Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164510 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Alfitras Tavares
"Perubahan iklim merupakan permasalahan besar manusia saat ini. Dampak dari perubahan iklim dapat melanggar hak asasi manusia. Mengutip beberapa penelitian mengenai Carbon Majors, ditemukan bahwa emisi yang utamanya berasal dari industri bahan bakar fosil merupakan salah satu pihak yang berkontribusi besar terhadap perubahan iklim melalui gas rumah kacanya. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah korporasi yang berkontribusi menyebabkan dampak perubahan iklim dapat dimintakan pertanggungjawaban atau tidak. Penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis bagaimana perubahan iklim berdampak pada hak asasi manusia, bagaimana kewajiban hak asasi manusia oleh korporasi terkait dampak perubahan iklim serta bagaimana pertanggungjawaban korporasi melalui mekanisme litigasi perubahan iklim berbasis hak asasi manusia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dan analisis kualitatif terhadap berbagai jenis data. Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder mulai dari peraturan, putusan pengadilan, jurnal ataupun buku. Hasil penelitian ini menemukan bahwa perubahan iklim memang berdampak pada hak asasi manusia dan bahwa korporasi memiliki kewajiban hak asasi manusia dan dapat dimintakan tanggung jawab atas kontribusinya terhadap perubahan iklim. Terdapat dua jalur yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dengan menggunakan argumen hak asasi manusia atas dampak perubahan iklim, yaitu melalui gugatan pelanggaran hak dan gugatan perdata perbuatan melawan hukum. Alangkah baiknya apabila Pemerintah membuat peraturan yang mengikat yang mengatur mengenai kewajiban korporasi terkait hak asasi manusia dan perubahan iklim. Hal ini diperlukan agar setiap tindakan melakukan pencegahan pelanggaran hak asasi manusia perubahan iklim melalui aktivitasnya.

Climate change is a major problem for mankind right now. The impact of climate change can violate many human rights. Citing several studies on Carbon Majors, it was found that emissions mainly from the fossil fuel industry are one of the major contributors to climate change through their greenhouse gases. This raises the question of whether corporations that contribute to climate change impacts can be held accountable or not. This research will examine and analyze how climate change impacts on human rights, how the obligations of human rights by corporations are related to the impacts of climate change as well as how the corporation is accountable through human rights-based climate change litigation mechanisms. This research is a juridical-normative research and qualitative analysis of various types of data. This research used secondary data ranging from regulations, court decisions, journals or books. The results of this study find that climate change does have an impact on human rights and that corporations have human rights obligations and can be held accountable for their contribution to climate change. There are two ways that can be used to hold corporations accountable, those are, using human rights arguments for the impacts of climate change through lawsuits for violation of rights and civil lawsuits for unlawful acts. It would be better if the Government made binding regulations governing corporate obligations related to human rights and climate change. This is necessary so that every action takes to prevent climate change human rights violations through their activities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiah Salsabilla
"Perubahan iklim dapat memberikan dampak negatif terhadap penikmatan dari hak asasi manusia (HAM), salah satu hak yang dianggap paling signifikan terancam adalah hak untuk hidup. Hak untuk hidup merupakan non-derogable rights yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Salah satu akibat dari perubahan iklim dapat dilihat melalui fenomena terpaksanya perpindahan manusia terhadap mereka yang disebut sebagai Environmentally-Displaced Persons (EDPs). Terlepas dari urgensi permasalahan ini, belum terdapat instrument hukum internasional yang dapat melindungi mereka. Namun, Human Rights Committee (HRC) memberikan peluang perlindungan terhadap para EDPs akibat perubahan iklim untuk tidak dikembalikan ke negara asalnya. HRC menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan salah satu ancaman yang paling mendesak dan serius serta dapat menghadapkan individu terhadap pelanggaran atas hak untuk hidup. Hal ini maka dapat memunculkan kewajiban bagi Negara untuk tidak mengembalikan mereka ke negara asal atau non-refoulement obligations. Walaupun demikian, terdapat komponen-komponen yang harus dipenuhi oleh EDPs akibat perubahan iklim untuk mendapatkan perlindungan tersebut, termasuk risiko yang ia hadapi haruslah nyata dan tidak dapat diperbaiki, serta bersifat pribadi. Pemenuhan komponen hak untuk hidup dalam konteks lingkungan ini dapat dilihat dalam kasus Ioane Teitiota v. New Zealand yang dianggap sebagai suatu landmark decision dalam perlindungan EDPs akibat perubahan iklim

Climate change can have a negative impact on the enjoyment of human rights, one of the rights that is considered to be the most significantly threatened is the right to life. The right to life is a non-derogable right which cannot be reduced under any circumstances. One of the consequences of climate change can be seen through the phenomenon of forced displacement of people against them which is called Environmentally-Displaced Persons (EDPs). Despite the urgency of this problem, there is no international legal instrument that can protect them. However, the Human Rights Committee (HRC) provides an opportunity to protect EDPs due to climate change from being returned to their countries of origin. The HRC states that climate change is one of the most urgent and serious threats and can expose individuals to violations of the right to life. This can then give rise to an obligation for the State not to return them to the country of origin or non-refoulement obligations. However, there are components that must be met by EDPs due to climate change in order to obtain such protection, including the risks that they face must be real and irreversible, as well as personal. The fulfillment of the right to life component in this environmental context can be seen in the case of Ioane Teitiota v. New Zealand that is considered as a landmark decision in protecting EDPs due to climate change."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Halim
"Dalam perkembangan pengendalian perubahan iklim di dunia muncul mekanisme fleksibel yang diatur dalam Protokol Kyoto. Dalam perkembangannya terbentuk mekanisme mitigasi baru yaitu JCM sebagai mekanisme mitigasi yang diajukan Jepang kepada UNFCCC di bawah framework for various approaches. JCM sendiri merupakan mekanisme carbon offsetting yang dimana Jepang memberikan bantuan kepada negara berkembang untuk mengurangi karbon dengan timbal balik pemberian kredit karbon kepada Jepang. Dalam tulisan ini Penulis mencoba menelusuri bagaimana JCM itu diletakkan dalam pengaturan perubahan iklim global dan melihat bagaimana JCM diatur dan diimplementasikan dalam mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif, dan menggunakan bahan- bahan kepustakaan serta data yang disediakan oleh instansi terkait. Temuan yang disampaikan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek dari mitigasi perubahan iklim yang harus diperhatikan Indonesia jika ingin meningkatkan lagi kebermanfaatan dari mekanisme JCM atau ingin mengimplementasiken mekanisme mitigasi dengan bentuk carbon ofsetting lainnya.

In the development of climate change mitigation in the world, flexible mechanisms are created under the Kyoto Protocol. In its development, a new mitigation mechanism was formed, namely JCM as a mitigation mechanism proposed by Japan to the UNFCCC under the framework for various approaches. JCM itself is a carbon offsetting mechanism in which Japan provides assistance to developing countries to reduce carbon in exchange for giving carbon credits to Japan. In this paper, the author tries to explore how the JCM is put into global climate change regulation and see how JCM is regulated and implemented in climate change mitigation in Indonesia. The research method in writing this thesis is juridical-normative research with a qualitative approach, and uses library materials and data made available by the relevant agencies. The findings presented in this study are aspects of climate change mitigation that Indonesia must pay attention to if it wants to increase the usefulness of the JCM mechanism or to implement mitigation mechanisms with other forms of carbon offsetting."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Zamzami
"Perubahan iklim dirunut menjadi penyebab bagi para pihak atas kerugian yang mereka hadapi. Meningkatnya emisi karbon dioksida, melelehnya es glasial, munculnya banjir, dan banyak efek dari perubahan iklim lainnya diklaim sebagai penyebab rusaknya properti pribadi para pihak, sehingga mereka tidak dapat menikmati hak mereka atas properti pribadi tersebut. Keadaan ini mendorong banyak pihak, baik pemerintah, individu, maupun kelompok, untuk menggugat korporasi atas kontribusi mereka terhadap perubahan iklim. Walaupun secara garis besar para penggugat meminta ganti rugi menggunakan hukum perdata, mereka mengklaim argumentasi yang berbeda-beda mengenai mengapa korporasi harus membayar ganti rugi pada mereka. Klaim yang paling banyak diajukan adalah klaim atas nuisance, negligence, producer liability, civil conspiracy, dan unjust enrichment. Di sisi lain, tidak semua gugatan perdata meminta ganti rugi. Beberapa di antaranya meminta injunction berupa perintah pengadilan agar korporasi mengurangi emisi gas rumah kaca mereka di masa depan untuk memenuhi target Paris Agreement. Dari sekian kasus litigasi iklim yang tersebar di berbagai negara, beberapa kasus menandai argumentasi-argumentasi yang menggarisbawahi bagaimana pengadilan di berbagai negara melihat perubahan iklim serta bagaimana korporasi berperan atau tidak berperan dalam menyebabkan kerugian penggugat. Penelitian akan membahas mengenai sejarah litigasi iklim dan masalah hukum yang muncul dalam gugatan iklim. Setelah itu, dibahas pula gambaran umum argumentasi popular dari penggugat serta contoh-contoh landmark cases yang diseleksi dengan beberapa pertimbangan. Penelitian akan menganalisis alasan ditolak dan dikabulkannya gugatan iklim, memberikan kontekstualisasi peranan majelis hakim terhadap putusan, dan aplikasi analisis tersebut terhadap gugatan iklim di Indonesia. Berdasarkan penelitian normatif yang dilakukan, ditemukan bahwa permintaan ganti rugi dan pembuktian kausalitas adalah dua rintangan utama bagi penggugat untuk memenangkan gugatan. Selain itu, Indonesia juga memiliki skema ganti rugi yang cukup unik dibandingkan dengan negara lain dalam kasus kebakaran hutan. Sebagai penutup, penelitian menyertakan saran bagi para pihak yang ingin mengajukan gugatan iklim.

Climate change is traced to be the cause for the losses that certain parties face. Increased carbon dioxide emissions, melting of glacial ice, the emergence of floods, and many other effects of climate change are claimed to be the cause of damage to the parties’ private property, rendering them unable to enjoy their rights to their private property. This situation has prompted many parties, be it governments, individuals, or groups, to sue corporations for their contribution to climate change. Although in general the plaintiffs seek compensation using tort law, they claim different arguments as to why the corporation should pay compensation to them. The most frequently submitted claims are claims for nuisance, negligence, producer liability, civil conspiracy, and unjust enrichment. On the other hand, not all civil lawsuits seek compensation. Some of them asked for an injunction in the form of a court order for corporations to reduce their greenhouse gas emissions in the future to meet the Paris Agreement targets. Of the many climate litigation cases across various countries, several cases highlight arguments that underline how courts in various countries view climate change and whether corporations play or do not play a role in causing the plaintiff's losses. The research will discuss the history of climate litigation and the legal issues that arise in climate lawsuits. After that, an overview of the popular arguments of the plaintiffs and examples of landmark cases, which were selected with several considerations, are also discussed. The study will analyze the reasons for the rejection and granting of climate lawsuits, provide contextualization of the role of the panel of judges in the decision, and the application of the analysis to climate lawsuits in Indonesia. Based on the normative research conducted, it was found that the request for compensation and the proof of causality were the two main obstacles for the plaintiff to win the lawsuit. In addition, Indonesia also has a compensation scheme that is quite unique compared to other countries in the case of forest fires. In closing, the research includes suggestions for parties wishing to file a climate lawsuit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ravel Dillon Chandra
"Status konservasi komodo yang berubah menjadi endangered akibat perubahan iklim menyebabkan perlunya pelaksanaan aksi adaptasi perubahan iklim sebagai bentuk konservasi komodo di Pulau Komodo. Bentuk konservasi ditentukan berdasarkan kewenangan dan kebijakan konservasi komodo supaya strategi adaptasi perubahan iklim yang tepat dapat diimplementasikan. Kewenangan konservasi komodo berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, pelaksanaannya sendiri melibatkan pihak-pihak lain termasuk lembaga negara dan keterlibatan pihakpihak di luar pemerintahan. Sementara itu, kebijakan konservasi di Indonesia terpusat pada UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Namun, kebijakan tersebut tidak mengakomodir dampak dari perubahan iklim sehingga sulit untuk mengimplementasikan aksi adaptasi perubahan iklim ke dalam kawasan lindung. Untuk menghadapi perubahan iklim, kebijakan yang ideal di Pulau Komodo adalah dengan memanfaatkan ekosistem mangrove. Kewenangan utama penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim seharusnya diberikan kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini disebabkan peran Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai instansi pemerintah yang berwenang di wilayah implementasi aksi adaptasi perubahan iklim dan kewenangannya untuk melaksanakan pengelolaan kawasan pelestarian alam, yaitu Pulau Komodo sebagai bagian dari Taman Nasional Komodo.

The conservation status of the komodo dragon, which has become endangered due to climate change, has led to the need to implement climate change adaptation actions as a form of komodo dragon conservation on Komodo Island. The form of conservation is determined based on the authority and policy of Komodo dragon conservation, so that appropriate climate change adaptation strategies can be implemented. The authority for the conservation of komodo dragon rests with the Ministry of Environment and Forestry based on the Law on Conservation of Natural Resources and Ecosystems. However, the implementation itself involves other parties including state institutions and the involvement of parties outside the government. Meanwhile, the conservation policy in Indonesia is in the Law on Conservation of Biological Natural Resources. However, the policy does not accommodate the impacts of climate change, making it difficult to implement climate change adaptation actions into protected areas. To deal with climate change, the ideal policy on Komodo Island is to utilize the mangrove ecosystem. The main authority for preparing climate change adaptation actions should be given to the Provincial Government of East Nusa Tenggara. This is due to the role of the Provincial Government of East Nusa Tenggara as the government agency in charge in the area of implementing climate change adaptation actions and its authority to carry out the management of nature conservation areas, namely Komodo Island as part of the Komodo National Park."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha Quina
"Skripsi ini membahas pokok permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah pengakuan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam hukum internasional?; (2) Bagaimanakah tanggung jawab yang dibebankan terhadap perusahaan transnasional terkait permasalahan lingkungan hidup dalam hukum internasional?; dan (3) Bagaimana pertanggungjawaban perusahaan transnasional terhadap pelanggaran hak atas lingkungan hidup telah diterapkan terutama dalam perkara-perkara gugatan masyarakat terhadap perusahaan transnasional?
Secara garis besar, analisis didasarkan pada studi literatur mengenai perkembangan doktrin dan pengaturan hak atas lingkungan hidup, dengan meninjau perjanjian internasional baik yang bersifat global maupun regional, instrumen soft law, dan hukum kebiasaan internasional; serta tinjauan pertanggungjawaban yang dibebankan oleh instrumen-instrumen hukum internasional terhadap perusahaan transnasional dalam hal pemenuhan hak atas lingkungan hidup. Selanjutnya dianalisis mengenai keberlakuan hak atas lingkungan hidup sebagai hukum internasional terhadap perusahaan transnasional, serta pertanggungjawaban yang dapat dibebankan terhadapnya.
Dalam analisis, dibahas mengenai tiga kasus pelanggaran hak atas lingkungan hidup oleh perusahaan transnasional, yaitu Aguinda v. Texaco, Lubbe v. Cape PLC, dan Beanal v. Freeport McMoran. Dalam analisis, dapat terlihat bahwa dalam perkara-perkara tersebut: (1) Hukum internasional tidak diterapkan secara langsung; (2) Terhentinya perkara dalam proses yurisdiksi; (3) Adanya irisan ranah hukum publik dan privat dalam substansi dan formil perkara; (4) Pelanggaran hak atas lingkungan hidup diterjemahkan dalam pelanggaran hak-hak asasi secara umum; dan (5) Adanya irisan antara akuntabilitas dan liabilitas perusahaan transnasional. Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa pengaturan tanggung jawab lingkungan hidup terhadap perusahaan transnasional ini akan menjadi hukum internasional di masa depan.
Secara ringkas, simpulan yang didapat menjawab secara positif adanya pengakuan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam hukum internasional, namun pengaturan pertanggungjawabannya terhadap perusahaan transnasional masih mendasarkan pada instrumen yang bersifat sukarela tanpa menyinggung liabilitas, sehingga masyarakat yang dirugikan masih kesulitan untuk mendapatkan ganti kerugian atas hak-hak asasinya yang dilanggar karena perusakan lingkungan oleh perusahaan transnasional.

This undergraduate thesis tries to answer following questions: (1) How does right to environment recognized as a part of human rights in international law?; (2) How does liability imposed upon transnational corporation related to environmental harms in international law; (3) How does transnational corporations' liability has been enforced in claims by injured civilians towards transnational corporations?
Generally, the analysis is based on literature study concerning development of doctrine and regulation on right to environment, considering global and regional treaties and soft law instruments, also customary international law; and examination of liability imposed by international legal instruments on transnational corporations in regards of fulfillment of right to environment.
Further, Writer analyses enforceability of right to environment as international law towards transnational corporations, and liability imposed upon them. In analysis, three cases on environmental violations by transnational corporations have been examined, which are Aguinda v. Texaco, Lubbe v. Cape PLC, and Beanal v. Freeport McMoran. It is concluded that in such cases: (1) International law is not imposed directly; (2) Dismissal on jurisdictional process; (3) The intersection of public and private legal area in the substance and process of the cases; (4) Violation of right to environment is translated into violations of general human rights; (5) The intersection of transnational corporations' accountability and liability. Further, there is a tendency that regulation of environmental liability to transnational corporations will be international law in the future.
In brief, the conclusion answers in positive the recognition of right to environment as a part of human rights in international law, yet still bases transnational corporation accountability on the voluntary instruments silent on liability provisions, causing the injured community troubled in demanding compensation for their violated right to environment related to environmental harms by transnational corporations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43168
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nickel, James W.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996
323.4 NIC h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davidson, Scott
Jakarta: Pustaka Utama, 1994
341.481 DAV h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 1997
341.48 MAJ t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>