Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110782 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabila Meuthia Arifin
"Candida albicans merupakan salah satu patogen umum penyebab kandidiasis invasif yang memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi sehingga diperlukan metode deteksi yang cepat, sensitif, dan spesifik untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat. qPCR berbasis intercalating dye dapat menjadi salah satu metode yang digunakan untuk pendeteksian Candida albicans karena waktu pemrosesannya yang cepat dan dapat menggunakan volume sampel yang sedikit. Tetapi, penggunaan intercalating dye memiliki kelemahan yaitu dapat berikatan pada semua DNA untai ganda, sehingga diperlukan primer yang spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode deteksi Candida albicans menggunakan qPCR berbasis intercalating dye dengan melakukan perancangan primer spesifik untuk Candida albicans, pengujian spesifisitas primer terhadap spesies fungi lain, dan pengujian sensitivitas metode qPCR menggunakan sampel darah utuh. Hasil perancangan primer spesifik merupakan primer Ca2 yang memiliki panjang 22 dan 19 oligonukleotida untuk deteksi qPCR. Primer yang dirancang menargetkan gen ITS yang merupakan housekeeping gene untuk fungi. Hasil uji spesifisitas primer terhadap tiga spesies Candida lain dan satu spesies Malassezia menunjukkan melting curve yang memiliki puncak tunggal pada sampel yang terdapat DNA Candida albicans dan DNA campuran, yang menandakan primer secara spesifik mendeteksi Candida albicans. Hasil uji sensitivitas pada darah utuh menunjukkan hasil bahwa metode qPCR berbasis intercalating dye menggunakan primer Ca2 dapat mendeteksi DNA Candida albicans dalam sampel darah utuh hingga batas 100 sel/mL.

Candida albicans is a common pathogen that can cause invasive candidiasis which has a fairly high mortality rate so a fast, sensitive, and specific detection method is needed to get the right diagnosis and treatment. Intercalating dye-based qPCR can be one of the methods used for the detection of Candida albicans because of its fast-processing time and use of a small volume sample. However, the use of intercalating dye has a disadvantage, as it can bind to all double-stranded DNA, so a specific primer is needed. This study aims to develop a Candida albicans detection method using intercalating dye-based qPCR by designing a specific primer for Candida albicans, testing the primer specificity for other fungal species, and testing the sensitivity of the qPCR method using whole blood samples. The results of the design of specific primers are Ca2 primers which have lengths of 22 and 19 oligonucleotides for qPCR detection. The primers are designed to target the ITS gene which is a housekeeping gene for fungi. The results of the primer specificity test for three other Candida species and one Malassezia species showed a melting curve that had a single peak in the sample containing Candida albicans DNA and mixed DNA, which indicated that the primer specifically detected Candida albicans. The results of the sensitivity test showed that the intercalating dye-based qPCR method using Ca2 primers could detect Candida albicans DNA in whole blood samples up to a limit of 100 cells/mL."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firyal Fairuztsana Nugraha
"Candida krusei merupakan organisme komensal pada manusia sehat, namun pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan tubuh dapat menjadi patogen oportunistik. Candida krusei memiliki prevalensi yang rendah, namun tingkat mortalitas yang cukup tinggi sehingga diperlukan metode deteksi yang cepat dengan sensitivitas serta spesifisitas yang tinggi. Quantitative PCR berbasis intercalating dye merupakan teknik amplifikasi DNA yang mendeteksi secara real-time, namun dapat berikatan secara non-spesifik pada DNA untai ganda yang rentan terhadap kesalahan sehingga diperlukan primer yang baik dan spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode deteksi Candida krusei menggunakan qPCR berbasis intecalating dye dengan merancang primer secara in silico dengan target gen ITS yang memiliki karakteristik baik dan spesifik terhadap Candida krusei serta dilakukan uji spesifisitas primer pada beberapa spesies jamur dan uji sensitivitas pada sampel biologis (whole blood) manusia. Hasil perancangan primer yang diperoleh adalah primer Cc3 yang memiliki panjang masing-masing adalah 20 dan 18 oligonukleotida dengan karakterisasi yang baik. Hasil uji spesifisitas dengan qPCR berbasis intercalating dye pada tiga Candida sp. dan satu spesies Malassezia menunjukkan hasil yang spesifik dimana hanya dapat mendeteksi Candida krusei. Hasil uji sensitivitas pada sampel biologis (whole blood) menunjukkan bahwa qPCR berbasis intercalating dye menggunakan primer Cc3 mampu mendeteksi hingga batas 1000 sel/mL.

Candida krusei is a commensal organism in healthy humans, but in patients with immunocompromised it can become an opportunistic pathogen. Candida krusei has a low prevalence with a fairly mortality rate. Intercalating dye-based quantitative PCR is a DNA amplification technique that allows real-time detection, however it can binds to any double-stranded DNA unspecifically which is error-prone, primer with a good characteristics and specific is needed. This study aims to develop a Candida krusei detection method using intercalating dye-based quantitative PCR was carried out by primers designing in silico with the target gene for ITS which has good characteristics for Candida krusei, and specificity tests in several fungal species and sensitivity tests in human biological sample (whole blood). The primer design results obtained are primer Cc3 which has lengths of 20 and 18 oligonucleotides with good characterization. The results of the specificity tests with intercalating dye-based qPCR in three Candida sp. and one Malassezia sp. showed specific results which were only able to detect Candida krusei. The results of the sensitivity tests in whole blood sample showed that intercalating dye-based qPCR using a primer that had been designed was able to detect up to 1000 cells/mL."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachma Allysa Vidya Putri Augustine
"Candida sp. merupakan jamur komensal penyebab infeksi invasif kandidiasis. Candida albicans memiliki sifat dominan sehingga Candida lain sulit untuk dideteksi dan dapat mengarah pada kesalahan terapi. Candida non-albicans seperti Candida krusei juga memiliki resistensi terhadap obat antijamur. Metode deteksi menggunakan qPCR dapat mempersingkat waktu untuk diagnosis dan memiliki spesifisitas deteksi yang baik untuk deteksi kandidiasis invasif. Namun penggunaan metode ini memerlukan primer spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi spesifisitas novel primer Ca2 yang mendeteksi Candida albicans dan Cc3 yang mendeteksi Candida krusei serta membedakan keduanya dari spesies Candida dan jamur lainnya. Pengujian spesifisitas dilakukan menggunakan metode qPCR berbasis intercalating dye SYBR Green dengan suhu annealing 60℃ untuk primer Ca2 dan 58℃ untuk primer Cc3, masing-masing sebanyak 40 siklus. Pengujian dilakukan terhadap sebelas spesies jamur Candida termasuk C. albicans dan C. krusei; satu spesies teleomorf jamur Candida, Clavispora lusitaniae; dan dua spesies jamur dari genus lain, yaitu Malassezia dan Aspergillus. Hasil uji primer Ca2 menunjukkan nilai Ct 25,23 dan Tm 83,58 untuk Candida albicans, sedangkan primer Cc3 menunjukkan nilai Ct 35,00 dan Tm 88,24 untuk Candida krusei serta Ct 23,41 dan Tm 88,80 untuk Clavispora lusitaniae. Primer Ca2 spesifik mendeteksi C. albicans. Sementara itu primer Cc3 tidak spesifik mendeteksi Candida krusei, namun dapat mendeteksi Clavispora lusitaniae. Walaupun demikian, primer Cc3 masih dapat digunakan untuk penggunaan klinis karena rendahnya infeksi Clavispora lusitaniae di Indonesia.

Candida sp. are commensal yeasts that can result in invasive infection such as Candidiasis. Candida albicans-dominant characteristic caused medication error due to difficulty of other Candida detection. Candida non-albicans such as Candida krusei has high resistance against antifungi drugs. Detection method using qPCR offers shorter amount of time for diagnosis and has high specificity for detecting invasive candidiasis. However, this method requires specific primers. In this study, we evaluate specificity of novel primer Ca2 for detecting Candida albicans and Cc3 for detecting Candida krusei and differentiate both species from other Candida and yeast species. The specificity test was done in qPCR with intercalating dye SYBR Green applying 40 cycles and annealing temperature at 60 ℃ for Ca2 and 58℃ for Cc3. Samples are eleven Candida species including C. albicans and C. krusei; one species of Candida in a teleomorph form, Clavispora lusitaniae; and two species of another genus, Malassezia and Aspergillus. Primer Ca2 identified Candida albicans with Ct value 25,23 and Tm 83,58. Primer Cc3 identified Candida krusei with Ct value 35,00 and Tm 88,24 as well as Clavispora lusitaniae with Ct value 23,41 and Tm 88,80. Primer Ca2 specific for detecting C. albicans and primer Cc3 not specific for detecting Candida krusei, but also able to detecting Clavispora lusitaniae.However, the primer still acceptable for clinical use due to low prevalence of Clavispora lusitaniae infection in Indonesia."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Conny Riana Tjampakasari
"Masalah di dalam dunia kedokteran bertambah dengan meningkatnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh jamur Candida, terutama oleh Candida albicans. Candida albicans dianggap sebagai spesies terpatogen dan menjadi penyebab utama kandidosis. Jamur ini tidak terdapat di alam bebas, tetapi dapat tumbuh sebagai saproba pada berbagai alat tubuh manusia, terutama yang mempunyai hubungan dengan dunia luar. Ketokonasol sebagai antimikotik pertama yang bekerja efektif secara oral menjadi pilihan untuk menguji sensitivitas Candida albicans. Tujuan penelitian ini adalah menguji sensitivitas Candida albicans terhadap ketokonasol dengan metode Minimum Inhibitory Concertation (MIC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 84,50% Candida alb/cans (60 dari 71 sampel) bersifat resisten terhadap ketokonasol. Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi klinisi dalam hal pengobatan kandidosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Parida Oktama Putri
"Jamur Candida merupakan penyebab infeksi paling banyak ditemukan pada manusia. Spesies paling sering menyebabkan kandidiasis yaitu Candida albicans. Saat ini, insidensi infeksi kandidiasis semakin meningkat. Candida adalah penyebab utama keempat infeksi darah di rumah sakit, dan di Amerika Serikat, angka kematian akibat kandidemia mencapai 40 per tahun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola kepekaan Candida albicans dan Candida non albicans terhadap vorikonazol secara in vitro dari rekam medis 2010-2015 di Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI. Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional. Pemilihan sampel menggunakan metode total sampling, data diproses menggunakan SPSS dan dianalisis menggunakan uji Fisher. Dari 546 sampel, hasil uji kepekaan Candida albicans terhadap vorikonazol menunjukkan 407 isolat sensitif 99,8 dan 1 isolat resisten 0,2. Uji kepekaan Candida non albicans terhadap vorikonazol menunjukkan 136 isolat sensitif 98,6 dan 2 isolat resisten 1,4 . Tidak terdapat perbedaan p=0,159 pola kepekaan Candida albicans dan Candida non albicans terhadap vorikonazol. Vorikonazol memilki aktivitas yang tinggi di dalam in vitro sehingga memberikan hasil yang baik untuk mengeradikasi Candida yang resisten terhadap flukonazol. Sebagai kesimpulan, tidak terdapat perbedaan pola kepekaan Candida albicans dan Candida non albicans terhadap vorikonazol.

Candida is the cause of most infections found in humans, mostly Candia albicans. Candida is the fourth leading cause of blood infection in hospitals, and in the United States, the death rate from Candidaemia reached 40 in year. The aim of this research is to determine the Candida albicans and Candida non albicans susceptibility profile in vitro to voriconazoleof the medical record 2010 2015 at the Mycology Laboratory of the Departement of Parasitology Faculty of Medicine University of Indonesia. This study uses a Cross sectional study. The sample selection was done with total sampling method. Data was processed using SPSS and analyzed using Fisher's test. From 546 samples, the susceptibility profile of Candida albicans are 407 samples 99.8 sensitive and 1 sample 0.2 resistant. Susceptibility profile of Candida non albicans are 136 samples 98.6 sensitive and 2 sample 1.4 resistant. The result indicated no significant association p 0.159 between susceptibility profile of Candida albicans and Candida non albicans to voriconazole. Voriconazole has high in vitro activities so as to provide good results to eradicate the Candida resistant to fluconazole. In conclusion, there are no significant association between Candida albicans and Candida non albicans susceptibility profile to voriconazole.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Peggy
"Latar Belakang: Candida albicans merupakan jamur flora normal dalam rongga mulut yang bila mengalami pertumbuhan berlebih menyebabkan kandidiasis mulut. Salah satu faktor pemicunya adalah malnutrisi yang sering terjadi pada masyarakat golongan ekonomi rendah. Daya beli masyarakat yang rendah membuat kandidiasis mulut sering terabaikan, karena obat-obatan anti jamur yang tersedia di pasaran relatif mahal. Oleh karena itu, diperlukan alternatif pengobatan yang terjangkau. Salah satunya adalah kitosan yang berasal dari limbah cangkang udang yang jumlahnya berlimpah di Indonesia. Dari hasil penelitian yang terdahulu, terbukti bahwa bermacam-macam kitosan dengan berbagai konsentrasi mempunyai sifat anti jamur yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan: untuk mengetahui efek anti jamur dari kitosan produksi dalam negeri dengan berbagai konsentrasi terhadap Candida albicans ATCC 10231 dalam medium kultur.
Metode: Dibuat larutan suspensi Candida albicans ATCC 10231 dengan pengenceran dalam PBS sampai 106 CFU/mL. Larutan tersebut selanjutnya dipaparkan pada dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (berisi larutan SDB) dan kelompok perlakuan (berisi larutan kitosan dengan konsentrasi 0,1%, 0,25%, 0,5%, dan 1% dalam SDB). Dikocok selama 3 jam pada suhu 370C dan 6 jam pada suhu ruang, lalu ditanam pada SDA. Setelah diinkubasi selama 3 hari pada suhu 370C, dilakukan penghitungan jumlah koloni.
Hasil: Peningkatan konsentrasi kitosan diikuti dengan penurunan jumlah koloni C. albicans (p < 0,05).
Kesimpulan: Kitosan pada penelitian ini dengan konsentrasi 1% dan 0,5% mempunyai efek anti jamur yang baik karena tidak menunjukkan adanya pertumbuhan koloni C. albicans.

Result of Candida albicans overgrowth is oral candidiasis. Predisposing factor of Candida albicans overgrowth is malnutrition caused by poverty. Low economical power make people ignore oral candidiasis because the price of current antifungal medicines available are expensive. In this case, alternative antifungal material is needed. Chitosan is a new antifungal material made from crustacean shell waste which is excessive in Indonesia. Some researchers had been done and it was concluded that different concentration of chitosan has different antifungal effect. In this experiment, we tested the antifungal effect of local made chitosan on Candida albicans. Purpose: To find out the antifungal effect of local made chitosan with different concentrations on Candida albicans (ATCC 10231).
Method: Candida albicans ATCC 10231 suspension made with serial dilution method using PBS as a solvent until 106 concentration reached. Candida albicans suspension were added to chitosan solution with 1%, 0.5%, 0.25%, and 0.1% concentration and control group (SDB) and planted on SDA disk. Shook for 3 hours in 37oC and 6 hours in room temperature and incubated for 3 days in incubator and Candida albicans colonies formed.
Results: The increase in the concentration of chitosan was followed by the decrease of Candida albicans colonies formed (p < 0,05).
Conclusion: Candida albicans colonies were not grown on chitosan with 1% and 0.5% concentration."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Yoshua
"Latar Belakang: Candida albicans merupakan jamur flora normal dalam rongga mulut yang bila mengalami pertumbuhan berlebih menyebabkan kandidiasis mulut. Salah satu faktor pemicunya adalah malnutrisi yang sering terjadi pada masyarakat golongan ekonomi rendah. Daya beli masyarakat yang rendah membuat kandidiasis mulut sering terabaikan, karena obat-obatan anti jamur yang tersedia di pasaran relatif mahal. Oleh karena itu, diperlukan alternatif pengobatan yang terjangkau. Salah satunya adalah kitosan yang berasal dari limbah cangkang udang yang jumlahnya berlimpah di Indonesia. Dari hasil penelitian yang terdahulu, terbukti bahwa bermacam-macam kitosan dengan berbagai derajat deasetilasi mempunyai sifat anti jamur yang berbeda-beda.
Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan: untuk mengetahui efek anti jamur dari kitosan produksi dalam negeri dengan berbagai derajat deasetilasi terhadap Candida albicans ATCC 10231 dalam medium kultur.
Metode: Dibuat larutan suspensi Candida albicans ATCC 10231 dengan pengenceran dalam PBS sampai 106 CFU/mL. Larutan tersebut selanjutnya dipaparkan pada dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (berisi larutan SDB) dan kelompok perlakuan (berisi larutan kitosan A (derajat deasetilasi 80,45%), kitosan B dan kitosan C (derajat deasetilasi 72- 82%)). Dikocok selama 3 jam pada suhu 370C dan 6 jam pada suhu ruang, lalu ditanam pada SDA. Setelah diinkubasi selama 3 hari pada suhu 370C, dilakukan penghitungan jumlah koloni.
Hasil: Peningkatan derajat deasetilasi kitosan diikuti dengan penurunan jumlah koloni C. albic ans (p < 0,05).
Kesimpulan: Kitosan A dengan derajat deasetilasi lebih tinggi mempunyai efek anti jamur yang lebih baik daripada kitosan C.

Background: Candida albicans is a fungal microorganism in oral cavity. The result of Candida albicans overgrowth is oral candidiasis. Predisposing factor of Candida albicans overgrowth is malnutrition caused by poverty. Low economical power make people ignore oral candidiasis because the price of current antifungal medicines available are expensive. In this case, alternative antifungal material is needed. Chitosan is a new antifungal material made from crustacean shell waste which is excessive in Indonesia. Some researchers had been done and it was concluded that different concentration of chitosan has different antifungal effect. In this experiment, we tested the antifungal effect of local made chitosan on Candida albicans.
Purpose: To find out the antifungal effect of local made chitosan with different degree of deacetylation on Candida albicans (ATCC 10231). Method: Candida albicans ATCC 10231 suspension made with serial dilution method using PBS as a solvent until 106 concentration reached. Candida albicans suspension were added to chitosan solution (chitosan A (degree of deacetylation 80.45%), chitosan B, and chitosan C (degree of deacetylation 72- 82%)) and control group (SDB) and planted on SDA disk. Shook for 3 hours in 37oC and 6 hours in room temperature and incubated for 3 days in incubator and Candida albicans colonies formed.
Results: The increase in the degree of deacetylation of chitosan was followed by the decrease of Candida albicans colonies formed (p < 0,05).
Conclusion: Candida albicans colonies formed on chitosan A with higher degree of deacetylation were fewer than Candida albicans colonies formed on chitosan C."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Hidayat
"Pola makan modern kaya karbohidrat merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya kandidiasis oral. Namun belum jelas diketahui apakah pertumbuhan C. albicans akan meningkat bila terjadi glukosa dalam medium pertumbuhan. Tujuan: Menganalisis efek penambahan glukosa 1%, 5%, 10% terhadap pertumbuhan C. albicans in vitro. Metode: Isolat C. albicans klinik dari usapan mukosa mulut pasien kandidiasis oral dideteksi pada CHROMagar dan serum. Sebagai pembanding, C. albicans strain ATCC 10231 juga dideteksi dengan cara yang sama. C. albicans yang tumbuh dibiak dalam SDA selama 2 hari, kemudian dikumpulkan dan dibiakkan kembali dalam SDB yang telah ditambah glukosa 1%, 5%, dan 10% selama 3 atau 7 hari pada suhu ruang. Sebagai kontrol adalah C. albicans yang ditumbuhkan dalam SDB tanpa penambahan glukosa. Pertumbuhan C. albicans diukur dengan menghitung CFU/ml C. albicans dalam cawan petri. Uji statistik menggunaka ANOVA dengan a 0.05. Hasil: Setelah 3 hari, pertumbuhan C. albicans isolat klinik 1%, 5%, dan 10% berturut-turut adalah 181.5, 582, dan 811 CFU/ml; sedangkan C. albicans ATCC 10231 adalah 21.5, 177.5, 375.5 CFU/ml. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol yaitu 970 (isolat klinik) dan 957 (ATCC) CFU/ml. Setelah 7 hari diperoleh pertumbuhan C. albicans isolat klinik adalah 2350, 9650, dan 9650 CFU/ml; sedangkan C. albicans ATCC 10231 adalah 5000, 5450, 3550 CFU/ml. Pertumbuhan kelompok kontrol 7 hari adalah 5000 (klinik) dan 5150 (ATCC) CFU/ml. Analisis ANOVA menunjukkan bahwa setelah 3 hari penambahan glukosa 1% menurunkan pertumbuhan C. albicans secara bermakna baik pada isolat klinik maupun strain ATCC 10231 (p < 0,05). Pada kelompok 7 hari penambahan glukosa 5% dan 10% meningkatkan pertumbuhan C. albicans isolat klinik secara bermakna (p < 0,05). Simpulan: Glukosa 5% dan 10% dapat meningkatkan pertumbuhan C. albicans in vitro. Penambahan glukosa 1% dapat menghambat pertumbuhan C. albicans pada durasi 3 hari.

High carbohydrate intake is one predisposing factor of oral andidiasis. Whether glucose addition in medium will increase the growth of Candida albicans is still unclear. Objective: Investigating the effect of 1%, 5%, 10% glucose addition on the growth of C.albicans in vitro. Methods: C. albicans sample was from oral swab of a male oral candidiasis patient. Detection of C. albicans used CHROMagar and confirmed by germ tube test. C. albicans colonies were inoculated in Sabouraud Dextrose Agar (SDA). As a comparison, C. albicans ATCC 10231 was also detected inthe same way. After 2 days the cultures were serially diluted and inoculated in Sabouraud Dextrose Broth (SDB) without glucose (control), 1%, 5%, or 10% additional glucose, kept for 3 or 7 days in room temperature, then inoculated in SDA. The Colony Forming Unit (CFU) were counted after 2 days. ANOVA with a 0.05 was used. Results: After 3 days, additional 1%, 5%, 10% glucose in media with clinical strain of C. albicans resulted in 181.5, 582, 811 CFU/ml respectively while in media with C. albicans ATCC were 21.5, 177.5, 375.5 CFU/ml. The growth of controls C. albicans were 970 (clinical strain) and 957 CFU/ml (ATCC). After 7 days, the growth of clinical strain of C. albicans with additional glucose 1%, 5%, 10% were 2350, 9650, 9650 CFU/ml respectively while the growth of C. albicans ATCC were 5000, 5450, 3550 CFU/ml. The growth of 7 days controls were 5000 (clinical strain) and 5150 (ATCC) CFU/ml. Statisticaly, additional 1% glucose for 3 days lead to significant decreased of growth of both clinical strain and ATCC 10231 C. albicans (p < 0,05). Additional 5% and 10% glucose for 7 days increased the growth of C.albicans significantly (p < 0,05). Conclusion: Additional 5% and 10% glucose for 7 days increase the growth of C. albicans in vitro. While additional 1% glucose for 3 days decrease the growth of C. albicans."
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Gigi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Conny Riana Tjampakasari
"Ruang lingkup dan Metodologi : Penyebab utama kasus kandidosis adalah Candida albicans. Penanggulangan penyakit ini biasanya dikaitkan dengan pengobatan. Pada umumnya antimikotik yang sering digunakan untuk pengobatan adalah antimikotik golongan azol yaitu ketokonazol dan flukonazol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketokonazol dan flukonazol terhadap pertumbuhan Candida albicans. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Macrodilution/Tube Method. Pengujian terhadap ketokonazol dilakukan dengan konsentrasi antara 0,25 µg/ml sampai dengan konsentrasi terendah 128 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam, 2 x 24 jam dan 3 x 24 jam dalam waktu pengamatan 24 dan 48 jam. Pengujian terhadap flukonazol dilakukan dengan konsentrasi antara 0,1 µg/ml sampai dengan konsentrasi 51,2 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam, 2 x 24 jam dan 3 x 24 jam, dalam waktu pengamatan 24 dan > 48 jam.
Hasil dan Kesimpulan : Ketokonazol berpengaruh terhadap pertumbuhan Candida albicans dengan membunuh pada konsentrasi 32 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam dan bersifat menghambat pertumbuhannya pada konsentrasi 8 ug/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam. Flukonazol berpengaruh terhadap pertumbuhan Candida albicans dengan membunuh pada konsentrasi 12,8 µg/ml dengan waktu pemaparan 2 x 24 jam dan konsentrasi 6,4 ug/ml dengan waktu pemaparan 3 x 24 jam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini ketokonazol bersifat menghambat dan membunuh pertumbuhan Candida albicans dan flukonazol bersifat membunuh pertumbuhannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodorus Hedwin Kadrianto
"Faktor serum yang bersifat antimikroba seperti komplemen dapat menghambat pertumbuhan C. albicans. Konsumsi xylitol dilaporkan mampu menekan pertumbuhan C. albicans.
Tujuan: Menganalisis efek xylitol 1%, 5%, 10% selama 3 hari atau 7 hari terhadap resistensi C. albicans dalam serum in vitro, dan menganalisis peran faktor serum dalam menghambat C. albicans dalam serum.
Metode: Deteksi C. albicans yang diambil dari lesi mulut pasien kandidiasis oral dilakukan dengan menggunakan media CHROMagar dan dikonfirmasi dengan uji pembentukan germ tube. Setelah melalui tahap pengenceran, C. albicans dipaparkan dengan larutan xylitol 0% (kontrol), 1%, 5%, dan 10% yang dilarutkan dalam media Sabouraud Dextrose Broth (SDB) selama 3 hari atau 7 hari. Tiap konsentrasi dan durasi kemudian dipaparkan dalam serum aktif (Fetal Bovine Serum/FBS) atau serum inaktif (FBS yang sudah dipanaskan pada suhu 65°C selama 30 menit untuk inaktivasi komplemen) pada suhu 37°C selama 2 jam. Jumlah koloni C. albicans pada Sabouraud Dextrose Agar (SDA) dihitung 2 hari kemudian. Prosedur yang sama dilakukan pada C. albicans strain ATCC 10231. Analisis data menggunakan uji one-way ANOVA dengan 0,05.
Hasil: Pada kultur C. albicans 3 hari, jumlah koloni dalam serum aktif secara bermakna lebih rendah daripada dalam serum inaktif, baik dengan maupun tanpa paparan xylitol (p = 0.032). Peningkatan konsentrasi xylitol meningkatkan jumlah koloni C. albicans klinis dalam serum aktif, walaupun secara statistik tidak bermakna (p = 0.689). Hanya paparan xylitol 10% selama 7 hari yang meningkatkan jumlah koloni C. albicans secara bermakna (p = 0.034). Faktor serum tidak mempengaruhi jumlah koloni C. albicans usia 7 hari. (p = 0.404).
Simpulan: Pemberian xylitol 1%, 5%, dan 10% selama 3 dan 7 hari tidak mempengaruhi efek inhibisi C. albicans oleh faktor serum. Efek inhibisi C. albicans oleh faktor serum hanya bermakna pada kultur usia 3 hari dan tidak terlihat pada kultur usia 7 hari.

Serum factor with antimicrobial effect like complement, could inhibit C. albicans growth. Xylitol is reported to inhibit the growth of C. albicans.
Objectives: Investigating the effect of 1%, 5%, 10% xylitol for 3 or 7 days on C. albicans resistance in serum in vitro, and investigating whether serum factor plays role in inhibiting the growth of C. albicans.
Methods: Identification of C. albicans taken from oral swab of candidiasis patient was conducted using CHROMagar, and confirmed by germ tube test. The cultures were serially diluted and inoculated in Sabouraud Dextrose Broth (SDB) contained 0% (control), 1%, 5%, or 10% xylitol and kept for 3 or 7 days. These inoculations were then exposed to either active or inactive serum (Fetal Bovine Serum heated in 65°C for 30 minutes to inactivate the complement) for 2 hours in 37°C. The Colony Forming Unit (CFU) of C. albicans in Sabouraud Dextrose Agar (SDA) were counted after 2 days. The same procedure was conducted for C. albicans ATCC 10231 strain. Data was analyzed using one-way ANOVA with 0.05.
Results: After 3 days cultured in media with or without xylitol, the CFU of C. albicans exposed to active serum were significantly lower than those exposed to inactive serum (p = 0.032). Increased concentration of xylitol lead to increased resistance of C. albicans in active serum, though it was not significant statistically (p = 0.689). Only 7 days exposure of 10% xylitol resulted in significantly higher growth of C. albicans (p = 0.034), but no significant difference on C. albicans CFU between in active or inactive serum (p = 0.404).
Conclusion: Exposure of 1%, 5%, or 10% xylitol for 3 or 7 days has no significant effect on C. albicans resistance in serum. The inhibition effect of serum factor to C. albicans growth was significant after 3 days, but not effective anymore after 7 days.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>