Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153902 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shela Putri Sundawa
"Anak merupakan populasi yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya tuberkulosis ekstraparu (TBC-EP). Namun demikian, sampai saat ini data mengenai keberhasilan pengobatan TBC ekstraparu pada anak dan faktor yang memengaruhinya di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan TBC-EP pada anak dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhinya. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara dengan metode kohor retrospektif pada populasi anak terdiagnosis TBC ekstraparu. Dari 953 pasien anak usia 0 bulan-17 tahun yang terdiagnosis TBC, 458 (48%) anak mengalami TBC-EP dengan tiga bentuk yang paling sering bertutur-turut adalah TBC osteoartikular (21,7%), limfadenitis (21,1%) dan sistem saraf pusat (16,3%). Sebanyak 70,6% pasien TBC ekstraparu anak dinyatakan sembuh selama 2015-2021. Mayoritas pasien TBC-EP berusia 11-18 tahun (46%) dengan sebaran jenis kelamin yang seimbang, laki-laki (49,3%) dan perempuan (50,7%). Riwayat kontak dengan pasien TBC ditemukan pada 41,1% dan jaringan parut BCG ditemukan pada 34,7% kasus. Komorbiditas TBC ekstraparu dan TBC paru ditemukan pada 45,7% pasien. Analisis multivariat pada faktor prediktor keberhasilan pengobatan TBC ekstraparu mendapati hasil yang bermakna pada status gizi baik (RR 1,285, IK 95% 1,135-1,456) dan jenis TBC ekstraparu yang dialami bukanlah TBC ekstraparu berat (RR 1,330, IK 95% 1,094-1,616).

Children is highly susceptible to extrapulmonary tuberculosis (EPTB). However, knowledge about childhood EPTB in Indonesia and its treatment success is limited. This study aimed to determine treatment success rate of EPTB and factors affecting successful treatment outcome in children. We conducted a retrospective cohort study in Cipto-Mangunkusumo Kiara Hospital. A total of 953 pediatric patients below 18 years old were diagnosed with TBC. Extrapulmonary TB was found in 458 children (48%), with the most prevalent type: bone and joint (21.7%), lymph node (21.1%), and central nervous system (16.3%). There were 70.6% EPTB pediatric patients successfully treated during 2015-2021. The majority of patient with EPTB were in the age group of 11-18 years (46%) with balanced sex distribution, male (49.3%) and female (50.7%). Comorbidity of pulmonary TBC and EPTB was found in 45.7% patients. Multivariate analysis in factors predicting successful treatment outcome with significant results were good nutritional status (RR 1.285, 95% CI 1.135-1.456) and suffered from non-severe EPTB form (RR     1.330, 95% CI 1.094-1.616)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Trisno Murti
"Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular dan merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian terbanyak di dunia. Selain paru, TB dapat juga menyerang ekstraparu. Tanpa terapi, mortalitas TB sangat tinggi. Data mengenai TB ekstraparu masih sedikit di Indonesia. Tatalaksana TB ekstraparu serta hasil pengobatannya juga masih jarang diteliti.
Tujuan. Mengetahui hasil pengobatan TB ekstraparu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang sudah menggunakan standar pengobatan TB ekstaparu di Indonesia
Desain Penelitian. Penelitian berdesain kohort retrospektif ini dilakukan menggunakan data sekunder dari rekam medik pasien tuberkulosis ekstraparu pada 1 Januari 2014 - 31 Desember 2017 di RSCM.
Hasil Penelitian. Dari 78 subjek penelitian yang menderita TB ekstraparu, prevalensi terbanyak adalah TB kelenjar getah bening yakni 27 subjek (34,6%). Sebanyak 62 (79,5%) subjek dinyatakan mengalami keberhasilan pengobatan dan 58 (74,4%) subjek diantaranya diobati sesuai dengan panduan. Pada analisis multivariat terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan keberhasilan pengobatan TB ekstra paru.
Simpulan. Keberhasilan pengobatan TB ekstraparu di RSCM 79,5%. Pengobatan TB ekstraparu di RSCM sudah sesuai dengan panduan terapi TB ekstraparu di Indonesia 74,4%. Keberhasilan pengobatan TB Ekstraparu pada wanita lebih besar dibandingkan pria.
Background. Tuberculosis (TB) is an infectious disease and also one of 10 prevalent causes of death worldwide. Apart from lungs, TB also affects extra-pumonar organs. Without treatment, TB mortality is very high. There are only limited data on extrapulmonary TB in Indonesia. Extrapulmonary TB treatment and the outcomes are also rarely studied.
Objective. To evaluate the results of standardized extrapulmonary TB treatment in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) according to extrapulmonary TB standard treatment used in Indonesia.
Methods. This is a retrospective cohort was carried out with secondary data from medical records of extrapulmonary tuberculosis patients in between January 1st 2014 - December 31st 2017 at RSCM.
Results. Of the 78 subjects who suffered from extrapulmonary, the highest prevalence extrapumonary TB was lymphadenitis TB in 27 subjects (34,6%). A total of 62 subjects (79,5%) were declared cured and 58 (74,4%) subject treated according to the guidelines. There is related between gender to recovery.
Conclusion. The success of extrapulmonary TB therapy at RSCM was 79,%. Extrapulmonary TB treatments at RSCM were in accordance with guidelines for extrapulmonary TB therapy in Indonesia 74,4%. The success of extrapulmonary TB treatment in women is greater than men"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55527
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Telly Kamelia
"Latar belakang. Tuberkulosis (TB) ekstra paru merupakan penyakit yang banyak ditemukan di Indonesia, disamping TB paru. Belum banyak penelitian mengenai TB ekstra paru di Indonesia, khususnya keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS. Belum didapatkan laporan penelitian mengenai faktor prediktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui faktor prediktor keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru seperti usia, jenis kelamin, diabetes mellitus, HIV dan riwayat antituberkulosis. Mengetahui tingkat keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS, bila diberikan selama minimum 9 bulan.
Hasil. Penelitian kohort retrospektif dengan data register DOTS TB dan data rekam medis dari 1 Januari 2008 sampai 31 Desember 2012. Didapat 542 pasien TB ekstra paru, 279 pasien TB kombinasi ekstra paru dan TB paru, 70 pasien data tidak lengkap, dan hanya 193 pasien TB ekstra paru murni. Mayoritas pasien berjenis kelamin perempuan (52,3%). Umumnya usia muda (18-60 tahun (95.9%)), rerata 31,34 + 11,64 tahun. TB ekstra paru yang paling banyak didapat adalah limfadenitis TB. Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada usia 18-60 tahun terjadi pada 49,7% pasien (OR 2,968, 95% CI 0,584-15,087, p 0,313). Keberhasilan terapi TB ekstra paru untuk jenis kelamin perempuan didapat 55,4% pasien (OR 1,768, 95% CI 0,999-3,131, p0,05). Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada pasien diabetes mellitus 33,3% (OR 1.957, 95% CI 0.475-8.062, p 0,546) dan pada riwayat TB sebelumnya sekitar 55,6% (OR 0.738, 95% CI 0.278-1.959, p 0,717). Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada pasien HIV 32,1% (OR 2.588, 95% CI 1.330-5.038, p 0,007). Pada analisis multivariate, keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan faktor koinfeksi HIV, OR 2.588, CI 95% 1.330-5.038, p 0,005. TB ekstra paru pada pasien HIV mempunyai keberhasilan terapi rendah dengan menggunakan strategi DOTS dan berhubungan dengan kegagalan terapi, serta prognosis buruk. Angka keberhasilan TB ekstra paru yang diterapi dengan menggunakan strategi DOTS selama < 9 bulan adalah 20,2%. Sebanyak 94,6% pasien TB ekstra paru berhasil diterapi dengan menggunakan strategi DOTS selama > 9 bulan.
Kesimpulan. HIV merupakan faktor prediktor yang dapat menurunkan keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS. Tingkat keberhasilan terapi TB ekstra paru yang menggunakan strategi DOTS selama minimum 9 bulan baik (94,6%).

Background. Extrapulmonary tuberculosis (EPTB) is common presentation found in Indonesia, besides Tuberculosis (TB). We found that no more research about EPTB in Indonesia, especially EPTB success treatment using the DOTS strategy and its predictor factors.
Aims. To determine predictors of TB treatment success factors such as age, sex, diabetes mellitus, HIV and anti-tuberculosis records. To acknowledge the success rate of EPTB treatment using DOTS strategy, when administered for a minimum of 9 months.
Result. A retrospective cohort study was conducted from 1 January 2008 through 31 December 2012. A total of 542 patients of EPTB were identified, 193 patients were pure EPTB while 279 were mixed ones and 70 were incomplete data. The majority of patients were female (52.3%). Generally young age (18-60 years old (95.9%), mean 31,34 + 11,64 years old. The most common type of EPTB were lymph node. Success treatment rate of EPTB among age of 18-60 years was 49.7% (OR 2.968, 95% CI 0.584 to 15.087, p 0.313). Success treatment rate of EPTB among female sex was 55.4% (OR 1.768, 95% CI 0.999 to 3.131, p0,05). Success treatment rate using DOTS strategy among diabetes mellitus was 33,3% (OR 1.957, 95% CI 0.475-8.062, p 0.546) and the one that had tuberculosis record previously was 55,6% (OR 0.738, 95% CI 0.278-1.959, p 0.717) Success treatment rate in extrapulmonary patient among HIV-seropositive was 32,1% (OR 2.588, 95% CI 1.330-5.038, p 0.007). In multivariate analysis, the success rate for EPTB with HIV co-infection factor, had OR 2.588, CI 95% 1.330-5.038, p 0.005. EPTB among HIV-seropositive patients had lower therapy success rate using DOTS strategy and were associated with unsuccessful therapy and poor prognosis. The success rate of EPTB treatment using DOTS strategy for < 9 months was 20.2%. There were 94.6% EPTB patients successfully treated with the DOTS strategy for > 9 months.
Conclusion. HIV was a predictor factor that may decrease therapy success rate of EPTB using DOTS strategy. Success rate of extrapulmonary TB treatment using DOTS strategy for minimum 9 months was good (94,6%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harsya Dwindaru Gunardi
"Pendahuluan: Dalam 2 dekade terakhir ini, berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes mellitus (DM) tipe-2 di berbagai penjuru dunia. Selain itu, DM tipe 2 kini juga diketahui menjadi salah satu faktor risiko penyakit tuberkulosis (TB) paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi TB paru pada pasien DM tipe 2.
Metode: Dengan desain cross-sectional, pengambilan sampel dilakukan terhadap seluruh pasien DM tipe 2 yang menderita infeksi paru (TB dan bukan TB) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2010.
Hasil: Hasil menunjukkan dari 125 pasien DM tipe 2 yang menderita TB paru, 82 berjenis kelamin laki-laki (67%) dan 43 berjenis kelamin perempuan (33%).
Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin mempengaruhi prevalensi TB pada penderita DM tipe 2 secara bermakna.

Background: In the last 2 decades, many epidemiological studies showed increment tendency of incidence and prevalence of type 2 diabetes mellitus (DM) in many regions of the world. Besides, type 2 DM has also known as a risk factor for lung tuberculosis (TB). The study purpose is to find out the effect of gender to lung TB prevalence in type 2 DM patients.
Method: With cross-sectional design, sampling was taken from all type 2 DM patients with lung infection (TB and non-TB) in Cipto Mangunkusumo Hospital in year 2010.
Result: Result show that amongst 125 type 2 DM patients who had lung TB, 82 of them are males (66%) and the 43 are females (33%).
Conclusion: From this study, we can conclude that gender affect the TB lung prevalence in type 2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Himawan Aulia Rahman
"Latar belakang. Pembuatan stoma dan reseksi usus adalah tindakan pembedahan yang umum dilakukan pada anak dengan masalah bedah di sistem gastrointestinal. Salah satu komplikasi dari pembuatan stoma adalah high output stoma yang menyebabkan perawatan menjadi lebih lama.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya high output stoma dan prediktor terhadap lama rawat, lama penggunaan nutrisi parenteral, dan kematian.
Metode. Kami melakukan penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di rumah sakit tersier rujukan di Indonesia. Subjek adalah pasien anak usia 0 bulan – 18 tahun dengan stoma di usus halus (enterostomi) selama periode Oktober 2019 – Desember 2023. Penelitian tahap I dilakukan pada semua subjek untuk melihat faktor risiko terjadinya high output stoma. Penelitian tahap II dilakukan pada subjek yang mengalami high output stoma untuk menilai prediktor terhadap lama rawat, lama penggunaan nutrisi parenteral, dan kematian.
Hasil. Penelitian tahap I melibatkan 64 subjek. Kelompok usia terbanyak adalah usia neonatus (43,8%). Penyakit dasar terbanyak sebagai penyebab pembentukan stoma adalah perforasi intestinal (39,1%). High output stoma terjadi pada 48,4% subjek. Tidak ada faktor risiko teknik pembedahan yang secara signifikan menyebabkan high output stoma. Penelitian tahap II memasukkan 31 subjek yang mengalami high output stoma. Pada semua subjek, panjang usus halus berkorelasi dengan lama rawat (p = 0,033), lama penggunaan nutrisi parenteral (p = 0,032), dan berhubungan dengan kematian (p = 0,041).
Kesimpulan. Panjang usus halus yang lebih pendek berhubungan dengan luaran yang lebih buruk pada pembentukan enterostomi pada anak.

Backgrounds. Stoma creation and intestinal resection are common surgical procedures in children with surgical problems in the gastrointestinal system. One of the complications of creating a stoma is a high output stoma (HOS), which causes more prolonged treatment.
Objectives. This study aims to determine the risk factors for HOS and predictors of length of stay, length of use of parenteral nutrition (PN), and death.
Methods. We conducted a retrospective cohort study at a tertiary referral hospital in Indonesia. Subjects were pediatric patients aged 0 months – 18 years with a stoma in the small intestine (enterostomy) during the period October 2019 – December 2023. Phase I study was carried out on all subjects to examine at risk factors of HOS. Phase II study was conducted on subjects who experienced HOS to assess predictors of length of stay, length of PN use, and death.
Results. Phase I study involved 64 subjects. The largest age group is neonates (43.8%). Intestinal perforation is the most common underlying disease that causes stoma formation (39.1%). There are no risk factors for surgical techniques that significantly cause HOS. Phase II study included 31 subjects who experienced HOS. In all subjects, the length of the small intestine was correlated with length of stay (p = 0.033), duration of PN use (p = 0.032), and was associated with mortality (p = 0.041).
Conclusions. Shorter small intestinal length is associated with worse outcomes in enterostomy formation in children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Rahmawati Zirta
"Latar Belakang: Angka kejadian Tuberkulosis Ekstra Paru (TBEP) lebih tinggi pada pasien dengan infeksi HIV. Pasien TBEP dengan infeksi HIV berisiko mengalami perburukan yang cepat dan angka kematian yang tinggi. Oleh karena nya perlu diketahui karakterisitik klinis setiap jenis TBEP agar dapat mendeteksi HIV dan memulai tatalaksana TBEP lebih dini.
Tujuan: Mengetahui pola demografi pasien TBEP dan mengetahui karakteristik klinis TBEP pada pasien HIV positif dan HIV negatif.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien TBEP di seluruh RSCM baik rawat jalan maupun rawat inap selama tahun 2008-2012. Semua data dikumpulkan dan diseleksi. Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien TBEP dewasa dan memiliki data rekam medis yang lengkap serta dilakukan pemeriksaan Elisa anti HIV. Data yang terkumpul diolah secara deskriptif dengan menggunakan piranti lunak SPSS.
Hasil: Penelitian ini mendapatkan 620 pasien TBEP yang terdiri dari 75,97% dengan HIV positif dan 24,03% dengan HIV negatif. Kelompok usia terbanyak 18-40 tahun. Jenis kelamin pria didapat sebesar 76,6%. Sebagian besar (57,7%) berpendidikan SMA dan sederajatnya dan 46,13% tidak bekerja. Distribusi organ terbanyak pada kelompok HIV positif adalah limfadenitis TB ( 42,59%) dan pada kelompok HIV negatif adalah meningitis TB (36,18%). Gambaran klinis sistemik terbanyak adalah penurunan berat badan, demam lama, dan lemah/lemas. Karakteristik klinis tiap jenis TBEP pada kelompok HIV positif dan HIV negatif pada umumnya serupa dan keluhan terbanyak adalah nyeri.
Simpulan : Proporsi TBEP pada pasien HIV positif lebih banyak dari pada HIV negatif. Pola demografi TBEP adalah sebagian besar pria, kelompok usia 18-40 tahun, berpendidikan SMA dan sederajatnya, sudah menikah, dan tidak bekerja. Karakteristik klinis setiap jenis TBEP pada pasien HIV positif dan HIV negatif serupa.

Background: Prevalence of Extrapulmonary TB (EPTB) increases along with an escalated number of HIV infection. Patients with EPTB with HIV infection are at risk of having rapid deterioration and higher death rate. Therefore, it is important to identify clinical characteristics of each EPTB in both HIV positive and negative patients allowing early EPTB management and thus decreasing its mortality rate.
Objectives: To recognize the demographic pattern of EPTB patients and identify clinical characteristics of EPTB in HIV positive and negative patients.
Methods: This was a cross sectional study that utilized secondary data from medical records of EPTB patients from all units in RSCM, both outpatient and inpatient during a period from 2008 - 2012. Data were gathered and selected. All EPTB patients who had complete medical record and had anti HIV ELISA examined were included in this study. Gathered data were processed descriptively by using SPSS software to be presented.
Result: This study obtained data from 620 EPTB patients consisted of 75,97% with HIV positive and 24,03% with HIV negative. Most patients were in 18 - 40 year-old age group, 70% were male, 57,7% had education at senior high school or equivalent level while 46,13% were unemployed. Distribution of organ involvement in HIV positive were lymphadenitis ( 42,59%) and in HIV negetive were meningitis (36,18%). Systemic clinical presentation were mostly weight loss, prolonged fever, and weakness/fatigue. Clinical characteristics in each EPTB both in HIV positive and negative were generally similar. The most common symptoms were pain.
Conclusion: EPTB proportion in HIV positive patients were higher than in HIV negative. Demographic pattern of EPTB were mostly male, age group 18 - 40 year-old, senior high school or equivalent level and unemployed. Clinical characteristics from each type of EPTB in HIV positive and negative were similar.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rachel Monique
"Berdasarkan laporan WHO 2013, kasus TB ekstra paru di Indonesia mengalami peningkatan dari 14.054 tahun 2012 menjadi 15.697 tahun 2013. Salah satu rumah sakit yang mencatat adanya peningkatan kasus TB ekstra paru adalah RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan TB ekstra paru pada pasien rawat inap TB di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2011-2013.
Penelitian ini menggunakan rekam medis dengan desain studi kasus kontrol. Sampel penelitian ini meliputi kasus yaitu, pasien rawat inap TB ekstra paru tahun 2011-2013 serta kontrol yaitu, pasien rawat inap TB paru tahun 2011-2013 dengan rekam medis yang tercatat lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan proporsi kasus TB ekstra paru tertinggi berdasarkan organ terjangkit adalah TB tulang dan sendi sebesar 60%. Setelah TB ekstra paru dihubungan dengan beberapa variabel, umur < 25 tahun (OR: 19,36; 95% CI: 4,90-76,44) dan 25-50 tahun (OR: 4,40; 95% CI: 1,42-13,62), riwayat DM (OR: 0,08; 95% CI: 0,02-0,37) dan riwayat hipertensi (OR: 0,17; 95% CI: 0,03-0,81) secara statistik memiliki hubungan bermakna dengan TB ekstra paru, tetapi riwayat DM dan riwayat hipertensi menjadi faktor proteksi terhadap TB ekstra paru.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait faktor-faktor yang berperan terhadap TB ekstra paru, memberikan perhatian khusus kepada pasien yang lebih berisiko dalam diagnosis, serta promosi kesehatan kepada masyarakat agar lebih menyadari bahwa TB dapat menyerang organ lain selain paru-paru yang akan berdampak serius jika tidak ditangani segera, khususnya mereka yang termasuk kelompok berisiko.

Based on the WHO report 2013, extra-pulmonary TB cases in Indonesia have increased from 14.054 in 2012 to 15.697 in 2013. One of hospitals which get an increase of extra-pulmonary TB cases is National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, so, this study ultimately aims to identify risk factors that associated with extra-pulmonary TB to TB hospitalized patients in National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta 2011-2013.
This study is using medical records with the design of case-control study. Samples of this study include the case is extra-pulmonary TB hospitalized patients 2011-2013 while control is pulmonary TB hospitalized patients in 2011-2013. Both case and control must have complete medical records.
The results showed that the highest proportion of extrapulmonary TB cases by an affected organ is tuberculosis of bones and joints by 60%. After connecting extra-pulmonary TB with several variables, age < 25 years (OR: 19,36; 95% CI: 4,90-76,44) and 25-50 years (OR: 4,40; 95% CI: 1,42-13,62), history of diabetes (OR: 0,08; 95% CI: 0,02-0,37) and history of hypertension (OR: 0,17; 95% CI: 0,03-0,81), they statistically had significant association with extra-pulmonary TB, but a history of diabetes mellitus and a history of hypertension be protective factors against extra-pulmonary TB.
Therefore, it is advisable to do further research related to the factors that contribute to extra-pulmonary TB, giving special attention to patients who are more at risk in making the diagnosis, and doing health promotion to the public to be more aware that TB can affect other organs beside the lungs that would have a serious impact if it is not treated promptly, especially for the risky ones.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55894
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Kimberly Tjahjadi
"Latar belakang. Meskipun vaksin Bacille Calemette-Guerin telah menjadi program vaksinasi wajib di Indonesia, TB pada anak tetap prevalen sehingga penelitian ini akan mengevaluasi jaringan parut BCG dan hubungannya dengan kejadian TB ekstraparu (TB-EP) pada anak.
Metode Penelitian. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara dengan metode potong-lintang pada populasi anak terdiagnosis TB berdasarkan kriteria WHO dan konsensus IDAI.
Hasil. Sebanyak 246 pasien anak dengan jangkauan usia 2 bulan -18 tahun terdiagnosis TB. Sebesar 127 anak (51,6%) mengalami TB-EP, dengan prevalensi TB tulang, KGB dan abdomen secara berurutan 13%, 10,9%, dan 6,6%. Mayoritas pasien TB EP adalah laki-laki (55,2%) dan berada dalam kelompok usia 6-14 tahun (60%). Riwayat kontak dengan kasus TB-EP ditemukan pada 49 kasus (51,5%). Penyakit komorbid penyerta dengan mayoritas keganasan (25,6%) dan infeksi HIV (23,1%) ditemukan pada 21 kasus TB-EP (35%). Status jaringan parut BCG positif ditemukan pada 140 kasus (56,9%). Dari 106 anak tanpa jaringan parut BCG, sebanyak 38 anak (35,8%) memiliki TB paru dan sebanyak 68 anak (64,2 %) memiliki TB-EP. Tidak adanya jaringan parut BCG memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian TB-EP pada anak (p < 0.01) dengan OR: 2,457 (IK95% : 1,46 - 4,131).
Kesimpulan. Tingginya kejadian TB-EP pada anak pada proporsi tanpa jaringan parut BCG berhubungan signifikan secara statistik. Upaya vaksinasi BCG yang optimal diperlukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas TB-EP pada anak di Indonesia.

Objectives. Although the Bacille Calmette-Guerin vaccination program is already implemented nationally, childhood TB remains prevalent particularly in Indonesia so this study will evaluate the relationship between BCG vaccination scar and extra pulmonary TB in children.
Methods. Data collection was conducted at Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital by cross-sectional method. Children diagnosed with TB according to WHO criteria and IDAI consensus are included in this study.
Results. A total of 246 pediatric patients with a-2 months to 18 years-age range were diagnosed with TB. Extra pulmonary TB was found in 127 children (51.6%), with the most prevalent type: bone, lymph node and abdomen TB sequentially are 13%, 10.9%, and 6.6%. The majority of patients with extrapulmonary TB are male (55.2%) and are in the age group 6-14 years (60%). History of contact with active TB cases was found in 49 out of 95 extrapulmonary cases (51.5%). Comorbidities, predominantly malignancies (25.6%) and HIV infection (23.1%), were found in 21 of 60 extrapulmonary cases (35%). BCG scar was found in 140 cases (56.9%). Of 140 children with BCG scar, 81 children (68.1%) had pulmonary TB and 59 children (42.1%) had extra-pulmonary TB. Of the 106 children without BCG scar, 38 (35.8%) had pulmonary TB and 68 (64.2%) had extra-pulmonary TB. The absence of BCG scar tissue has a significant relationship with extra-pulmonary TB incidence in children (p <0.01) with OR :2.457 (CI95% : 1.46 - 4.131).
Conclusion: The high incidence of extra-pulmonary TB in children in the proportion lacking BCG scar was statistically significant.Thus, an optimal BCG vaccination effort is required to reduce the morbidity and mortality of childhood extrapulmonary TB in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Khairat
"Latar belakang. Delirium adalah komplikasi neuropsikiatri yang serius dan kerap terjadi pada pasien anak sakit kritis yang dirawat di unit rawat intensif anak (URIA). Diagnosis delirium sulit ditegakkan karena manifestasi klinis yang tidak khas. Kurangnya pengetahuan dokter anak mengenai faktor risiko dan diagnosis delirium menyebabkan terjadinya underdiagnosed atau misdiagnosed sehingga pasien tidak mendapat tata laksana yang adekuat. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada pasien sehingga penting melakukan penapisan delirium dan identifikasi faktor risiko sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan tata laksana yang cepat. Implementasi penapisan dengan menggunakan Cornell Assessment of Pediatric Delirium (CAP-D) dan tata laksana yang adekuat terhadap delirium pada anak sakit kritis termasuk pengaturan dalam pemberian sedasi tertuang dalam pediatric intensive care unit (PICU) liberation bundle. Saat ini data mengenai prevalens dan faktor risiko kejadian delirium pada anak sakit kritis di Indonesia belum ada. Dibutuhkan data tersebut untuk dapat melakukan implementasi PICU Liberation Bundle di Indonesia, terutama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Tujuan. Mengetahui prevalens dan faktor risiko delirium pada anak sakit kritis.
Metode. Studi deskriptif observasional menggunakan desain potong lintang yang dilakukan pada 87 pasien anak sakit kritis yang dirawat di URIA Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA), URIA Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan URIA Unit Luka Bakar (ULB), URIA Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM.
Hasil. Sebanyak 4 (4,6%) anak sakit kritis memenuhi kriteria delirium berdasarkan DSM IV-TR/ICD-10. Dua subjek mengalami delirium tipe campuran, satu subjek mengalami delirium tipe hipoaktif, dan satu subjek mengalami delirium tipe hiperaktif. Tiga subjek tidak mendapatkan sedasi tetapi salah satu subjek mendapatkan sedasi dengan kombinasi yang banyak, jumlah yang besar, dan waktu yang lama. Dua dari keempat subjek mengalami keterlambatan perkembangan. Satu dari empat subjek dengan delirium yang menggunakan ventilasi mekanik.
Kesimpulan. Prevalens delirium pada anak sakit kritis di RSCM adalah 4,6%. Penggunaan midazolam, opioid, dan deksmedetomidin infus kontinu di URIA sebagai faktor risiko delirium pada anak sakit kritis belum memiliki data yang cukup untuk dapat disimpulkan karena data prevalens delirium pada penelitian ini yang rendah meskipun dengan minimal besar sampel telah terpenuhi.

Background. Delirium is a serious neuropsychiatric complication that occurs frequently in critically ill pediatric patients who admitted to the pediatric intensive care unit (PICU). The diagnosis of delirium is difficult to establish because of the atypical clinical manifestations. The lack of knowledge from pediatricians regarding risk factors and the diagnosis of delirium causes underdiagnosed or misdiagnosed of it so that patients do not receive adequate management. This causes morbidity and mortality in patients making it important to screen delirium and identify supporting factors so the preventive action and fast management can be carried out. Implementation of screening using Cornell Assessment of Pediatric Delirium (CAP-D) and management of delirium in critically ill children, including arrangements for administering sedation, is contained in PICU liberation bundle. Currently there is no data regarding prevalence and risk factors for delirium in critically ill children in Indonesia. This data is needed to be able to implement the PICU Liberation Bundle in Indonesia, especially Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM).
Objectives. Knowing the prevalence and risk factors for delirium in critically ill children.
Methods. Observational descriptive study using a cross-sectional design conducted on 87 critically ill pediatric patients treated at PICU Department of Pediatrics, PICU of Emergency Room, PICU of Burn Unit, and Cardiac Intensive Care Unit RSCM.
Results. A total of 4 (4.6%) critically ill children met the criteria for delirium based on DSM IV-TR/ICD-10. Two subjects had a mixed type of delirium, one subject had a hypoactive type of delirium, and one subject had a hyperactive type of delirium. Three subjects did not get sedation but one subject got sedation with a lot of combinations, large amounts, and long duration. Two of the four subjects experienced developmental delays. One in four subjects with delirium is on mechanical ventilation.
Conclusion. The prevalence of delirium in critically ill children at RSCM is 4.6%. The use of midazolam, opioids, and continuous infusion of dexmedetomidine in PICU as a risk factor for delirium in critically ill children does not yet have sufficient data to be conclusive because the data on the prevalence of delirium in this study was low even though the minimum sample size was met.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raesa Yolanda
"Latar Belakang: Meningitis tuberkulosis (TBM) merupakan manifestasi terberat infeksi TB dan prognosisnya bergantung pada kecepatan memulai terapi. Studi ini bertujuan mengetahui alur perjalanan pasien TBM serta faktor-faktor yang memengaruhi keterlambatan dalam mendapatkan pengobatan.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari pasien TBM yang sudah mendapatkan terapi OAT dan dirawat di RSCM pada bulan Januari 2020 – April 2022. Data diperoleh melalui wawancara terhadap pasien atau pendamping dan telusur rekam medis.
Hasil: Sebanyak 99 orang subjek yang memenuhi kriteria. Terdapat 6 pola alur perjalanan pasien dengan yang terbanyak adalah mengalami gejala umum diikuti gejala neurologis, mencari pertolongan kesehatan, terdiagnosis, dan mendapatkan pengobatan (52,5%). Fasilitas kesehatan pertama terbanyak dikunjungi pasien adalah praktek dokter swasta (L1b) (35,4%). Median jumlah kunjungan yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pengobatan adalah 6 (4-9) kunjungan dengan durasi keterlambatan sebagai berikut: keterlambatan pasien 17 (3-33) hari, keterlambatan diagnosis 44 (16-101) hari, keterlambatan pengobatan 1 (0-1) hari, dan keterlambatan total adalah 78 (33-170) hari. Faktor yang secara signifikan berhubungan dengan keterlambatan yang lebih panjang (>78 hari) adalah jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan aOR=3,51 (CI95=1,36-9,10; p=0,01) dan pendidikan rendah aOR=0,30 (CI95=0,01-0,89; p=0,03).
Kesimpulan: Pasien TBM di RSCM menjalani kunjungan multipel dan membutuhkan waktu 2,5 bulan sejak mengalami gejala hingga mendapatkan pengobatan dengan keterlambatan terbesar berasal dari sistem kesehatan.

Background: Tuberculous meningitis (TBM) is the worst manifestation of TB infection. Its prognosis is depend on timely treatment initiation. This study intend to know TBM patient pathway and factors that affect treatment delay.
Methods: This was a crossectional study of TBM patients who have received antituberculous medication and were admitted at the RSCM January 2020-April 2022. Data were obtained from interview to either patient or caregiver and medical reccord.
Results: A total of 99 subjects met the criteria. There were 6 patterns of patient pathway with the most prevalent is having general symptoms followed by neurological symptoms, first healthcare visit, diagnosed, and treated (52.5%). The first healthcare visited by most patients was private doctor's practice (L1b) (35.4%). Median number of visits before recieving treatment was 6 (4-9) visits. Delay duration are as follow: patient delay 17 (3-33) days, diagnosis delay 44 (16-101) days, treatment delay 1 (0-1) day, and total delay 78 (33-170) days. Factors that significantly associated with longer delays were number of visits to healthcare facilities aOR=3.51 (CI95=1.36-9.10; p=0.01) and lower education aOR=0.30 (CI95=0 .01-0.89; p=0.03).
Conclusions: TBM patients experienced multiple visit and had 2.5 months delay from first symptoms to treatment with the longest delay coming from the healthcare system.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>