Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166803 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Theresia Magdalena Theofanny
"Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hubungan peran gender dan sikap terhadap perdamaian pada emerging adults. Penelitian didasarkan pada penelitian terdahulu yang menemukan adanya perbedaan dalam sikap terhadap perdamaian beserta faktornya tergantung pada jenis kelamin individu. Peran gender mengacu pada maskulin dan feminin yang merupakan dua dari empat tipe peran gender berdasarkan tipologi Bem (1974) dan diukur menggunakan Bem Sex Role Inventory (BSRI). Sementara itu, sikap terhadap perdamaian diukur menggunakan Peace Attitude Scale (PAS). Partisipan penelitian terdiri dari 158 emerging adults berkewarganegaraan Indonesia yang berada pada usia 18-25 tahun. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa baik peran gender maskulin maupun feminin sama-sama memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan sikap terhadap perdamaian. Sekalipun begitu, kedua peran gender memiliki perbedaan skor pada faktor-faktor sikap terhadap perdamaian yang terdiri dari sociopolitical, environmentalist attitudes, personal well-being, ease with diversity, dan caring—di mana peran gender feminin ditemukan memiliki skor yang lebih tinggi daripada maskulin pada empat faktor dengan pengecualian pada faktor personal well-being. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun kedua peran berhubungan positif dan signifikan dengan sikap terhadap perdamaian, terdapat perbedaan berbasis gender pada faktor-faktor sikap terhadap perdamaiannya
This study aims to examine the relationship between gender roles and peace attitude in emerging adults. This research is based on previous studies which found differences in peace attitudes and its factors depending on an individual’s sex.. Gender roles refer to masculine and feminine, two out of four types of gender roles based on Bem’s typology (1974) and measured using the Bem Sex Role Inventory (BSRI), whereas peace attitudes were measured using the Peace Attitude Scale (PAS). Participants consisted of 158 Indonesian emerging aged 18-25 years. The Pearson correlation test shows that both masculine and feminine gender roles have significant and positive relationships with peace attitudes. However, the two gender roles have different scores on the peace attitude factors consisting of sociopolitical, environmentalist attitudes, personal well-being, ease with diversity, and caring—where femininity was found to have a higher score than masculinity in four factors with the exception of personal well-being. This shows that although masculine and feminine gender roles are both positively and significantly related to attitudes towards peace, there are gender-based differences in terms of the peace attitude factors."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roy Mario Angelino
"Perdamaian merupakan suatu kebebasan dari perang/permusuhan yang dimiliki oleh suatu negara dengan negara lainnya. Sedangkan, sikap terhadap perdamaian merupakan suatu tanggapan dari ketidak beradaannya pertengkaran/kekerasan dalam bentuk apapun sebagai hasil kognitif, emotive, dan conative seseorang dalam caranya memandang dunia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan terkait sikap terhadap perdamaian antara kelompok usia emerging adulthood dan late adulthood, juga untuk melihat peran dimensi terhadap sikap terhadap perdamaian di masing-masing kelompok usia yang diteliti. Sikap terhadap perdamaian mengacu pada Peace Attitude Scale (PAS) yang terdiri dari 5 dimensi yaitu sociopolitical, personal well-being, ease with diversity, environmental attitude, dan caring. Alat ukur ini terdiri dari 22 item dan diisi menggunakan 7-point likert scale. Partisipan yang dituju merupakan populasi yang ada di kelompok usia emerging adulthood (18-25 tahun) dan late adulthood (di atas 65 tahun). Dari 5 dimensi yang ada, hanya terdapat 3 dimensi yang terbukti signifikan dengan p < .05 yaitu dimensi sociopolitical, personal well-being, dan ease with diversity. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari perbedaan kelompok usia terhadap sikap terhadap perdamaian yang dimiliki oleh seseorang.

Peace is a freedom from war/hostility that is owned by a country with other countries. Meanwhile, the attitude towards peace is a response to the absence of fights/violence in any form as a cognitive, emotive, and conative result of a person's way of seeing the world. This study aims to see whether there are differences in attitudes towards peace between the age groups of emerging adulthood and late adulthood, as well as to see the role of dimensions towards attitudes towards peace in each of the age groups studied. Attitude towards peace refers to the Peace Attitude Scale (PAS) which consists of 5 dimensions, namely sociopolitical, personal well-being, ease with diversity, environmental attitude, and caring. This measuring instrument consists of 22 items and is filled out using a 7-point Likert scale. The intended participants are those in the age group of emerging adulthood (18-25 years) and late adulthood (over 65 years). Of the 5 dimensions, there are only 3 dimensions that are proven to be significant with p < .05, namely the sociopolitical, personal well-being, and ease with diversity dimensions. The results showed that there was no significant effect of age group differences on a person's attitude towards peace."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Salsabila Putri Herfina
"Nilai merupakan tujuan yang bervariasi dalam kepentingannya dan berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Sosialisasi budaya pada kehidupan individu juga dapat memengaruhi pemilihan perilaku mereka, serta prioritas nilai yang mungkin terbentuk dalam hidup mereka. Salah satu bentuk orientasi budaya merupakan budaya kolektivisme, dimana individu mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok dan mengutamakan tujuan kelompok. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara nilai dan kolektivisme pada emerging adulthood. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 untuk pengukuran nilai dan The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) untuk pengukuran kolektivisme. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 258 partisipan emerging adults menggunakan analisis korelasional menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara 9 tipe nilai, yaitu stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism dan empat jenis hubungan kolektivisme, yaitu keluarga, teman dekat, kolega, dan orang yang tidak dikenal, pada emerging adulthood. Adanya korelasi antara nilai dan kolektivisme diharapkan dapat menjadi sarana penanaman nilai yang positif dalam masyarakat untuk pencapaian tujuan bersama yang positif.

Values are goals that vary in importance and serve as guidelines in human life. Cultural socialization in an individual's life can also influence their choice of behavior, as well as the value priorities that may form in their lives. One form of cultural orientation is collectivism, where individuals identify themselves as part of a group and prioritize group goals. This study aims to see if there is a relationship between values and collectivism in emerging adulthood. The instruments used in this study are the Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 for measuring values and The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) for measuring collectivism. The results of a study conducted on 258 emerging adults using correlational analysis showed that there is a significant relationship between 9 types of values, which are stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, and universalism and four types of collectivism relationships, which are family, close friends, colleagues, and strangers, in emerging adulthood. The correlation between value and collectivism is expected to be a means of instilling positive values in society for the achievement of positive common goals."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Devina Arviani Putri
"Gangguan depresi digolongkan oleh WHO sebagai kontributor tunggal terbesar untuk disabilitas global dengan tingkat prevalensi yang tinggi. Lebih spesifik, tahap transisional perkembangan dari remaja menuju dewasa, atau disebut sebagai emerging adulthood, merupakan kelompok usia tertinggi yang beresiko mengalami depresi sehingga diperlukan intervensi yang sesuai. Meskipun terdapat beberapa faktor yang dapat mencegah depresi, penelitian ini menjadikan faktor protektif self-compassion sebagai fokus utama. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara self-compassion dan depresi melalui peran mediasi regulasi emosi adaptif dan maladaptif pada emerging adulthood. Populasi dalam penelitian ini merupakan emerging adulthood berusia 18-25 tahun yang berdomisili di Indonesia. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan pendekatan kuantitatif yakni dengan menyebarkan kuesioner secara daring kepada 385 partisipan. Kuesioner yang digunakan antara lain SCS-SF untuk mengukur tingkat self-compassion, BDI untuk mengukur tingkat depresi, dan CERQ untuk melihat cara individu dalam mengatur emosinya setelah mengalami peristiwa negatif. Hasil analisis statistik korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-compassion dan depresi. Hasil analisis multiple mediation regression juga menunjukkan bahwa terdapat efek mediasi parsial dari regulasi emosi adaptif dan maladaptif yang signifikan pada hubungan antara self-compassion dan depresi tersebut. Disarankan perlunya pengembangan self-compassion dan strategi regulasi emosi adaptif untuk mengurangi tingkat depresi pada populasi emerging adulthood.

Depression is classified by WHO as the single largest contributor to global disability with a high prevalence rate. More specifically, the transitional stage of development from adolescence to adulthood, or known as emerging adulthood, is the highest age group at risk for depression, thus appropriate intervention is needed. Although there are several factors that can prevent depression, this study makes protective factor of self-compassion as the main focus. Therefore, this study aims to investigate the relationship between self-compassion and depression through the mediating role of adaptive and maladaptive emotional regulation in emerging adulthood. The population in this study are emerging adulthoods aged 18-25 years who live in Indonesia. Data was collected using a quantitative approach by distributing questionnaires online to 385 participants. The questionnaires used include SCS-SF to measure the level of self-compassion, BDI to measure the level of depression, and CERQ to see how individuals manage their emotions after experiencing negative events. The results of the correlation statistical analysis show that there is a significant negative relationship between self-compassion and depression. In addition, the results of multiple mediation regression analysis also show that there is a significant partial mediation effect of adaptive and maladaptive emotional regulation on the relationship between self-compassion and depression. Thus, it is suggested the need to develop self-compassion and adaptive emotional regulation strategies to reduce depression rates in emerging adulthood populations."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Salsabila Mahdiyah
"Indonesia merupakan negara yang beragama dan agama menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Allport dan Ross (1967) ketaatan terhadap agama atau religiusitas individu dapat dilihat berdasarkan orientasinya, yaitu orientasi religiusitas intrinsik dan orientasi religiusitas ekstrinsik. Dalam proses individu memaknai agama dalam hidupnya, dapat dilihat dari bagaimana nilai atau value yang tertanam dalam dirinya. Nilai atau value merupakan pedoman bagi individu untuk berperilaku, mengambil keputusan, dan mengevaluasi peristiwa. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara tipe-tipe nilai Schwartz dengan orientasi religiusitas. Peneliti menggunakan alat ukur PVQ-21 untuk mengukur nilai dan Religious Orientation Scale- Revised (ROS-R) untuk mengukur orientasi religiusitas, dengan metode Pearson Correlation. Melalui penyebaran kuesioner, peneliti memperoleh 241 partisipan emerging adulthood dan menemukan hasil yang cukup beragam. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara nilai dan orientasi religiusitas. Lebih spesifik, tipe-tipe nilai yang berkorelasi dengan orientasi religiusitas intrinsik adalah benevolence, conformity, tradition, dan stimulation, sedangkan nilai yang berkorelasi dengan orientasi religiusitas ekstrinsik adalah benevolence, achievement, stimulation, tradition, hedonism, dan conformity.

Indonesia is a religious country and religion is one of the important aspects of daily life. According to Allport and Ross (1967), adherence to their religion or religiosity can be seen based on their orientation, which is intrinsic religiosity orientation and extrinsic religiosity orientation. In the process of how individuals perceive religion in their lives, it can be seen based on how values are embedded in them. Values are guidelines for individuals to behave, make decisions, and evaluate events. The purpose of this study is to see the relationship between Schwartz's value types and religiosity orientation. The researcher used the PVQ-21 to measure values and the Religious Orientation Scale- Revised (ROS-R) to measure religiosity orientation, using the Pearson Correlation method. Through the distribution of questionnaires, researchers obtained 241 emerging adulthood participants and found quite diverse results. The results showed there is a relationship between types of several values and religiosity orientation. More specifically, the types of values that correlate with intrinsic religiosity orientation are benevolence, conformity, tradition, and stimulation, while the values that correlate with extrinsic religiosity orientation are benevolence, achievement, stimulation, tradition, hedonism, and conformity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Qonita
"Religious coping pada penelitian sebelumnya menunjukkan efikasi dan peran yang berbeda-beda dalam hal signifikansi hubungannya dengan subjective well being. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kembali hubungan religious coping dengan subjective well being pada populasi emerging adulthood, dengan metode korelasional. Instrumen yang digunakan Brief RCOPE dan The PERMA Profiler. Partisipan penelitian berjumlah 278 partisipan, yang berusia 18-25 tahun (M = 21.48, SD = 1.714) dan berkewarganegaraan Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa hipotesis peneliti diterima. Pertama, didapatkan bahwa penggunaan positive religious coping berasosiasi dengan subjective well being yang lebih tinggi pada emerging adulthood. Kedua, negative religious coping berasosiasi dengan subjective well being yang lebih rendah pada emerging adulthood. Hasil ini dapat menjadi bahan pertimbangan intervensi maupun prevensi untuk emerging adult yang menggunakan negative religious coping.

Religious coping in previous studies showed different efficacy and roles in terms of the significance of the relationship with subjective well being. This study aims to re-examine the relationship between religious coping and subjective well-being among emerging adults, using the correlational method. The instruments used were Brief RCOPE and The PERMA Profiler. There were 278 participants in the study, aged 18-25 years (M = 21.48, SD = 1.714) and Indonesian citizens. The results showed that the research hypothesis was accepted. First, it was found that the use of positive religious coping was associated with higher subjective well being in emerging adulthood. Second, negative religious coping is associated with lower subjective well being in emerging adulthood. These results can be used as material for consideration of interventions and prevention for emerging adults who use negative religious coping."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Earlita Adelia
"Penelitian tentang kekerasan berpacaran siber masih terbatas walaupun hubungan romantis yang dijalin secara online sudah umum. Salah satu faktor risiko dari kekerasan dalam berpacaran adalah pengalaman buruk masa kecil. Selain itu, regulasi emosi diketahui berhubungan dengan meningkatnya perlakuan dan kemungkinan menjadi korban kekerasan dalam berpacaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengalaman buruk masa kecil terhadap kekerasan dalam berpacaran siber dan kemampuan regulasi emosi sebagai moderator hubungan di antara keduanya. Dalam penelitian ini kekerasan berpacaran siber diukur melalui kedua sisi yaitu sisi pelaku dan juga korban. Partisipan berjumlah 117 dewasa muda Indonesia (64.8% perempuan, M usia = 20,22, SD = 1,925). Ditemukan bahwa pengalaman buruk masa kecil memprediksi kekerasan berpacaran siber dari sisi pelaku (b = 0.252, t(117) = 4.060, p < 0.05) dan regulasi emosi bukan merupakan moderator yang signifikan (b = 0.001, t(117) = 0.381, p > 0.05). Pengalaman buruk masa kecil juga ditemukan memprediksi kekerasan berpacaran siber dari sisi korban (b = 0.341 , t(117) = 4.764, p < 0.05) dan regulasi emosi bukan merupakan moderator yang signifikan (b = -0.000, t(117) = ,0.042, p > 0.05). Hasil ini menekankan hubungan antara pengalaman buruk masa kecil dengan kekerasan dalam berpacaran dalam konteks siber.

Research related to cyber dating abuse is still limited even though online romantic relationships are common. One of the risk factors for dating violence is adverse childhood experiences. In addition, emotion regulation is known to be associated with increased perpetration and the likelihood of being a victim of dating violence. This study aims to determine the effect of adverse childhood experiences on cyber dating abuse and emotion regulation as a moderator. Cyber dating abuse is measured through perpetrator's side and also the victim's side. Participants totalled 117 emerging adults (64.8% female, M age = 20.22, SD = 1.925). It was found that adverse childhood experiences predict cyber dating abuse from the perpetrator's side (b = 0.252, t(117) = 4.060, p < 0.05) and emotion regulation is not a significant moderator (b = 0.001, t( 117) = 0.381, p > 0.05). Adverse childhood experiences were also found to predict cyber dating abuse from the victim side (b = 0.341 , t(117) = 4.764, p < 0.05) and emotion regulation was not a significant moderator (b = -0.000, t(117) = 0.042, p > 0.05). These results emphasize the relationship between adverse childhood experiences and dating violence in cyber context.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dana Carera
"ABSTRAK
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara konflik peran gender dan
agresivitas fisik, dilakukan penelitian pada sejumlah 281 orang mahasiswa
Universitas Indonesia (136 orang laki-laki) pada usia dewasa muda (18 ? 25
tahun). Partisipan diminta untuk mengisi Gender role conflict scale ? short form
(GRCS ? SF) untuk mengukur tingkat konflik peran gender, sementara variabel
agresivitas fisik diukur menggunakan Buss ? Perry Aggression Questionnaire sub
? skala agresivitas fisik. Hasilnya ditemukan adanya hubungan yang signifikan
antara konflik peran gender dan agresivitas fisik pada usia dewasa muda. Hasil
dari penelitian ini didiskusikan kemudian.

ABSTRACT
This research aimed to examine the relationship between gender role conflict and
physical aggression among emerging adults. Gender role conflict was measured
by using Gender role conflict scale ? short form (GRCS ? SF) and physical
aggression was measured by using physical aggression sub-scale from Buss ?
Perry Aggression Questionnaire. A total of 281 undergraduate students of
Universitas Indonesia participated in this study. The result showed that there is a
significant relationship between gender role conflict and physical aggression. The
findings of this study are discussed."
2016
S62810
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zhillan Zhalyla
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara keterlibatan ayah dan sosioseksualitas pada emerging adulthood. Keterlibatan ayah diartikan sebagai sejauh mana ayah terlibat dalam berbagai aspek di kehidupan anak Finley, Mira, Schwartz, 2008 dan sosioseksualitas diartikan sebagai perbedaan individual pada keinginan seseorang untuk terlibat dalam hubungan seksual tanpa komitmen Penke Asendorpf, 2008.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur keterlibatan ayah adalah Nurturant Fathering Scale domain afektif dan Father Involvement Scale domain perilaku yang dikembangkan oleh Finley dan Schwartz 2004. Untuk mengukur sosioseksualitas digunakan Revised Sociosexual Orientation Inventory dari Penke dan Asendorpf 2008.
Responden penelitian ini merupakan 526 individu yang berada di periode emerging adulthood 18-25 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah, baik pada domain afektif dan domain perilaku, dengan sosioseksualitas pada emerging adulthood.

This study was conducted to examine the correlation between father involvement and sociosexuality among emerging adults. Father involvement defined as the extent to which father's participation in all aspects of children's life Finley Schwartz, 2004. Meanwhile, sociosexuality defined as individual differences of someone's willingness to have sex without a commitment Pendke Asendopf, 2008.
The instruments used in this study are Nurturant Fathering Scale for affective domain and Father Involvement Scale conative domain developed by Finley and Schwartz 2004. To measure father involvement and Revised Sociosexual Orientation Inventory Penke Asendorpf, 2008 to measure sociosexuality.
Respondents of this study are 526 emerging adults 18 25 years old. The result indicated that there is a negative and significant relationship between father involvement, both on affective domain or conative domain, and sociosexuality on emerging adulthood.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S69787
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gemini Rosiana
"Kelompok umur yang berpeluang besar mengalami quarter-life crisis adalah individu pada masa dewasa awal, ini dikarenakan individu sedang mengalami masa transisi dalam membangun kehidupan, karir, dan hubungan interpersonal dengan individu lain secara mandiri. Akan tetapi, metode mindfulness diajukan dapat mengurangi quarter-life crisis. Penelitian dilakukan kepada 175 partisipan dengan proporsi perempuan 57,7% yang berada pada masa dewasa awal dengan rentang usia 18-25 tahun. Pengukuran dilakukan dengan cara self-report, variabel mindfulness diukur dengan MAAS (Mindfulness Attention & Awareness Scale) dan Quarter-life Crisis Scale yang sudah diadaptasi dalam Bahasa Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa mindfulness berkontribusi positif signifikan terhadap quarter-life crisis yang dialami dewasa awal (r(175) = 0,500, dengan p < 0,05) dan tidak ada perbedaan signifikan pada skor quarter-life crisis antara laki-laki dan perempuan. Implikasi penelitian adalah perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai mindfulness dan quarter-life crisis pada individu dewasa awal setelah pasca pandemi.

Individual in emerging adulthood period are the age group that most likely to experience quarterlife crisis; this mainly caused by individual that experiencing a transitional period whereas trying to build a life, career, and interpersonal relationships with other individuals. However, the mindfulness method is proposed to reduce quarter-life crises. The study was conducted on 175 participants, with a total proportion of 57.7% females who were in their early adulthood with an age range of 18–25 years. The measurement was carried out by utilizing a self-report questionnaire which has been adapted to Bahasa. While the mindfulness variable is measured by the MAAS (Mindfulness Attention and Awareness Scale), the quarter-life crisis variable is measured by a Quarter-life Crisis Scale. The results of the analysis showed that mindfulness made a significant positive contribution to the quarter-life crisis experienced by early adulthood (r(175) = 0.500, with a p<0.05) while there is no significant differences between man and woman for quarter-life crisis score. The results implied the urgency to conduct further research upon post-pandemic period on mindfulness and quarter-life crisis in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>