berat, yaitu keberhasilan sebagai polisi dan kesuksesan membina rumah tangga. Kewajiban polwan sebagai seorang wanita adalah menjadi pendorong bagi suami serta ibu bagi anak-anaknya. Sementara itu prestasi dan kesuksesan untuk mencapai karir di Kepolisian harus pula diikuti keberhasilan dalam membina kehidupan rumah tangga.
Tuntutan atau role expectation dari kedua peran dalam keluarga maupun dalam pekerjaan inilah yang kemudian dapat menimbulkan konflik peran pada polwan yang sudah menikah. Hal ini sejalan dengan penjelasan Lindzey & Aronson (1968 dalam Wulandari 1997) bahwa konflik peran dapat terjadi ketika seorang memiliki dua atau Iebih posisi secara bersamaan, dimana pemenuhan harapan dari satu peran tidak sesuai dengan peran lainnya. Frieze (1978 dalam Wulandari 1997) juga menambahkan, bahwa wanita yang telah menikah dan memiliki anak setidaknya akan mengalami konflik antara tugasnya sebagai ibu rumah langga dengan tugasnya sebagai wanita. Selain itu, ia juga akan mengalami beban yang berlebih dari setiap peran yang dimilikinya. Hal ini akan membuat wanita mengalami kesulitan dalam mengamr waktu karena peran-peran yang dimiliki menuntut waktu yang tidak sedikit.
Sejalan dengan hal tersehut di atas, Stevenson (1994 dalam Wulandari 1997) mengungkapkan bahwa stres yang paling berat bagi wanita adalah mengintegrasikan peran mereka dalam keluarga dengan peran dalam pekerjaan. Hal ini didukung oleh pendapat Burden et. al (dalam Thomas &. Ganster, 1995) bahwa potensi akan terjadinya konflik dan stres meningkat sejalan dengan usaha seorang dalam menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.
Penelitian ini bermaksud untuk melihat lebih lanjut mengenai fenomena konflik peran sebagai polwan dan ibu rumah tangga yang dialami oleh polwan yang sudah menikah. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif berupa wawancara mendalam terhadap enam orang subyek guna memperoleh pemahaman mendalam mengenai konflik yang dihadapi dan coping yang dilakukan subyek.
Dari wawancara kualitatif yang dilakukan terhadap keenam subyek, diperoleh hasil bahwa masing-masing subyek tetap akan rnenemui konflik dalam hubungannya dengan kedua peran yang dijalani. Konflik peran terjadi terutama dengan polwan yang sudah memiliki anak dan kurang mendapat dukungan dari pihak keluarga. Konflik peran tersebut terjadi ketika subyek kurang mampu mengontrol diri dan emosi dalam keadaan lelah, kurangnya waktu yang cliberikan kepada suami dan anak, tidak dapat memenuhi keinginan anak untuk rekreasi. Dampak dari konflik peran yang dimiliki oleh keenam subyek juga bervariasi, diantaranya seperti terjadinya konflik kecil antara dengan suami yang menyebabkan terganggunya konsentrasi dalam pekerjaan, sikap yang lebih protektif terhadap anak, kondisi psikis yang Iebih mudah mengalami stres, pcrasaan bersalah terhadap keluarga.
Seluruh subyek memilih melakukan coping yang berfokus pada masalah (problemfocused coping) dalam mengatasi stres yang disebabkan oleh konflik yang dialami. Sementara itu tiga subyek tidak hanya melakukan coping dengan berfokus kepada masalah yang dihadapinya saja, melainkan juga dengan menggunakan coping yang berfokus pada emosi mereka (emotion-focused coping). Dalam melakukan coping nya, keselumhan subyek memanfaatkan sumber claya yang bersifat eksternal yang berupa dukungan sosial dari anggota keluarga dan tenaga komersial (pembantu). Dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga yaitu berupa dukungan emosi (emotional support), informasi (informational support), harga diri (esteem support). Sementara sumber daya internal yang dimiliki oleh beberapa subyek adalah sumber daya fisik meliputi kesehatan dan energi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sadikin
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1997
346.05 SAD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Sahrani
"ABSTRAK
Perkawinan adalah hubungan yang paling intim dari semua
hubungan dekat lainnya dan merupakan salah satu tugas
perkembangan yang harus dicapai oleh orang dewasa muda. Bila
perkawinan berjalan dengan baik, maka kepuasan yang
diberikannya lebih besar dibandingkan dengan kepuasan yang
diberikan oleh dimensi-dimensi lain dalam kehidupan.
Kepuasan perkawinan berkaitan erat dengan tahapan
perkembangan keluarga. Kepuasan perkawinan tampaknya mengikuti
curnilinear path (arah garis lengkung), dimana kepuasan
perkawinan paling tinggi pada saat pasangan baru menikah dan
belum mempunyai anak, mencapai titik terendah ketika anak
pertama berusia remaja, dari kemudian meningkat kembali ketika
anak pertama telah mandiri/keluar rumah (Rollins dan Cannon
dalam Lerner & Hultsch, 1983; Levenson) Capstensen, & Gottman,
1993; Spanier, Lewis, & Cole, 1975; Strong & DeVault, 1989).
Walaupun perkawinan diharapkan memberikan kepuasan pada
pasangan suami istri, tetapi dalam kenyataannya banyak juga
pasangan yang akhirnya mengakhiri perkawinan mereka dengan
parceraian. Kasus perceraian terbanyak diakibatkan oleh adanya
perselisihan suami istri yang terus-menerus, sebanyak ,49.76%
(Salaban, 1992); yang disebabkan antara lain oleh adanya
hambatan komunikasi di antara suami istri. Munculnya masalah
komunikasi ini dapat dikarenakan tidak adanya intimacy di
antara pasangan suami istri, karena intimacy adalah dasar dari
komunikasi (Stephen dalam Strong & Devault, 1989).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti hubungan intimacy dengan kepuasan perkawinan
pasangan suami istri pada tiga tahapan perkembangan keluarga,
yaitu pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
prasekolah, pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
remaja, dan pasangan suami istri yang anak pertamanya telah
mandiri/keluar rumah. Ketiga tahapan ini dipilih dengan
pertimbangan bahwa pada masa-masa tersebutlah kepuasan
perkawinan sangat jelas terlihat, sehingga diharapkan hasil
penelitian ini nantinya dapat memperlihatkan adanya
curvelinear path (arah garis lengkung) dalam kepuasan
perkawinan seperti hasil-hasil penelitian sebelumnya. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberi gambaran mengenai
perkawinan dan krisis yang terjadi pada tahap-tahap
perkembangan keluarga tersebut, sehingga dapat diantisipasi
masalah yang timbul dan dicari pemecahannya secara benar.
Penelitian ini dilakukan di Jabotabek dengan subyek
pasangan suami iatri yang berpendidikan minimal SLTA dan
memiliki tingkat sosial ekonomi menengah keatas. Untuk
mengukur derajat intimacy, maka akan diberikan kuesioner
intimacy dari Sternberg (1988). Sedangkan untuk mengukur
kapuasan perkawinan akan digunakan skala kepuasan perkawinan
dari Spanier (1976) yaitu DAS (Dyadic Adjustment ScaIe) yang
terdiri dari 4 subskala yaitu: dyadic consensus (kesepahaman) ,
dyadic satisfaction (kepuasan dalam hubungan), dyadic cohesion
(kebersamaan), dan affectional expression (ekspresi perasaan).
Hasil panelitian ini memperlihatkan bahwa ada hubungan
positif dan bermakna antara intimacy dengan kepuasan pasangan
suami istri dari seluruh tahapan perkembangan keluarga yang
diteliti. Selain itu ditemukan bahwa kepuasan perkawinan
ternyata memang mengikuti arah garis lengkung (curvilinear
path), dimana kapuasan perkawinan tinggi pada pasangan suami
istri yang anak pertamanya usia prasekolah, menurun dengan
tajam pada pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
remaja, kemudian meningkat kambali pada pasangan suami istri
yang anak pertamanya telah keluar rumah/mandiri. Selain itu
juga ditemukan bahwa kepuasan parkawinan suami lebih besar
daripada kepuasan perkawinan istri, dan cara pasangan dalam
memecahkan masalah sehari-hari di antara mereka berpengaruh
terhadap kepuasan perkawinan dan intimacy mereka.
Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, maka beberapa
saran diajukan untuk mempebaiki penelitian lebih lanjut, yaitu: ditambahkan metode wawancara untuk mendapatkan gambaran
yang mendalam dan menyeluruh dari kepuasan perkawinan dan
intimacy; penelitian melibatkan seluruh tahapan perkembangan
keluarga untuk melihat apakah kepuasan perkawinan dan intimacy
di Indonesia memang mengikuti curvelinear path (arah garis
lengkung); skala kepuasan perkawinan yang dipakai adalah hasil
analisa faktor karena diperkirakan sesuai dengan keadaan yang
ada di Indnesia. Sedangkan saran tambahan adalah sebaiknya
bila Iembaga-lembaga dan para ahli yang kompeten dalam hal
komunikasi orang tua dan remaja melakukan pelatihan tentang
bagaimana menjadi orang tua dan remaja yang efektif.

"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Minoo Masani
Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1965
301 MIN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Triyanto
"Penelitian ini menggali pengalaman remaja dalam mendapatkan tugas perkembangan keluarga selama pubertas. Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif fenomenologi. Peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap remaja pubertas di Purwokerto. Analisis data menggunanan metode Colaizzi. Tema penelitian pertama adalah perubahan pubertas (fisik, psikoseksual, sosial, emosi, sikap, kognitif dan perasaan berubah). Tema kedua masalah remaja yaitu gangguan gambaran diri dan putus harapan. Tema ketiga peran keluarga yang dirasakan berupa dukungan, sikap negatif dan cara menegakkan aturan. Tema keempat perilaku keluarga yang diharapkan yaitu diperhatikan, dipahami, dicukupi, diberikan hak berpendapat, frekuensi komunikasi ditingkatkan, diijinkan bermain, diarahkan dan dikontrol. Remaja merasakan perilaku keluarga masih kurang. Peneliti menyarankan pembentukan peer counselor remaka, klinik konsultasi remaja dan promosi tugas perkembangan keluarga."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T28465
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993
R 304.6 IND u
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Pagar
"Penulisan tugas akhir ini mengenai program pelatihan bagi pegawai pemasyarakatan dalam hal meningkatkan kemampuan penerapan tugas-tugas perkembangan keluarga bagi anak dalam sistem pembinaan di Lapas Anak Pria.
Minat untuk memilih judul tulisan ini berawal dari kenyataan bahwa akhir-akhir ini banyak timbul masalah hubungan antar anak dengan orang tuanya. Seringkali permasalahan ini menjadi lebih besar, ketika anak sampai melakukan perbuatan melanggar hukum, dipidana dan akhirnya menjalani pidana di Lapas. Implikasi penjatuhan pidana, menimbulkan permasalahan tersendiri bagi anak yaitu hidup tanpa kehadiran orang tua atau keluarganya. Peristiwa ini sangat merugikan proses pertumbuhan kepribadiannya. Ketidakhadiran ayah atau ibu (selanjutnya disebut orang tua) dalam Lapas, memberikan gambaran bahwa, mereka harus menerima kenyataaan hidup tanpa kehadiran orang tua sampai masa pidana selesai dijalankan.
Hidup tanpa kehadiran orang tua di Lapas, memberikan gambaran bahwa, pemenuhan kebutuhan tugas perkembangan anak usia antara 13 (tiga belas) sampai 18 (delapan belas) tahun (selanjutnya disebut remaja) menjadi tanggung jawab Lapas. Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Berdasarkan observasi dan penerapan teknik kelompok diskusi fokus, diperoleh kenyataan bahwa, praktek pembinaan narapidana anak (remaja), belum menyentuh pada teori-teori perkembangan anak. Perlakuan petugas masih terkesan menggunakan pendekatan keamanan, pola pembinaan yang diterapkan
hampir tidak ada perbedaannya dengan narapidana dewasa, perilaku kekerasan fisik sering terjadi, terbatasnya waktu petugas mendengar keluhan; rendahnya kemampuan petugas memahami persoalan anak, anak merasa terlantar, anak (remaja) kehilangan tokoh atau model, petugas tidak peduli terhadap keberhasilan pembinaan, masih banyaknya waktu luang anak tanpa kegiatan yang positif bagi anak, adalah kenyataan dan permasalahan yang terlihat jelas di Lapas.
Belajar dari kenyataan tersebut diatas, penulis meyakinkan asumsi awal, bahwa pembinaan belum memenuhi aspek psikologis remaja. Jika permasalahan ini tidak ditangani, dipastikan, remaja akan mengalami permasalahan lebih dalam antara lain: kesulitan menyesuaikan diri di masyarakat, padahal masyarakat itu sendiri telah terlebih dahulu memberikan stigma sebagai bekas pelanggar hukum. Akibat lain adalah: tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis sesuai tugas perkembangan remaja, sehinga akan membuat remaja tidak mempunyai konsep diri, tidak mandiri. tidak matang dalam kepribadian, apalagi aspek intelektual. Kondisi yang tidak menguntungkan ini sangat berbahaya bagi masa depan remaja.
Oleh karena itu. guna mengurangi kelemahan pembinaan narapidana remaja di Lapas, penulis mengajukan usulan rancangan pemecahan masalah berupa penerapan togas perkembangan keluarga bagi remaja guna menghindari ketidakhadiran orang tua di Lapas. Rencana ini dilakukan dalam bentuk pelatihan bagi pegawai untuk memberikan keterampilan dan pengetahuan melalui penerapan peran pengganti sebagai orang tua ayah atau ibu bagi remaja di Lapas. Rencana pelatihan ini juga sangat bermanfaat, karena disamping melatih pegawai, pembina atau wali, juga memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki remaja dalam usia perkembangannya, kemudian belajar secara bersama-sama kelompoknya (peer group) di Lapas."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>