Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 94846 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salto Deodatus S.
Jakarta: OBOR, 2021
262.7 SAL g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Thelma Rehatta
"Penelitian ini bertujuan mengkaji kehidupan kaum lanjut usia dalam proses membangun strategi agar tidak dilihat sebagai “liyan”[1], serta memperoleh posisi dan relasi yang menguntungkan secara kultural, sosial, ekonomi, politik. Hal ini menjadi penting karena dalam kesehariannya kaum lanjut usia berhadapan dengan stereotipe, prasangka, diskriminasi dan stigma sehingga identik dengan kondisi fisik yang lemah, secara intelektual menurun, tidak berpenghasilan, cenderung miskin, sulit membangun relasi sosial dengan sekitarnya, cenderung menutup diri, kondisi emosional tidak stabil dan sebentar lagi menuju kematian. Di sisi lain kaum lanjut usia harus berhadapan dengan perubahan-perubahan dalam kesejarahan hidupnya. Kaum lanjut usia juga harus mengatasi relasi dan interaksi dengan struktur-struktur yang muncul, yang mengabaikan potensi-potensi berharga yang dimiliki kaum lanjut usia.
Untuk mengetahui strategi dan siasat yang dipakai, maka penelusuran dan analisis atas proses geliat dan manuver kaum lanjut usia ini menjadi hal yang menarik. Bahwa sesungguhnya kaum lanjut usia tidak menyerah dan tidak ingin menjadi the passive victim, ketika mengalami dominasi dan eksklusifikasi. Bahwa kaum lanjut usia sebenarnya melakukan perlawanan, dimana opresi maupun agresi serta penyudutan pada diri mereka, justru dimanfaatkan sebagai peluang dan kendaraan untuk membangun negosiasi dan melakukan manuver, mengubah posisi dari obyek menjadi subyek yang juga memiliki hak menentukan pilihan hidup bahkan berperan aktif.
Guna mendapatkan hasil yang diharapkan maka jendela intip yang dipakai untuk melihat proses ini adalah institusi religius dalam hal ini gereja. Mengapa institusi religius? Sebab institusi ini merupakan tempat “berlindung” bagi kaum lanjut usia, ketika mereka merasa dunia di sekitar mereka menolak dan tidak menghargai. Melalui institusi religius kaum lanjut usia berharap dapat melanjutkan aktivitas dan potensi mereka dalam penerimaan yang positif melebihi dunia di luar mereka
Kelompok kategori Persekutuan Kaum Lanjut Usia (PKLU) gerejawi, menjadi “ruang” sosial baru yang menampung aspirasi sekaligus menjadi arena berkarya, melayani dan membangun komunikasi dengan sesama lanjut usia, non lanjut usia serta unsur pelayanan lain yang lebih luas. Dalam wadah ini kaum lanjut usia membangun kultur untuk menunjukkan bahwa mereka terdiri dari beragam individu yang mampu mengembangkan potensi dan kapasitas dalam segala “keunikan”nya. Ruang ini yang disebut Bhabha sebagai ruang ketiga, yang tidak hanya berfungsi sebagai ruang penemuan identitas baru, tetapi dimanfaatkan sebagai ruang imajinatif untuk berbicara, membangun dan menghadirkan kehidupan sehingga kaum lanjut usia bukanlah kaum pasif yang hanya menanti datangnya kematian.

This research aims to review the lives of the elderly in their process of building a strategy so as not to be seen as "the Other”, as well as to obtain favorable position and relationships in cultural, social, economic and political. This is important because the elderly in their daily, always dealing with stereotypes, prejudice, discrimination and stigma that is identical to their weak physical condition, intellectual decline, not income, tend to be poor, it is difficult to build social relations with the surroundings, tend to be considered self-closing, the condition emotionally unstable and soon towards death. On the other hand the elderly have to deal with historical changes in their life. Older people also have to address the relationship and interaction with structures that appear to confirms the rule, which ignores the potential value they have.
To know the strategies and tactics used, then the search and analysis of the process of stretching and maneuvering of the elderly is an interesting thing. Behold, the elderly do not give up and do not want to be the passive victim, when subjected to domination and exclusive. That older people actually take the fight, where oppression and aggression and cornered on them, just used it as an opportunity and vehicle to build negotiations and maneuvering, change the position of an object into a subject that also has the right to make choices even live an active role.
In order to get the desired results then the viewing window used to look at this process is a religious institution, named church. Why do religious institutions? Because this is an institution where "shelter" for the elderly, when they feel the world around them resisted and did not appreciate them. Through the religious institution, the elderly hopes to resume activity and their potential in the positive reception to exceed beyond their world.
The Church Eldery Group Category (PKLU – Persekutuan Kaum Lanjut Usia) became a "space" to accommodate their new social aspirations as well as a work arena, serving and establish communication with fellow elderly, non-elderly and other elements of the broader services. In this group the elderly build culture to show that they are composed of a diverse of individuals who are able to develop the potential and capacity in all its "uniqueness" of theirs. Bhabha called this space as a third space, which is then not only serve as a discovery area of a new identity, but used as an imaginative space to talk about life, build and bring life to the elderly is in fact not the only awaits the arrival of a passive mortality.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yogyakarta: Kanisius, 1988
260 GER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jacobs, Tom
Yogyakarta: Kanisius , 1992
260 JAC g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Melina
"Skripsi ini membahas mengenai pengaruh Gereja Santa Maria de Fatima pada masyarakat Cina di Glodok tahun 1955-1970. Skripsi ini memperlihatkan inkulturasi (pendekatan budaya) sebagai metode evangelisasi (penginjilan). Gereja Santa Maria de Fatima yang berdiri di tengah masyarakat Cina di Glodok,sangat identik dengan budaya Cina Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa pengaruh Gereja Santa Maria de Fatima terhadap masyarakat Cina di Glodok meliputi, Pertama, Bidang religi yang tampak pada perubahan agama masyarakat Glodok dari agama tradisional menjadi Katolik. Kedua, Bidang budaya yaitu adanya inkulturasi budaya yang tampak dalam gereja berupa arsitektur, prosesi ibadah dan penggunaan alat-alat budaya. Ketiga, Pengaruh dalam bidang sosial yang tampak pada kegiatan-kegiatan sosial berupa bantuan dana, kesehatan dan beasiswa pendidikan yang diselenggarakan gereja dan yayasan sosial gereja bagi masyarakat Glodok yang membutuhkan. Ketiga, Pengaruh dalam bidang pendidikan yang tampak dalam Sekolah Ricci yang terbuka bagi masyarakat Glodok yang memiliki visi mencerdaskan generasi muda dan meningkatkan kehidupan religius.

This thesis discusses about the influences of the Church of Santa Maria de Fatima in the Chinese community in Glodok. Years of discussion this thesis was started in 1955 to 1970. This thesis shows enculturation (cultural approach) as a method of evangelism. The Church of Santa Maria de Fatima had synonymous with Chinese culture that was standing in the middle of Chinese Community in Glodok. This research method used a historical method. The influences of the Church of Santa Maria de Fatima to Chinese Community was found from this study. The influences were, First, the religious field that look at changed in Chinese religious traditionally to Catholic. Second, the cultural field that looks at the culture, processions and using of cultural tools. Third, Influences in the social and education form such as, activities social which was organized by church and charity for Glodok society which required. Then, Influence in the field of education that the Ricci School opened to Glodok society and had the vision to educate the younger generation and improve the religious life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45812
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hisbaro Muryantoro
"Gereja Puh Sarang yang dibangun oleh Ir.Hericus Maclaine Pont pada tahun 1936 merupakan bangunan gereja yang bercorak Hindu - Jawa.Maclaine mampu memadukan gaya arsitektur pada bangunan gereja yang melambangkan unsur-unsur kebudayaan lokal baik corak,persiapan materi dan pengerjaan bangunan yang melibatkan penduduk setempat...."
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2008
PATRA 9(3-4) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
F. Milla M.
"Gereja Katolik sebagai tempat beribadah umat Katolik memiliki suatu karakter atau ciri khas yang terkandung di dalam ajaran-ajarannya. Ciri khas tersebut adalah adanya empat sifat gereja yang terdiri dari satu, kudus, katolik, dan apostolik yang melandasi Gereja Katolik.
Arsitektur sebagai seni dan ilmu merancang bangunan, timbul karena dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan untuk mewadahi kegiatan-kegiatan tertentu, untuk menampakkan status, kekuasaan atau privasi, untuk menyiratkan sistem nilai, dsb.
Apakah nilai-nilai yang terkandung dalam Gereja Katolik seperti empat sifat gereja yang menjadi ciri khas Gereja Katolik diterapkan / dicerminkan ke dalam arsitekturnya? Seperti apa bentuk atau cara penerapan tersebut?
Setiap arsitek memiliki ide dan cara-cara tersendiri dalam merancang, tetapi nilai-nilai atau esensi yang terkandung dalam suatu bangunan harus tercermin pada arsitekturnya sehingga setiap orang dapat membedakan fungsi bangunan yang satu dengan bangunan lainnya. Nilai-nilai atau esensi yang terkandung dalam suatu bangunan tersebut dapat diaplikasikan dalam berbagai cara. Perkembangan jaman yang melahirkan suatu trend atau gaya-gaya tertentu pada suatu masa dapat mendukung penerapan nilai-nilai tersebut."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2003
S48487
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Burdam
""Konflik Otonomi Gereja di Minahasa (1915-1979)", yang dikaji dalam penulisan ini, difokuskan pada masalah; "Gereja dan politik". Gereja sebagai organisasi mempunyai pemimpin, dan dalam mekanisme kerjanya (walaupun hierarkis), seharusnya berorientasi pada keadilan bagi umatnya, termasuk kaum intelektual dalam konflik ini. Tetapi, kenyataannya gereja tidak mampu berlaku adil bagi umatnya, sehingga kaum intelektual menuntut otonomi gereja Protestan di Minahasa kepada Indische Kerk atau Gereja Protestan Indonesia.
Politik dalam konflik ini adalah wawasan kebangsaan dalam konteks pergerakan Indonesia dari kaum intelektual, yang mempengaruhi perjuangan mereka, sehingga mereka menolak campur tangan pemerintah kolonial dan Indische Kerk dalam usaha membentuk gereja otonom di Minahasa. Usaha itu dilakukan pertama kali oleh Lambertus Mangindaan, dan kemudian Joel Walintukan pada akhir abad ke-19, yang sifat perjuangannya perorangan. Perjuangan itu, kemudian diteruskan pada awal abad ke-20, dalam bentuk kelompok, yaitu kelompok kepala-kepala kampung di Minahasa pada tahun 1902, dan kelompok Majelis Gereja (kerkeraad) di Manado, sejak tahun 1911. Perjuangan mendirikan gereja otonom di Minahasa dengan menggunakan "organisasi" baru dilakukan guru-guru zending melalui pembentukan perserikatan "Pangkal Setia", pada bulan Mei 1915 di Tomohon Minahasa. Pada tahun 1920-an, terjadi penyatuan perjuangan antara guru-guru zending, majelis gereja, dan tokoh masyarakat dalam wadah organisasi Pangkal Setia. Bahkan pada tahun 1930-an, bergabunglah politisi nasional asal Minahasa, dalam perjuangan mewujudkan gereja otonom di Minahasa. Kelompok ini, dalam penulisan ini disebut "kaum intelektual,? yang berkonflik dengan Indische Kerk (GPI).
Permasalahan dalam penulisan ini, adalah "bagaimana pengaruh politik kolonial Belanda dalam Indische Kerk dan dampaknya pada kepentingan kaum intelektual di Minahasa?" Lebih khusus, "pengaruh kekuasaan Indische Kerk terhadap status dan hak kaum intelektual Minahasa dalam kehidupan gereja?". Permasalahan ini, kemudian dirumuskan sebagai berikut: "mengapa terjadi konflik otonomi gereja antara kaum intelektual dengan Indische Kerk di Minahasa?" dan "mengapa konflik otonomi gereja itu berlangsung begitu lama antara tahun 1915-1979?". Tujuan penulisan ialah menemukan faktor penyebab terjadinya konflik, dan menjelaskan wawasan perjuangan kaum intelektual dalam konflik otonomi gereja di Minahasa, serta faktor-faktor penyebab lamanya konflik itu. Manfaat penulisan, untuk mengisi kesenjangan yang terjadi dalam penulisan sejarah Minahasa dalam kurun waktu yang dikaji, terutama peran kaum intelektual dalam konflik otonomi gereja.
Pendekatan dalam penulisan adalah pendekatan Strukturis dari Christopher Lloyd, dengan metode pengumpulan data ialah metode sejarah oleh Marc Bloch, dan eksplanasi fakta menggunakan teori "Collective Action" oleh Charles Tilly, proactive collective action dari tiga macam polity model dalam teori tersebut. Sumber data diperoleh dari arsip GMIM (terutama surat-surat rahasia tentang konflik tersebut), naskah-naskah dari KGPM, Arsip Nasional Republik Indonesia, wawancara dan literatur lain yang berkaitan.
Konflik ini didorong oleh kepentingan kelompok, yaitu "status dan hak", dari guru-guru zending, guru jemaat, dan majelis gereja yang diabaikan dalam struktur kerja Indische Kerk di Minahasa. Akibatnya, mereka berjuang menuntut persamaan dengan pegawai, terutama sesamanya Inlands Leraar (Guru Injil) dalam lingkungan Indische Kerk. Untuk mendapatkan dukungan dari massa, maka perjuangan itu dikaitkan dengan persoalan tuntutan "otonomi gereja di Minahasa". Mereka juga mendapatkan dukungan dari politisi nasional asal Minahasa pada tahun 1930-an, seperti Sam Ratulangi, Dr. R. Tumbelaka, dan Mr. A.A. Maramis. Dengan dukungan itu, maka 11 Maret 1933 di Manado, dibentuklah Badan Pengurus Organisasi Gereja. Badan ini, diketuai Joseph Jacobus dan B.W. Lapian, sebagai sekretaris. Selanjutnya, Badan ini mendeklarasikan berdirikannya "Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM)", pada 21 April 1933 di Manado. Menyusul berdirinya KGPM, maka pemerintah kolonial dan Indische Kerk, merestui berdirinya "Gereja Masehi Injil Minahasa (GMIM), pada 30 September 1934 di Tomohon Minahasa.
Persoalan konflik setelah berdirinya GMIM, diwarnai oleh latar sejarah dari kedua gereja, sedangkan sesudah kemerdekaan Indonesia, konflik lebih disebabkan masalah politik, yaitu gereja yang para tokoh pejuangnya, adalah berjiwa nasionalis Indonesia (KGPM), dan gereja yang merupakan hadiah atau warisan penjajah Belanda (GMIM). Akibat dari pandangan yang berbeda itu, maka konflik berlangsung secara tertutup, dan sulit untuk mempertemukan kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Causal factor, "konflik otonomi Gereja di Minahasa", adalah orientasi diri orang Minahasa, yang pada umumnya cenderung memproyeksikan diri sebagai "pemimpin", karena dengan menjadi pemimpin, maka status mereka lebih tinggi dari sesamanya, sehingga dihargai dan disapa dengan "boss". Ironisnya, orientasi ini kemudian dibawa ke dalam kehidupan gereja, sehingga jabatan dalam organisasi gereja diperebutkan setiap individu yang ingin mengaktualisasikan diri sebagai "pemimpin" atau "pejabat". Akibatnya, fungsi jabatan pejabat gereja, yang adalah "pelayan" atau "hamba", dalam melayani jemaat, dijadikan jabatan demi status, hormat, dan materi. Di samping itu, karena pengaruh "pietisme" dari para Zendeling di Minahasa, yang tidak mempedulikan masalah organisasi dalam pekerjaan gereja."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>