Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149988 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karina Rahmah Ayu Anggrenani
"Kanker kolorektal diketahui berhubungan dengan massa otot yang rendah. Massa otot yang rendah dihubungkan dengan luaran klinis yang buruk. Telah diketahui bahwa asupan protein adalah salah satu faktor yang berperan dalam mempertahankan massa otot. Namun, studi-studi yang ada mengenai efek pemberian protein tinggi pada pasien kanker kolorektal terhadap massa otot belum dapat disimpulkan karena kurangnya bukti dari penelitian berkualitas baik dan intervensi pada studi yang berbeda-beda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara asupan protein dengan indeks massa otot skelet pada pasien kanker kolorektal yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penelitian menggunakan desain potong lintang pada subjek dewasa kanker kolorektal yang dirawat inap di RSCM. Asupan protein dinilai menggunakan multiple 24 hour recall. Indeks massa otot skelet didapatkan dari pengukuran massa otot skelet dalam kilogram menggunakan BIA multifrequency, lalu dibagi dengan tinggi badan dalam meter yang dikuadratkan. Sebanyak 52,5% subjek berjenis kelamin perempuan dan 50% subjek berada pada stadium IV. Terapi yang paling banyak telah dijalani subjek adalah kombinasi pembedahan dan kemoterapi (n=16, 40%). Tidak ditemukan korelasi antara asupan protein dan indeks massa otot skelet (r = -0,04, P=0,795).

Colorectal cancer is known to be associated with low muscle mass. Low muscle mass is associated with poor clinical outcome. It is known that protein intake is one of the factors that play a role in maintaining muscle mass. However, the existing studies on the effect of administering high protein in colorectal cancer patients on muscle mass have not been definitively concluded due to the lack of evidence from good quality studies and differences of intervention in existing studies. The purpose of this study was to determine the correlation between protein intake and skeletal muscle mass index in colorectal cancer patients who were hospitalized at the RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). The study used a cross-sectional design on adult subjects with colorectal cancer who were hospitalized at RSCM. Protein intake was assessed using multiple 24 hour recalls. Skeletal muscle mass index was obtained from the measurement of skeletal muscle mass in kilograms using BIA multifrequency, then divided by height in meters squared. A total of 52.5% of the subjects were female and 50% of the subjects were in stage IV. The most common therapy that the subject had undergone was a combination of surgery and chemotherapy (n=16, 40%). No correlation was found between protein intake and skeletal muscle mass index (r = -0.04, P=0.795)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Nurahmani Putri
"Latar Belakang: Obesitas merupakan salah satu kondisi yang sering ditemukan pada penduduk dewasa di Indonesia, di mana 29,3% di antaranya adalah perempuan. Individu obesitas dapat mengalami penurunan massa otot yang disebabkan oleh inaktivitas dan penumpukan lemak yang menghambat proses sintesis otot. Jika tidak ditangani, obesitas dapat menyebabkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah sarkopenia obesitas. Sarkopenia obesitas adalah kondisi yang ditandai dengan obesitas dan penurunan fungsi dan massa otot, terdiagnosis dengan  IMT >25 kg/m2, skeletal muscle index (SMI) yang menurun, dan kekuatan genggam tangan atau status performa yang rendah. Sarkopenia lebih sering terdeteksi pada lansia, namun penurunan massa otot sudah dapat terjadi sejak usia dewasa. Penelitian ini melihat apabila perempuan dewasa dengan obesitas sudah memiliki tanda-tanda sarkopenia obesitas seperti penurunan massa otot, SMI, dan hubungannya terhadap kekuatan genggam tangan.
Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 64 karyawati obesitas RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Massa otot diukur menggunakan body impedance analysis dan skeletal muscle index dihitung menggunakan massa otot dibagi dengan tinggi badan (m2). Kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan dinamometer tangan. Analisis hubungan massa otot dan skeletal muscle index dengan kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan uji korelasi Pearson.
Hasil: Dari 64 subjek perempuan dewasa obesitas, 85,7% di antaranya memiliki massa otot yang rendah, dengan korelasi yang positif terhadap kekuatan genggam tangan kiri (p < 0,05, r = 0,354) dan tangan kanan (p < 0,05, r = 0,401). Namun hasil juga menunjukkan bahwa SMI subjek tidak memiliki korelasi dengan kekuatan genggam tangan mereka (p > 0,05), yang dapat disebabkan karena tinggi badan subjek yang lebih pendek dibandingkan standar tinggi sesuai usia.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa perempuan obesitas memiliki kadar massa otot yang rendah, yang jika menetap dapat menyebabkan penurunan kekuatan genggam tangan, sehingga meningkatkan kerentanan mereka untuk mengidap sarkopenia obesitas.

Background: Obesity is a condition prevalent in Indonesian adults, in which 29,3% of them are women. Obesity may come with decreased muscle mass due to inactivity and inhibition of protein synthesis by fat. In women, decreased muscle mass may also be caused by reduced estradiol. Obesity may lead to complications such as diabetes mellitus type 2, heart disease, stroke, osteoarthritis, and sarcopenic obesity. Sarcopenic obesity is a condition characterized by obesity and a decrease muscle mass and function, seen through body mass index of > 25 kg/m2, reduced skeletal muscle index (SMI), and reduced handgrip strength or physical performance. Sarcopenia is more prevalent in the elderly, but previous studies have proven that decreases in muscle mass begins earlier. This study was done to see if adult obese female workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital have already experienced a decrease in muscle mass, SMI, and their correlation with handgrip strength.
Method: This cross-sectional study was done on  64 obese female adult workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Their muscle mass was measured using body impedance analysis and their skeletal muscle index was calculated by their muscle mass divided by their height (m2). Their handgrip strength was measured using a hand dynamometer. Analysis of the correlation of muscle mass and skeletal muscle with their handgrip strength was done using Pearson correlation.
Result: Of 64 obese female subjects, 85,7% of them have decreased muscle mass. Their muscle mass has positive correlation with both their left handgrip strength (p < 0,05, r = 0,354) and right handgrip strength (p < 0,05, r = 0,401). However, this study shows that SMI of subjects are not correlated with their handgrip strengths (p > 0,05). This can be caused by the subjects’ height being lower than the national age-standardized height.
Conclusion: Therefore, the results of this study supports the hypothesis that obesity is associated with lower muscle mass which could subsequently reduce handgrip strength, which increases their risk of having sarcopenic obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fachreza Aulia Trinanda
"ABSTRAK
Psoriasis merupakan kelainan kulit yang diakibatkan oleh disregulasi sistem imun yang berdampak sangat besar terhadap kualitas hidup pasien. Sindrom metabolik, di antaranya termasuk obesitas dan hipertensi, diduga memiliki hubungan yang kuat dengan psoriasis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara Indeks Massa Tubuh IMT dan tekanan darah dengan tingkat keparahan psoriasis yang diukur dengan skor Psoriasis Area and Severity Index PASI . Penelitan dilakukan di Unit Rekam Medis Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo RSCM dan melibatkan 63 pasien psoriasis yang berobat di RSCM pada tahun 2015 dan 2016. Dari 63 pasien yang ikut serta dalam penelitian ini, tingkat keparahan psoriasis terbagi 18 orang untuk kategori ringan dan 45 orang untuk kategori sedang berat. Terdapat 35 pasien yang dikategorikan obese dan 16 pasien yang dikategorikan mengalami hipertensi. Analisis statistik yang dilakukan pada penelitian ini yaitu berupa uji Chi-Square menunjukkan beberapa hubungan statistik yang signifikan yaitu hubungan antara tingkat keparahan psoriasis dengan IMT p=0,025 dan tekanan darah p=0,026 . Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dan hipertensi dengan tingkat keparahan psoriasis.

ABSTRACT
Psoriasis is a skin disorder caused by immune disregulation which impacts the quality of life of the patient. Metabolic syndrome, which includes obesity and hypertension, was suspected to have a strong association with psoriasis. The purpose of this research is to find out the association between Body Mass Index BMI and blood pressure to psoriasis severity which was measured using the Psoriasis Area and Severity Index PASI score. The research was done at the Medical Record Unit of dr. Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM and includes participation of 63 psoriasis patient who was seeking medical care at year 2015 and 2016. Of all 63 patients participated in this research, the psoriasis severity was divided into 18 patients in mild category and 45 patients in moderate to severe category. There are 35 patients who are categorized as obese and 16 patients that are categorized in hypertensive. Statistical analysis that was done in this research shows some statistically significant association between psoriasis severity and BMI p 0,025 and blood pressure p 0,026 . This concludes that there are significant associations between obesity and hypertension to psoriasis severity. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Aisyah Budi Hartati
"Preeklampsia masih menimpakan penyakit obstetrik peringkat atas di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penatalaksanaan preeklampsia meliputi pemberian obat, diet dan istirahat. Prinsip diet preeklampsia antara lain tinggi energi dan tinggi protein. Telah dilaporkan bahwa asupan energi dan protein pasien preeklampsia masa antenatal yang dirawat adalah Kurang dari kebutuhan dan ternyata tidak berhubungan dengan perubahan albumin darah dan kejadian edema. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran kehutuhan energi dan protein, serta mengetahui hubungan antara asupan energi dan protein dengan albumin darah dan kejadian edema.
Metoda: Jenis disain penelitian adalah cross sectional dengan populasi dan sampel adalah ibu hamil dengan preeklampsia yang dirawat dan besar sampel 90. Semua sampel mendapat diet preeklampsia sesuai standar RSCM. Asupan makanan sebelum dirawat menggunakan metoda Semi quantitative food frequency dan selama dirawat dengan metoda penimbangan. Analisa zat gizi menggunakan program Food Processor 2. Dilakukan pemeriksaan albumin darah, proteinuria dan kejadian edema Analisa data secara univariat.bivariat dan multivariat menggunakan program Epi info 6, dengan menggunakan uji perbedaan t dan regresi multiple.
Hasil dan pembahasan: Rerata kebutuhan energi responder adalah 1852 kalori dan kebutuhan protein 61.5 gram. Sebelum dirawat, rerata asupan energi dan protein masih dahlia batas normal yaitu 110.6% dan 94.5% .Ternyata tidak ada hubungan antara asupan energi dan protein dengan albumin darah sebelum dirawat yang kemungkinan disebabkan karena jumlah subyek terbatas dan homogen, serta perbedaan tingkat kerusakan endotel pembuluh darah Selma dirawat rerata asupan energi dalam batas normal (91.2% kebutuhan) dan protein termasuk defisit kurang (86.3%). Faktor gangguan fisik berhubungan dengan asupan energi dan protein tetapi faktor pengetahuan gizi tidak berhubungan. Kejadian edema dan tingkat proteinuria tidak berhubungan dengan asupan energi dan protein. Diperlukan standar diet preeklarnpsia berdasarkan tinggi badan yang dilengkapi dengan suatu pedoman untuk kemudahan pemesanan dan distribusinya. Parameter pre albumin dapat digunakan untuk melihat penibahan status protein selama perawatan 2 - 3 hari.
Saran: Preskepsi diet dapat dikelompokkan rnenjadi 1700 kalori, 1900 kalori dan 2100 kalori. Anggota tim kesehatan perlu meningkatkan motivasi kepada pasien, baik dalam penyuluhan maupun pemberian bantam saat makan. Sedangkan parameter prealbumin dapat digunakan untuk menentukan kasus dan control dalam penelitian lebih lanjut."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina Qurratul Aini
"Klopidogrel, agen antiplatelet pasca Intervensi Koroner Perkutan (IKP), merupakan obat yang profil farmakokinetik dan farmakodinamiknya dipengaruhi oleh Indeks Massa Tubuh (IMT). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh IMT terhadap respon klopidogrel pada pasien Sidrom Koroner Akut (SKA) setelah IKP. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang terhadap 143 rekam medis pasien SKA dengan IKP di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2018. Subyek dikelompokkan berdasarkan IMT, yakni kategori berat badan berlebih dan kategori berat badan tidak berlebih. Respon klopidogrel dinilai menggunakan luaran Major Adverse Cardiac Event (MACE) dalam tiga puluh hari pertama. Hasil dari penelitian adalah (a). Secara signifikan subyek dengan berat badan berlebih memiliki risiko terjadi MACE lebih tinggi dibanding subyek dengan berat badan tidak berlebih (PR = 6,792, CI 1(1,498 – 30,805). (b). Tidak ada variabel perancu yang berhubungan dengan MACE kecuali jenis klopidogrel. Subyek dengan klopidogrel generik bersifat proteksi terhadap MACE dibanding subyek dengan klopidogrel paten (Plavix) (PR 0,098, CI 0,013 -0,753). Kesimpulan dari penelitian ini adalah IMT berpengaruh secara signifikan terhadap MACE.

Clopidogrel, antiplatelet agent after Percutaneous Coronary Interventions (CPI), is  drug with high individual pharmacokinetic and pharmacodynamic variability interfered by Body Mass Index (BMI). The aim of this study is to assess  impact of BMI on clopidogrel responses after PCI. This comparative cross-sectional study was conducted in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta using 143 Acute Coronary Syndrome (ACS) patient health record years of 2018. Patients were randomly assigned into two groups based on BMI, overweight and normal weight groups. Results of this study are: (a). Overweight patient have higher MACE risk than normalweight patient (PR = 6,792, CI 1(1,498 – 30,805). (b) . No confounding variables are associated with MACE, except type of clopidogrel. Generic clopidogrel have protective effect of MACE ((PR 0,098, CI 0,013 -0,753)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T53367
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariansah Margaluta
"Pada kanker kolorektal dengan metastasis hati, pemilihan regimen kemoterapi memiliki peranan penting dalam manajemen penyakit. Cetuximab diberikan pada KKR dengan gen KRAS wild-type. Studi ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas Cetuximab pada KKR metastasis dinilai dari respon pengobatan berdasarkan CT-Scan dan kriteria RECIST. Studi ini merupakan studi deskriptif analitik retrospektif dengan desain potong lintang menggunakan data sekunder dari rekam medik pasien di RSCM dalam 3 tahun terakhir (januari 2015 – desember 2017). Dari 19 subjek, sebagian besar merupakan laki-laki dengan respon stabil pada seluruh variabel faktor (IMT normal, SGA B, tumor sisi kanan, hemikolektomi kanan, irinotecan-based agent, performance status karnofsky 80-90, derajat histologi diferensiasi sedang, dan WHO grade toxicity 0-1). Tidak didapatkan adanya respon komplit berdasarkan kriteria RECIST dan faktor yang bermakna secara statistik (p>0,05) terhadap pengaruh efektivitas Cetuximab pada kanker kolorektal metastasis hati. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor tersebut tidak memengaruhi efektivitas Cetuximab pada pasien kanker kolorektal metastasis hati.

The choice of chemotherapy has an important role to manage a liver metastatic colorectal cancer (mCRC). Based on the newest recommendation, Cetuximab are suggestive to be given to mCRC patients with RAS wild-type. Therefore, the aim of this study is to investigate the contributing factors affecting the efficacy of Cetuximab in mCRC patients response based on CT-Scan and RECIST criteria. This study is a retrospective descriptive analtical study with cross sectional design using secondary data from RSCM’s medical records in the last 3 years (january 2015 – december 2017). From 19 subjects included in this study, most of the subjects are male with stabile disease (SD) response in all of the variable factors (normal BMI, SGA B, right-sided tumor, right-hemicolectomy, irinotecan-based chemotherapy agent, performance status Karnofsky 80-90, moderately-differentiated tumor, adn WHO grade toxicity 0-1). Complete response were not found in this study based on RECIST criteria. There were no significant factors (p>0.05) affecting the efficacy of Cetuximab in liver mCRC patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alif Novaldi
"Latar belakang: Pengukuran rasio putamen-thalamus yang diukur dengan MRI T2WI potongan aksial dilakukan untuk memperkirakan adanya atrofi pada struktur putamen pada pasien dengan penyakit Parkinson. Teknik pemeriksaan ini dapat dilakukan secara sederhana dan cepat dibandingkan dengan pengukuran volumetrik tiga dimensi. Namun, belum ada penelitian yang membandingkan metode ini dengan pengukuran tiga dimensi volumetrik pada putamen dan thalamus.
Tujuan: Menilai peranan MRI 2D dalam pengukuran volumetrik putamen pada pasien dengan parkinsonisme dan menilai kekuatan korelasi rasio putamen- thalamus (rasio P/T) berdasarkan MRI 2D dengan volumetrik putamen (VP) dan thalamus (VT) berdasarkan MRI 3D.
Metode: Terdapat 64 subjek yang memenuhi kriteria dan 128 sampel organ putamen-thalamus yang dinilai. Analisis hubungan korelasi antara rasio P/T dengan VP dan rasio P/T dengan VT dilakukan dengan uji Pearson. Dilakukan juga analisis hubungan korelasi antara rasio P/T dengan volume putamen dan thalamus yang telah dikoreksi terhadap volume intrakranial (VPk dan VTk).
Hasil: Terdapat kekuatan korelasi yang lemah antara rasio P/T dengan VP (RPearson=0,43 p<0,001) dan korelasi moderat dengan VPk (RPearson=0,51 dan p<0,001). Terdapat korelasi sangat lemah antara rasio P/T dengan VT (RPearson=0,28 dan p=0,001) dan korelasi lemah dengan VTk (RPearson=0,34 dan p<0,001). Kesimpulan: Pengukuran rasio P/T memiliki korelasi dengan VP dengan kekuatan korelasi lemah dan meningkat menjadi sedang setelah dilakukan koreksi terhadap volume intrakranial. Sehingga adanya perubahan rasio P/T dapat mencerminkan adanya perubahan pada volume putamen. Namun rasio P/T memiliki kekuatan korelasi yang sangat lemah terhadap VT dan kekuatan korelasi lemah walaupun sudah dilakukan koreksi terhadap volume intrakranial. Sehingga adanya perubahan rasio P/T cenderung tidak memperlihatkan adanya perubahan pada VT.

Background: Measurement of the putamen-thalamus ratio, assessed by axial T2WI MRI, is performed to estimate putamen atrophy in patients with Parkinson's disease. This examination technique is simple and quick compared to the time-consuming three-dimensional volumetric measurements. However, no studies have compared this method to three-dimensional volumetric measurements of the putamen and thalamus.
Objective: Assessing the role of 2D MRI in measuring putamen volume in patients with parkinsonism and evaluating the correlation strength of the putamen-thalamus ratio (P/T ratio) based on 2D MRI with volumetric measurements of putamen (VP) and thalamus (VT) based on 3D MRI.
Methods: Sixty-four subjects met the criteria, resulting in 128 putamen-thalamus organ samples. The correlation analysis between the P/T ratio and VP, as well as the P/T ratio and VT, was conducted using Pearson's test. Additionally, the correlation analysis between the P/T ratio and putamen and thalamus volume corrected for intracranial volume (VPk and cVTk) was performed.
Results: There is a weak correlation between the P/T ratio and VP (RPearson = 0,43, p < 0,001) and a moderate correlation with VPk (RPearson = 0,51, p < 0,001). There is a very weak correlation between the P/T ratio and VT (RPearson= 0,28, p = 0.001) and a weak correlation with VTk (RPearson= 0,34, p < 0.001).
Conclusion: The measurement of the P/T ratio correlates with VP with a weak correlation strength, which increases to moderate after correction for intracranial volume. Thus, changes in the P/T ratio may reflect changes in putamen volume. However, the P/T ratio shows a very weak correlation with VT and a weak correlation even after correction for intracranial volume. Consequently, changes in the P/T ratio tend not to indicate changes in VT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Marcella Widjaja
"Latar Belakang: Postoperative gastrointestinal tract dysfunction (POGD) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien pascaoperasi yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan lama rawat inap. Malnutrisi sering terjadi pada periode perioperasi. Indeks massa bebas lemak menjadi salah satu penilaian untuk identifikasi pasien dengan malnutrisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan indeks massa bebas lemak praoperasi dengan POGD menggunakan skor Intake-Feeling Nauseated, Emesis, Exam, Duration (I-FEED) dan lama rawat inap pasien pascalaparotomi elektif. Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 92 subjek berusia 18-64 tahun yang menjalani laparotomi elektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama bulan Maret-Mei 2023. Pengukuran indeks massa bebas lemak praoperasi menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA-525. Penilaian POGD berdasarkan American Society for Enchanced Recovery and Perioperative Quality Initiative Joint Consensus Statement menggunakan skor I-FEED. Penilaian rawat inap dengan data rekam medis dan perhitungan lama rawat pascaoperasi. Dilakukan analisis univariat, bivariat dan analisis multivariat pada studi ini. Hasil: Rerata indeks massa bebas lemak pasien 16,5  2,3 kg/m2 dengan kategori rendah sebanyak 29,3%. POGD terjadi pada 41,3% subjek dan median lama rawat pascaoperasi 4 (2-17) hari. Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik pada indeks massa bebas lemak praoperasi dengan POGD menggunakan skor I-FEED dan lama rawat inap pascaoperasi. Analisis klasifikasi indeks massa bebas lemak praoperasi yang rendah meningkatkan risiko kejadian POGD (OR 2,84; 95% CI 1,13-7,16). Analisis lanjutan dengan regresi linier menunjukkan serum albumin praoperasi dan durasi operasi menjadi faktor yang paling berkorelasi dengan skor I-FEED serta asupan protein dan karbohidrat berkorelasi dengan lama rawat pascaoperasi. Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi bermakna antara indeks massa bebas lemak praoperasi dengan POGD menggunakan skor I-FEED dan lama rawat inap pasien pascalaparotomi elektif.

Background: Postoperative gastrointestinal tract dysfunction (POGD) is a complication that increases morbidity and length of stay. Malnutrition often occurs in the perioperative period. Fat-free mass index is one of the assessments for identifying patients with malnutrition that caused complication. This study aims to assess the association between preoperative fat-free mass index and POGD using the Intake-Feeling Nauseated, Emesis, Exam, Duration (I-FEED) score and postoperative length of stay in elective laparotomy patients. Methods: This cross-sectional study was conducted on 92 subjects aged 18-64 years at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital who underwent elective laparotomy from March to May 2023. The fat-free mass index was measured using a multi-frequency bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA-525. The POGD assessment was based on the American Society for Enchanced Recovery and Perioperative Quality Initiative Joint Consensus Statement using the I-FEED score. The length of stay assessment calculated with postoperative length of hospitalization and medical record. Univariate, bivariate, and multivariate analyses were performed in this study. Results: The average of patient’s fat-free mass index was 16.5  2,3 kg/m2 and found 29.3% of subjects in low category. 41.3% of subjects developed POGD, and median length of postoperative hospital stay was 4 (2-17) days. There was no statistically significant correlation between preoperative fat-free mass index and POGD using I-FEED score and postoperative length of hospital stay. Classification analysis of low preoperative fat-free mass index increased the risk of POGD (OR 2.84; 95% CI 1.13-7.16). Further analysis using linear logistic for other confounding factors revealed that preoperative serum albumin and duration of surgery were the most correlated factors in I-FEED score. Protein and carbohydrate intake were correlated with postoperative length of hospital stay. Conclusion: There is no correlation between preoperative fat-free mass index and POGD using I-FFEED score and length of stay after elective laparotomy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Wibisono
"Kanker adalah proliferasi sel yang abnormal dan berlebihan. Salah satu gejala kanker adalah rasa sakit. Faktor penting dalam mengelola nyeri kanker adalah melakukan nyeri yang akurat penilaian termasuk intensitas, lokasi, durasi, kualitas rasa sakit, dan upaya untuk mengurangi rasa sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rasa sakit berdasarkan demografi pada kanker pasien di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pengambilan sampel berurutan dan diaplikasikan pada 395 sampel, yaitu rekam medis PT pasien kanker di atas usia 17 tahun yang telah dirawat di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo sejak 2014 hingga 2019. Data dianalisis menggunakan proporsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase wanita yang mengalami nyeri parah lebih tinggi daripada pria 51,1%. Kelompok usia 41-65 tahun memiliki rasa sakit yang lebih parah daripada kelompok lain dengan 50,6%. Jenis kanker paling menyakitkan yang ditemukan pada kanker leher dan kepala adalah 57,6%. Selagi kanker dengan kelompok stadium 4 memiliki rasa sakit yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lain dengan 56,9%. Ini Studi merekomendasikan perlunya pedoman untuk penilaian nyeri, terutama di awal penilaian mengenai durasi, lokasi, dan kualitas nyeri sehingga penilaian nyeri bisa lebih akurat.

Cancer is an abnormal and excessive cell proliferation. One symptom of cancer is pain. Important factors in managing cancer pain are conducting accurate pain assessments including intensity, location, duration, quality of pain, and efforts to reduce pain. This study aims to identify pain based on demographics in cancer patients in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. This study used a cross sectional design with sequential sampling and was applied to 395 samples, namely the medical records of PT cancer patients over the age of 17 who had been treated at Dr Cipto Mangunkusumo General Hospital from 2014 to 2019. Data were analyzed using proportions.
The results showed that the percentage of women who experienced severe pain was higher than men 51.1%. The 41-65 year age group had more severe pain than the other group with 50.6%. The most painful type of cancer found in neck and head cancer is 57.6%. While cancers with the stage 4 group had higher pain than other groups with 56.9%. This study recommends the need for guidelines for pain assessment, especially in the initial assessment regarding the duration, location, and quality of pain so that pain assessment can be more accurate.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Venny Beauty
"ABSTRAK
Menurut Jakarta Cancer Registry tahun 2012, kanker kolorektal merupakan kanker terbanyak kedua pada laki-laki dan terbanyak keempat pada perempuan di Indonesia. Pemeriksaan skrining kanker kolorektal yang saat ini tersedia memiliki berbagai keterbatasan. Matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) adalah endopeptidase yang berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler, dan disekresi oleh berbagai sel seperti sel tumor, sel radang, dan fibroblas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran diagnostik MMP-9 feses dibandingkan dengan gambaran histopatologi sebagai baku emas. Desain penelitian adalah potong lintang. Penelitian dilakukan terhadap 52 subjek terduga kanker kolorektal yang menjalani kolonoskopi. Kadar MMP-9 feses diperiksa menggunakan kit MMP-9 dari R&D Systems dengan metode ELISA. Akurasi diagnostik kadar MMP-9 feses sebesar 0,855. Titik potong kadar MMP-9 feses didapatkan 1,237 ng/ml dengan sensitivitas 88,9%, spesifisitas 76,7%, nilai prediksi positif 44,4%, dan nilai prediksi negatif 97,1%. Pemeriksaan kadar MMP-9 feses dapat dipertimbangkan dalam skrining kanker kolorektal.

ABSTRACT
According to Jakarta Cancer Registry 2012, colorectal cancer is the second most common cancer in men and fourth in women in Indonesia. Colorectal cancer screening tests currently available, have various limitations. Matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) is endopeptidase which plays a role in the degradation of the extracellular matrix, and is secreted by various cells such as tumor cells, inflammatory cells, and fibroblasts. This is a cross sectional study aims to determine the diagnostic role of faecal MMP-9 compared to histopathological features as gold standard. The study was conducted on 52 subjects with suspected colorectal cancers who underwent colonoscopy. The levels of faecal MMP-9 were examined using MMP-9 kit from R&D Systems using ELISA method. Diagnostic accuracy of faecal MMP-9 levels is 0.855. The cutoff point was 1.237 ng/ml with sensitivity of 88.9%, specificity of 76.7%, positive predictive value of 44.4%, and negative predictive value of 97.1%. Faecal MMP-9 can be considered as a screening test in colorectal cancer.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>